Oleh :
KELOMPOK 1
PENDAHULUAN
PEMBAHASAN
2.1 Perencanaan
Indonesia sebagai negara hukum tidak dapat dipisahkan dari pembentukan berbagai
peraturan perundang-undangan untuk mengatur segala sesuatunya dalam menjalankan
pemerintahan. Terutama jenis peraturan perundang-undangan dalam bentuk undang-undang.
Pembentukan suatu undang-undang yang seperti biasa memiliki perbedaan jangka waktu
penyelesaian dibandingkan jenis peraturan perundang-undangan lainnya yang dibentuk atas
kondisi tertentu. Seperti pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang
(Perppu).
Definisi perencanaan dikemukakan oleh Erly Suandy (2001:2) sebagai berikut:
Secara umum perencanaan merupakan proses penentuan tujuan organisasi (perusahaan) dan
kemudian menyajikan (mengartikulasikan) dengan jelas strategi-strategi (program), taktik-
taktik (tata cara pelaksanaan program) dan operasi (tindakan) yang diperlukan untuk
mencapai tujuan perusahaan secara menyeluruh. Definisi perencanaan tersebut menjelaskan
bahwa perencanaan merupakan suatu proses untuk mencapai tujuan secara menyeluruh.
Tahap perencanaan adalah tahap dimana DPR dan Presiden (serta DPD terkait RUU
tertentu) menyusun daftar RUU yang akan disusun ke depan. Proses ini umumnya dikenal
dengan istilah penyusunan Program Legislasi Nasional (Prolegnas). Hasil pembahasan tersebut
kemudian dituangkan dalam Keputusan DPR. Ada dua jenis Prolegnas, yakni yang disusun
untuk jangka waktu 5 tahun (Prolegnas Jangka Menengah/ProlegJM) dan tahunan (Prolegnas
Prioritas Tahunan/ProlegPT). Sebelum sebuah RUU dapat masuk dalam Prolegnas tahunan,
DPR dan/Pemerintah sudah harus menyusun terlebih dahulu Naskah Akademik dan RUU
tersebut. Hal tersebut merupakan bagian dari gambaran tahap perencanaan pembentukan
undang-undang. Tahapan tersebut belum melingkupi tahapan pembahasan secara
menyeluruh hingga tahapan pengudangan.
Tujuan perencanaan dijelaskan oleh Albert Silalahi (1987: 167) adalah sebagai berikut
:
1. Perencanaan adalah jalan atau cara untuk mengantifikasi dan merekam perubahan (a way
to anticipate and offset change).
2. Perencanaan memberikan pengarahan (direction) kepada administrator-administrator
maupun non-administrator.
3
Pertama, RUU diajukan oleh anggota DPR, komisi, gabungan komisi, atau alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi atau DPD. Pengharmonisan ,
pembulatan, dan pemantapan konsep RUU dikoordinasikan oleh alat kelengkapan khusus yang
menangani bidang legislasi dari DPR. Setelah siap RUU tersebut segera disampaikan
dengan surat pemimpin DPR kepada presiden. Presiden menugasi menteri untuk membahas
RUU bersama DPR dengan waktu 60 hari dari surat tersebut diterima. Meteri menkoordinasi
persiapan urusan pemerintah di bidang hukum.
Kedua, RUU yang diajukan presiden. RUU tersebut disiapkan olem menteri atau
pemimpin lembaga Negara yang nonkementerian sesuai tugasnya. Menteri atau pemimpin
lembaga nonkementerian membentuk panitia antarkementerian atau antarnonkementerian.
Keharmonisa, pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU berasal dari presiden
dikoordinasikan oleh menteri di bidang hukum. Setelah siap RUU diajukan kepada pemimipin
DPR. Surat presiden memuat menteri ditugasi membahas RUU bersama DPR..dan paling lama
60 hari untuk membahas RUU tersebut sejak surat diterima. Dalam membahas RUU tersebut,
menteri memperakarsa jumlah RUU tersebut mengenai menteri yang sama. Apa bila dalam
4
siding DPR dan presiden membahas materi yang sama, yang dibahas adalah RUU yang
disampaikan oleh DPR dan RUU dari presinden untuk dipersandingkan.
