Anda di halaman 1dari 20

PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERUNDANG-UNDANGAN INDONESIA

A) Proses Pembentukan Undang-Undang


Undang-undang adalah peraturan perundangan, yang dalam pembentukannya Presiden
harus mendapat persetujuan DPR. Ketentuan tersebut diatur dalam UUD 1945 Pasal5 Ayat 1
"Presiden berhak mengajukan Rancangan Undang-Undang kepada DPR", Pasal20 Ayat 1
"DPR memegang kekuasaan membentuk UU" dan Pasal 20 Ayat 2 "Setiap RUU dibahas oleh
DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama" .

Dasar Hukum Proses Pembentukan UU

1. Pasal 5 ayat (1), Pasal 20, Pasal 21, Pasal 22 D ayat (1), dan Pasal 22 D ayat (2) Undang-
Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan;
3. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;
4. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 87 Tahun 2014 tentang Peraturan
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan;
5. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1/DPR RI/TAHUN 2009
tentang Tata Tertib;
6. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Penyusunan Program Legislasi Nasional;
7. Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2012 tentang
Tata Cara Mempersiapkan Rancangan Undang-Undang;
8. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 tentang Pengujian Undang-Undang
Nomor 27 Tahun 2009 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Dalam pembentukan suatu undang-undang, sebagaimana diatur dalam undang-


undang nomor 10 tahun 2004, maka tahap-tahapnya meliputi:

1
a) RUU yang diajukan presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga
pemerintah non departemen, sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya.
b) RUU yang berasal dari DPR diusulkan oleh DPR
c) RUU yang berasal dari DPD dapat diajukan kepada DPR
d) RUU yang telah disiapkan oleh presiden diajukan dengan suart presiden kepada
pimpinan DPR
e) DPR membahas RUU dalam jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat Presiden
diterima.
f) RUU yang berasal dari DPR disampaikan dengan surat pimpman DPR kepada
presiden
g) Presiden menugasi menteri yang mewakili untuk membahas RUU bersama DPR dalam
jangka waktu paling lambat 60 hari sejak surat pimpinan DPR diterima.
h) Apabila dalam satu masa sidang, DPR dan Presiden menyampaikan RUU dengan
materi yang sama, maka yang dibahas adalah RUU yang disampaikan DPR, sedangkan RUU
yang disampaikan presiden dipakai sebagai pembanding.
i) Pembahasan RUU di DPR dilakukan oleh DPR bersama Presiden Menteri yang
ditugasi.
j) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan RUU hanya pada rapat komisi panitia alat
kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislatif
k) Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam
rapat komisi/panitia alat kelengkapan DPR yang menangani bidang legislasi dan rapat
paripurna.
l) Dewan Perwakilan Daerah memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang
APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
m) RUU yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden, disampaikan oleh pimpinan
DPR kepada presiden untuk disahkan menjadi UU, penyampaian tersebut dilakukan dalam
jangka waktu paling lambat 7 hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
n) Presiden membubuhkan tangan tangan dalam waktu paling lambat 30 hari sejak RUU
disetujui bersama oleh DPR dan presiden.
o) Bila RUU yang telah disetujui bersama, dalam waktu 30 hari tidak ditandangani oleh
Presiden, maka RUU tersebut sah menjadi UU dan wajib diundangkan. Adapun rumusan
kalimat pengesahannya adalah: UU ini dinyatakan sah berdasarkan ketentuan Pasal 20 ayat
(5) UUD NKRI Tahun 1945.
p) Peraturan perundang-undangan harus diundangkan dengan menempatkannya dalam:

2
1) Lembaran Negara RI
2) Berita Negara RI
3) Lembaran Daerah; atau
4) Berita Daerah
q) Peraturan Perundang-undangan yang diundangkan dalam Lembaran Negara RI,
meliputi :
1) UU/PERPU
2) Peraturan Pemerintah
3) Peraturan Presiden mengenai
pengesahan perjanjian antara negara RI dan negara lain atau badan intemasional ; dan
pernyataan keadaan bahaya
r) Tambahan Lembaran Negara RI memuat penjelasan peraturan perundan-undangan
yang dimuat dalam LNRI
s) Tambahan Berita Negara RI memuat penjelasan peraturan perundang-undang yang
dimuat dalam Berita Negara RI.

Menurut Kepres No. 188 Tahun 1998 tentang Tata Cara mempersiapkan RUU
dijelaskan sebagai berikut:
1) Prakarsa Penyusunan Rancangan Undang-Undang yang Berasal dari Pemerintah
Secara singat dapat disimpulkan sebagai berikut. Pembuatan RUU diprakarsai menteri
atau pimpinan lembaga pemerintah nondepartemen yang selanjutnya disingkat pimpinan
lembaga. Penyusunan RUU melalui tahap-tahap sebagai berikut.
a) Menyusun draf RUU sesuai bidang tugas masing-masing, selanjutnya
Draf RUU tersebut harus dimintakan persetujuan presiden,
Dikonsultasikan kepada menteri kehakiman dan menteri, serta pimpinan lembaga
lainnya yang terkait.
b) Menyusun rancangan akademik mengenai RUU yang akan disusun bersama dengan
menteri kehakiman. Pelaksanaannya dapat diserahkan kepada:
Perguruan Tinggi,
Organisasi sosial,
Organisasi politik,
Organisasi profesi ataukemasyarakatan lainnya sesuai kebutuhan.
Hal ini dilaksanakan agar terwujud keharmonisan, kebulatan, dan kemantapan konsepsi
terhadap RUU.

