Anda di halaman 1dari 6

Nama Anggota Kelompok :

- Mayda Nuri Rachmah (2019-113)


- Anas Hamami (2019-121)
- Ocha Aulia Qur’aini (2019-122)
- Habibah Fatihatur Rizqo (2019-126)
- Habiba Amatullah (2019-150)

FILSAFAT HUKUM UU CIPTA KERJA

Penyusunan dan pembahasan Undang – undang sebenarnya tidak perlu tergesa – gesa
bahkan sampai harus melanggar ketentuan peraturan perundang – undangan yang telah ada.
Bahkan ketentuan peraturan perundang – undangan yang telah ada itu menjadi batasan untuk
membuat undang – undang yang akan dibahas dan disahkan. Pembentukan undang – undang
dengan melanggar peraturan yang ada merupakan kesalahan awal yang dilakukan oleh
pembentuk peraturan perundang – undangan yang nantinya akan diujikan ulang di
Mahkamah KonstItusi. Saat ini yang sedang ramai adalah pengesahan Undang – undang cipta
kerja yang diselesaikan oleh DPR dalam waktu singkat.

Pengesahan UU cipta kerja yang dirasa sangat cepat dan tergesa – gesa menimbulkan
pertanyaan sebenarnya untuk siapa undang – undang ini diciptakan. Telah diatur pula dalam
UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, di UU tersebut
telah diatur bagaimana cara membuat undang – undang yang baik dan benar. Dalam membuat
undang – undang harus berlandaskan atas 3 landasan yaitu landasan filosofis, landasan
sosiologis, dan landasan yuridis. Kemudian setelah diuji oleh MK, UU cipta kerja dinilai
inkonstitusional, berarti UU Cipta kerja tersebut tidak memenuhi salah satu atau bahkan
semua landasan yang telah disebutkan di atas.

Secara normatif, terdapat AUPB yang layak yang harus dijadikan rujukan dalam
membuat UU cipta kerja. Ketergesaan dalam membuat UU cipta kerja bisa dikatakan
melanggar asas kecermatan, sudah banyak dalam dunia nyata bahwa hal – hal yang dilakukan
secara tergesa – gesa itu menimbulkan hal yang kurang baik. Kemudian jika pada praktiknya,
ketergesaan ini menjadikan muncul suatu jurang hukum atau legal gap. Ketergesaan ini pula
menjadi tanda bahwa dalam membuat undang – undang cipta kerja ini tidak partisipatif atau
rendah dalam keikutsertaan suara rakyat. Padahal dalam AAUPB ada asas keterbukaan,
dengan begitu dapat diartikan bahwa pembuatan UU cipta kerja ini melanggar asas
keterbukaan. UU cipta kerja yang menggunakan metode omnibus law sejatinya belum ada
peraturan perundang – undangan yang mengatur dengan jelas sehingga memunculkan produk
yang inkonstitusional.

Dalam aspek filosofis, semangat dibalik terciptanya UU cipta kerja ini bukanlah
semangat terciptanya harmonisasi dalam peraturan perundang – undangan, namun untuk
kepentingan investasi semata. Dalam aspek sosiologis, seharusnya pemerintah
memperhatikan apakah masyarakat Indonesia ini benar – benar membutuhkan UU ini. Negara
Indonesia ini masih merupakan negara berkembang, belum mencapai negara maju. Maka dari
itu, masarakat Indonesia dirasa tidak atau belum membutuhkan Undang – undang cipta kerja
ini. Pemerintah seharusnya lebih terbuka terhadap masukan – masukan atau partisipasi
rakyat. Karena tujuan landasan sosiologis adalah untuk menciptakan terpenuhinya kebutuhan
masyarakat secara menyeluruh dan bukan hanya untuk investor saja.

Pemerintah mengklaim bahwa UU cipta kerja yang menggunakan metode omnibus


law ini akan jadi lebih efisien karena menghapus, mengubah, dan menetapkan peraturan baru
untuk beberapa undang – undang. Seperti kereta api yang satu kepala namun menyeret
banyak sekali gerbong. Di luar negeri memang ada beberapa negara yang menerapkan
omnibus law ini namun belum ada data yang jelas mengenai dampak omnibus law terhadap
rakyatnya.