Ketiga, RUU yang diajukan oleh DPD. RUU disampaikan secara tertuliis kepada
pemimpin DPR dan harus disertai Naskah Akademik. Alat pelengkap pengharmonisasian,
pembulatan, dan pemantapan konsepsi RUU dapat mengundang pemimpin alat kelengkapan
DPD di bidang perancangan membahas usul RUU. Alat kepelengkapan DPD menyampaikan
hasilpengharmonisasian kepada pemimpin DPR lalu di umumkan saat rapat paripurna.
Proses penyusunan peraturan pemerintah. PP dan perpres hampir sama persis. Sama-sama
diwakili oleh panitia antarkementerian atau non antar kementerian.
Penyususnan peraturan daerah provinsi dan kabupaten atau kota. Rancangan peraturan
provinsi berasal dari DPRD provinsi dan gubernur. Dan Penyususnan peraturan daerah
kabupaten oleh DPRD kabupaten dan bupati.
Berikut ketentuandalam penyusunan peraturan daerah provinsi dan kabupaten atau kota yaitu:
a) Raperda harus diserati dengan Naskah Akademik. Dalam rancangan peraturan daerah
mengenai APBD, pencabut peraturan daerah, perubahan peraturan daerah yang hanya
terbatas mengubah beberapa menteri, serta memuat pokok pikiran dan menteri muatan
yang diatur.
b) Rancangan aturan daerah dapat diajukan oleh anggota, komisi, gabungan komisi,
alat kelengkapan DPRD yang khusus dibidang legislatif.
d) Raperda yang telah disiapkan oleh kepala daerah disampaikan dengan surat
pengantar kepala daerah kepada pemimpin DPRD
5
e) Apabila dalam siding DPRD dan kepala daerah membahas rancanngan peraturan
daerah yang sama. Maka materi yang dibahas dari DPRD dan yang dipersandingkan
dari kepala daerah.
c Pendapat akhir presiden yang disampaikan oleh Menteri yang ditugasi. Keputusan
dari hasil rapat paripurna dilakukan secara musyawarah mufakat akan tetapi bila tidak
tercapai maka keputusan dilakukan dengan cara pengambilan suara terbanyak (voting).
Keputusan yang telah dicapai terhadap RUU yang dibahas kemudian dikirim ke
presiden untuk dilakukan pengesahan. Bila tidak tercapai persetujuan Bersama antara DPR
RI dan Presiden maka RUU yang tersebut tidak boleh diajukan lagi pada persidangan DPR
RI
masa itu.
Peran Partisipasi masyarakat dalam tahapan ini sangat minim peran menurut
Peraturan DPR No. 8 Tahun 2014 tentang Tata Tertib DPR bahwa masyarakat “dapat”
diundang dalam rapat dengar pendapat umum untuk mendapatkan masukan terhadap rancangan
undang-undang yang sedang dibahas. Selain itu DPR dapat menjemput bola dengan
mengadakan kunjungan kerja ke daerah dalam rangka mendapatkan masukan dari
pemerintah daerah dan/atau masyarakat di daerah. Frasa “dapat” ini yang diartikan bila
diperlukan saja oleh para pembentuk UU yang acap sekali diabaikan sehingga hanya bisa
memantau dari kejauhan mengenai pembahasan yang sedang berlangsung melalui media
yang difasilitasi oleh pembentuk UU.
Pengesahan undang undang terjadi pertama kali saat sidang pertama PPKI. Hasil
sidang tersebut yaitu menetapkan dan mengesahkan Undang-Undang Dasar (UUD) 1945.
Dalam Pembukaan UUD 1945 tersebut terdapat dasar negara Pancasila. Proses
pengesahan UUD 1945 dimulai dari tahap perumusan isi hingga waktu penetapannya.