3
c) Selanjutnya menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa resmi mengajukan permintaan
persetujuan prakarsa penyusunan RUU kepada presiden.
d) Persetujuan presiden terhadap prakarsa penyusunan RUU diberitahukan secara tertulis
oleh menteri sekretaris negara kepada menteri atau lembaga pemrakarsa dengan tembusan
menteri kehakiman.

2) Panitia antar departemen dan lembaga


Dalam pembuatan Rancangan Undang-Undang (RUU), pemrakarsa pembentuk RUU
membentuk panitia, disebut "Panitia antardepartemen dan lembaga". Panitia ini diketuai oleh
pejabat yang ditunjuk sebagai sekretarisnya adalah kepala biro hukum atau kepala satuan kerja
yang menyelenggarakan fungsi di bidang perundang-undangan pada departemen atau lembaga
pemrakarsa tersebut.
Selanjutnya, struktur panitia tersebut dibuatkan surat keputusan. Dengan terbitnya smat
keputusan itu panitia kemudian melaksanakan tugas menyusun RUU.

3) Konsultasi RUU
Pada tahap konsultasi ini, menteri atau pimpinan lembaga pemrakarsa pembuatan RUU
menyampaikan RUU yang telah dihasilkan oleh panitia kepada menteri kehakiman dan menteri
atau pimpinan lembaga lainnya yang terkait, untuk memperoleh pendapat, saran, dan
pertimbangan terlebih dahulu.
Kemudian menteri kehakiman membantu mengolah seluruh pendapat, saran, dan
pertimbangan tersebut. Apabila RUU telah memperoleh kesepakatan dan tidak mengandung
permasalahan yang berkaitan dengan aspek tertentu di bidang ideologi , politik, ekonomi, sosial
budaya, hukum atau pertahanan keamanan, barulah menteri atau pimpinan lembaga
pemrakarsa pembuatan RUU mengajukan RUU tersebut kepada presiden. Selanjutnya menteri
sekretaris negara mempersiapkan amanat presiden untuk penyampaiannya kepada pimpinan
DPR.
4) Penyampaian RUU kepada DPR
Pada tahap ini, RUU yang sudah disiapkan disampaikan presiden kepada DPR. Dalam
amanat presiden ditegaskan hal-hal yang dianggap perlu antara lain:
sifat penyelesaian RUU yang dikehendaki,
cara penanganan dan pembahasan RUU, dan menteri yang ditugasi presiden dalam
pembahasan RUU di DPR.
5) Prakarsa Penyusunan Rancangan Undang - Undang yang Berasal dari DPR

4
Berdasarkan peraturan Tata tertib DPR RI Nomor 9/DPR-RI/I/1997-1998. RUU yang
berasal dari DPR (inisiatif DPR) adalah sebagai berikut.
a) RUU diusulkan/diajukan oleh sepuluh orang anggota DPR yang tidak hanya terdiri atas
satu fraksi atau oleh gabungan komisi. Disampaikan kepada pimpinan DPR secara tertulis
disertai daftar nama, tanda tangan, dan nama fraksi pengusul.
b) Kemudian dalam rapat paripurna; ketua sidang memberitahukan dan membagikan usul
RUU tersebut kepada seluruh anggota DPR.
c) Selanjutnya diadakan rapat Badan Musyawarah DPR (Bamus OPR) untuk:
Memberikan kesempatan kepada pengusul menyampaikan penjelasan tentang
maksud dan tujuan RUU usul inisiatif tersebut.
Melakukan tanya jawab dan pembahasan oleh anggota Bamus DPR, dan
Menentukan waktu pembicaraan RUU tersebut dalam paripurna.
d) Apabila Bamus menganggap cukup, maka usul RUU tersebut kemudian dibawa ke
dalam rapat paripurna di dalam rapat paripurna ini pengusul memberikan penjelasan dan
ditanggapi oleh fraksi-fraksi untuk kemudian diambil keputusan.
e) Apabila usul RUU tersebut diputuskan menjadi RUU inisiatif DPR, makaDPR akan
menunjuk suatu komisi/rapat gabungan komisi/panitia khusus untuk membahas dan
menyempurnakan RUU usul inisiatif DPR tersebut.
f) Setelah disempurnakan RUU kemudian dibagikan kepada para anggotaDPR, dan oleh
pimpinan DPR disampaikan kepada presiden.
g) Selanjutnya RUU tersebut dibahas di DPR bersama pemerintah.

