Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

PERMASALAHAN DALAM UNDANG-UNDANG CIPTA KERJA


Mata Kuliah Hukum Kenegaraan dan Perundang-undangan

Disusun oleh
Deni Sulistiyanto
1630102490

PROGRAM STUDI ILMU HUKUM


FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS COKROAMINOTO
YOGYAKARTA
2021
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Omnibus law yang menampung kurang lebih 76 Undangundang dan 1.200
pasal ini bertujuan untuk menyatukan pelbagai macam undangundang menjadikan
satu agar tidak adanya tumpang tindih aturan, serta bertujuan untuk mempermuda
investasi masuk ke Indonesia agar tidak berbelit-belit. Akan tetapi produk hukum
yang baru saja di perkenalkan tersebut di nilai sangat tergesa-gesa oleh kelompok
masyarakat sipil serta tidak melibatkan berbagai macam stakeholder yang memiliki
kaitan langsung dengan produk RUU omnibus law tersebut seperti serikat buruh,
aktivis lingkungan dan aktivis HAM serta kelompok masyarakat sipil lainnya. 1
Produk rancanagan undang-undang omnibus law ini di nilai sangat tergesagesa
untuk disahkan. Sebab Presiden Jokowidodo menargetkan Rancangan Undang-
Undang omnibus law bisa selesai dalam waktu 100 hari saja. Padahal Omnibus Law
sendiri digagas dengan harapan memberikan kelapangan dan kemudahan dalam
menanamkan investasi bisnis di Indonesia. Hanya saja keinginan kerja cepat yang
dicanangkan oleh Presiden Jokowi itu justru terkesan penuh ketergesa-gesaan. Ingin
cepat rampung tetapi banyak aspek yang tidak terakomodir termaksud berbagai
stakeholder yang terkait dengan RUU omnibus law ini sehingga memunculkan
penolakan.
Undang-Undang No. 11 Tahun 2020 atau biasa disebut Undang-Undang Cipta
Kerja telah disahkan oleh DPR RI pada 5 Oktober 2020. Namun, terdapat setidaknya
lima kali perubahan jumlah halaman undang- undang tersebut dan masyarakat belum
dapat mengakses naskah resminya hingga dua minggu setelah Undang-Undang
tersebut disahkan.
Terjadi perbedaan jumlah halaman dari naskah yang diterima oleh Lembaga-
lembaga lain dan kabar terakhir, Majelis Ulama Indonesia (MUI) menerima naskah
UU Cipta Kerja dari Menteri Sekretaris Negara pada Minggu 18 Oktober 2020 
sebanyak 1.187 halaman. Tentu perubahan halaman tersebut menjadi perbincangan

1
Muhammad Fakhrur Razy, Muhammad Fedryansyah, Konflik Gerakan Masyarakat Sipil Dan
Pemerintah Dalam Proses Penyusunan Rancangan Undang-Undang Omnibus Law, Jurnal Kolaborasi
Resolusi Konflik Volume 2 Nomor 2, 2020, Halaman 74-85.
di berbagai kalangan. Pasalnya ketidakjelasan halaman UU Cipta Kerja sangat
berpengaruh pada banyak faktor. Perlu disimak pada draf yang telah tersedia dan
dapat diunggah oleh umum di situs resmi DPR RI sebelum Rapat Paripurna DPR RI
5 Oktober berjumlah 905 halaman. Namun draf tersebut belum rampung karena pada
12 Oktober jumlah halaman draf ini bertambah menjadi 1.035 halaman. Masih pada
hari yang sama, kembali beredar di masyarakat UU Cipta Kerja berubah jumlah
halaman menjadi 812 halaman. Lalu yang terbaru UU Cipta Kerja dengan 1.187
halaman.2
Dari rancunya jumlah halaman tersebut menimbulkan pertanyaan “apakah
proses pembuatan dan pengesahan yang dilakukan telah sesuai dengan aturan
pembuatan dan pengesahan undang-undang yang baik dan benar?” apabila sudah
sesuai, mengapa terjadi beberapa kali revisi naskah yang jumlah halamannya berbeda
cukup banyak. Disisi lain Pihak Pusat Studi Hukum Dan Kebijakan Indonesia
( PSHK) menilai, proses legislasi UU Cipta Kerja menjadi contoh praktik buruk yang
dilakukan berulang oleh DPR dan pemerintah.3 Terdapat tiga hal yang mendasari
pernyataannya itu. Pertama, RUU Cipta Kerja tetap dibahas pada masa reses dan di
luar jam kera. Kedua, draf RUU dan risalah rapat tidak pernah disampaikan kepada
publik. Ketiga, tidak ada mekanisme pengambilan keputusan berdasarkan suara
terbanyak (voting) dalam rapat parupurna pengesahan RUU Cipta Kerja.4
Sandaran hukum untuk pembuatan sebuah peraturan perundang-undangan
adalah Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan (UU P3), sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor
15 Tahun 2019. Dengan demikian, seluruh proses perencanaan dan pembentukan
ketentuan perundang-undangan seharusnya mengacu kepada ketentuan ini.

