Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH PERUNDANG-UNDANGAN

TAHAPAN PEMBENTUKAN UNDANG-UNDANG

Oleh :

KELOMPOK 1

Agung Dwi Prasetyo 2010515110010


Akhmad Adiyat 2110515210003
Aulia Riski Ardani 2110515210018
Darma Laverda Ardiansyah 1910515310015
Deny Fitrada Nasution 2010515110002
Dhea Farhana 2110515120011
Dio Surya 2110515210009
Edowardo Bambang Irawan 2110515210006
Fahrida Aulia Rahma 2110515120005
Fitria Khairunnisa 2110515220007
Korimah 2110515120002
Maulidya Rahmah 2010515120006
Muhamad Rizki Elha Sani 2110515110008
Muhamad Syach Syechan 2110515110009
Muhammad Nazmi Pamungkas 2110515110004
Noor Aini Mubaroroh 2010515120004
Pahrurroji 2110515210004
Putri Amalia 2010515120001
Riska Amelia Putri 2110515120010
Saiul Bahtiyar 2110515210013
Yuliana Dwi Puspita 2110515120006
Yulia Fitriani 2010515120011

PROGRAM STUDI PETERNAKAN


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARBARU
2023
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Didalam sebuah negara terdapat hukum yang sebagai dasar dan landasan dari negara
tersebut. Di Indonesia memiliki undang-undang dasar yang berfungsi sebagai dasar dan
menjadi landasan bagi berlakunya hukum-hukum lain di Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Selain itu di Indonesia juga terdapat undang-undang yang merupakan peraturan yang dibentuk
oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan persetujuan bersama presiden untuk mengatur
hal-hal yang lebih rinci dari undang-undang dasar. Undang-undang dibentuk melalui proses
yang cukup panjang dan lama. Ukuran lama atau tidaknya dapat dilihat dari proses
pembentukan undang-undang itu sendiri, yang meliputi beberapa tahapan atau prosedur yang
harus dilalui. Pembentukan peraturan perundang-undangan khususnya undang-undang
memang seharusnya dilaksanakan secara cermat dan hati-hati karena menyangkut kepentingan
bernegara dan orang banyak. Pada dasarnya, tahapan dimulai dari perencanaan dengan
menyiapkan Rancangan Undang-Undang (“RUU”), RUU dibuat harus disertai dengan naskah
akademik, kemudian tahap pembahasan di lembaga legislatif hingga tahap pengundangan.
1.2 Tujuan
Tujuan pembuatan makalah ini guna untuk memenuhi tugas Mata Kuliah perundang-
undangan dan kebijakan Pembangunan peternakan, serta guna untuk mengetahui proses
perancangan perundang-undangan di Indonesia..
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Perencanaan
Indonesia sebagai negara hukum tidak dapat dipisahkan dari pembentukan berbagai
peraturan perundang-undangan untuk mengatur segala sesuatunya dalam menjalankan
pemerintahan. Terutama jenis peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang.
Pembentukan suatu undang-undang yang seperti biasa memiliki perbedaan jangka waktu
penyelesaian dibandingkan jenis peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk atas
kondisi tertentu. Seperti pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu).
Definisi perencanaan dikemukakan oleh Erly Suandy (2001:2) sebagai berikut:
Secara umum perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan) dan
kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi-strategi (program), taktik-
taktik (tata cara pelaksanaan program) dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk
mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh. Definisi perencanaan tersebut menjelaskan
bahwa perencanaan merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan secara menyeluruh.
Tahap perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden (serta DPD terkait RUU
tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun ke depan. Proses ini umumnya dikenal
dengan istilah penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan tersebut
kemudian dituangkan dalam Keputusan DPR. Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun
untuk jangka waktu 5 tahun (Prolegnas Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan (Prolegnas
Prioritas Tahunan/ProlegPT). Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam Prolegnas tahunan,
DPR dan/Pemerintah sudah harus menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik dan RUU
tersebut. Hal tersebut merupakan bagian dari gambaran tahap perencanaan pembentukan
undang-undang. Tahapan tersebut belum melingkupi tahapan pembahasan secara
menyeluruh hingga tahapan pengudangan.
Tujuan perencanaan dijelaskan oleh Albert Silalahi (1987: 167) adalah sebagai berikut
:
1. Perencanaan adalah jalan atau cara untuk mengantifikasi dan merekam perubahan (a way
to anticipate and offset change).
2. Perencanaan memberikan pengarahan (direction) kepada administrator-administrator
maupun non-administrator.
3