6). Proses Pembahasan RUU di DPR


Proses pembahasan rancangan undang-undang (RUU) ada 4 (empat) tingkatan, sebagai
berikut.
Tingkat I : Rapat Paripurna
Dalam rapat paripurna ini, apabila RUU itu datang dari pemerintah, maka pembicaraan
pertama adalah pemerintah memberikan keterangan atau penjelasan mengenai rancangan
uridang-undang (RUU) yang diajukannya itu. Apabila RUU itu yang mengajukan DPR, maka
yang memberikan penjelasan adalah pihak DPR, dalam hal ini dapat disampaikan oleh
pimpinan Komisi atau Rapat Gabungan Komisi atau Panitia Khusus.
Pembicaraan Tingkat II : Rapat Paripurna
RUU yang datang dari Pemerintah.

5
Apabila rancangan undang-undang (RUU) itu dari pemerintah, maka diadakan
pemandanganumum oleh setiap fraksi di DPR terhadap rancangan urtdang- undang (RUU)
tersebut. Setelah itu pemerintah menyampaikan jawaban terhadap pemandangan umum
tersebut.
RUU yang datang dari DPR.
Apabila rancangan undang-undang (RUU) dari inisiatif DPR, maka diadakan tanggapan
dari pemerintah terhadap rancangan undangundang (RUU) tersebut. Setelah itu DPR
menyampaikan jawaban dan penjelasan, dalam hal ini dapat disampaikan oleh pimpinan
komisi, gabungan komisi, atau panitia khusus atas nama DPR terhadap tanggapan pemerintah.
Pembicaraan Tingkat III : Rapat Komisif Rapat Gabungan Komisif Rapat Panitia
Khusus
Semua rancangan undang-undang (RUU) dibahas secara keseluruhan mulai dari
pembukaan, pasal-pasal, hingga bagian akhir rancangan undang-undang tersebut. Dalam
pembicaraan tingkat III ini, dapat dilakukan pembahasan secara bersama antara DPR dan
pemerintah, atau khusus oleh DPR saja.
Pembicaraan Tingkat IV : Rapat Paripurna
Pada pembahasan rapat paripurna ini, yakni pada tingkat keempat, antara lain
disampaikan:
a) laporan hasil pembicaraan rapat tingkat III.
b) pendapat akhir dari masing-masing fraksi di DPR, apabila perlu disertai catatan
penting tentang pendapat fraksi,
c) pengambilan keputusan, pemerintah diberi kesempatan untuk menyampaikan
sambutan terhadap pengambilan keputusan tersebut di atas.

7). Proses Pengesahan dan Pengundangan


RUU yang telah disetujui DPR oleh pimpinan DPR dikirimkan kepada presiden melalui
sekretariat negara untuk mendapat pengesahan dari presiden. Setelah disahkan oleh presiden,
maka RUU tersebut menjadi undang-undang, kemudian diundangkan oleh menteri sekretaris
negara dan berlaku secara nasionaL

B) Proses Penyusunan Peraturan Perundang-undangan di Tingkat Daerah


Peraturan daerah merupakan peraturan untuk melaksanakan aturan hukum di atasnya dan
menampung kondisi khusus· daerah yang bersangkutan. Sebelum menjadi Peraturan Daerah

6
(Perda), terlebih dahulu diproses di lembaga legislatif daerah yakni di DPRD provinsi atau
DPRD kabupaten atau kota.
Dalam proses pembuatan perda pertama kali, gubernur mengajukan Rancangan Peraturan
Daerah (Raperda) untuk mendapatkan pengesahan dari DPRD 'provinsi, dan diajukan oleh
bupati atau wali kota jika Raperda kabupaten/kota untuk mendapatkan pengesahan dari DPRD
kabupaten/kota. Raperda tersebut kemudian dibahas secara bersama-sama antara gubernur
dan DPRD provinsi, atau antara bupati/wali kota bersama dengan DPRD kabupaten/kota.
Selain itu di tingkat desa/kelurahan juga dimungkinkan dibuat aturan-aturan. Peraturan desa
dibuat oleh Lurah atau Kepala Desa bersama dengan Badan Perwakilan Desa (BPD) atau
badan yang setingkat. Tata cara pembuatan peraturan desa diatur dengan peraturan daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan.

A. Kewenangan DPR-RI Membentuk Undang-Undang


Membentuk Undang-Undang merupakan kekuasaan yang melekat pada DPR, selain
kekuasaan pengawasan dan anggaran. Wewenang pembentukan Undang-Undang ini
diwujudkan ke dalam fungsi legislasi DPR yang bersumber kepada UUD 1945. Ketentuan Pasal
20 ayat (1) UUD 1945 menggariskan:
1. DPR memegang kekuasaan membentuk Undang-undang.
2. Setiap RUU dibahas oleh DPR dan Presiden untuk mendapat persetujuan bersama
3. Jika RUU itu tidak mendapat persetujuan bersama, RUU itu tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR masa itu
4. Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi Undang-
undang.
5. Dalam hal RUU yang telah disetujui tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30
(tiga puluh) hari semenjak RUU tersebut disetujui, RUU tersebut sah menjadi Undang-undang
dan wajib diundangkan.