Terdapat alasan kenapa Undang – undang cipta kerja inkonstitusional yaitu Undang –
undang cipta kerja yang menggunakan metode omnibus law ini tidak diatur dalam undang –
undang nomor 12 tahun 2011 tentang pembentukan peraturan perundang – undangan. Dalam
satu undang – undang cipta kerja ini terdapat 78 undang – undang dengan jenis yang sangat
berbeda. Sehingga apabila ingin menciptakan omnibus law maka seharusnya merevisi dulu
undang – undang PPP. Kemudian alasan yang kedua adalah dalam pengerjaan undang –
undang yang sangat cepat itu, kemudian DPR dan presiden pun mengesahkan, setelah
disahkan ternyata masih ada kesalahan dalam penulisan.

Kesalahan dalam penulisan merupakan kesalahan yang dapat dianggap cukup fatal
mengingat undang – undang tersebut telah disahkan oleh DPR dan presiden. Hal ini
menunjukkan bahwa ketergesaan dalam membuat undang – undang cipta kerja dikerjakan
dengan keidaktelitian dan hal tersebut tidaklah baik.

Selain itu, Rancangan Undang-Undang Omnibus Law Cipta Kerja tidak memenuhi
ketentuan yang diatur dalam Lampiran II Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011, dan terlalu
banyak peraturan pelaksana yang harus dibentuk, yaitu sebanyak 534 peraturan pelaksana.
Sehingga pelaksanaan dari Rancangan Undang-Undang ini setelah disahkannya menjadi
Undang-Undang akan menimbulkan permasalahan. Permasalahan tersebut timbul karena
membentuk 534 peraturan pelaksana tidak mungkin selesai dalam waktu dua tahun
sebagaimana amanah Undang-Undang Nomor 12 tahun 2011.

Secara sosiologis, Rancangan Undang-Undangan Omnibus Law Cipta Kerja kurang


berpihak kepada daerah, hal ini dikarenakan beberapa kewenangan Pemerintah Daerah
diambil oleh Pemerintah Pusat. Hal tersebut sebenarnya tidak bertentangan dengan UUD
1945, karena daerah itu sendiri merupakan bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Akan tetapi yang dkhawatirkan adalah Pemerintah Pusat tidak akan sanggup untuk
mengambil alih itu semua, dikarenakan kita tahu sendiri bahwa jumlah Pemerintah Provinsi
sebanyak 34, Pemerintah Kabupaten sebanyak 416, dan Pemerintah Kota 98 di Indonesia.
Faktanya, saat ini Pemerintah yaitu Kementrian Dalam Negeri tidak mampu melaksanakan
register Perda Provinsi dalam waktu 14 hari berdasarkan Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2014 tentang Pemerintahan Daerah.

Setelah disahkannya Omnibus Law Rancangan Undang-Undang Cipta Kerja tersebut


menjadi Undang-Undang, tentu timbul permasalahan dari Undang-Undang Cipta Kerja.
Adapun permasalahan-permasalahan tersebut antara lain :

 tata cara pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja tidak sesuai pada ketentuan dan
metode yang pasti, baku, dan standar, serta sistematika;
 dalam pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja, terjadi perubahan penulisan beberapa
substansi pasca persetujuan bersama DPR dan Presiden; dan
 pembentukan Undang-Undang Cipta Kerja bertentangan dengan asas-asas pembentukan
peraturan perundang-undangan.

Undang-Undang Cipta Kerja dinyatakan inkonstitusional oleh Mahkamah Konstitusi, hal


tersebut dikarenakan Mahkamah Konstitusi ingin menghindari ketidakpastian hukum dan
dampak lebih besar yang ditimbulkan. Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga
mempertimbangkan dimana hal tersebut harus menyeimbangkan antara syarat pembentukan
sebuah perundang-undangan yang harus dipenuhi sebagai syarat formil guna mendapatkan
produk perundang-undangan yang mana memenuhi unsur kepastian hukum, kemanfaatan dan
keadilan. Selain dari pada syarat pembentukan itu, Mahkamah Konstitusi juga
mempertimbangkan tujuan strategis dari dibentuknya Undang-Undang Cipta Kerja.
Maka dari itu, dalam memberlakukan Undang-Undang Cipta Kerja yang telah dinyatakan
sebagai inkonstitusional secara bersyarat, akan menimbulkan konsekuensi yuridis terhadap
keberlakuan perundang-undangan tersebut. Sehingga Mahkamah Konstitusi memberikan
kesempatan kepada pembentuk perundang-undangan untuk memperbaiki atau merevisi
Undang-Undang Cipta Kerja berdasarkan tata cara pembentukan perundang-undangan yang
memenuhi ketentuan dan metode yang pasti, baku, Serta sistematika. Selain itu, dalam
pembentukan Undang-Undang Omnibus Law juga harus sesuai dengan keterpenuhan syarat
asas-asas pembentukan undang-undang yang telah ditentukan.