B. Rumusan Masalah

2
https://kliklegal.com/menelisik-proses-pembentukan-undang-undang-refleksi-penyusunan-ruu-cipta-
kerja/#:~:text=KlikFokus-,Menelisik%20Proses%20Pembentukan%20Undang-undang%2C
%20Refleksi,Penyusunan%20(R)UU%20Cipta%20Kerja&text=Pembuatan%20peraturan%20perundang-
undangan%20yang,pengesahan%20atau%20penetapan%2C%20dan%20pengundangan
3
https://nasional.kompas.com/read/2020/10/06/12450231/pshk-proses-pembentukan-uu-cipta-kerja-
abaikan-ruang-demokrasi?page=all
4
Ibid
1. Bagaimana prosedur pengesahan Undang-Undang yang baik dan benar?
2. Apa saja-poin-poin yang dinilai tidak memenuhi prosedur dalam pembuatan dan
pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja/ Omnibus Law?
3. Bagaimana Hakikat Omnibus Law?

C. Tujuan Penulisan Makalah


1. Mengetahui prosedur pengesahan Undang-Undang yang baik dan benar;
2. Mengeatahui poin-poin yang dinilai tidak memenuhi prosedur dalam pembuatan
dan pengesahan Undang-Undang Cipta Kerja/ Omnibus Law;
3. Mengetahui Hakikat Omnibus Law.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pembentukan Perundang-Undangan
1. Pengertian
Pembentukan Undang-Undang Di Indonesia, nomenklatur (istilah)
Perundang-undangan diartikan dengan segala sesuatu yang bertalian dengan
undang-undang, seluk beluk undang-undang. Misalnya: ceramah mengenai
perundang-undangan pers nasioal, falsafah negara itu kita lihat pula dari sistem
perundang-undangannya.5
Menurut Bagir Manan6 Peraturan perundang-undangan adalah setiap
putusan tertulis yang dibuat, ditetapkan dan dikeluarkan oleh Lembaga dan atau
Pejabat Negara yang mempunyai (menjalankan) fungsi legislatif sesuai dengan
tata cara yang berlaku. Pengertian Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
adalah pembuatan Peraturan Perundang-undangan yang mencakup tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan. Undang-Undang adalah Peraturan perundang-undangan yang
dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan persetujuan bersama Presiden.7
Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembentukan undang-
undang merupakan salah satu bagian dari pembentukan peraturan perundangan-
undangan yang mencakup tahapan perencanan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan, dan pengundangan.

2. Proses Pembentukan Undang-Undang


Disesuaikan dengan Undang-Undang No 12 Tahun 2011
Berdasarkan kedua undang-undang tersebut, dapat kami sarikan proses
pembentukan undang-undang sebagai berikut:8