7
Pada prinsipnya ditetapkannya kekuasaan membentuk Undang-Undang dari DPR
merupakan wewenang atribusi yang diberikan oleh UUD 1945 dan Undang-Undang, yang
sebelumnya dipegang oleh Presiden (vide Pasal 5 ayat (1) UUD 1945 lama). Akibatnya beban
untuk membentuk Undang-Undang yang diwujudkan dalam fungsi legislasi DPR menjadi
tanggung jawab sepenuhnya DPR. Dengan kata lain Perubahan UUD 1945 telah mendudukkan
posisi DPR sebagai lembaga utama pembentuk Undang-Undang, sedangkan Presiden tetap
memiliki kekuasaan membentuk Undang-Undang dalam bentuk "hak" mengajukan RUU kepada
DPR, sekaligus tugas untuk mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama untuk menjadi
Undang-Undang.

B. Proses Pembentukan Undang-Undang


a. Tahapan Pembentukan Undang-Undang
Pengaturan proses pembentukan Undang-Undang dapat dilihat dalam UU No. 27 Tahun
2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD dan Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 yang
membagi pembentukan Undang-Undang menjadi beberapa tahapan, yaitu: perencanaan,
persiapan, teknik penyusunan, perumusan, pembahasan, pengesahan, pengundangan dan
penyebarluasan.
Beberapa tahapan pembentukan Undang-Undang menurut UU No. 10 Tahun 2004 tersebut
secara teoritis dimulai dari: (1) tata cara mempersiapkan RUU, (2) pembahasan RUU di DPR,
dan (3) tahapan persetujuan dan pengundangan. Dengan kata lain, proses pembentukan
Undang-Undang merupakan suatu tahapan kegiatan yang dilaksanakan secara
berkesinambungan, yang diawali dari terbentuknya suatu ide atau gagasan tentang perlunya
pengaturan terhadap suatu permasalahan.
b. Asal Usul RUU
Usulan pembentukan UU berawal baik dari RUU yang diajukan DPR, RUU dari Pemerintah
maupun RUU yang diajukan oleh DPD. Selanjutnya dilakukan kegiatan mempersiapkan suatu
RUU baik oleh DPR, DPD maupun oleh Pemerintah. Kemudian dilakukan pembahasan RUU di
DPR untuk mendapatkan persetujuan bersama, dilanjutkan dengan persetujuan pengesahan
dan diakhiri dengan pengundangan. Dalam kaitan dengan peranan DPR, paling tidak ada
empat peranan yang diemban, yaitu: (a) mengajukan RUU inisiatif, (b) membahas RUU dari
pemerintah, (c) melaksanakan evaluasi terhadap UU yang ada, dan (d) melakukan penilaian
terhadap kebijakan pemerintah. DPR dapat meningkatkan kualitas UU yang dihasilkan dengan
menerapkan proses yang kebih baik dalam menjalankan keempat peranan ini.

8
C. Proses dan Tahapan Persiapan RUU
1. RUU yang Berasal dari DPR
Proses penyiapan RUU yang berasal dari DPR dilaksanakan berdasarkan UU No. 27
Tahun 2009 dan Peraturan Tata Tertib DPR.
Badan Pembantuan Penyiapan Usul Inisiatif DPR
Sebelum sampai pada usul inisiatif DPR, ada beberapa badan yang membantu penyiapan
suatu RUU. Sebagai ilustrasi, RUU Komisi Anti Korupsi disiapkan oleh Fraksi PPP, sedangkan
pada RUU Tata Cara Pembentukan Peraturan Perundang-undangan disiapkan oleh Tim
Asistensi Badan Legislasi (Baleg). Selain itu ada beberapa badan lain yang secara fungsional
memiliki kewenangan untuk menyiapkan sebuah RUU yang akan menjadi usul inisiatif DPR.
Badan ini adalah Pusat Pengkajian Pelayanan Data dan Informasi (PPPDI) yang bertugas
melakukan penelitian atas substansi RUU dan Tim Perancang Sekretariat Jenderal DPR yang
menuangkan hasil penelitian tersebut menjadi sebuah RUU.
Usul Inisiatif DPR
Tahapan Pertama
Penyusunan RUU dapat dilakukan dengan dua cara, yaitu berdasarkan Prolegnas dan
kedua inisiatif dari Anggota, Komisi, Gabungan Komisi atau Baleg. Penyusunan Prolegnas oleh
DPR dikoordinasikan oleh DPR melalui Baleg. Dalam Prolegnas ditetapkan skala prioritas
sesuai perkembangan kebutuhan masyarakat. Tahapan awal untuk mengajukan RUU usul
inisiatif dapat diajukan oleh Anggota, Komisi, Gabungan Komisi, atau Badan Legislasi. Usul
inisiatif RUU tersebut beserta penjelasan keterangan dan/atau naskah akademis yang
disampaikan secara tertulis oleh Anggota atau Pimpinan Komisi, Pimpinan Gabungan Komisi,
atau Pimpinan Badan Legislatif kepada Pimpinan DPR disertai daftar nama dan tanda tangan
pengusul serta nama Fraksinya setelah dilakukan pengharmonisasian, pembulatan, dan
pemantapan konsepsi.
Tahapan Kedua
Tahapan berikutnya, dalam Rapat Paripurna setelah Usul Inisiatif RUU tersebut diterima
oleh Pimpinan DPR, Pimpinan DPR memberitahukan kepada Aggota tentang masuknya usul
inisiatif RUU tersebut, kemudian dibagikan kepada seluruh Anggota. Rapat Paripurna untuk
memutuskan apakah usul RUU tersebut secara prinsip dapat diterima menjadi RUU usul dari
DPR atau tidak, setelah diberikan kesempatan kepada Fraksi untuk memberikan pendapatnya.
Keputusan dalam Rapat Paripurna dapat berupa:
(1) Persetujuan; (2) Persetujuan dengan perubahan; atau (3) Penolakan.

