Era Reformasi saat ini menyuguhkan fenomena yang kurang positif di bidang
legislasi, yakni, pertama, banyak peraturan perundang-undangan yang baru saja disahkan
oleh presiden bersama DPR, bahkan belum berlaku secara efektif amandemen bahkan diganti
dengan UU yang baru sama sekali tidak implementatif dan menimbulkan masalah sosial baru
dalam masyarakat; Kedua, Banyak UU yang tidak relevan dengan kebutuhan atau
permasalahan yang ada dalam masyarakat; Ketiga, Banyak nya Perda yang di terbitkan oleh
Pemerintah Daerah yang dicabut oleh pemerintah pusat (Mendagri) karena bertentangan
dengan peratiran yang lebih tinggi dan mengancam investasi di daerah.
Salah satu akibat lebih lanjut dari banyaknya produk peraturan perundang-undangan
yang jauh dari rasa keadilan masyarakat adalah larisnya permintaan judical riview oleh
berbagai pihak terhadap pelvagai peraturan perundang-undangan.
Hasil penelitian Saldi Isra menyatakan bahwa kehadiran kewenangan judical riview
oleh mahkamah konstitusi berimlikasi dalam 3 (tiga) bentuk, yakni: (1) Judical riview MK
telah melakukan purifikasi UU yang bertentangan dengan norma dasar (konstitusi); (2)
Putusan MK mendorong pembentukan peraturan perundang-undangan yang menempatkan
MK sebagai salah satu faktor penting dalam progam legislasi nasional; dan (3) telah
menimbulkan prinsip prudential (kehati-hatian) pihak pembentuk UU ketika membahas
RUU.
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufiqurrahman Syahuri dkk, dapat
disimpulkan bahwa “seiring dengan perkembangan ketatanegaraan praktek pemisahan
pengujian peraturan perundang-undangan baik di MK maupun di MA sebagaimana diatur
dalam pasal 24A ayat (1) UUD 1945 menimbilkan kelemahan dan permasalahan baik dari
aspek pengaturan meupun pelaksanaannya. Oleh karena itu sangat penting untuk dilakukan
evaluasi secara menyeluruh baik dari aspek pengaturan maupun pelaksanaan mengenai
pengujian UU terhadap UUD 1945 di MK , mupun pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah UU terhadap UU di MA.
Masih menurut Jimly, ada empat alasan yang menyebabkan pemisahan pengujian
peraturan tersebut menjadi tidak ideal, yaitu pertama, pemberian kewenangan pengujian
(judical riview) materi undang-undang terhadap undang-undang terhadap undang-undang
dasar kepada MK yang baru di bentuk mengesankan hanya sebagian tambahan perumusan
terhadap materi undang-undang dasar secara mudah dan tambal sulam, seakan-akan konsepsi
hak uji diberikan kepada MK. Perumusan demikian seakan kurang di dasarkan atas
pendalaman konseptual berkenaan dengan konsepsi uji itu sendiri secara komperhensif.
Kedua, pemisahan kewenangan itu masuk akal untuk dilakukan jika sistem kekuasaan yang
mengutamakan sistem check and balances sebagaimana yang dianut oleh UUD 1945 sebelum
mengalami perubahan pertama dan kedua, UUD 1945 telah resmi dan tegas menganut prinsip
pemisahan kekuasaan horizontal. Oleh karena itu, sebaliknya sistem pengujian peraturan
perundang-undangan di bawah konstitusi di integrasikan saja dibawah MK. Dengan
demikian, masing-masing mahkamah dapat memfokuskan perhatian pada masalah yang
berbeda. MA menangani persoalan keadilan dan ketidakadilan bagi warga negara, sedangkan
MK menjamin konstitusionalitas keseluruhan peraturan perundang-undangan. Keempat, Jika
kewenangan pengujian materi peraturan perundang0undangan di bawah UUD sepenuhnya
diberikan kepada MK, tentu beban MA dapat berkurang.
Untuk mewujudkan pengujian integratif di bawah MK maka ada 2 (dua) langkah dan
strategi penting yang perlu dilakukan, yakni:
1. Perubahan terhadap UUD 1945 dan UU terkait dengan kekuasaan kehakiman MA dan
MK
2. Urgensi rekrutmen dan pengawasan hakim MK dilakukan oleh KY
Perlu di ingat pula bahwa penguatan kewenangan untuk menguji peraturan
perundang-undangan secara integratif (satu atap) di bawah MK tetaplah perlu pembatasan
dalam garis demokrasi yang jelas dan tegas. Pemberian kewenangan pengujian UU kepada
MK tanpa adanya pembatasan berpotensi menciptakan penyelwengan kekuasaan. Hal ini
dapat di indikasikan oleh beberapa putusan MK yang ultra petita berpotensi menimbulkan
kekacauan baru dalam ranah politis yuridis.
Sehingga, partisipasi kritis masyarakat dalam mewujudkan peradilan yang fair, bersih
dan berwibawa adalah sebuah keniscayaan. Partisipasi masyarakat dapat dilakukan mulai dari
perubahan konstitusi, proses legislasi menyangkut peradilan di parlemen, pemantauan dan
monitoring proses peradilan sampai pada ekseminasi terhadap putusan peradilan.