Anda di halaman 1dari 9

Nama : Muhammad Rivay Hakim

NIM : 11210480000091
Kelas : IH-A

LKJ UAS Ilmu Perundang-Undangan

1. a.
Pasal 22 ayat (1) UUD secara prinsip menegaskan bahwa Perppu merupakan suatu
peraturan pemerintah yang bertindak sebagai suatu undang-undang atau dengan perkataan
lain Perppu merupakan peraturan pemerintah yang diberi kewenangan sama dengan undang-
undang. Perppu harus ditetapkan oleh Presiden dalam hal ikhwal kegentingan yang memaksa
yang harus segera diatasi karena pada saat itu Presiden tidak dapat mengaturnya dengan
undang-undang, sementara pembentukan undang-undang memerlukan waktu yang relatif
lebih lama dan melalui prosedur yang panjang (Maria Farida, 1998:96).
Dalam Penjelasan Pasal 22 UUD dikatakan bahwa Pasal ini mengenai
"noodberordeningsrecht" Presiden. Aturan ini perlu diadakan agar keselamatan Negara dapat
dijamin oleh Pemerintah dalam keadaan yang genting, yang memaksa Pemerintah untuk
bertindak lekas dan tepat. Meskipun demikian, Pemerintah tidak akan terlepas dari
pengawasan DPR. Oleh karena itu peraturan pemerintah dalam pasal ini, memiliki kekuatan
yang sama dengan Undang-undang, sehingga pembentukan Perppu harus disahkan pula oleh
DPR.
Berdasarkan penjelasan Pasal 22 tersebut, penerbitan Perppu oleh Presiden hanya
dapat dilakukan dalam keadaan yang genting, namun kapan dan bagaimana keadaan yang
genting tersebut menyebabkan Presiden dapat menetapkan Perppu tidak ada penjelasan lebih
detail. Menurut Maria Farida (1998:96) pasal 22 UUD mengenai noodverordeningsrecht atau
“hak Presiden untuk mengatur dalam kegentingan yang memaksa” tersebut tidak selalu ada
hubungannya dengan keadaanya bahaya, tapi cukup kiranya apabila menurut keyakinan
Presiden ada keadaan yang mendesak, dan keadaan itu perlu segera diatur dengan peraturan
yang mempunyai derajat undang-undang. Dengan demikian, pengaturan keadaan tersebut
tidak dapat ditangguhkan sampai adanya sidang DPR yang akan membicarakan pengaturan
keadaan tersebut (Maria Farida, 1998:96).1
b.
Menurut argumen saya mengenai kewenangan MK terhadap pengujian PERPPU
berdasarkan Pasal 24 C (1) UUD bahwa MK berwenang untuk melakukan judicial review
pada UU di bawah UUD, yang artinya wewenang MK ialah menguji suatu hierarki peraturan
perundang-undangan yang setingkat dengan UU dibawah UUD yang tidak lain adalah
PERPPU. Sedangkan lembaga negara yang berwenang melakukan pengujian terhadap
peraturan perundang-undangan di bawah UU yang kedudukannya berada dibawah
UU/PERPPU ialah MA berdasarkan pasal 24 A (1). Jadi dari sini dapat disimpulkan bahwa
MK berwenang melakukan judicial review terhadap PERPPU.

2. Sebuah peraturan perundang-undangan dibentuk melalui 5 tahap sebagai berikut:


 Perencanaan
Perencanaan penyusunan undang-undang dilakukan melalui program legislasi
nasional yang biasa disebut prolegnas, yang merupakan skala prioritas program pembentukan
undang-undang dalam rangka mewujudkan sistem hukum nasional. Prolegnas memuat
program pembentukan undang-undang dengan judul rancangan undang-undang, materi yang
akan diatur, dan keterkaitannya dengan peraturan perundang-undangan lainnya.
Penyusunan prolegnas dilaksanakan oleh DPR dan Pemerintah yang dikoordinasikan
oleh DPR melalui alat kelengkapan DPR yang khusus menangani bidang legislasi.
Penyusunan prolegnas di lingkungan DPR dilakukan dengan mempertimbangkan usulan dari
fraksi, komisi, anggota DPR, DPD, dan/atau masyarakat.
Prolegnas ditetapkan untuk jangka menengah dan tahunan berdasarkan skala prioritas
pembentukan rancangan undang-undang. Penyusunan dan penetapan prolegnas jangka

