Anda di halaman 1dari 7

BAGAIMANA PERDA DIBUAT

Secara umum sebetulnya proses pembuatan Peraturan Daerah (Perda) tidak


memiliki perbedaan yang signifikan dengan proses pembuatan undangundang.
Kedua jenis peraturan ini sama sama melibatkan dua lembaga negara,
eksekutif dan legislatif, dalam proses pembuatannya.

Jika dalam proses pembuatan undang-undang adalah presiden dan Dewan


Perwakilan Rakyat (DPR) (serta Dewan Perwakilan Daerah/DPD untuk undang-
undang tertentu), maka dalam proses pembuatan Perda pihak-pihak yang
terkait ialah Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD), gubernur, bupati atau
walikota.

Proses pembuatan Perda diatur dalam UU No.10 Tahun 2004 Tentang


Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Di dalam undang-undang
tersebut dijabarkan enam tahapan pokok dalam kaitannya dengan
pembentukan Perda yaitu tahap:

1. Perencanaan Penyusunan Perda (Pasal 15 (2) UU No.10/2004)


2. Persiapan Pembentukan Perda (Pasal 26 – 31 UU No.10/2004)
3. Pembahasan Ranperda (Pasal 40 - 41 UU No.10/2004)
4. Penetapan Ranperda (Pasal 42 – 43 UU No.10/2004)
5. Pengundangan (Pasal 45 – 50 UU No.10/2004)
6. Penyebarluasan Perda (Pasal 52 UU No.10/2004)

Berikut ini adalah penjelasan dari enam tahapan pokok tersebut.

1. Tahap-Tahap Pembuatan Perda

a. Perencanaan Penyusunan Perda

Perencanaan penyusunan Peraturan Daerah (Perda) 'dilakukan melalui


pembuatan Program Legislasi Daerah (Prolegda). Proses penyusunan
Prolegda tidak diatur Iebih lanjut dalam UU 10/2004 dan belum ada peraturan
tingkat nasional yang mengaturnya. Akan ada Peraturan Presiden yang
mengatur Iebih lanjut tata cara pembuatan Prolegda ini.

Proses perencanaan (pemrogaman sebagaimana halnya Prolegnas/Prolegda)


Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Keputusan
Gubernur, Keputusan Walikota, dan peraturan pelaksanaan Iainnya tidak diatur
dalam UU 10/2004 dengan asumsi bahwa peraturan-peraturan pelaksana
tersebut akan dibuat sesuai dengan kebutuhan delegasian dari UU dan Perda
atau kebutuhan pembuatan kebijakan tertentu secara internal di tubuh
Eksekutif.
b. Persiapan Pembentukan Perda

Rancangan Peraturan Daerah (Ranperda) dapat berasal dari DPRD atau


gubernur, atau bupati/walikota. Ketentuan Iebih lanjut mertgenai tata cara
mempersiapkan RanPerda yang berasal dari DPRD diatur dalam Peraturan
Tata Tertib DPRD. Walaupun tidak secara langsung, sesungguhnya pemerintah
pusat menyeragamkan mekanisme ini melalui adanya PP No. 25/2004 tentang
Pedoman Penyusunan Tate Tertib DPRD.

Sementara ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara mempersiapkan


RanPerda yang berasal dari gubernur atau bupati/walikota rencananya akan
diatur dengan Peraturan Presiden, namun hingga kini belum ditetapkan.

b.1 Perda dari Pemerintah Daerah

Ranperda yang telah disiapkan oleh gubernur atau bupati/walikota disampaikan


dengan surat pengantar gubernur atau bupati/walikota kepada DPRu oleh
gubernur atau bupati/walikota. Penyebarluasan Ranperda yang berasal dari
gubernur atau bupati/walikota dilaksanakan olah sekretaris daerah.

Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan DPRD
menyampaikan Ranperda mengenai materi yang sama, maka yang dibahas
adalah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan Ranperda yang disampaikan
oieh gubernur atau bupati/walikota digunakan sebagai bahan untuk
dipersandingkan.

b.2 Perda dari DPRD

Rancangan peraturan daerah dapat disampaikan oleh anggota, komisi,


gabungan komisi, atau alat kelengkapan dewan perwakilan rakyat daerah yang
khusus menangani bidang legislasi.