Jika dilihat dari awal Rencana Undang-Undang (RUU) Omnibus Law Cipta Kerja sudah
bermasalah sehingga menjadi perdebatan panas publik disertai berbagai bentuk aksi
penolakan. Namun RUU tersebut tetap berjalan terus hingga pada akhirnya RUU Omnibus
Law Cipta Kerja yang menggabungkan beberapa UU di dalamnya disahkan DPR menjadi UU
pada 5 Oktober 2020. Salah satu tujuan pemerintah menggulirkan RUU sehingga menjadi
UU Cipta Kerja adalah untuk menyederhanakan atau merampingkan regulasi dari segi jumlah
peraturan agar lebih tepat sasaran. Beberapa di antaranya penyederhanaan perizinan tanah,
persyaratan investasi, ketenagakerjaan, kemudahan dan perlindungan UMKM, kemudahan
berusaha, dukungan riset dan inovasi, administrasi pemerintahan, pengenaan sanksi,
pengendalian lahan, kemudahan proyek pemerintah, dan Kawasan Ekonomi Khusus.

Namun MK menilai bahwa dari segi formil atau pembuatan UU saja metode
penggabungan atau omnibus law dalam UU Cipta Kerja tidak jelas.Selain alasan yang sudah
disebutkan diatas, UU Ciptaker dinyatakan dinyatakan inkonstitusional karena tidak sesuai
proses pembentukan yang diatur dalam UU No. 11/ 2012 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan sebagaimana diubah menjadi UU No. 15/ 2019. Bukti bahwa UU
Ciptaker cacat formil dapat dilihat dari dalil yang diajukan para pemohon. Dalam hal ini, Dr.
Agus Riewanto (pakar Hukum Tata Negara (HTN) Fakultas Hukum (FH) Universitas Sebelas
Maret (UNS)) menyebut, dalil yang diajukan para pemohon cukup sederhana untuk
dibuktikan di persidangan. “Putusan MK yang mengabulkan permohonan uji formil
merupakan yang pertama dalam sejarah permohonan uji formil di Indonesia, karena pada
umumnya ditolak oleh MK. Biasanya MK hanya mengabulkan terhadap uji materil, yaitu
menguji isi atau norma pasal, ayat, atau bagian dari ayat dari suatu UU yang dianggap
bertentangan dengan konstitusi (UUD 1945) atau inkonstitusional,” ujarnya.
Kendati demikian, bila dilihat dari amar putusan dan adanya empat dari sembilan hakim
MK yang berpendapat berbeda alias dissenting opinion, putusan MK tersebut tampaknya
menjadi ‘jalan tengah’. Alasannya, putusan ini mengatakan bahwa proses legislasi
(pembuatannya) cacat dan inkonstitusional. Artinya, sebuah produk yang dihasilkan dari
proses yang tidak sesuai konstitusi ini juga inkonstitusional, sehingga tidak berlaku. “Tetapi
putusan ini membedakan antara proses dan hasil. Sehingga yang dinyatakan oleh amar
putusan MK inkonstitusional hanya prosesnya, tetapi UU-nya tetap konstitusional dan
berlaku,” tambahnya Beliau.

RUU Omnibus Law yang kemudian masuk prolegnas prioritas tahun 2020 diantaranya
: Rancangan tentang Undang-Undang Kefarmasian, Rancangan tentang Undang-Undang
Cipta Lapangan Kerja, Rancangan Undang-Undang tentang Ketentuan dan Fasilitas
Perpajakan Untuk Penguatan Perekonomian serta Rancangan Undang-Undang tentang
Ibukota Negara. Dan yang baru diajukan oleh Pemerintah kepada DPR RI adalah RUU Cipta
Kerja. Materi muatan yang masuk dalam RUU Omnibus Law Cipta Kerja banyak
menimbulkan pertentangan di kalangan masyarakat sebagaimana disampaikan oleh Ketua
Bidang Hukum Tata Negara Fakultas hukum Untirta dan Sekretaris Pusat Kajian Konstitusi
FH Untirta, LiaRiesta Dewi, diantaranya yaitu :