1
Zuraida, Ida. Batasan Kegentingan Yang Memaksa Dalam Pembentukan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang - Undang (PERPPU) Di Bidang Perpajakan. Jakarta : Simposium Nasional Keuangan Negara (2018),
hlm. 307
menengah dilakukan pada awal masa keanggotaan DPR.
Hasil penyusunan Prolegnas antara DPR dan Pemerintah disepakati menjadi
prolegnas dan ditetapkan dalam rapat paripurna DPR. Prolegnas ditetapkan dengan Keputusan
DPR.
 Penyusunan
Sebuah rancangan undang-undang dapat berasal dari DPR atau Presiden. Rancangan
undang-undang harus disertai naskah akademik. Naskah akademik adalah naskah hasil
penelitian atau pengkajian hukum dan hasil penelitian lainnya terhadap suatu masalah tertentu
yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah mengenai pengaturan masalah tersebut
dalam suatu rancangan undang-undang sebagai solusi terhadap permasalahan dan kebutuhan
hukum masyarakat.
Rancangan undang-undang, baik yang berasal dari DPR maupun Presiden serta yang
diajukan DPD kepada DPR disusun berdasarkan Prolegnas. Rancangan Undang-Undang yang
diajukan oleh Presiden disiapkan oleh menteri atau pimpinan lembaga pemerintah
nonkementerian sesuai dengan lingkup tugas dan tanggung jawabnya. Dalam penyusunan
rancangan undang-undang, menteri atau pimpinan lembaga pemerintah nonkementerian
terkait, membentuk panitia antarkementerian dan/atau antarnonkementerian.
Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi rancangan undang-undang yang
berasal dari Presiden dikoordinasikan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan
pemerintahan di bidang hukum.
Setelah selesai dilakukan Pengharmonisasian, pembulatan, dan pemantapan konsepsi,
rancangan undang-undang diajukan dengan surat Presiden kepada pimpinan DPR. Surat
tersebut memuat penunjukan menteri yang ditugasi mewakili Presien dalam melakukan
pembahasan rancangan undang-undang bersama DPR. DPR mulai membahas rancangan
undang-undang dalam jangka waktu paling lama 60 hari terhitung sejak surat Presiden
diterima.
 Pembahasan dan pengesahan rancangan undang-undang
Pembahasan rancangan undang-undang dilakukan melalui 2 (dua) tingkat
pembicaraan, yaitu pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat
Badan Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus. Pembicaraan tingkat II
dalam rapat paripurna.
Pembicaraan tingkat I, dilakukan dengan kegiatan pengantar musyawarah, yaitu
Presiden memberikan penjelasan, fraksi dan DPD memberikan pandangan terhadap
rancangan undang-undang yang berasal dari Presiden. Dalam pembicaraan tingkat I juga
dilakukan kegiatan pembahasan daftar inventarisasi masalah yang diajukan oleh DPR. Setelah
pembahasan daftar inventarisasi masalah selesai, dilakukan penyampaian pendapat mini oleh
fraksi, DPD dan Presiden, sebagai akhir pembicaraan tingkat I.
Pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dalam rapat paripurna
yang terdiri dari kegiatan penyampaian laporan yang berisi proses, pendapat mini fraksi,
pendapat mini DPD, dan hasil pembicaraan tingkat I, pernyataan persetujuan atau penolakan
dari tiap fraksi dan anggota secara lisan yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna, dan
penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
Dalam hal persetujuan tidak dapat dicapai secara musyawarah untuk mufakat,
pengambilan keputusan dilakukan berdasarkan suara terbanyak. Apabila rancangan undang-
undang tidak mendapat persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, maka rancangan
undang-undang tersebut tidak boleh diajukan lagi dalam masa persidangan DPR masa itu.
Rancangan undang-undang dapat ditarik kembali sebelum dibahas bersama oleh DPR
dan Presiden. Rancangan undang-undang yang sedang dibahas hanya dapat ditarik kembali
berdasarkan persetujuan bersama DPR dan Presiden.
Rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama oleh DPR dan Presiden
disampaikan oleh pimpinan DPR kepada Presiden untuk disahkan menjadi Undang-Undang.
Penyampaian dilakukan dalam jangka waktu paling lama 7 hari terhitung sejak tanggal
persetujuan bersama. Rancangan undang-undang disahkan oleh Presiden dengan
membubuhkan tanda tangan dalam jangka waktu paling lama 30 hari terhitung sejak
rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama oleh DPR dan Presiden.
Dalam hal Rancangan Undang-Undang tidak ditandatangani oleh Presiden dalam
waktu paling lama 30 hari terhitung sejak Rancangan Undang-Undang tersebut disetujui
bersama, Rancangan Undang-Undang tersebut sah menjadi Undang-Undang dan wajib
diundangkan.

 Pengundangan
Agar setiap orang mengetahuinya, peraturan perundang-undangan harus diundangkan. Untuk
undang-undang dilakukan pengundangan dengan menempatkannya dalam Lembaran Negara
Republik Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia. Pengundangan
dilaksanakan oleh menteri yang menyelenggarakan urusan pemerintahan di bidang hukum.
Peraturan perundang-undangan mulai berlaku dan mempunyai kekuatan hukum mengikat
pada tanggal diundangkan, kecuali ditentukan lain di dalam peraturan perundang-undangan
yang bersangkutan.
 Penyebarluasan
Penyebarluasan undang-undang yang telah diundangkan dalam Lembaran Negara Republik
Indonesia dan Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia dilakukan secara bersama-
sama oleh DPR dan Pemerintah.
Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan diperlukan partisipasi masyarakat.
Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan/atau tertulis dalam pembentukan
peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 96 Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Masukan secara
tertulis dapat dilakukan melalui rapat dengar pendapat umum, kunjungan kerja, sosialisasi,
seminar, lokakarya, dan/atau diskusi. Masyarakat disini adalah orang perseorangan atau
kelompok orang yang mempunyai kepentingan atas substansi rancangan peraturan perundang-
undangan tersebut dan untuk memudahkan masyarakat dalam memberikan masukan, setiap
rancangan peraturan perundang-undangan harus dapat diakses dengan mudah oleh
masyarakat.