9
Dalam hal persetujuan, DPR menugaskan kepada Komisi, Baleg, atau Panitia Khusus
untuk menyempurnakan RUU tersebut. Dalam hal RUU yang telah disetujui tanpa perubahan
atau yang telah disempurnakan, disampaikan kepada Presiden oleh Pimpinan DPR dengan
permintaan agar Presiden menunjuk Menteri yang akan mewakili Presiden dalam melakukan
pembahasan RUU tersebut bersama-sama dengan DPR, dan kepada Pimpinan DPD jika RUU
yang diajukan mengenai hal-hal tertentu.
Dalam waktu 60 (enam puluh) hari kerja sejak diterimanya surat tentang penyampaian
RUU dari DPR, Presiden menunjuk Menteri yang ditugasi mewakili Presiden dalam
pembahasan RUU bersama DPR. Terhadap RUU yang berasal dari DPR terdapat beberapa
pengaturan yang harus diperhatikan sebagai syarat keabsahan, yaitu:
a. Pengusul berhak mengajukan perubahan selama usul RUU belum dibicarakan dalam
Badan Musyawarah yang membahas penentuan waktu pembicaraan dalam Rapat Paripurna
usul RUU tersebut.
b. Pengusul berhak menarik usulnya kembali, selama usul RUU tersebut belum diputuskan
menjadi RUU oleh Rapat Paripurna.
c. Pemberitahuan tentang perubahan atau penarikan kembali usul, harus ditandatangani
oleh semua pengusul dan disampaikan secara tertulis kepada Pimpinan DPR, kemudian
dibagikan kepada seluruh Anggota.
Perhatikan bagan proses alur penyusunan RUU Usul Inisiatif DPR berikut ini.

10
RUU yang berasal dari DPR
2. RUU yang Berasal dari Presiden
Berdasarkan Perubahan Pertama UUD 1945 Presiden berhak mengajukan RUU kepada
DPR. Ketentuan ini menempatkan hubungan yang dinamis antar kedua lembaga negara dalam
pembentukan Undang-Undang. Kata berhak di dalam norma Pasal 5 ayat (1) tersebut secara
tegas memberikan suatu peranan yang boleh dilakukan atau tidak dilakukan oleh Presiden. Dan
dalam praktik ketatanegaraan, Presiden berperan aktif dalam pembentukan Undang-Undang,
baik pada proses dan tahapan persiapan RUU, pembahasan RUU maupun pada tahapan
pengundangan suatu Undang-Undang.
Bagaimana tata cara mempersiapkan RUU yang dilakukan oleh Presiden? Di samping UU
Nomor 10 Tahun 2004, pengaturannya ditemukan dalam Perpres No. 68 Tahun 2005 tentang
Tata Cara Mempersiapkan RUU, Rancangan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang, Rancangan Peraturan Pemerintah, dan Rancangan Peraturan Presiden, yang
ditetapkan pada tanggal 14 November 2005. Tata cara mempersiapkan RUU yang berasal dari
Pemerintah dilakukan melalui tahapan sebagai berikut:
1) Penyusunan RUU
Penyusunan RUU dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama dilakukan prakarsa
berdasarkan Prolegnas. Penyusunan RUU yang didasarkan Prolegnas tidak memerlukan
persetujuan izin prakarsa dari Presiden. Dan kedua dalam keadaan tertentu, prakarsa dalam
menyusun RUU di luar Prolegnas dapat dilakukan setelah terlebih dahulu mengajukan
permohonan izin prakarsa kepada Presiden, dengan disertai penjelasan mengenai konsepsi