1. RUU Omnibus Law Cipta Kerja dikhawatirkan akan merenggut beberapa


kewenangan Pemda ke Pusat.
a. Pasal 16 Ayat (1) RUU yang berbunyi : “Dalam hal Pemerintah Daerah belum
menyusun dan menyediakan RDTR sebagaimana dimaksud dalam Pasal 15
ayat (2), Pelaku Usaha mengajukan permohonan persetujuan kesesuaian
kegiatan pemanfaatan ruang untuk kegiatan usahanya kepada Pemerintah Pusat
melalui Perizinan Berusaha secara elektronik sesuai dengan ketentuan
peraturan perundang-undangan.”
b. Pasal 77 yang terdapat dalam Pasal 23 RUU ini yang berbunyi : “Pemerintah
Pusat dapat menerapkan sanksi administratif terhadap penanggung jawab usaha
dan/atau kegiatan dalam hal Pemerintah Pusat menganggap Pemerintah
Daerah secara sengaja tidak menerapkan sanksi administratif terhadap
pelanggaran yang serius di bidang perlindungan dan pengelolaan lingkungan
hidup.”
c. Pasal 6 ayat (5) dalam Pasal 35 RUU ini yang berbunyi :Dalam hal pemerintah
daerah kabupaten/kota tidak menetapkan lahan sebagai kawasan umum
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Pemerintah Pusat dapat menetapkan lahan
sebagai kawasan penggembalaan umum.”

Ketiga bunyi pasal tersebut jelas Pemerintah Pusat mengambil kewenangan yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah, yang dikhawatirkan Pemerintah Pusat tidak akan
sanggup mengambil alih itu semua karena jumlah Pemerintah Provinsi dan
Kabupaten/Kota di Indonesia ini sangat banyak. Berdasarkan data dari 514 kabupaten/kota di
Indonesia, hanya 41 kabupaten/kota yang memiliki RDTR.

2. RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini dapat menimbulkan gejolak pada saat disahkan
bukan hanya karena tidak berpihak kepada daerah tapi karena pada saat pela
ksanaannya menimbulkan kerancuan dan kebingungan untuk semua pihak baik itu
masyarakat, pelaku usaha, penegak hukum, akademisi, Pemerintah Daerah dan
Pemerintah Pusat hal ini dikarenakan RUU Omnibus Law Cipta Kerja yang
diharapkan dapat menghapus tumpang tindih peraturan dari 82 UU menjadi 1 UU
dan memudahkan untuk berinvestasi di Indonesia tapi sebaliknya semakin menjadi
tumpang tindih karena yang dihapus dalam UU terdahulu itu hanya beberapa pasal
saja tidak mencabut utuh 1 UU, dan RUU Omnibus Law ini ada Bab di dalam Bab
dan Pasal di dalam pasal dengan jumlah 1028 halaman. Sehingga tidak ada
penyederhanaannya tetapi semakin membuat bingung masyarakat, pelaku usaha dan
aparat penegak hukum kalau ingin menggunakan RUU Omnibus Lawini.
3. RUU ini tidak akan berjalan efektif dalam tahap pelaksanaannya setelah menjadi
UU dikarenakan untuk RUU Omnibus Law Cipta Kerja ini dapat berjalan efektif
harus dilengkapi oleh peraturan pelaksananya. Setelah RUU ini menjadi UU kurang
lebih ada 519 Peraturan Pemerintah yang harus dibentuk, 14 Peraturan Presiden yang
harus dibentuk dan 1 Peraturan Menteri yang harus dibentuk. Sehingga jumlah
keseluruhan peraturan pelaksana dari RUU Omnibus Law Cipta Kerja ada 534
peraturan pelaksana yang harus dibentuk, dan itu tidak mungkin dapat diselesaikan
dalam waktu satu atau dua tahun, mungkin sampai dengan berakhirnya masa jabatan
Jokowi sebagai Presiden, peraturan pelaksananya belum selesai dibentuk. Karena
fakta hari ini salah satu penyebab banyaknya UU yang tidak efektif dan tumpang
tindih karena peraturan pelaksananya tidak pernah dibentuk bahkan sampai dengan
UUnya dicabut dan diganti oleh yang baru.

Anda mungkin juga menyukai