3. Perencanaan juga dapat menhindari atau setidak-tidaknya memperkecil tumpang-tindih


dan pemborosan (wasteful) pelaksanaan aktivitas-aktivitas.
4. Perencanaan menetapkan tujuan-tujuan dan standar-standar yang akan digunakan untuk
memudahkan pengawasan.
Dalam sistem perundang-undangan di Indonesia hanya dikenal satu nama jenis undang-
undang, yaitu keputusan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), dengan
persetujuan bersama Presiden, dan disahkan oleh Presiden. Selain itu, tidak ada Undang-
Undang yang dibentuk oleh lembaga lainnya baik di pusat maupun di daerah, sehingga di
Indonesia tidak ada istilah Undang-Undang Pusat ataupun Undang-Undang Lokal. Pasal 20
ayat (2) UUD NRI 1945 menyatakan bahwa, “Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh
Dewan Perwakilan Rakyat dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama”. Bukan tanpa
sebab mengapa pembentukan undang-undang harus mendapatkan persetujuan DPR.
2.2 Penyusunan

Penyusunan undang-undang pada dasarnya dibedakan menjadi 3 proses yaitu, RUU


dari DPR dan presiden, RUU dari presiden, dan RUU dari DPD. Semua tersebut harus disertai
Naskah Akademik, disusun berdasarkan Polegnas. Berikut tiga proses penyusunan undang-
undang terhadap RUU tersebut.

Pertama, RUU diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Pengharmonisan ,
pembulatan, dan pemantapan konsep RUU dikoordinasikan oleh alat kelengkapan khusus yang
menangani bidang legislasi dari DPR. Setelah siap RUU tersebut segera disampaikan
dengan surat pemimpin DPR kepada presiden. Presiden menugasi menteri untuk membahas
RUU bersama DPR dengan waktu 60 hari dari surat tersebut diterima. Meteri menkoordinasi
persiapan urusan pemerintah di bidang hukum.

Kedua, RUU yang diajukan presiden. RUU tersebut disiapkan olem menteri atau
pemimpin lembaga Negara yang nonkementerian sesuai tugasnya. Menteri atau pemimpin
lembaga nonkementerian membentuk panitia antarkementerian atau antarnonkementerian.
Keharmonisa, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU berasal dari presiden
dikoordinasikan oleh menteri di bidang hukum. Setelah siap RUU diajukan kepada pemimipin
DPR. Surat presiden memuat menteri ditugasi membahas RUU bersama DPR..dan paling lama
60 hari untuk membahas RUU tersebut sejak surat diterima. Dalam membahas RUU tersebut,
menteri memperakarsa jumlah RUU tersebut mengenai menteri yang sama. Apa bila dalam
4

siding DPR dan presiden membahas materi yang sama, yang dibahas adalah RUU yang
disampaikan oleh DPR dan RUU dari presinden untuk dipersandingkan.

Ketiga, RUU yang diajukan oleh DPD. RUU disampaikan secara tertuliis kepada
pemimpin DPR dan harus disertai Naskah Akademik. Alat pelengkap pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dapat mengundang pemimpin alat kelengkapan
DPD di bidang perancangan membahas usul RUU. Alat kepelengkapan DPD menyampaikan
hasilpengharmonisasian kepada pemimpin DPR lalu di umumkan saat rapat paripurna.