5
Bagir Manan, Peranan Peraturan Perundang-undangan Dalam Pembinaan hukum Nasional, Bandung,
Armico, 1987, hlm. 13.
6
Menurut UU Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan
Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan
UndangUndang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan
7
Pasal 1 ayat 3 UU No. 1 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
8
https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/lt506c3ff06682e/pembuatan-undang-undang/
a. Perencanaan penyusunan UU dilakukan dalam Program Legislasi Nasional
(Prolegnas) yang disusun oleh DPR, Dewan Perwakilan Daerah (“DPD”), dan
pemerintah untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan RUU.
b. RUU dapat berasal dari DPR, presiden, atau DPD.
c. Setiap RUU yang diajukan harus dilengkapi dengan naskah akademik,
kecuali untuk RUU anggaran pendapatan dan belanja negara, RUU penetapan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perpu”) menjadi UU,
serta RUU pencabutan UU atau pencabutan Perpu.
d. RUU dari DPR diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau
Badan Legislasi.
e. RUU yang diajukan oleh presiden diajukan dengan surat presiden kepada
pimpinan DPR dan usulannya berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang
berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.
f. Materi muatan RUU yang diajukan oleh DPD serupa dengan yang dapat
diajukan oleh presiden yang telah diterangkan di atas. RUU tersebut beserta
naskah akademiknya diajukan secara tertulis oleh pimpinan DPD kepada
pimpinan DPR.
g. Selanjutnya RUU ditindaklanjuti dengan dua tingkat pembicaraan.
h. Pembicaraan tingkat I dilakukan dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi,
rapat Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat panitia khusus.
i. Kegiatan dalam pembicaraan tingkat I meliputi pengantar musyawarah,
pembahasan daftar inventarisasi masalah, dan penyampaian pendapat mini.
j. Pembicaraan tingkat II dilakukan dalam rapat paripurna DPR yang berisi.
1) penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat
mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I;
2) pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota
DPR secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
3) pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh menteri yang ditugaskan.
k. Bila tidak tercapai kesepakatan melalui musyawarah mufakat, keputusan
diambil dengan suara terbanyak.
l. RUU yang telah mendapat persetujuan bersama DPR dengan presiden
diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan
tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan, serta diundangkan dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.
m. Apabila pembahasan RUU telah memasuki pembahasan daftar inventarisasi
masalah pada periode masa keanggotaan DPR saat itu, hasil pembahasan
RUU tersebut disampaikan kepada DPR periode berikutnya dan berdasarkan
kesepakatan DPR, presiden, dan/atau DPD, RUU tersebut dapat dimasukkan
kembali ke dalam daftar Prolegnas jangka menengah dan/atau Prolegnas
prioritas tahunan.

B. Permasalahan yang Muncul Pada Undang-Undang Cipta Kerja


1. Penolakan dari Berbagai Pihak
Penolakan gerakan masyarakat sipil terhadap produk rancangan omnibus
law ini memiliki berbagai macam alasan, selain poin-poin yang terkandung
dalam omnibus law di nilai banyak merugikan kaum pekerja, produk omnibus
law ini dalam penyusunannya juga sangat tidak partisipatif dengan tidak
melibatkan kaum pekerja sebagai salah satu sektor yang nantinya akan
merasakan langsung dampak dari omnibus law melalui rancangan undang-
undang cipta kerja (CIPTAKER).
Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (KSPSI) mengatakan
bahwa buruh tidak dilibatkan dalam penyusunan omnibus law, Presiden KSPSI
juga memberikan saran kepada pemerinta agar pemerintah berkomunikasi
dengan buruh sebelum merumuskan aturan omnibus law. (Kompas.com, 2020
April 23).
Bukan hanya serikat pekerja yang melakukan penolakan dan memberikan
komentar terkait rancangan omnibus law. Pusat Studi Hukum Konstitusi juga
menjelaskan bahwa banyak materi dalam RUU itu yang bermasalah. Sehingga
kami menyatakan perlunya DPR mengembalikan RUU Omnibus Law kepada
presiden dan mengubah ketentuan yang kontroversial serta memuat beragam
aspirasi yang telah dilontarkan oleh masyarakat, kata Direktur PSHK FH UII,
Allan Fatchan Gani Wardhana. (Tribunjogja.com, 2020 April 24).
Selain PSHK FH UII terdapat dua lembaga/komisi negara seperti
Ombudsman RI dan Komnas HAM RI yang mengaku sampai pada tanggal 31
Januari masih sulit untuk mendapatkan draft omnibus law. Walaupun pihak
obudsaman pada prosesnya telah melayangkan surat pada desember 2019 untuk
meminta draft RUU Omnibus Law yang dimaksud kepada Menteri Koordinator
Bidang Perekonomian sayangnya, niat baik itu tidak mendapat respon positif
sesuai yang diharapkan Pada intinya Kemenko Perekonomian menolak
memaparkan draft RUU itu dengan alasan draft belum disetujui Presiden dan
belum ada arahan dari Menteri. (hukumonline.com, 2020 April 23).
Selain itu Fraksi Rakyat Indonesia (FRI) menilai bahwa dalam proses
penyusunan omnibus law adalah keseluruhan proses yang sangat tertutup, tidak
demokratis, dan hanya melibatkan pengusaha. Selain itu, substansi RUU Cilaka
Indonesia menyerupai watak pemerintah kolonial Hindia Belanda. FRI juga
memaparkan 12 alasan menolak Omnibus Law RUU Cilaka. Seperti penyusunan
RUU Cilaka cacat prosedur karena dilakukan secara tertutup, satgas omnibus
law bersifat elitis, sentralisme kewenangan yaitu kebijakan ditarik ke pemerintah
pusat yang mencederai semangat reformasi, celah korupsi melebar akibat
mekanisme pengawasan yang dipersempit, dan penghilangan hak gugat oleh
rakyat. (Detik.com, 2020 April 24).
Dari data di atas telah menjelaskan bahwa sistem pemerintahan Indonesia
dalam proses pembuatan berbagai produk hukum di nilai sangat tergesa-gesa
dalam penetapannya dan tidak partisipatif dalam mengambil kebijakan seperti
melibatkan organisasi masyrakat aktivis buruh, aktivis lingkungan, aktivis ham
dan aktivis mahasiwa, sehingga prodak hukum yang telah di buat terkesan
tertutup dan tidak demokratis.

