Anda di halaman 1dari 4

Pengujian Peraturan Perundang-undangan Secara

Integratif dalam Rangka Penguatan


Demokrasi Konstitusional Oleh
Mahkamah Konstitusi

Era Reformasi saat ini menyuguhkan fenomena yang kurang positif di bidang
legislasi, yakni, pertama, banyak peraturan perundang-undangan yang baru saja disahkan
oleh presiden bersama DPR, bahkan belum berlaku secara efektif amandemen bahkan diganti
dengan UU yang baru sama sekali tidak implementatif dan menimbulkan masalah sosial baru
dalam masyarakat; Kedua, Banyak UU yang tidak relevan dengan kebutuhan atau
permasalahan yang ada dalam masyarakat; Ketiga, Banyak nya Perda yang di terbitkan oleh
Pemerintah Daerah yang dicabut oleh pemerintah pusat (Mendagri) karena bertentangan
dengan peratiran yang lebih tinggi dan mengancam investasi di daerah.

Salah satu akibat lebih lanjut dari banyaknya produk peraturan perundang-undangan
yang jauh dari rasa keadilan masyarakat adalah larisnya permintaan judical riview oleh
berbagai pihak terhadap pelvagai peraturan perundang-undangan.

Hasil penelitian Saldi Isra menyatakan bahwa kehadiran kewenangan judical riview
oleh mahkamah konstitusi berimlikasi dalam 3 (tiga) bentuk, yakni: (1) Judical riview MK
telah melakukan purifikasi UU yang bertentangan dengan norma dasar (konstitusi); (2)
Putusan MK mendorong pembentukan peraturan perundang-undangan yang menempatkan
MK sebagai salah satu faktor penting dalam progam legislasi nasional; dan (3) telah
menimbulkan prinsip prudential (kehati-hatian) pihak pembentuk UU ketika membahas
RUU.

Kewenangan oengujian peraturan perundang-undangan itu sendiri, masih berada pada


2 (dua) lembaga yudisial, yakni Mahkamah Konstitusi yang berwenang melakukan pengujian
UU terhadap Undang-undang Dasar (UUD) 1945, sementara MA berwenang melakukan
pengujian produk pengaturan perundang-undangan dibawah UU terhadap UU.

Adanya dualisme pengujian peraturan perundang-undangan tersebut menjadi salah


satu kritik substansial terhadap hasil perubahan UUD NRI Tahun 1945, karena berpotensi
menimbulkan ketidakadilan dan kepastian hukum. Bahkan menurut Feri Amsari, dualisme
pengujian peraturan perundang-undangan tersebut merupakan konsep yang aneh karena tidak
bersesuaian dengan yang umumnya berlaku dalam teori ketatanegaraan yang ada dan tentu
saja berbeda pula dengan konsep yang dianut oleh negara yang menganut judical riview,
sehingga sangat berpotensi menimbulkan permasalahan-permasalahan tersendiri sebagai
implikasi adanya dualisme pengujin tersebut.

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufiqurrahman Syahuri dkk, dapat
disimpulkan bahwa “seiring dengan perkembangan ketatanegaraan praktek pemisahan
pengujian peraturan perundang-undangan baik di MK maupun di MA sebagaimana diatur
dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menimbilkan kelemahan dan permasalahan baik dari
aspek pengaturan meupun pelaksanaannya. Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan
evaluasi secara menyeluruh baik dari aspek pengaturan maupun pelaksanaan mengenai
pengujian UU terhadap UUD 1945 di MK , mupun pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap UU di MA.

Dalam praktiknya, dualisme pengujian peraturan di MK dan MA telah menimbulkan


3 (tiga) variasi masalah yang cukup problematik ke depan, yakni adanya putusan MK
bertentangan dengan putusan MA. Mahkamah agung memutus bahwa peraturan perundang-
undangan di bawah UU bertentangan dengan UU, akan tetapi MK membuat tafsir yang
berbeda dari pendapat MA. Kasus seperti ini terjadi dalam tafsir terhadap pasal 205 ayat (4),
pasal 211 ayat (3), dan pasala 212 ayat (3) UU No. 10 Tahun 2008 tentang pemilu Anggota
DPR, DPD dan DPRD. Ketentuan dalam UU No. 10 Tahun 2008 yang menjadi dasar
pengujian KPU No. 15 Tahun 2009 dalam judical riview MA dimaknai berbeda oleh MK,
maka putusan MA kehilangan legalitas dan tidak relevan lagi diterapkan. Kalau putusan MK
dapat menganulir putusan MA, berarti kedudukan MK lebih tinggi dari MA. Padahal dalam
struktur ketatanegaraan berdasarkan UUD 1945, MA dan MK ditentukan sebagai pelaku
kekuasaan kehakiman yang memiliki kedudukan sejajar. Karena itulah secara hukum,
putusan MA dan MK berada pada posisi yang setara sehingga tidak dapat saling menganulir.