Selanjutnya kita pahami Perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang).


Dilakukan apabila perpu inngin dijadukan undang-undang. Dan harus mendapat persetujuan
DPR pada rapat paripurna. Didalam rapat paripurna jika Perpu tidak mendapat persetujuan
maka harus dicabut.

Proses penyusunan peraturan pemerintah. PP dan perpres hampir sama persis. Sama-sama
diwakili oleh panitia antarkementerian atau non antar kementerian.

Penyususnan peraturan daerah provinsi dan kabupaten atau kota. Rancangan peraturan
provinsi berasal dari DPRD provinsi dan gubernur. Dan Penyususnan peraturan daerah
kabupaten oleh DPRD kabupaten dan bupati.

Berikut ketentuandalam penyusunan peraturan daerah provinsi dan kabupaten atau kota yaitu:

a) Raperda harus diserati dengan Naskah Akademik. Dalam rancangan peraturan daerah
mengenai APBD, pencabut peraturan daerah, perubahan peraturan daerah yang hanya
terbatas mengubah beberapa menteri, serta memuat pokok pikiran dan menteri muatan
yang diatur.

b) Rancangan aturan daerah dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi,
alat kelengkapan DPRD yang khusus dibidang legislatif.

c) Rancangan peraturan daerah yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan


dengan surat pemimpin DPRD kepada kepala daerah.

d) Raperda yang telah disiapkan oleh kepala daerah disampaikan dengan surat
pengantar kepala daerah kepada pemimpin DPRD
5

e) Apabila dalam siding DPRD dan kepala daerah membahas rancanngan peraturan
daerah yang sama. Maka materi yang dibahas dari DPRD dan yang dipersandingkan
dari kepala daerah.

2.3 Pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU)

Pembahasan RUU dilakukan bersama-sama antara DPR RI dan pemerintah, bila


RUU tersebut menyangkut RUU yang bersifat kedaerahan maka DPD RI juga ikut dilibatkan
dalam pembahasan. Pembahasan RUU dilakukan melalui 2 tingkatan pembicaraan yaitu
pembicaraan tingkat 1 dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Baleg, rapat badan
anggaran atau rapat panitia khusus dan pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna DPR
RI.
Dalam pembicaraan tingkat I akan dilakukan kegiatan pengantar musyawarah,
pembahasan DIM dan penyampaian pendapat mini. Kegiatan pengantar musyawarah
merupakan kegiatan dimana pemrakarsa inisiatif RUU menyampaikan penjelasan kepada
pembentuk UU, misalkan RUU merupakan inisiatif DPR RI maka Presiden memberikan
pandangan/pendapat (bila RUU menyangkut kewenangan DPD RI/RUU bersifat kedaerahan
maka DPD RI juga memberikan pandangan terhadap RUU usul inisitaif tersebut), atau bila
RUU inisiatif Presiden maka presiden memberikan penjelasan dan DPR RI memberikan
pandangan/pendapat (begitu juga kalua RUU inisiatif ini menyangkut kewenangan DPD RI
maka DPD RI juga menyampaikan padangannya), dan bila RUU dari DPD RI maka akan
diberikan pandangan oleh DPR RI dan Presiden. Kegiatan selanjutnya dalam tingkat I yaitu
pembahasan DIM, DIM akan disampaikan oleh pemberi pandangan kepada
pemrakarsa/pengusul inisiatif RUU. Kegiatan terakhir dalam pembicaraan tingkat I yaitu
penyampaian pendapat mini, penyampaian pendapat mini disampaikan oleh fraksi, Presiden
dan DPD RI jika RUU berkaitan dengan kewenangan DPD RI. Bila dalam pendapat mini DPD
RI tidak menyampaikan pandangan maka pembicaraan tingkat I tetap dilaksanakan dan
dalam kegiatan pendapat mini dapat diundang pimpinan Lembaga negara atau Lembaga
lainnya jika materi RUU berkaitan dengan Lembaga negara atau Lembaga lainnya.
Pembicaraan tingkat II yaitu pengambilan keputusan DPR RI Bersama Pemerintah dalam
rapat paripurna yang kegiatannya yaitu:
a Penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini DPD RI,
dan hasil pembicaraan tingkat I;
b Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota DPR RI secara
lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
6

c Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh Menteri yang ditugasi. Keputusan
dari hasil rapat paripurna dilakukan secara musyawarah mufakat akan tetapi bila tidak
tercapai maka keputusan dilakukan dengan cara pengambilan suara terbanyak (voting).
Keputusan yang telah dicapai terhadap RUU yang dibahas kemudian dikirim ke
presiden untuk dilakukan pengesahan. Bila tidak tercapai persetujuan Bersama antara DPR
RI dan Presiden maka RUU yang tersebut tidak boleh diajukan lagi pada persidangan DPR
RI
masa itu.
Peran Partisipasi masyarakat dalam tahapan ini sangat minim peran menurut
Peraturan DPR No. 8 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR bahwa masyarakat “dapat”
diundang dalam rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan terhadap rancangan
undang-undang yang sedang dibahas. Selain itu DPR dapat menjemput bola dengan
mengadakan kunjungan kerja ke daerah dalam rangka mendapatkan masukan dari
pemerintah daerah dan/atau masyarakat di daerah. Frasa “dapat” ini yang diartikan bila
diperlukan saja oleh para pembentuk UU yang acap sekali diabaikan sehingga hanya bisa
memantau dari kejauhan mengenai pembahasan yang sedang berlangsung melalui media
yang difasilitasi oleh pembentuk UU.

1. Undang-Undang No. 18 Tahun 2009 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan:


 Pemeliharaan dan Perlindungan Hewan: Undang-undang ini memberikan dasar hukum
yang kuat untuk memastikan pemeliharaan dan perlindungan hewan yang etis dalam
peternakan. Ini mencakup standar yang harus diikuti oleh peternak untuk memastikan
kesejahteraan hewan.
 Keamanan Pangan: Regulasi ini menetapkan standar keamanan pangan yang tinggi
dalam produksi produk peternakan. Hal ini penting untuk melindungi konsumen dari
makanan yang tidak aman dan memastikan kualitas produk peternakan. Pengendalian
Penyakit Hewan: Undang-undang ini memberikan kerangka kerja untuk mendeteksi,
mengendalikan, dan mencegah penyebaran penyakit hewan. Ini penting untuk menjaga
populasi hewan yang sehat dan melindungi peternakan dari wabah penyakit yang
merugikan.
2. Peraturan Pemerintah (PP) tentang Peternakan:
 Jaminan Mutu Produk Ternak: PP No. 82 Tahun 2000 mencakup persyaratan dan
prosedur untuk memastikan mutu produk ternak yang dihasilkan oleh peternak. Ini
mencakup aspek pemrosesan, penyimpanan, dan distribusi produk ternak.
7