C. Hakikat Omnibus Law


Secara konsep, omnibus law bukanlah istilah baru dalam teori keilmuan hukum
global. Dari sejarahnya, konsep ini lahir dan berkembang di negara-negara yang
menganut sistem hukum anglo-saxon atau yang biasa disebut sebagai common law
system, contohnya Amerika Serikat, Kanada, Singapura, dan Inggris.6 Bahkan
menurut Glen S. Krutz dan Hitcing dalam Ahmad Ulil Aedi, mengatakan bahwa
omnibus law telah dipraktikkan dalam penyusun regulasi sejak tahun 1970, lebih
jelasnya dikatakan sebagai berikut: “omnibus legislation has “proliferated” since the
1970s”.9
Omnibus law umumnya digunakan sebagai suatu instrumen kebijakan untuk
mengatasi permasalahan peraturan perundang-undangan disuatu negara, khususnya
masalah regulasi yang terlalu banyak (hyper regulated) dan saling tumpang tindih
(overlapping). Konsep ini sering dianggap sebagai “jalan cepat” dalam mengurai dan
membenahi regulasi yang bermasalah, dikarenakan esensi dari omnibus law adalah
suatu undang-undang yang ditujukan untuk menyasar tema atau materi besar disuatu
negara, dimana substansinya adalah untuk merevisi dan/atau mencabut beberapa
peraturan perundang-undangan sekaligus. Oleh karena itu, cara ini dirasa lebih
efisien dan efektif dibanding diselesaikan dengan mekanisme legislasi biasa atau law
by law yang memeras lebih banyak waktu, tenaga, dan anggaran negara. Terlebih
pembahasan suatu peraturan sering kali mengalami jalan buntu (deadlock)
dikarenakan dialektika di parlemen yang terdiri dari berbagai unsur politik.
Omnibus law sendiri secara etimologi berasa dari bahasa latin omnis yang
artinya bagi semua atau banyak. Dan kata omnis ini jika berpacu pada Black Law
Dictionary 9th Edition Bryan A. Garner, memiliki pengertian sebagai sesuatu yang
berhubungan dengan banyak materi atau isu sekaligus, atau bisa juga sebagai sesuatu
yang memiliki banyak tujuan. Bila disandingkan dengan frasa law, maka omnibus
law berarti suatu hukum yang berkorelasi dengan banyak materi dan tujuan. 10
Menurut Barbara Sinclair, omnibus law ialah suatu mekanisme pembentukan
regulasi yang penyelesainnya memakan waktu lama dikarenakan bahasannya yang
kompleks.
Dari uraian diatas, dapat ditarik kesimpulan bahwa hakikat dari omnibus law
adalah suatu produk hukum/peraturan perundang-undangan yang berisi lebih dari
satu materi, isu, dan tema ketatanegaraan yang substansinya adalah mencabut
dan/atau merevisi peraturan lain sehingga menjadi satu peraturan baru yang holistik,
9
Ahmad Ulil Aedi, Sakti Lazuardi, Ditta Chandra Putri, Arsitektur Penerapan Omnibus law Melalui
Transplantasi Hukum Nasional Pembentukan Undang-Undang, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum, Volume
14 No. 1, 2020, hlm. 3.
10
Satjipto Rahardjo, Hukum, Masyarakat dan Pembangunan, (Bandung:Alumni, 1981), hlm. 29
dengan tujuan untuk mengatasi permasalahan regulasi di suatu negara, khususnya
masalah tingginya kuantitas regulasi (hyper regulated) dan tumpang tindihnya
regulasi (overlapping). Sehingga sebenarnya tidak ada yang salah dari konsep
omnibus law secara keilmuan hukum sepanjang tujuan diterapkannya konsep ini
dalam proses legislasi adalah untuk menyelesaikan permasalahan-permasalahaan
regulasi. Bahkan menurut Firman Freaddy Busroh, omnibus law di dalam
penerapannya memiliki banyak manfaat, yaitu:
1. Sebagai instrumen hukum untuk mengatasi konflik regulasi secara efektif,
efisien, dan cepat;
2. Dapat memyederhanakan proses birokrasi yang sebelumnya lama dan ruwet;