11
pengaturan RUU yang akan diajukan. Penjelasan mengenai konsepsi pengaturan RUU tersebut
meliputi: a. Urgensi dan tujuan pengaturan; b. Sasaran yang ingin diwujudkan; c. Pokok pikiran,
lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan d. Jangkauan serta arah pengaturan.
2) Penyampaian RUU kepada DPR
Berdasarkan ketentuan Pasal 25 Peraturan Presiden No. 68 Tahun 2005 terhadap suatu
RUU yang telah disetujui oleh Presiden, akan disampaikan kepada DPR untuk dilakukan
pembahasan. Selanjutnya Menteri Sekretaris Negara akan menyiapkan Surat Presiden kepada
Pimpinan DPR untuk menyampaikan RUU disertai dengan Keterangan Pemerintah mengenai
RUU tersebut.
Keterangan Pemerintah tersebut disiapkan oleh Prakarsa, yang antara lain memuat:
a). Urgensi dan tujuan penyampaian;
b). Sasaran yang ingin diwujudkan;
c). Pokok pikiran, lingkup, atau obyek yang akan diatur; dan
d). Jangkauan serta arah pengaturan; yang menggambarkan keseluruhan substansi RUU.
Surat Presiden tersebut ditembuskan kepada Wakil Presiden, pada menteri koordinator,
menteri yang ditugasi untuk mewakili Presiden/Prakarsa, dan Menteri. Pendapat akhir
Pemerintah dalam pembahasan RUU di DPR disampaikan oleh Menhukham yang ditugasi
mewakili Presiden, setelah terlebih dahulu melaporkannya kepada Presiden.

12
3. RUU yang Berasal dari DPD
Dengan disahkannya UU No. 27 Tahun 2009 tentang MPR, DPR, DPD dan DPRD tata
cara pengajuan dan pembahasan RUU yang berasal dari DPD juga mengalami beberapa
perubahan. Tata cara mempersiapkan (proses penyusunan) dan pembahasan RUU yang
berasal dari Dewan Perwakilan Daerah di lingkungan Dewan Perwakilan Daerah selanjutnya
akan diatur oleh Peraturan Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah yang mengacu pada
perubahan UU terbaru.
RUU yang berasal dari DPD diajukan oleh DPD kepada DPR adalah RUU yang berkaitan
dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta
penggabungan daerah, pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah. Setelah melalui proses
penyusuna legislasi di DPD, prinsipnya pada sidang Paripurna DPD akan memutuskan, apakah
Usul RUU tersebut dapat diterima menjadi RUU Usul DPD atau tidak. Keputusan Sidang
Paripurna dapat terdiri atas tiga macam, yaitu:
a) Diterima;
b) Diterima dengan perubahan; atau
c) Ditolak.
Keputusan tersebut diambil setelah Panitia Perancang Undang-Undang menyampaikan
penjelasan dan prakarsa diberi kesempatan untuk memberikan pendapatnya. Dalam hal Usul
RUU diterima dengan perubahan, DPD menugasi Panitia Perancang Undang-Undang untuk
membahas dan menyempurnakan usul RUU tersebut. Usul RUU yang telah diterima tanpa
perubahan, atau RUU yang telah disempurnakan tersebut selanjutnya akan disampaikan
kepada DPR dan Presiden disertai Surat Pengantar Pimpinan DPD.

D. Proses Pembahasan RUU di DPR


Pembahasan RUU secara resmi sepenuhnya dilakukan dalam forum persidangan DPR.
Pemerintah dan DPD dapat ikut serta dalam pembahasan tetapi yang mengambil keputusan
hanya DPR. Hanya saja, DPR tidak dapat memutus tanpa persetujuan Pemerintah.
Pembahasan setiap RUU, baik yang berasal dari Pemerintah, DPR, maupun Dewan Perwakilan
Daerah dibahas di DPR dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan, yaitu:
1. Pembicaraan Tingkat I, yang dilakukan dalam Rapat Komisi, Rapat Gabungan Komisi,
Rapat Badan Legislasi, Rapat Badan Anggaran, atau Rapat Panitia Khusus.
2. Pembicaraan Tingkat II, yang dilakukan dalam Rapat Paripurna.

13
E. Pengesahan RUU dan Pengundangan
Berdasarkan UU Nomor 10 Tahun 2004 pada Pasal 37, RUU yang telah disetujui bersama
DPR dan Presiden tersebut dilakukan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari sejak
tanggal persetujuan bersama. Setelah menerima RUU yang telah disetujui DPR dan Presiden
tersebut, Sekretariat Negara akan menuangkannya dalam kertas kepresidenan dan akhirnya
dikirimkan kepada Presiden untuk disahkan menjadi UU. Pengesahan RUU yang telah disetujui
bersama tersebut dilakukan dengan membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling
lambat 30 (tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui oleh DPR dan Presiden.
Setelah Presiden mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama dengan DPR tersebut,
maka Undang-Undang itu kemudian diundangkan oleh Menteri (yang tugas dan
tanggungjawabnya di bidang peraturan perundang-undangan), agar Undang-Undang itu dapat
berlaku dan mempunyai kekuatan hokum mengikat umum.
Dalam hal RUU tersebut tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lambat 30
(tiga puluh) hari sejak RUU tersebut disetujui bersama DPR dan Presiden, maka RUU tersebut

14
sah menjadi Undang-Undang, dan wajib diundangkan, sesuai dengan ketentuan Pasal 38 ayat
(2) Undang-Undang No. 10 Th. 2004, dan Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 Perubahan. Setelah
Undang-Undang tersebut diundangkan dalam Lembaran Negara Republik Indonesia,
Pemerintah wajib menyebarluaskan Undang-Undang yang telah diundangkan tersebut.