 Pengawasan Penyakit Hewan Menular Strategis: PP No. 86 Tahun 2010 memberikan


pedoman lebih rinci mengenai pengendalian dan pengawasan penyakit hewan menular
yang dapat membahayakan peternakan dan kesehatan masyarakat.
3. Peraturan Daerah (Perda) tentang Peternakan:
 Zonasi Peternakan: Beberapa kabupaten atau provinsi mungkin memiliki Perda yang
mengatur zonasi peternakan, yaitu mengidentifikasi wilayah-wilayah yang cocok untuk
kegiatan peternakan.
 Izin Usaha Peternakan: Perda juga dapat mengatur persyaratan izin usaha peternakan,
termasuk izin lingkungan untuk operasi peternakan yang dapat berdampak pada
lingkungan sekitar.
4. Kebijakan Pemerintah:
 Dukungan Peternak: Pemerintah Indonesia memiliki program dukungan untuk
peternak, terutama peternak kecil dan menengah, seperti bantuan teknis, pembiayaan,
dan pelatihan.
 Inisiatif Peningkatan Produktivitas: Kebijakan pemerintah juga termasuk upaya untuk
meningkatkan produktivitas peternakan dengan memperkenalkan teknologi baru,
pemuliaan hewan, dan manajemen yang lebih efisien.
5. Implementasi dan Tantangan:
 Implementasi: Salah satu tantangan utama adalah implementasi yang efektif dari
peraturan dan kebijakan. Hal ini mencakup pemantauan, penegakan hukum, dan kerja
sama antara pemerintah dan industri peternakan.
 Perlindungan Peternak Kecil: Dalam konteks peternakan, perlindungan hukum bagi
peternak kecil seringkali menjadi perhatian penting, karena mereka mungkin
memiliki akses terbatas terhadap sumber daya dan informasi.
 Perubahan Iklim: Perubahan iklim dapat memengaruhi ketahanan peternakan, termasuk
ketersediaan air dan pakan yang dapat memengaruhi produksi peternakan.
2.4 Pengesahan

Pengesahan undang undang terjadi pertama kali saat sidang pertama PPKI. Hasil
sidang tersebut yaitu menetapkan dan mengesahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut terdapat dasar negara Pancasila. Proses
pengesahan UUD 1945 dimulai dari tahap perumusan isi hingga waktu penetapannya.
Sebelum adanya pembentukan UUD 1945, NKRI telah lebih dulu melahirkan Pancasila
sebagai dasar negara
8

pada 1 Juni 1945. Sementara, UUD 1945 merupakan dasar hukum tertulis dari semua hukum
di pemerintah Negara Republik Indonesia (NKRI).
Pengesahan rancangan undang undang dilakukan oleh Presiden. Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama dalam sidang dpr
untuk menjadi undang-undang. Pasal 37 s/d Pasal 39 memberi dua kemungkinan tentang
pengesahan, yaitu :
1) Pengesahan dengan pembubuhan tanda tangan oleh Presiden terhadap rancangan
undang-undang yang disampaikan oleh DPR; atau
2) Pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan oleh Presiden, jika telah melewati waktu
paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undang disetujui bersama.
Untuk kasus kedua tanda pengesahan berbunyi: “Undang-Undang inidinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. ”UU P3 tidak menjelaskan tentang langkah-langkah yang seyogyanya dilakuan
Presiden dalam hal dia tidak setuju atau menolak sebuah rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama. Sebagai perbandingan dalam mekanis perundang-undangan
menurut Konstitusi RIS (Pasal 138) dan UUDS, walaupun dalam sistem pemerintahan yang
berbeda, Presiden berkewajiban memberitahukan kepada DPR jika dia merasa masih ada
keberatan terhadap rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR.
Beberapa tahap pengesahan, antara lain:
1) Pengesahan secara materialApabila suatu RUU telah ditetapkan menjadi UU, maka
dengan demikian telah terjadi pengesahan secara material oleh lembaga legislatif.
Terhadap RUU yang telah ditetapkan menjadi UU tidak dapat lagi dilakukan perubahan
baik yang menyangkut persoalan secara teknis maupun substansi. Memang, suatu UU
yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan jaman dapat dilakukan
perubahan, penggantian atau bahkan pencabutan oleh lembaga legislatif. Akan tetapi
dalam proses pembentukan UU, tahap “pengesahan” adalah batas yang diperlukan
untuk menyelesaikan perdebatan sehingga RUU yang telah ditetapkan menjadi UU
dapat diproses lebih lanjut. Sebab, untuk berlakunya suatu UU masih harus dilakukan
berbagai tindakan hukum seperti penandatanganan, pengundangan dan pemberlakuan.
Dengan kata lain, pengesahan secara material merupakan akhir dari proses pembahasan
suatu RUU menjadi UU di lembaga legislatif.
2) Pengesahan secara formal
Suatu RUU yang telah disahkan secara material oleh lembaga legislatif belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memang, pembahasan RUU telah dinyatakan
9