3. Mengharmonisasikan kebijakan-kebijakan di tingkat pusat dengan daerah
sehingga mampu meningkatkan iklim investasi;
4. Meningkatkan kualitas koordinasi antar pemerintah maupun antar instansi dan
lembaga terkait, baik itu di tingkat pusat ataupun daerah karena telah diatur di
dalam kebijakan omnibus law yang terpadu;
5. Tingkat kemudahan berusaha semakin mudah karena pengurusan perizinan
menjadi lebih efektif, efisien, dan terpusat;
6. Menghadirkan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hukum bagi
pengambil keputusan maupun masyarakat.
Akan tetapi, sebagai salah satu alternatif ideal dalam penataan peraturan
perundang- undangan di suatu negara, dalam proses penyusunannyaa omnibus law
tidak serta merta bisa langsung diterapkan begitu saja. Mengingat konsep ini lahir
dan berkembang di mayoritas negara-negara yang menganut sistem hukum common
law, maka ketika akan diterapkan di negara lain yang notabennya sistem hukumnya
berbeda (seperti Indonesia yang menganut civil law), pelaksanaanya haruslah
disesuaikan dengan kondisi dan karakter ketatanegaraan masing-masing negara.
Praktik copy and paste konsep ketatanegaraan dari satu negara ke negara lain
ini lazim di lakukan oleh berbagai negara di belahan dunia dengan istilah hukumnya
yaitu transplantasi hukum. Dalam hal omnibus law, dapat dikatakan ketika omnibus
law diterapkan di suatu negara yang basisnya bukan common law, maka negara
tersebut telah melakukan praksis yang disebut sebagai proses transplantasi hukum
omnibus law.11
Secara procedural due process of law atau tata cara pembentukan peraturan
perundang-undangan, UU Ciptaker dapat dianggap cacat formil. Menurut pakar
hukum tata negara, Agus Riwanto mengatakan penyusunan UU ini tidak dilakukan
menurut kelaziman penyusunan regulasi yang bersifat teknokratik, maka berpotensi
cacat secara formil.12
Perihal kaidah-kaidah penyusunan peraturan perundang-undangan di Indonesia
sebenarnya telah diatur secara rigid di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2011 jo
UU No. 15 Tahun 2019 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Dimana berdasarkan Pasal 1 ayat (1) UU Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan ditegaskan bahwa proses penyusunan suatu regulasi terdiri dari tahapan
perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan, dan pengundangan. Dalam case
penyusunan UU Ciptaker dibuat tidak mengikuti kaidah penyusunan secara
teknokratik sejak dari tahapan perencanaanya yang sangat tertutup tanpa melibatkan
partisipasi masyarakat seluasluasnya, dan kebalikannya justru lebih banyak
mengakomodir gagasan dari para pengusaha dan elit politik saja. Padahal tahapan
perencanaan dan penyusunan merupakan proses esensial, karena realitanya pada
tahapan perencanaan dan penyusunan ini secara politik akan ditentukan kearah
manakah tujuan politik hukum dari suatu peraturan.
Terkait dengan peran serta masyarakat di dalam proses pembuatan peraturan
perundang-undangan sebenarnya telah ditegaskan dan dijamin oleh Undang-Undang
yaitu pada Bab XI Pasal 96 tentang Partisipasi Masyarakat, secara lengkapnya Pasal
ini berbunyi:
(1) Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam
Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
(2) Masukan secara lisan dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dapat dilakukan melalui:
a. rapat dengar pendapat umum;
b. kunjungan kerja;
c. sosialisasi; dan/atau
d. seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.