Untuk Ranperda `usul prakarsa' DPRD, dapat diusulkan oieh minimum lima
orang anggota. Usul prakarsa ini dapat diajukan kepada Rapat Paripurna
setelah mendapat persetujuan dari Panitia Musyawarah. Keputusan Rapat -
Parpipurna DPRD dapat menerima atau menolak usul prakarsa menjadi
prakarsa DPRD '(tidak seperti DPR yang dapat ;"menyetujui dengan
perubahan")

Ranperda yang telah disiapkan oleh DPRD disampaikan oleh pimpinan DPRD
kepada gubernur atau bupati/walikota. Penyebarluasan Ranperda yang berasal
dari DPRD dilaksanakan oleh Sekretariat DPRD (Sekwan).

Apabila dalam satu masa sidang, gubernur atau bupati/walikota dan dewan
perwakilan rakyat daerah menyampaikan RanPerda mengenai materi yang
sama, maka yang dibahas adalah yang disampaikan oleh DPRD, sedangkan
Ranperda yang disampaikan oleh gubernur atau bupati/walikota digunakan
sebagai bahan untuk dipersandingkan.
c. Pembahasan Ranperda

Pembahasan Ranperda di DPRD dilakukan oleh DPRD bersama bersama


gubernur atau bupati/walikota. Walaupun tidak secara langsung, sesungguhnya
pemerintah pusat menyeragamkan mekanisme ini melalui adanya PP No.
25/2004 tentang Pedoman Penyusunan Tata Tertib DPRD. Diatur bahwa
pembahasan Ranperda dilakukan dalam empat tingkat pembicaraan, yaitu:

a. Pembicaraan tingkat pertama, yaitu penjelasan kepala daerah atau


pimpinan Komisi/Gabungan Korhisi/Panitia Khusus (tergantung siapa yang
mengajukan) mengenai RanPerda dimaksud.
b. Pembicaraan tingkat kedua, yaitu pemandangan umum fraksi-fraksi dan
pemerintah.
c. Pembicaraan tingkat ketiga, yaitu pembahasan dalam Rapat
Komisi/Gabungan Komisi/Pansus bersama dengan wakil dari Pemda yang
ditunjuk
d. Pembicaraan tingkat keempat, yaitu pengambilan keputusan mengenai
RanPerda dalam Rapat Paripurna.

Ranperda dapat ditarik kembali sebelum dibahas. Ranperda yang sedang


dibahas hanya dapat ditarik kembali berdasarkan persetujuan bersama DPRD
dan Kepala Daerah.

d. Penetapan Ranperda

Tahap Pengesahan untuk Ranperda oleh UU 10/2004 diistilahkan dengan


`penetapan'. Penetapan Ranperda dilakukan oleh Gubernur atau
Bupati/Walikota setelah pembahasan selesai.

Ranperda yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Gubernur atau
Bupati/Walikota disampaikan dalam jangka waktu paling lambat 7 hari terhitung
sejak tanggal persetujuan bersama, oleh pimpinan DPRD kepada Gubernur
atau Bupati/Walikota untuk ditetapkan.RanPerda tersebut kemudian ditetapkan
sebagai Perda oleh Gubernur atau Bupati/Walikota dengan membubuhkan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 hari sejak RanPerda
tersebut disetujui.

Jika Ranperda tersebut tidak ditandatangani Gubernur atau Bupati/Walikota


dalam waktu paling lambat 30 hari sejak RanPerda disetujui, maka RanPerda
tersebut sah menjadi Perda dan wajib diundangkan. Dalam Perda yang sah
tanpa tanda tangan Gubernur atau Bupati/Walikota ini kalimat pengesahannya
berbunyi: "Peraturan Daerah ini dinyatakan sah"

Untuk tujuan harmonisasi, Pasal 145 UU 32/2004 kemudian mengatur:


- Perda disampaikan kepada Pemerintah pusat maksimal tujuh hari setelah
ditetapkan.
- Apabila Perda tersebut bertentangan dengan, kepentingan umum dan/atau
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, dapat dibatalkan oleh
Pemerintah, yang ditetapkan dengan Peraturan Presiden, maksimal 60 hari
sejak diterimanya Perda.

- Paling lama 7 hari setelah keputusan pembatalan, kepala daerah haru.s


memberhentikan pelaksanaan Perda dan selanjutnya DPRD bersama kepala
daerah mencabut Perda dimaksud.

- Apabila provinsi/kabupaten/kota tidak dapat menerima keputusan


pembatalan Perda dengan alasan yang dapat dibenarkan oleh peraturan
perundang-undangan, kepala daerah dapat mengajukan keberatan kepada
Mahkamah Agung.

e. Pengundangan

Pengundangan merupakan tahap "pengumuman" suatu peraturan perundang-


undangan. Peraturan Perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai
kekuatan mengikat pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam
Peraturan Perundang-undangan yang bersangkutan. Pengundangan
menandakan keberlakuan peraturan perundang-undangan tersebut dan teori
"fiksi hukum" mulai berlaku.

Untuk Perda, pengundangan dilakukan dengan menempatkannya dalam


Lembaran Daerah atau Berita Daerah.

f. Penyebarluasan Perda

Tahap penyebarluasan kerap dikenal dengan istilah "sosialisasi". Untuk Perda,


yang bertanggung jawab untuk melaksanakan sosialisasi ini ialah Pemerintah
Daerah.

2. Hal-hal Lain yang Harus Diperhatikan dalam Pembentukan Perda

Selain proses di atas, ada empat hal lainnya yang sudah diatur dalam UU
10/2004 yang perlu diperhatikan, baik oleh perancang maupun pembahas
peraturan perundang-undangan, yaitu asas, materi Muatan atau isi (content)
peraturan perundang-u.ndangan, hierarki atau tata urutan peraturan
perundang-undangan, dan partisipasi masyarakat.

a. Asas

Sesuai namanya, asas merupakan suatu dasar yang harus diperhatikan dalam
pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas pada umumnya memang
merupakan sesuatu yang cenderung abstrak dan sulit untuk diukur secara jelas.
Namun dengan adanya asas ini, paling tidak perancang peraturan akan
mempunya semacam daftar atau checklist mengenai hal-hal yang harus
diperhatikannya secara sungguh-sungguh ketika menyusun peraturan
perundang-undangan agar proses selanjutnya berjalan dengan lancar.

Asas Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang baik dimuat dalam


Pasal 5 UU 10/2004, yaitu:

a. Kejelasan tujuan;
b. Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat;
c. Kesesuaian antara jenis dan materi muatan;
d. Dapat dilaksanakan;
e. Kedayagunaan dan kehasilgunaan;
f. Kejelasan rumusan; dan
g. Keterbukaan.

Selanjutnya, Pasal 6 UU 10/2004 mengatakan bahwa asas materi muatan


peraturan perundang-undangan dalah:
a. pengayoman;
b. kemanusiaan;
c. kebangsaan;
d. kekeluargaan;
e. kenusantaraan;
f. bhinneka tunggal ika;
g. keadilan;
h. kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
i. ketertiban dan kepastian hukum; dan/atau
j. keseimbangan, keserasian, dan keselarasan.

b. Materi Muatan

Materi muatan adalah isi dari setiap jenis peraturan perundang-undangan yang
ada di Indonesia. Materi muatan ini penting untuk diperhatikan supaya tidak
terjadi tumpang tindih pengaturan maupun penyalahgunaan wewenang. Materi
muatan, undang-undang misalnya, jelas tidak boleh diatur dalam suatu PP atau
Perpres karena undang-undang mempunyai karakteristik sendiri sebagai suatu
peraturan perundang-undangan tertinggi di bawah konstitusi yang dibuat
bersama oleh eksekutif dan legislatif.

Pasal 8 sampai Pasal 14 UU 10/2004 mengatur rincian materi muatan sebagai


berikut:
a. Materi muatan yang harus diatur dengan Undang-Undang berisi:
(i) Pengaturan Iebih lanjut ketentuan UUD
(ii) Diperintahkan oleh suatu Undang-Undang untuk diatur dengan
Undang-Undang.
b. Materi muatan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sama
dengan materi muatan Undang-Undang.
c. Materi muatan Peraturan Pemerintah berisi materi untuk menjalankan
Undang-Undang sebagaimana mestinya.
d. Materi muatan Peraturan Presiden berisi materi yang diperintahkan oleh
Undang-Undang atau materi untuk melaksanakan Peraturan Pemerintah.
e. Materi muatan Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam
rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan, dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran Iebih lanjut Peraturan
Perundang-undangan yang Iebih tinggi.
f. Materi muatan Peraturan Desa/yang setingkat adalah seluruh materi dalam
rangka penyelenggaraan urusan desa atau yang setingkat serta penjabaran
Iebih lanjut Peraturan Perundang-undangan yang Iebih tinggi.
g. Materi muatan mengenai ketentuan pidana hanya dapat dimuat dalam
Undang-Undang dan Peraturan Daerah. Bila dilihat Iebih lanjut, Pasal 143
UU 32/2004 kemudian mengatur:
(i) Perda dapat memuat ketentuan tentang pembebanan biaya paksaan
penegakan hukum, seluruhnya atau sebagian kepada pelanggar
sesuai dengan peraturan perundangan.
(ii) Perda dapat memuat ancaman pidana kurungan paling lama 6
(enam), bulan atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,00 (lima
puluh juta rupiah).
(iii) Perda dapat memuat ancaman pidana atau denda selain di atas,
sesuai dengan yang diatur dalam peraturan perundangan lainnya.

c. Hierarki

Hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan adalah daftar yang


memuat tingkat berbagai jenis peraturan perundang-undangan dalam konteks
besar seluruh peraturan perundang-undangan di Indonesia. Hierarki ini jugalah
sebenarnya yang menjadi dasar materi muatan suatu jenis peraturan
perundang-undangan. Prinsipnya, materi muatan peraturan perundang-
undangan yang Iebih rendah harus sesuai dan tidak boleh bertentangan
dengan materi muatan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.

Pasal 7 UU 32/2004 menyatakan bahwa jenis dan hierarki peraturan


perundang-undangan adalah:
(i) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
(ii) Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang;
(iii) Peraturan Pemerintah;
(iv) Peraturan Presiden;
(v) Peraturan Daerah, yang meliputi:
- Peraturan Daerah provinsi dibuat oleh dewan perwakilan rakyat daerah
provinsi bersama dengan gubernur;
- Peraturan Daerah kabupaten/kota dibuat oleh dewan perwakilan rakyat
daerah kabupaten/kota bersama bupati/walikota;
- Peraturan Desa/peraturan yang setingkat, dibuat oleh badan perwakilan
desa atau nama lainnya bersama dengan kepala desa atau nama
lainnya.
Untuk memastikan efektivitas UU, Pasal 39 ayat (2) UU 10/2004 menyatakan,
setiap perancangan UU wajib mencantumkan batas waktu penetapan PP dan
peraturan lainnya sebagai pelaksanaan Undang-Undang tersebut.

d. Partisipasi Masyarakat

Partisipasi masyarakat merupakan aspek yang sang:at penting untuk


diperhatikan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Partisipasi
akan membuat materi muatan peraturan perundang-undangan semaksimal
mungkin dibuat dengan mendengarkan fakta di lapangan dan pandangan
masyarakat mengenai materi muatannya. Memang tidak dapat dipungkiri,
peraturan perundang-undangan sebagai sebuah produk politik tidak akan
sempurna dalam memenuhi berbagai pandangan yang pasti saling berbeda
dari setiap kelompok kepentingan dalam masyarakat. Namun proses partisipasi
justru akan membuatnya berbagai kepentingan ini dapat berkompetisi secara
sehat di dalam `ruang' yang relatif terbuka. Dan sempurna dalam memenuhi
berbagai pandangan yang pasti saling berbeda dari setiap kelompok
kepentingan dalam masyarakat. Namun proses partisipasi justru akan
membuatnya berbagai kepentingan ini dapat berkompetisi . secara sehat di
dalam 'ruang' yang relatif terbuka. Dan akibatnya, masyarakat akan dapat
memahami dan menerima keberadaan peraturan perundang-undangan
tersebut. Bukankah masyarakat juga nantinya yang akan terikat oleh peraturan
perundang-undangan? Maka masyarakat pun berhak terlibat dalam
pembuatannya.

Partisipasi masyarakat ini sekarang sudah dimuat dalam UU 10/2004 sehingga


kedudukannya Iebih kuat dan bukan lagi sekadar klaim atau doktrin. Pasal 53
UU 10/2004 dan Pasal 139 UU 32/2004 menyatakan: "Masyarakat berhak
memberikan masukan secara Iisan atau tertulis, balk dalam tahap penyiapan
maupun pembahasan RUU dan Ranperda."

Maka, sudah menjadi kewajiban bagi lembaga-lembaga terkait (Pemerintah,


DPR, DPD, Pemerintah Daerah, DPRD), untuk membuat peraturan pelaksana
yang membuat pasal ini dapat dijalankan dengan prosedur yang jelas dan
terukur efektivitasnya.

Anda mungkin juga menyukai