selesai dan ditetapkan menjadi UU. Akan tetapi untuk keperluan yuridis, UU tersebut
harus ditandangani oleh yang berwenang. Penandatanganan UU ini dilakukan oleh
presiden yang merupakan pengesahan UU secara formal. Tanpa adanya pengesahan
dalam bentuk penandatanganan dalam suatu UU, maka UU tersebut tidak sah meskipun
telah disepakati oleh lembaga legislatif. Penandatanganan ini harus dilakukan tanpa
syarat, artinya penandatangan tidak boleh mengajukan perubahan maupun tuntutan
lainnya. Jadi, penadatanganan suatu RUU yang telah ditetapkan sebagai UU lebih
merupakan tindakan administratif.
RUU yang telah mendapat persetujuan bersama diserahkan kepada presiden untuk
disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan,
serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Secara konstitusional, presiden memiliki kewenangan dalam menetapan Perppu. Pasal
22 Ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Akan tetapi,
Perppu ini harus mendapat persetujuan DPR. Jika tidak mendapat persetujuan, maka
peraturan pemerintah yang setara dengan undang-undang itu harus dicabut.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 72 ayat 2 yang berbunyi “Tenggang
waktu 7 (tujuh) hari kerja dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan
dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden
sampai dengan penandatanganan, pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan
penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia.”
Penyampaian RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden tersebut dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama.
Setelah menerima RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden tersebut, Sekretariat
Negara akan menuangkannya dalam kertas kepresidenan dan akhirnya dikirimkan kepada
Presiden untuk disahkan menjadi UU. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama
tersebut dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden. Setelah Presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan DPR tersebut, maka Undang-
Undang itu kemudian diundangkan oleh Menteri agar Undang-Undang itu dapat berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat umum.
Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama DPR dan Presiden,
maka RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang, dan wajib diundangkan, sesuai
dengan
1

ketentuan Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, dan Pasal 20 ayat (5)
UUDNRI Tahun 1945.

2.5 Perundangan

Proses akhir dari pembuatan peraturan perundang-undangan adalah pengundangan dan


penyebarluasan yang memerlukan penanganan secara terarah, terpadu, terencana, efektif dan
efesien serta akuntabel. Pengundangan adalah penempatan peraturan perundang-undangan
dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia. Maksudnya agar supaya setiap orang dapat mengetahui peraturan perundang -
undangan, pemerintah wajib menyebarluaskan peraturan perundang-undangan yang telah
diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik
Indonesia. Dengan penyebarluasan diharapkan masyarakat mengerti, dan memahami maksud-
maksud yang terkandung dalam peraturan perundang-undangan, sehingga dapat melaksanakan
ketentuan peraturan perundang-undangan dimaksud.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 1 Tahun 2007
tentang Pengesahan, Pengundangan, dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-undangan
berwenang melakukan pengundangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan
Lembaran Negara Republik Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan
Berita Negara Republik Indonesia. Pelaksanaan pengundangan peraturan perundang-undangan
berdasarkan Peraturan Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Nomor : M.01-HU.03.02
Tahun 2007 tentang Tata Cara Pengundangan dan Penyebarluasan Peraturan Perundang-
undangan dilaksanakan oleh Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan yang dalam
tugas pokok dan fungsinya dilaksanakan oleh Direktorat Publikasi, Kerja Sama dan
Pengundangan Peraturan Perundang-undangan yang membawahi Subdirektorat Pengundangan
Peraturan Perundang-undangan.