Sebelum adanya pembentukan UUD 1945, NKRI telah lebih dulu melahirkan Pancasila
sebagai dasar negara
8
pada 1 Juni 1945. Sementara, UUD 1945 merupakan dasar hukum tertulis dari semua hukum
di pemerintah Negara Republik Indonesia (NKRI).
Pengesahan rancangan undang undang dilakukan oleh Presiden. Presiden
mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama dalam sidang dpr
untuk menjadi undang-undang. Pasal 37 s/d Pasal 39 memberi dua kemungkinan tentang
pengesahan, yaitu :
1) Pengesahan dengan pembubuhan tanda tangan oleh Presiden terhadap rancangan
undang-undang yang disampaikan oleh DPR; atau
2) Pengesahan tanpa pembubuhan tanda tangan oleh Presiden, jika telah melewati waktu
paling lambat 30 hari sejak rancangan undang-undang disetujui bersama.
Untuk kasus kedua tanda pengesahan berbunyi: “Undang-Undang inidinyatakan sah
berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945. ”UU P3 tidak menjelaskan tentang langkah-langkah yang seyogyanya dilakuan
Presiden dalam hal dia tidak setuju atau menolak sebuah rancangan undang-undang yang
telah disetujui bersama. Sebagai perbandingan dalam mekanis perundang-undangan
menurut Konstitusi RIS (Pasal 138) dan UUDS, walaupun dalam sistem pemerintahan yang
berbeda, Presiden berkewajiban memberitahukan kepada DPR jika dia merasa masih ada
keberatan terhadap rancangan undang-undang yang disampaikan oleh DPR.
Beberapa tahap pengesahan, antara lain:
1) Pengesahan secara materialApabila suatu RUU telah ditetapkan menjadi UU, maka
dengan demikian telah terjadi pengesahan secara material oleh lembaga legislatif.
Terhadap RUU yang telah ditetapkan menjadi UU tidak dapat lagi dilakukan perubahan
baik yang menyangkut persoalan secara teknis maupun substansi. Memang, suatu UU
yang dirasakan tidak sesuai lagi dengan tingkat perkembangan jaman dapat dilakukan
perubahan, penggantian atau bahkan pencabutan oleh lembaga legislatif. Akan tetapi
dalam proses pembentukan UU, tahap “pengesahan” adalah batas yang diperlukan
untuk menyelesaikan perdebatan sehingga RUU yang telah ditetapkan menjadi UU
dapat diproses lebih lanjut. Sebab, untuk berlakunya suatu UU masih harus dilakukan
berbagai tindakan hukum seperti penandatanganan, pengundangan dan pemberlakuan.
Dengan kata lain, pengesahan secara material merupakan akhir dari proses pembahasan
suatu RUU menjadi UU di lembaga legislatif.
2) Pengesahan secara formal
Suatu RUU yang telah disahkan secara material oleh lembaga legislatif belum
mempunyai kekuatan hukum mengikat. Memang, pembahasan RUU telah dinyatakan
9
selesai dan ditetapkan menjadi UU. Akan tetapi untuk keperluan yuridis, UU tersebut
harus ditandangani oleh yang berwenang. Penandatanganan UU ini dilakukan oleh
presiden yang merupakan pengesahan UU secara formal. Tanpa adanya pengesahan
dalam bentuk penandatanganan dalam suatu UU, maka UU tersebut tidak sah meskipun
telah disepakati oleh lembaga legislatif. Penandatanganan ini harus dilakukan tanpa
syarat, artinya penandatangan tidak boleh mengajukan perubahan maupun tuntutan
lainnya. Jadi, penadatanganan suatu RUU yang telah ditetapkan sebagai UU lebih
merupakan tindakan administratif.
RUU yang telah mendapat persetujuan bersama diserahkan kepada presiden untuk
disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan, ditambahkan kalimat pengesahan,
serta diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
Secara konstitusional, presiden memiliki kewenangan dalam menetapan Perppu. Pasal
22 Ayat 1 UUD 1945 berbunyi, “Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, presiden
berhak menetapkan peraturan pemerintah sebagai pengganti undang-undang.” Akan tetapi,
Perppu ini harus mendapat persetujuan DPR. Jika tidak mendapat persetujuan, maka
peraturan pemerintah yang setara dengan undang-undang itu harus dicabut.