11
Rizal Irvan Amin,riska Ulfasari Dewi, tegar Satrio W., Omnibus Law Antara Desiderata Dan Realita,
Jurnal Hukum Samudra Keadilan, Vol 15 No 2, hlm 190-209.
12
Agus Riwanto, https://www.hukumonline.com/berita/baca/lt5f854ded1a0b5/menguak-cacatformil-uu-
cipta-kerja-oleh--agus-riewanto/ diakses pada 12 Februari 2021.
(3) Masyarakat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) adalah orang perseorangan
atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi Rancangan
Peraturan Perundang-undangan.
(4) Untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan secara lisan
dan/atau tertulis sebagaimana dimaksud pada ayat (1), setiap Rancangan
Peraturan Perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.

Pada proses pembentukan UU Ciptaker dinilai masih jauh dari amanat Pasal 96
diatas, hal ini nampak dari proses awal hingga akhir dalam pembuatannya yang
dianggap tidak partisipatif. Pada proses awal yaitu penyusunan naskah draft UU yang
disusun oleh Pemerintah, nampak bahwa ada isu ketidakpastian terkait dengan akses
Naskah Akademik (NA) dan akses terhadap update draft RUU. Pasal 96 ayat (4)
yang sudah mengamanatkan untuk setiap RUU harus dapat diakses dengan mudah
oleh publik tetapi praktiknya terjadi ketidakpastian karena banyaknya lembaga yanng
mempublikasikan aturan di tiap-tiap lembaga melalui jaringan dokumentasi dan
informasi hukum (JDIH). Ini mengakibatkan publik harus bekerja ekstra keras untuk
menemukan draft aturan versi terkini. Padahal saat ini terdapat ratusan JDIH yang
dikelola oleh Kementrian atau Lembaga Pemerintah yang semuanya belum tentu
selalu update sesuai waktunya..13
Demikian pula ketika UU Ciptaker telah sampai ditingkat legislatif, dimana
publikasi NA dan draft UU terkadang tidak update. Berkaitan dengan proses
transparansi pembahasannya juga terdapat kejanggalan. Meskipun terdapat kanal
media Parlemen yang menyiarkan proses pembahasan, tetapi penyiarannya bersifat
terbatas dimana tidak semua rapat pembahasan ditayangkan di TV Parlemen.
Kemudian perihal draft final UU juga sampai pada saat draft tersebut sudah
dilimpahkan oleh DPR kepada Presiden untuk disahkan tetapi masih belum dapat
diakses oleh publik. Tentunya semua proses ini sudah menyimpangi dulu Pasal 96
ayat (4) UU Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.14

13
Opcit
14
Opcit
BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Dari uraian-uraian di atas, dapat ditarik kesimpulan bahwa pembuatan dan
pengesahan Omnibus Law atau Undang-Undang Cipta Kerja dirasa terlalu
tergesa-gesa dan kurang memperhatikan prosedur, serta dampak yang
diakibatkan dengan keputusan tersebut. Akhibatnya menuai banyak kontroversi
dan pro kontra yang mewarnai.

B. Saran
Untuk pembuatan Undang-Undang yang mengatur hajatan hidup banyak orang,
alangkah lebih baiknya lebih diperhatikan pada pihak-pihak yang akan terkena
dampak langsung maupun tidak langsung untuk turut mengkaji RUU yang
dibuat.

Anda mungkin juga menyukai