Keterangan
1) RUU yang telah disetujui disampaikan oleh Pimpinan DPR kepada Presiden paling
lambat 7 hari kerja untuk disahkan;
2) Apabila dalam 15 hari kerja RUU tersebut belum disahkan menjadi UU, Pimpinan DPR
mengirim surat kepada Presiden untuk minta penjelasan
3) Dalam hal RUU tersebut tidak disahkan oleh Presiden dalam waktu 30 hari sejak RUU
disetujui, RUU tersebut sah menjadi UU.

PROSES PEMBUATAN PERATURAN PERATURAN DAERAH

Dasar Hukum
• Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
• Undang- Undang No. 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah
• Peraturan Presiden No. 87 tahun 2014 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang No.
12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

Mekanisme Pelaksanaan

Menurut Undang-Undang No. 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-


Undangan, Peraturan Daerah terbagi menjadi 2 bagian, yaitu Peraturan Daerah Provinsi dan
Peraturan Daerah Kota/ Kabupaten. Perda sendiri termasuk dalam hierarki peraturan

15
perundang-undangan dalam Undang-Undang No. 12 tahun 2011, berada di Pasal 7 butir f, dan
PERDA Kota/ Kabupaten di Pasal 7 butir g.

Materi muatan Peraturan Daerah Provinsi dan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota berisi materi
muatan dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan serta
menampung kondisi khusus daerah dan/atau penjabaran lebih lanjut Peraturan Perundang-
undangan yang lebih tinggi.

Mekanisme penyusunan PERDA terbagi menjadi 4 bagian, yaitu perencanaan, penyusunan,


pembahasan, pengesahan, penetapan dan pengundangan.

1. Tahap perencanaan, terdiri dari :

a. Perencanaan penyusunan Prolegda;

Penyusunan perencanaan Program Legislatif Daerah atau Prolegda. Baik perda provinsi
maupun perda kota/ kabupaten, memuat program pembentukan Peraturan Daerah Provinsi
dengan judul Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, materi yang diatur, dan keterkaitannya
dengan Peraturan Perundang-undangan lainnya. Khusus materi yang diatur, merupakan
keterangan mengenai konsepsi Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang meliputi:
• latar belakang dan tujuan penyusunan;
• sasaran yang ingin diwujudkan;
• pokok pikiran, lingkup, atau objek yang akan diatur; dan
• jangkauan dan arah pengaturan.

Materi yang telah melalui pengkajian dan penyelarasan dituangkan dalam Naskah Akademik.

Naskah Akademik sendiri adalah naskah hasil penelitian atau pengkajian hukum dan hasil
penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara
ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut dalam suatu Rancangan Undang-Undang,
Rancangan Peraturan Daerah Provinsi, atau Rancangan Peraturan Daerah Kabupaten/Kota
sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan hukum masyarakat.

Proglegda disusun bersama-bersama antara kepala daerah ( Gubernur atau Bupati/ Walikota)
masing-masing daerah dan DPRD ( Provinsi atau Kota/ Kabupaten).

16
b. Perencanaan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah kumulatif terbuka; terdiri atas
o Akibat putusan Mahkamah Agung; dan
o Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah Provinsi atau Kotamadya/ Kabupaten

c. Perencanaan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah di luar Prolegda.

Dalam keadaan tertentu, DPRD Provinsi atau Gubernur dapat mengajukan Rancangan
Peraturan Daerah Provinsi di luar Prolegda Provinsi:
• untuk mengatasi keadaan luar biasa, keadaan konflik, atau bencana alam;
• akibat kerja sama dengan pihak lain; dan
• keadaan tertentu lainnya yang memastikan adanya urgensi atas suatu Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi yang dapat disetujui bersama oleh alat kelengkapan DPRD Provinsi yang
khusus menangani bidang legislasi dan biro hukum.

2. Tahap penyusunan perda, terdiri dari atas :

a. Rancangan Peraturan Daerah

Dimulai dengan penyusunan rancangan PERDA itu sendiri. Rancangang bisa diajukan oleh
kepala daerah misal di tingkat I oleh Gubernur, sedang tingkat II oleh Bupati atau Walikota,
selain itu, bisa diajukan oleh DPRD baik di tingkat I maupun II. Rancangan Peraturan Daerah
sebagaimana dimaksud disertai dengan penjelasan atau keterangan dan/atau Naskah
Akademik.
Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah mengenai:
• Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah ;
• pencabutan Peraturan Daerah ; atau
• perubahan Peraturan Daerah Pyang hanya terbatas mengubah beberapa materi,

Harus disertai dengan keterangan yang memuat pokok pikiran dan materi muatan yang diatur.

b. Pembahasan Peraturan Daerah

Setelah tahap rancangan, selanjutnya masuk dalam tahapan pembahasan. Isinya adalah :
o Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan oleh DPRD Provinsi bersama
Gubernur.
o Pembahasan bersama dilakukan melalui tingkat-tingkat pembicaraan.