Berdasarkan UU Nomor 12 Tahun 2011 Pasal 72 ayat 2 yang berbunyi “Tenggang
waktu 7 (tujuh) hari kerja dianggap layak untuk mempersiapkan segala hal yang berkaitan
dengan teknis penulisan Rancangan Undang-Undang ke Lembaran Resmi Presiden
sampai dengan penandatanganan, pengesahan Undang-Undang oleh Presiden dan
penandatanganan sekaligus pengundangan ke Lembaran Negara Republik Indonesia.”
Penyampaian RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden tersebut dilakukan
dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama.
Setelah menerima RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden tersebut, Sekretariat
Negara akan menuangkannya dalam kertas kepresidenan dan akhirnya dikirimkan kepada
Presiden untuk disahkan menjadi UU. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama
tersebut dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat
30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden. Setelah Presiden
mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan DPR tersebut, maka Undang-
Undang itu kemudian diundangkan oleh Menteri agar Undang-Undang itu dapat berlaku dan
mempunyai kekuatan hukum mengikat umum.
Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama DPR dan Presiden,
maka RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang, dan wajib diundangkan, sesuai
dengan
1
ketentuan Pasal 73 ayat (3) Undang-Undang No. 12 Tahun 2011, dan Pasal 20 ayat (5)
UUDNRI Tahun 1945.
2.5 Perundangan
internasional; dan
2) pernyataan keadaan bahaya.
4. Peraturan Perundang-undangan lain yang menurut Peraturan Perundang-undangan yang
berlaku harus diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.
waktu paling lambat 14 (empat belas) hari terhitung sejak tanggal peraturan
perundang-undangan diundangkan.
6. Penerbitan Lembaran Negara Republik Indonesia, Tambahan Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Berita Negara Republik Indonesia, Tambahan Berita
Negara Republik Indonesia dalam bentuk himpunan dilakukan pada akhir tahun.
BAB III
Penutup
3.1 Kesimpulan
Undang-undang dibentuk melalui proses yang cukup panjang dan lama. Ukuran lama
atau tidaknya dapat dilihat dari proses pembentukan undang-undang itu sendiri, yang
meliputi beberapa tahapan atau prosedur yang harus dilalui. Pembentukan peraturan perundang -
undangan khususnya undang-undang memang seharusnya dilaksanakan secara cermat dan
hati-hati karena menyangkut kepentingan bernegara dan orang banyak. Pada dasarnya, tahapan
dimulai dari perencanaan dengan menyiapkan Rancangan Undang-Undang (“RUU”), RUU
dibuat harus disertai dengan naskah akademik, kemudian tahap pembahasan di lembaga
legislatif hingga tahap pengundangan.
3.2 Saran
1. Mahasiswa dapat mengikuti kegiatan belajar melajar dengan lebih baik
masalah perundang-undangan
2. Dalam proses tahapan perancangan per UU bisa lebih dipersingkat tidak
terlalu dipersulit.
Daftar Pustaka
Proses Pembentukan Undang- Undang
http://peraturan.go.id/welcome/index/prolegnas_pengantar.html.,
Maria Farida Indrati S, 2007, Ilmu Perundang-Undangan (Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan),
Kanisius, Yogyakarta, hlm. 53,
Suandy, Erly, 2003, Perencanaan Pajak, Edisi Revisi, Penerbit : Salemba Empat, Jakarta.
Pasal 52 ayat (2), “PERPRES No. 87 Tahun 2014 Tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan [JDIH BPK RI].”
https://ditjenpp.kemenkumham.go.id/index.php?option=com_content&view=article&id=137
&Itemid=102&lang=en#:~:text=Pengundangan%20adalah%20penempatan%20peratu ran
%20perundang,Tambahan%20Berita%20Negara%20Republik%20Indonesia.