Disusun oleh
Deni Sulistiyanto
1630102490
A. Latar Belakang
Omnibus law yang menampung kurang lebih 76 Undangundang dan 1.200
pasal ini bertujuan untuk menyatukan pelbagai macam undangundang menjadikan
satu agar tidak adanya tumpang tindih aturan, serta bertujuan untuk mempermuda
investasi masuk ke Indonesia agar tidak berbelit-belit. Akan tetapi produk hukum
yang baru saja di perkenalkan tersebut di nilai sangat tergesa-gesa oleh kelompok
masyarakat sipil serta tidak melibatkan berbagai macam stakeholder yang memiliki
kaitan langsung dengan produk RUU omnibus law tersebut seperti serikat buruh,
aktivis lingkungan dan aktivis HAM serta kelompok masyarakat sipil lainnya. 1
Produk rancanagan undang-undang omnibus law ini di nilai sangat tergesagesa
untuk disahkan. Sebab Presiden Jokowidodo menargetkan Rancangan Undang-
Undang omnibus law bisa selesai dalam waktu 100 hari saja. Padahal Omnibus Law
sendiri digagas dengan harapan memberikan kelapangan dan kemudahan dalam
menanamkan investasi bisnis di Indonesia. Hanya saja keinginan kerja cepat yang
dicanangkan oleh Presiden Jokowi itu justru terkesan penuh ketergesa-gesaan. Ingin
cepat rampung tetapi banyak aspek yang tidak terakomodir termaksud berbagai
stakeholder yang terkait dengan RUU omnibus law ini sehingga memunculkan
penolakan.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 atau biasa disebut Undang-Undang Cipta
Kerja telah disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020. Namun, terdapat setidaknya
lima kali perubahan jumlah halaman undang- undang tersebut dan masyarakat belum
dapat mengakses naskah resminya hingga dua minggu setelah Undang-Undang
tersebut disahkan.
Terjadi perbedaan jumlah halaman dari naskah yang diterima oleh Lembaga-
lembaga lain dan kabar terakhir, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima naskah
UU Cipta Kerja dari Menteri Sekretaris Negara pada Minggu 18 Oktober 2020
sebanyak 1.187 halaman. Tentu perubahan halaman tersebut menjadi perbincangan
1
Muhammad Fakhrur Razy, Muhammad Fedryansyah, Konflik Gerakan Masyarakat Sipil Dan
Pemerintah Dalam Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law, Jurnal Kolaborasi
Resolusi Konflik Volume 2 Nomor 2, 2020, Halaman 74-85.
di berbagai kalangan. Pasalnya ketidakjelasan halaman UU Cipta Kerja sangat
berpengaruh pada banyak faktor. Perlu disimak pada draf yang telah tersedia dan
dapat diunggah oleh umum di situs resmi DPR RI sebelum Rapat Paripurna DPR RI
5 Oktober berjumlah 905 halaman. Namun draf tersebut belum rampung karena pada
12 Oktober jumlah halaman draf ini bertambah menjadi 1.035 halaman. Masih pada
hari yang sama, kembali beredar di masyarakat UU Cipta Kerja berubah jumlah
halaman menjadi 812 halaman. Lalu yang terbaru UU Cipta Kerja dengan 1.187
halaman.2
Dari rancunya jumlah halaman tersebut menimbulkan pertanyaan “apakah
proses pembuatan dan pengesahan yang dilakukan telah sesuai dengan aturan
pembuatan dan pengesahan undang-undang yang baik dan benar?” apabila sudah
sesuai, mengapa terjadi beberapa kali revisi naskah yang jumlah halamannya berbeda
cukup banyak. Disisi lain Pihak Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia
( PSHK) menilai, proses legislasi UU Cipta Kerja menjadi contoh praktik buruk yang
dilakukan berulang oleh DPR dan pemerintah.3 Terdapat tiga hal yang mendasari
pernyataannya itu. Pertama, RUU Cipta Kerja tetap dibahas pada masa reses dan di
luar jam kera. Kedua, draf RUU dan risalah rapat tidak pernah disampaikan kepada
publik. Ketiga, tidak ada mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak (voting) dalam rapat parupurna pengesahan RUU Cipta Kerja.4
Sandaran hukum untuk pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan
adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU P3), sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2019. Dengan demikian, seluruh proses perencanaan dan pembentukan
ketentuan perundang-undangan seharusnya mengacu kepada ketentuan ini.
B. Rumusan Masalah
2
https://kliklegal.com/menelisik-proses-pembentukan-undang-undang-refleksi-penyusunan-ruu-cipta-
kerja/#:~:text=KlikFokus-,Menelisik%20Proses%20Pembentukan%20Undang-undang%2C
%20Refleksi,Penyusunan%20(R)UU%20Cipta%20Kerja&text=Pembuatan%20peraturan%20perundang-
undangan%20yang,pengesahan%20atau%20penetapan%2C%20dan%20pengundangan
3
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/12450231/pshk-proses-pembentukan-uu-cipta-kerja-
abaikan-ruang-demokrasi?page=all
4
Ibid
1. Bagaimana prosedur pengesahan Undang-Undang yang baik dan benar?
2. Apa saja-poin-poin yang dinilai tidak memenuhi prosedur dalam pembuatan dan
pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja/ Omnibus Law?