17
o Tingkat-tingkat pembicaraan dilakukan dalam rapat komisi/panitia/badan/alat kelengkapan
DPRD Provinsi yang khusus menangani bidang legislasi dan rapat paripurna.
o Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh
DPRD Provinsi dan Gubernur.
o Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama DPRD Provinsi dan Gubernur.
o Karena sifat mutatis mutandis, maka tahapan pembahasan diatas, diterapkan juga dalam
pembahasan di tingkat kotamadya/ kabupaten.

3. Penetapan dan Pengundangan PERDA

Tata cara penetapan PERDA diantaranya adalah :


o Rancangan Peraturan Daerah Provinsi yang telah disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan
Gubernur disampaikan oleh pimpinan DPRD Provinsi kepada Gubernur untuk ditetapkan
menjadi Peraturan Daerah Provinsi.
o Penyampaian Rancangan Peraturan Daerah Provinsi dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 7 (tujuh) hari terhitung sejak tanggal persetujuan bersama.
o Rancangan Peraturan Daerah Provinsi ditetapkan oleh Gubernur dengan membubuhkan
tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan
Daerah Provinsi tersebut disetujui bersama oleh DPRD Provinsi dan Gubernur.
o Dalam hal Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana tidak ditandatangani oleh
Gubernur dalam waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari sejak Rancangan Peraturan Daerah
Provinsi tersebut disetujui bersama, Rancangan Peraturan Daerah Provinsi tersebut sah
menjadi Peraturan Daerah Provinsi dan wajib diundangkan.
o Dalam hal sahnya Rancangan Peraturan Daerah Provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat
(2), kalimat pengesahannya berbunyi: Peraturan Daerah ini dinyatakan sah.
o Kalimat pengesahan harus dibubuhkan pada halaman terakhir Peraturan Daerah Provinsi
sebelum pengundangan naskah Peraturan Daerah Provinsi dalam LembaranDaerah.
o Untuk PERDA Kotamadya ataupun Kabupaten juga sama prosesnya.
Sedang untuk pengundangan, PERDA diundangkan dalam bentuk Lembaran Daerah, dan itu
dilaksanakan oleh Sekretaris Daerah.

c. Keterlibatan Publik dalam Penyusunan PERDA

18
Keterlibatan public dalam PERDA, diantaranya adalah :
- Publik berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-undangan khususnya Peraturan Daerah, mulai dari Proglegda sampai
penetapan PERDA.
- Masukan secara lisan dan/atau tertulis dapat dilakukan melalui:
• rapat dengar pendapat umum;
• kunjungan kerja;
• sosialisasi; dan/atau
• seminar, lokakarya, dan/atau diskusi.
- Untuk memudahkan publik dalam memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis , setiap
Rancangan Peraturan Peraturan Daerah harus dapat diakses dengan mudah oleh masyarakat.

Dasar Hukum Perda dan Permenkes :

1. UU No.36 Tahun 2014 tentang Tenaga Kesehatan


2. UU No. 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
3. Permenkes No.58 Tahun 2016 tentang Sponsorship Bagi Tenaga Kesehatan
4. Permenkes No. 31 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Kesehatan
Nomor 859/MENKES/PER/V/2011 Tentang Registrasi, Izin Praktik, Dan Izin Kerja Tentang
Kefarmasian
5. Perda No.9 Tahun 2012 tentang Penyelenggaraan Kesehatan
6. Perda No.7 Tahun 2016 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan
7. Perda No.2 Tahun 2014 tentang Retribusi Pelayanan Kesehatan Di UPTD Kesehatan
Puskesmas Dan UPTD Kesehatan Laboratorium Kesehatan Daerah
8. Perda kota Medan No. 4 Tahun 2012 tentang Sistem Kesehatan Kota Medan

19
DAFTAR PUSTAKA

http://ekowinarto.files.wordpress.com/2009/03/bab-38.pdf

http://id.wikipedia.org/wiki/Peraturan_perundang-undangan_Indonesia

http://www.legalitas.org/Konsepsi%20Perancangan%20Peraturan%20Perundang-
Undang%20Dan%20Teknik%20Penyusunan%20Peraturan%20Perundang-Undangan

http://saifudiendjsh.blogspot.com/2008/06/ilmu-perundang-undangan.html

http://www.legalitas.org/content/pembentukan-peraturan-perundangundangan-perspektif-
pemerintah

20

Anda mungkin juga menyukai