Adanya dualisme pengujian produk hukum oleh MK dan MA bukanlah tidak


menimbulkan masalah. Sri Soemanti menegaskan ada kaitan antara UU dan peraturan
dibawahnya. Berdasarkan ketentuan yang ada jika PP, Perpres, Perda bertentangan dengan
UU maka akan di uji oleh MA. Problematika yang muncul adalah, jika UU yang digunakan
untuk menguji sedang di uji di MK dan ternyata diputuskan bahwa UU yang dimaksud
bertentangan dengan UUD 1945. Hal ini akan berbeda jika pengujian peraturan perundang-
undangan itu dilakukan satu atap, karena kondisi di atas dapat segera di atasi dan ditangani
langsung, MK dapat mendahulukan pengujian UU terhadap UUD 1945 dan apabila UU
tersebut dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945, maka menjadi tidak relevan
permohonan untuk menguji PP, karena UU yang dijadikan hukum pembuatan PP tidak dapat
lagi berlaku.

Jimly Assiddiqie mengungkapkan, bahwa pembagian tugas di bidang pengujian


peraturan (Judical riview) atas peraturan perundang-undangan antara MA dan MK sama
sekali tidak ideal, karena dapat menimbulkan perbedaan atas putusan saling bertentangan
antara MK dan MA. Kedepan memang harus dipikirkan kemungkinan mengintegrasikan
seluruh sistem pengujian peraturan dibawah kewenangan MK.

Masih menurut Jimly, ada empat alasan yang menyebabkan pemisahan pengujian
peraturan tersebut menjadi tidak ideal, yaitu pertama, pemberian kewenangan pengujian
(judical riview) materi undang-undang terhadap undang-undang terhadap undang-undang
dasar kepada MK yang baru di bentuk mengesankan hanya sebagian tambahan perumusan
terhadap materi undang-undang dasar secara mudah dan tambal sulam, seakan-akan konsepsi
hak uji diberikan kepada MK. Perumusan demikian seakan kurang di dasarkan atas
pendalaman konseptual berkenaan dengan konsepsi uji itu sendiri secara komperhensif.
Kedua, pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem kekuasaan yang
mengutamakan sistem check and balances sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945 sebelum
mengalami perubahan pertama dan kedua, UUD 1945 telah resmi dan tegas menganut prinsip
pemisahan kekuasaan horizontal. Oleh karena itu, sebaliknya sistem pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah konstitusi di integrasikan saja dibawah MK. Dengan
demikian, masing-masing mahkamah dapat memfokuskan perhatian pada masalah yang
berbeda. MA menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara, sedangkan
MK menjamin konstitusionalitas keseluruhan peraturan perundang-undangan. Keempat, Jika
kewenangan pengujian materi peraturan perundang0undangan di bawah UUD sepenuhnya
diberikan kepada MK, tentu beban MA dapat berkurang.

Untuk mewujudkan pengujian integratif di bawah MK maka ada 2 (dua) langkah dan
strategi penting yang perlu dilakukan, yakni:

1. Perubahan terhadap UUD 1945 dan UU terkait dengan kekuasaan kehakiman MA dan
MK
2. Urgensi rekrutmen dan pengawasan hakim MK dilakukan oleh KY
Perlu di ingat pula bahwa penguatan kewenangan untuk menguji peraturan
perundang-undangan secara integratif (satu atap) di bawah MK tetaplah perlu pembatasan
dalam garis demokrasi yang jelas dan tegas. Pemberian kewenangan pengujian UU kepada
MK tanpa adanya pembatasan berpotensi menciptakan penyelwengan kekuasaan. Hal ini
dapat di indikasikan oleh beberapa putusan MK yang ultra petita berpotensi menimbulkan
kekacauan baru dalam ranah politis yuridis.

Independensi kekuasaan kehakiman harus berjalan bersama-sama dengan


akuntabilitas kekuasaan kehakiman. Independensi dan akuntabilitas harus berimbang Apabila
kekuasaan kehakiman memperoleh kekuasaan yang semakin besar, maka semakin besar
pulalah tuntutan akuntabilitasnya. Semakin independen suatu lembaga kekuasaan kehakiman,
maka semakin besar akuntabilitasnya, demi melindungi dan mencegah lembaga kekuasaan
kehakiman dari tindakan yang tidak terkontrol. Dengan demikian setiap ketentuan tentang
akuntabilitas tidak membahayakan independensi.

Sehingga, partisipasi kritis masyarakat dalam mewujudkan peradilan yang fair, bersih
dan berwibawa adalah sebuah keniscayaan. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan mulai dari
perubahan konstitusi, proses legislasi menyangkut peradilan di parlemen, pemantauan dan
monitoring proses peradilan sampai pada ekseminasi terhadap putusan peradilan.

Anda mungkin juga menyukai