3. Bagaimana Hakikat Omnibus Law?
A. Pembentukan Perundang-Undangan
1. Pengertian
Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia, nomenklatur (istilah)
Perundang-undangan diartikan dengan segala sesuatu yang bertalian dengan
undang-undang, seluk beluk undang-undang. Misalnya: ceramah mengenai
perundang-undangan pers nasioal, falsafah negara itu kita lihat pula dari sistem
perundang-undangannya.5
Menurut Bagir Manan6 Peraturan perundang-undangan adalah setiap
putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau
Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan
tata cara yang berlaku. Pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan. Undang-Undang adalah Peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.7
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan undang-
undang merupakan salah satu bagian dari pembentukan peraturan perundangan-
undangan yang mencakup tahapan perencanan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.
5
Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan hukum Nasional, Bandung,
Armico, 1987, hlm. 13.
6
Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan
UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
7
Pasal 1 ayat 3 UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
8
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt506c3ff06682e/pembuatan-undang-undang/
a. Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) yang disusun oleh DPR, Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), dan
pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan RUU.
b. RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD.
c. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik,
kecuali untuk RUU anggaran pendapatan dan belanja negara, RUU penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perpu”) menjadi UU,
serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
d. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau
Badan Legislasi.
e. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat presiden kepada
pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
f. Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat
diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta
naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada
pimpinan DPR.
g. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
h. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,
rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.
i. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah,
pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
j. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi.
1) penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat
mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
2) pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota
DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
3) pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.
k. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan
diambil dengan suara terbanyak.
l. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden
diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan
tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
m. Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi
masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan
RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan
kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan
kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas
prioritas tahunan.
11
Rizal Irvan Amin,riska Ulfasari Dewi, tegar Satrio W., Omnibus Law Antara Desiderata Dan Realita,
Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol 15 No 2, hlm 190-209.
12
Agus Riwanto, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f854ded1a0b5/menguak-cacatformil-uu-
cipta-kerja-oleh--agus-riewanto/ diakses pada 12 Februari 2021.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.
Pada proses pembentukan UU Ciptaker dinilai masih jauh dari amanat Pasal 96
diatas, hal ini nampak dari proses awal hingga akhir dalam pembuatannya yang
dianggap tidak partisipatif. Pada proses awal yaitu penyusunan naskah draft UU yang
disusun oleh Pemerintah, nampak bahwa ada isu ketidakpastian terkait dengan akses
Naskah Akademik (NA) dan akses terhadap update draft RUU. Pasal 96 ayat (4)
yang sudah mengamanatkan untuk setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah
oleh publik tetapi praktiknya terjadi ketidakpastian karena banyaknya lembaga yanng
mempublikasikan aturan di tiap-tiap lembaga melalui jaringan dokumentasi dan
informasi hukum (JDIH). Ini mengakibatkan publik harus bekerja ekstra keras untuk
menemukan draft aturan versi terkini. Padahal saat ini terdapat ratusan JDIH yang
dikelola oleh Kementrian atau Lembaga Pemerintah yang semuanya belum tentu
selalu update sesuai waktunya..13
Demikian pula ketika UU Ciptaker telah sampai ditingkat legislatif, dimana
publikasi NA dan draft UU terkadang tidak update. Berkaitan dengan proses
transparansi pembahasannya juga terdapat kejanggalan. Meskipun terdapat kanal
media Parlemen yang menyiarkan proses pembahasan, tetapi penyiarannya bersifat
terbatas dimana tidak semua rapat pembahasan ditayangkan di TV Parlemen.
Kemudian perihal draft final UU juga sampai pada saat draft tersebut sudah
dilimpahkan oleh DPR kepada Presiden untuk disahkan tetapi masih belum dapat
diakses oleh publik. Tentunya semua proses ini sudah menyimpangi dulu Pasal 96
ayat (4) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.14
13
Opcit
14
Opcit
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuatan dan
pengesahan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja dirasa terlalu
tergesa-gesa dan kurang memperhatikan prosedur, serta dampak yang
diakibatkan dengan keputusan tersebut. Akhibatnya menuai banyak kontroversi
dan pro kontra yang mewarnai.
B. Saran
Untuk pembuatan Undang-Undang yang mengatur hajatan hidup banyak orang,
alangkah lebih baiknya lebih diperhatikan pada pihak-pihak yang akan terkena
dampak langsung maupun tidak langsung untuk turut mengkaji RUU yang
dibuat.