Pengundangan peraturan perundang-undangan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia


meliputi:

1. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;


2. Peraturan Pemerintah;
3. Peraturan Presiden mengenai:
1) pengesahan perjanjian antara negara Republik Indonesia dan negara lain atau badan
1

internasional; dan
2) pernyataan keadaan bahaya.
4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Dalam hal peraturan perundang-undangan yang ada penjelasannya, maka pengundangannya


ditempatkan dalam Tambahan Berita Negara Republik Indonesia.
Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik
Indonesia, Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dan himpunan.

Tata Cara Pengundangan Peraturan Perundang-undangan

1. Naskah Peraturan Perundang-undangan yang akan diundangkan dalam Lembaran


Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia,
Berita Negara Republik Indonesia, dan Tambahan Berita Negara Republik
Indonesia wajib disampaikan kepada Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-
undangan disertai dengan 3 (tiga) naskah asli dan 1 (satu) softcopy.
2. Penyampaian dilakukan oleh pejabat yang berwenang dari instansi yang
bersangkutan atau petugas yang ditunjuk disertai surat pengantar untuk
diundangkan.
3. Pengundangan dilakukan dengan memberi nomor dan tahun pada Lembaran
Negara Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, dan memberi
nomor pada Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dan Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia. Selanjutnya Direktur Jenderal Peraturan Perundang-
undangan mengajukan kepada Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia untuk
ditandatangani.
4. Naskah peraturan perundang-undangan yang telah ditandatangani Menteri Hukum
dan Hak Asasi Manusia, selanjutnya disampaikan kepada instansi pemohon 2 (dua)
naskah asli dan 1 (satu) untuk Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan
sebagai arsip.
5. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia dalam bentuk lembaran lepas dilakukan dalam jangka
1

waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peraturan
perundang-undangan diundangkan.
6. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada akhir tahun.
BAB III
Penutup

3.1 Kesimpulan

Undang-undang dibentuk melalui proses yang cukup panjang dan lama. Ukuran lama
atau tidaknya dapat dilihat dari proses pembentukan undang-undang itu sendiri, yang
meliputi beberapa tahapan atau prosedur yang harus dilalui. Pembentukan peraturan perundang -
undangan khususnya undang-undang memang seharusnya dilaksanakan secara cermat dan
hati-hati karena menyangkut kepentingan bernegara dan orang banyak. Pada dasarnya, tahapan
dimulai dari perencanaan dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang (“RUU”), RUU
dibuat harus disertai dengan naskah akademik, kemudian tahap pembahasan di lembaga
legislatif hingga tahap pengundangan.

3.2 Saran
1. Mahasiswa dapat mengikuti kegiatan belajar melajar dengan lebih baik
masalah perundang-undangan
2. Dalam proses tahapan perancangan per UU bisa lebih dipersingkat tidak
terlalu dipersulit.
Daftar Pustaka
Proses Pembentukan Undang- Undang
http://peraturan.go.id/welcome/index/prolegnas_pengantar.html.,

Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
Kanisius, Yogyakarta, hlm. 53,

Suandy, Erly, 2003, Perencanaan Pajak, Edisi Revisi, Penerbit : Salemba Empat, Jakarta.

“Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2014 Tentang Tata Tertib,” n.d.


Fahmi Ramadhan Firdaus, “Pencegahan Korupsi Legislasi Melalui Penguatan Partisipasi
Publik Dalam Proses Pembentukan Undang-Undang,” Jurnal Legislasi Indonesia 17,
no. 3 (September 29, 2020): 282, https://doi. org/10.54629/jli.v17i3.679.

Pasal 45 “PERPRES No. 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang


Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan [JDIH
BPK RI],” accessed April 19, 2022, https://peraturan.
bpk.go.id/Home/Details/41581/perpres-no-87-tahun-2014.

Pasal 52 ayat (2), “PERPRES No. 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan [JDIH BPK RI].”

https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=137
&Itemid=102&lang=en#:~:text=Pengundangan%20adalah%20penempatan%20peratu ran
%20perundang,Tambahan%20Berita%20Negara%20Republik%20Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai