a. Tahapan Pembentukan Undang-Undang Pengaturan proses pembentukan Undang-Undang dapat dilihat dalam UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang membagi pembentukan Undang-Undang menjadi beberapa tahapan, yaitu: perencanaan, persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan penyebarluasan.
Gambar I. Skema Proses Terbentuknya Undang-Undang
1. RUU yang Berasal dari DPR
Proses penyiapan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan berdasarkan UU No. 27 Tahun 2009 dan Peraturan Tata Tertib DPR. Badan Pembantuan Penyiapan Usul Inisiatif DPR Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang membantu penyiapan suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi disiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang- undangan disiapkan oleh Tim Asistensi Badan Legislasi (Baleg). Selain itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional memiliki kewenangan untuk menyiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR. Badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas melakukan penelitian atas substansi RUU dan Tim Perancang Sekretariat Jenderal DPR yang menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah RUU. Usul Inisiatif DPR Tahapan Pertama Penyusunan RUU dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan Prolegnas dan kedua inisiatif dari Anggota, Komisi, Gabungan Komisi atau Baleg. Penyusunan Prolegnas oleh DPR dikoordinasikan oleh DPR melalui Baleg. Dalam Prolegnas ditetapkan skala prioritas sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Tahapan awal untuk mengajukan RUU usul inisiatif dapat diajukan oleh Anggota, Komisi, Gabungan Komisi, atau Badan Legislasi. Usul inisiatif RUU tersebut beserta penjelasan keterangan dan/atau naskah akademis yang disampaikan secara tertulis oleh Anggota atau Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi, atau Pimpinan Badan Legislatif kepada Pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan pengusul serta nama Fraksinya setelah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi. Tahapan Kedua Tahapan berikutnya, dalam Rapat Paripurna setelah Usul Inisiatif RUU tersebut diterima oleh Pimpinan DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Aggota tentang masuknya usul inisiatif RUU tersebut, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota. Rapat Paripurna untuk memutuskan apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi RUU usul dari DPR atau tidak, setelah diberikan kesempatan kepada Fraksi untuk memberikan pendapatnya. Keputusan dalam Rapat Paripurna dapat berupa: (1) Persetujuan; (2) Persetujuan dengan perubahan; atau (3) Penolakan. Dalam hal persetujuan, DPR menugaskan kepada Komisi, Baleg, atau Panitia Khusus untuk menyempurnakan RUU tersebut. Dalam hal RUU yang telah disetujui tanpa perubahan atau yang telah disempurnakan, disampaikan kepada Presiden oleh Pimpinan DPR dengan permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan DPR, dan kepada Pimpinan DPD jika RUU yang diajukan mengenai hal-hal tertentu. Dalam waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya surat tentang penyampaian RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam pembahasan RUU bersama DPR. Terhadap RUU yang berasal dari DPR terdapat beberapa pengaturan yang harus diperhatikan sebagai syarat keabsahan, yaitu: a) Pengusul berhak mengajukan perubahan selama usul RUU belum dibicarakan dalam Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna usul RUU tersebut. b) Pengusul berhak menarik usulnya kembali, selama usul RUU tersebut belum diputuskan menjadi RUU oleh Rapat Paripurna. c) Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali usul, harus ditandatangani oleh semua pengusul dan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota.
2. RUU yang Berasal dari Presiden
Berdasarkan Perubahan Pertama UUD 1945 Presiden berhak mengajukan RUU kepada DPR. Ketentuan ini menempatkan hubungan yang dinamis antar kedua lembaga negara dalam pembentukan Undang-Undang. Kata berhak di dalam norma Pasal 5 ayat (1) tersebut secara tegas memberikan suatu peranan yang boleh dilakukan atau tidak dilakukan oleh Presiden. Dan dalam praktik ketatanegaraan, Presiden berperan aktif dalam pembentukan Undang-Undang, baik pada proses dan tahapan persiapan RUU, pembahasan RUU maupun pada tahapan pengundangan suatu Undang-Undang. Bagaimana tata cara mempersiapkan RUU yang dilakukan oleh Presiden? Di samping UU Nomor 10 Tahun 2004, pengaturannya ditemukan dalam Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, yang ditetapkan pada tanggal 14 November 2005. Tata cara mempersiapkan RUU yang berasal dari Pemerintah dilakukan melalui tahapan sebagai berikut: 1) Penyusunan RUU Penyusunan RUU dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dilakukan prakarsa berdasarkan Prolegnas. Penyusunan RUU yang didasarkan Prolegnas tidak memerlukan persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Dan kedua dalam keadaan tertentu, prakarsa dalam menyusun RUU di luar Prolegnas dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mengajukan permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU yang akan diajukan. Penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU tersebut meliputi: a. Urgensi dan tujuan pengaturan; b. Sasaran yang ingin diwujudkan; c. Pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan d. Jangkauan serta arah pengaturan. 2) Penyampaian RUU kepada DPR Berdasarkan ketentuan Pasal 25 Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 terhadap suatu RUU yang telah disetujui oleh Presiden, akan disampaikan kepada DPR untuk dilakukan pembahasan. Selanjutnya Menteri Sekretaris Negara akan menyiapkan Surat Presiden kepada Pimpinan DPR untuk menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan Pemerintah mengenai RUU tersebut. Keterangan Pemerintah tersebut disiapkan oleh Prakarsa, yang antara lain memuat: a). Urgensi dan tujuan penyampaian; b). Sasaran yang ingin diwujudkan; c). Pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan d).Jangkauan serta arah pengaturan; yang menggambarkan keseluruhan substansi RUU. Surat Presiden tersebut ditembuskan kepada Wakil Presiden, pada menteri koordinator, menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden/Prakarsa, dan Menteri. Pendapat akhir Pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh Menhukham yang ditugasi mewakili Presiden, setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada Presiden.
3. RUU yang Berasal dari DPD
Dengan disahkannya UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD tata cara pengajuan dan pembahasan RUU yang berasal dari DPD juga mengalami beberapa perubahan. Tata cara mempersiapkan (proses penyusunan) dan pembahasan RUU yang berasal dari Dewan Perwakilan Daerah di lingkungan Dewan Perwakilan Daerah selanjutnya akan diatur oleh Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah yang mengacu pada perubahan UU terbaru. RUU yang berasal dari DPD diajukan oleh DPD kepada DPR adalah RUU yang berkaitan dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Setelah melalui proses penyusuna legislasi di DPD, prinsipnya pada sidang Paripurna DPD akan memutuskan, apakah Usul RUU tersebut dapat diterima menjadi RUU Usul DPD atau tidak. Keputusan Sidang Paripurna dapat terdiri atas tiga macam, yaitu: a) Diterima; b) Diterima dengan perubahan; atau c) Ditolak. Keputusan tersebut diambil setelah Panitia Perancang Undang-Undang menyampaikan penjelasan dan prakarsa diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Dalam hal Usul RUU diterima dengan perubahan, DPD menugasi Panitia Perancang Undang-Undang untuk membahas dan menyempurnakan usul RUU tersebut. Usul RUU yang telah diterima tanpa perubahan, atau RUU yang telah disempurnakan tersebut selanjutnya akan disampaikan kepada DPR dan Presiden disertai Surat Pengantar Pimpinan DPD.
4. Pengesahan RUU dan Pengundangan
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 pada Pasal 37, RUU yang telah disetujui bersama DPR dan Presiden tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak tanggal persetujuan bersama. Setelah menerima RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden tersebut, Sekretariat Negara akan menuangkannya dalam kertas kepresidenan dan akhirnya dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU. Pengesahan RUU yang telah disetujui bersama tersebut dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden. Setelah Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan DPR tersebut, maka Undang-Undang itu kemudian diundangkan oleh Menteri (yang tugas dan tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan), agar Undang-Undang itu dapat berlaku dan mempunyai kekuatan hokum mengikat umum. Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama DPR dan Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi Undang-Undang, dan wajib diundangkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat (2) Undang-Undang No. 10 Th. 2004, dan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan. Setelah Undang-Undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia, Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang yang telah diundangkan tersebut.
B. Proses pembentukan Perda
Pengertian Peraturan Daerah Sesuai dengan ketentuan Undang- Undang Nomor 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang - undangan, yangdimaksud dengan Peraturan Daerah (Perda) adalah “peraturan perundang- undangan yang dibentuk oleh Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dengan persetujuan bersamaKepala Daerah”. Secara umum, terdapat beberapa langkah yang perlu dilalui dalam menyusun suatu Perda baru. Uraian dari masing-masing langkah dapat bervariasi, namun secara umum seluruh langkah ini perlu dilalui. Langkah 1 : Identifikasi isu dan masalah Para perancang Perda perlu membuat Perda atas nama dan untuk kepentingan masyarakat. Langkah pertama yang harus diambil adalah mengajukan pertanyaan mengenai jenis permasalahan yang dihadapi oleh masyarakat. Permasalahan dapat mencakup banyak hal, antara lain degradasi dan deviasi sumber daya, konflik pemanfaatan antar pihak yang mengakibatkan keresahan sosial, dan lain-lain. Selain mengidentifikasi masalah, perancang Perda harus pula mengidentifikasi penyebab terjadinya masalah (akar masalah) dan pihak-pihak yang terkena dampak dari berbagai masalah tersebut. Perancang Perda hendaknya memahami konsekuensi-konsekuensi yang mungkin akan timbul dari penanganan masalah- masalah tertentu. Misalnya saja, apakah semua pihak akan diperlakukan secara adil? Apakah ada pihakpihak tertentu yang sangat diuntungkan dan di lain sisi mengorbankan pihak lain? Dengan hanya menangani sejumlah permasalahan, apakah tidak menimbulkan permasalahan baru ?. Bagaimana mengidentifikasi masalah tersebut. Ada beberapa teori yang dapat digunakan untuk melakukan identifikasi masalah tersebut. Melakukan identifikasi masalah dengan metode ROCCIPI (Rule, Opportunity, Capacity, Communication, Interest, Process, dan Ideology)
Langkah 2 : Identifikasi legal baseline atau landasan hukum, dan bagaimana
peraturan daerah (Perda) baru dapat memecahkan masalah. Pengertian legal baseline adalah status dari peraturan perundang-undangan yang saat ini tengah berlaku. Identifikasi legal baseline mencakup inventarisasi peraturan perundang-undangan yang ada dan kajian terhadap kemampuan aparatur pemerintah dalam melaksanakan berbagai peraturan perundang-undangan tersebut. Identifikasi legal baseline juga meliputi analisis terhadap pelaksanaan dan penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan yang ada. Melalui analisis ini, dapat diketahui bagian-bagian dari Perda yang ada, yang telah dan belum/tidak ditegakkan, termasuk yang mendapat pendanaan dalam pelaksanaannya berikut alasan yang menyertai, dan instansi yang bertanggung jawab atas pelaksanaan tersebut. Pada kenyataannya, para pembuat rancangan Perda terlalu cepat memutuskan mengenai perlunya pembuatan rancangan Perda yang baru, tanpa melakukan penelaahan memadai tentang legal baseline yang sudah ada. Hal demikian justru menambah “kekisruhan” atau disharmonisasi antar - peraturan perundangundangan, serta tidak memecahkan masalah yang sudah diidentifikasi. Pemberlakuan Perda yang baru hendaknya diupayakan dengan menggunakan cara-cara baru demi mengubah perilaku masyarakat, seperti melalui program sukarela berbasis insentif, atau pengakuan hak adat. Selain itu, apabila instansi pemerintah tidak transparan dan tidak bertanggung gugat (akuntabel), maka sulit diharapkan bahwa pemberlakuan Perda baru tersebut akan serta merta dilaksanakan dengan baik di kemudian hari. Bila demikian, maka Perda yang baru dapat membentuk instansi independen, atau memberi otoritas dan memberdayakan organisasi non-pemerintah serta lembaga adat, untuk memastikan adanya akuntabilitas dalam pembuatan keputusan.
Langkah 3 : Penyusunan Naskah Akademik.
Naskah akademik merupakan landasan dan sekaligus arah penyusunan suatu Perda. 1. Substansi Naskah Akademik Naskah akademik harus menelaah 3 (tiga) permasalahan substansi, yaitu: (1) menjawab pertanyaan mengapa diperlukan Perda baru, (2) lingkup materi kandungan dan komponen utama Perda, dan (3) proses yang akan digunakan untuk menyusun dan mengesahkan Perda. Banyak hal yang harus termaktub dalam naskah akademik, seperti yang akan diuraikan di bawah ini, namun ketiga hal tersebut di atas merupakan hal-hal yang paling mendasar. Terdapat 10 (sepuluh) pertanyaan yang perlu dijawab dalam penyusunan suatu peraturan perundang-undangan baru yang juga relevan dalam penyusunan naskah akademik untuk sebuah Perda, ke-10 (sepuluh) pertanyaan tersebut adalah sebagai berikut: 1. Apakah permasalahan yang dihadapi sudah didefinisikan secara benar? 2. Apakah langkah pemerintah dapat dijustifikasi? 3. Apakah peraturan perundangan baru merupakan langkah terbaik pemerintah? 4. Apakah ada dasar hukum untuk langkah tersebut? 5. Tingkat pemerintahan mana yang sesuai untuk langkah tersebut? 6. Apakah manfaat dari peraturan perundang-undangan lebih besar dari biayanya? 7. Apakah distribusi manfaat ke seluruh masyarakat transparan? 8. Apakah peraturan perundang-undangan tersebut jelas, konsisten, dapat diakses dan dipahami oleh para pemakainya? 9. Apakah seluruh kelompok kepentingan memiliki kesempatan untuk menyampaikan pandangannya? 10. Bagaimana pentaatan terhadap peraturan perundangan akan dicapai?
Langkah 4 : Prosedur Penyusunan Peraturan Daerah
Naskah akademik harus disusun secara cermat dan hati-hati. Pembentukan satu tim penyusun dan tim konsultasi atau pengarah harus dilakukan. Demikian pula kegiatan konsultasi public secara terus menerus harus diselenggarakan untuk merevisi konsep (draft) naskah akademik. Ihwal pembentukan tim penyusun dan tim konsultasi/pengarah diuraikan lebih rinci sebagaimana paparan berikut. Langkah pertama dari suatu lembaga/instansi/badan yang ingin menyusun naskah akademik adalah membentuk satu tim penyusun. Tim ini hendaknya dibentuk dengan surat keputusan secara formal yang ditandatangani oleh pimpinan lembaga/instansi/badan tersebut. Surat keputusan oleh pejabat di bawahnya masih dimungkinkan, tetapi kekuatannya dalam hal melegitimasi dimulainya proses penyusunan peraturan daerah agak lemah. Dalam rangka tertib administrasi dan peningkatan kualitas produk hukum daerah, diperlukan suatu proses atau prosedur penyusunan Perda agar lebih terarah dan terkoordinasi. Hal ini disebabkan dalam pembentukan Perda perlu adanya persiapan yang matang dan mendalam, antara lain pengetahuan mengenai materi muatan yang akan diatur dalam Perda, pengetahuan tentang bagaimana menuangkan materi muatan tersebut ke dalam Perda secara singkat tetapi jelas dengan bahasa yang baik serta mudah dipahami, disusun secara sistematis tanpa meninggalkan tata cara yang sesuai dengan kaidah bahasa Indonesia dalam penyusunan kalimatnya. Prosedur penyusunan ini adalah rangkaian kegiatan penyusunan produk hukum daerah sejak dari perencanaan sampai dengan penetapannya. Proses pembentukan Perda terdiri dari 3 (tiga) tahap, yaitu : a. Proses penyiapan rancangan Perda yang merupakan proses penyusunan dan perancangan di lingkungan DPRD atau di lingkungan Pemda (dalam hal ini Raperda usul inisiatif). Proses ini termasuk penyusunan naskah inisiatif (initiatives draft), naskah akademik (academic draft) dan naskah rancangan Perda (legal draft). b. Proses mendapatkan persetujuan, yang merupakan pembahasan di DPRD. c. Proses pengesahan oleh Kepala Daerah dan pengundangan oleh Sekretaris Daerah.
Ketiga proses pembentukan Perda tersebut dapat diuraikan sebagai berikut :
a. Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD. Berdasarkan amandemen I dan II Pasal 20 ayat (1) UUD 1945, DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-Undang dan berdasarkan Pasal 21 ayat (1) UUD 1945, anggota-anggota DPR berhak mengajukan usul rancangan Undang-Undang. Begitu pula di tingkat daerah, DPRD memegang kekuasaan membentuk Perda dan anggota DPRD berhak mengajukan usul Raperda. Dalam pelaksanaannya Raperda dari lingkungan DPRD diatur lebih lanjut dalam Peraturan Tata Tertib DPRD masing- masing daerah. Pembahasan Raperda atas inisiatif DPRD dikoordinasikan oleh Sekretaris Daerah atau unit kerja yang ditunjuk oleh Kepala Daerah. Setelah itu juga dibentuk Tim Asistensi dengan Sekretariat Daerah atau berada di Biro/Bagian Hukum.
b. Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah.
Dalam proses penyiapan Perda yang berasal dari Pemerintah Daerah bisa dilihat dalam Keputusan Menteri Dalam Negeri dan Otonomi Daerah Nomor 23 Tahun 2001 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang telah diganti dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang ditetapkan pada tanggal 19 Mei 2006. Berdasarkan Pasal 5 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 16 Tahun 2006 tentang Prosedur Penyusunan Produk Hukum Daerah yang dimaksud dengan Satuan Kerja Perangkat Daerah yaitu Kepala Badan, Kepala Dinas, Kepala Kantor, Kepala Biro/Bagian di lingkungan Sekretariat Daerah dapat mengajukan prakarsa kepada Sekretaris Daerah yang memuat urgensi, argumentasi, maksud dan tujuan pengaturan, materi yang akan diatur serta keterkaitan dengan peraturan perundang- undangan lain yang akan dituangkan dalam Raperda tersebut. Setelah prakarsa tersebut dikaji oleh Sekretariat daerah mengenai urgensi, argumentasi dan pokokpokok materi serta pertimbangan filosofis, sosiologis dan yuridis dari masalah yang akan dituangkan ke dalam Raperda tersebut maka Sekretariat Daerah akan mengambil keputusan dan menugaskan Kepala Biro/Bagian Hukum untuk melakukan harmonisasi materi dan sinkronisasi pengaturan. Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat. Apabila Sekretariat Daerah menyetujui, pimpinan satuan kerja menyiapkan draft awal dan melakukan pembahasan yang melibatkan Biro/Bagian Hukum, unit kerja terkait dan masyarakat. Setelah itu satuan kerja perangkat daerah dapat mendelegasikan kepada Biro/ Bagian Hukum untuk melakukan penyusunan dan pembahasan rancangan produk hukum daerah. Penyusunan Perda/produk hukum daerah lainnya harus dilakukan melalui Tim Antar Satuan Kerja Perangkat Daerah yang diketuai oleh pejabat pimpinan satuan kerja perangkat daerah yang ditunjuk oleh Kepala Daerah dan Kepala Biro/Bagian Hukum sebagai sekretaris tim. Setelah pembahasan rancangan produk hukum selesai, pimpinan satuan kerja perangkat daerah akan menyampaikan kepada Sekretaris Daerah melalui Kepala Biro/Bagian Hukum. Raperda yang telah melewati tahapan di atas akan disampaikan oleh Kepala Daerah kepada DPRD untuk dilakukan pembahasan sekaligus menunjuk Wakil Pemerintah Daerah dalam Pembahasan Raperda tersebut. c. Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD. Pembahasan Raperda di DPRD baik atas inisiatif Pemerintah Daerah maupun atas inisiatif DPRD, dilakukan oleh DPRD bersama Gubernur/Bupati/ Walikota, Pemda membentuk Tim Asistensi dengan Sekretaris Daerah berada di Biro/Bagian Hukum. Tetapi biasanya pembahasan dilakukan melalui beberapa tingkatan pembicaraan. Tingkat-tingkat pembicaraan ini dilakukan dalam rapat paripurna, rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat panitia khusus dan diputuskan dalam rapat paripurna. Secara lebih detail mengenai pembahasan di DPRD baik atas inisiatif DPRD ditentukan oleh Peraturan Tata Tertib DPRD masingmasing. Khusus untuk Raperda atas inisiatif DPRD, Kepala Daerah akan menunjuk Sekretaris Daerah atau pejabat unit kerja untuk mengkoordinasikan rancangan tersebut. a. Proses Penyiapan Raperda di lingkungan DPRD. b. Proses Penyiapan Raperda di Lingkungan Pemerintahan Daerah. c. Proses Mendapatkan Persetujuan DPRD. d. Proses Pengesahan dan Pengundangan e. Lembaran Daerah dan Berita Daerah