3. Pendapat argumentatif saya adalah bahwa DPR (Dewan Perwakilan Rakyat) merupakan
primary legislator atau lembaga legislatif utama dalam sistem pemerintahan demokratis. Hal ini
dikarenakan beberapa alasan berikut:
 Representasi Rakyat: DPR merupakan lembaga yang diisi oleh anggota-anggota yang dipilih
langsung oleh rakyat melalui pemilihan umum. Mereka memiliki mandat dari rakyat untuk
mewakili kepentingan dan aspirasi masyarakat. Oleh karena itu, DPR memiliki legitimasi
politik yang kuat untuk menghasilkan undang-undang yang mencerminkan keinginan rakyat.
 Proses Pembuatan Undang-Undang: DPR memiliki kewenangan dan tanggung jawab utama
dalam menyusun, membahas, dan mengesahkan undang-undang di parlemen. Mereka
memiliki komite-komite khusus yang terdiri dari anggota DPR yang ahli di berbagai bidang.
Komite-komite ini melakukan analisis, konsultasi, dan diskusi mendalam untuk memastikan
keberlanjutan undang-undang yang dihasilkan.
 Pembahasan Publik: DPR mendorong proses pembahasan publik yang melibatkan berbagai
pihak terkait, seperti pemerintah, ahli hukum, kelompok kepentingan, dan masyarakat umum.
Mekanisme ini memungkinkan adanya kontribusi dan masukan dari berbagai sudut pandang,
sehingga undang-undang yang dihasilkan menjadi lebih komprehensif dan representatif.
 Pengawasan Pemerintah: DPR memiliki peran pengawasan terhadap kebijakan pemerintah.
Mereka dapat memantau pelaksanaan undang-undang yang telah disahkan dan memastikan
bahwa pemerintah menjalankan tugasnya dengan baik. Jika terdapat ketidakpatuhan atau
penyimpangan, DPR dapat mengambil tindakan korektif melalui mekanisme pengawasan
yang ada.
Contoh yang menggambarkan potret DPR sebagai primary legislator adalah proses pengesahan
undang-undang di DPR yang melibatkan berbagai tahapan dan mekanisme. Misalnya, ketika DPR
membahas RUU (Rancangan Undang-Undang) tentang Kesehatan, mereka akan melibatkan komite
kesehatan yang terdiri dari anggota DPR yang memiliki pengetahuan dan pengalaman di bidang
kesehatan. Komite tersebut akan melakukan rapat, memanggil ahli, dan mendengarkan masukan dari
masyarakat dan stakeholder terkait. Setelah itu, RUU akan melalui proses perdebatan dan pemungutan
suara di DPR untuk akhirnya disahkan menjadi undang-undang. Selama proses ini, DPR menjadi
aktor utama yang menggerakkan dan mengawasi pembuatan undang-undang, sehingga potret DPR
sebagai primary legislator tercermin dalam proses tersebut.

4. Naskah Akademik merupakan dokumen yang menyajikan pemahaman teoritis, landasan


hukum, dan analisis yang mendalam terkait dengan suatu isu atau masalah yang akan diatur dalam
rancangan undang-undang. Naskah Akademik berfungsi sebagai panduan bagi para pembuat
kebijakan dan legislator dalam menyusun rancangan undang-undang yang berkualitas dan didukung
oleh argumen dan pengetahuan yang kuat.Konsekuensi suatu rancangan undang-undang jika tidak
menyertakan naskah akademik adalah sebagai berikut:
 Ketidaklengkapkan Argumen: Tanpa adanya naskah akademik, rancangan undang-undang
dapat kehilangan pemahaman teoritis dan analisis yang mendalam terkait dengan isu yang
diatur. Hal ini dapat mengakibatkan argumen yang lemah atau kurang kuat dalam penyusunan
undang-undang, sehingga mengurangi kualitas dan keefektifan undang-undang yang
dihasilkan.
 Potensi Ketidakkonsistenan: Naskah akademik dapat membantu memastikan konsistensi
antara berbagai ketentuan dalam rancangan undang-undang. Tanpa naskah akademik, ada
risiko terjadinya inkonsistensi antara pasal-pasal yang satu dengan yang lain, baik dalam hal
terminologi, definisi, maupun prinsip-prinsip hukum yang digunakan. Ini dapat menyebabkan
interpretasi yang bervariasi dan kebingungan dalam penerapan undang-undang.
 Tidak Didukung oleh Landasan Hukum yang Kuat: Naskah akademik berfungsi untuk
menyajikan landasan hukum yang mendukung rancangan undang-undang. Tanpa adanya
naskah akademik, kemungkinan adanya kelemahan dalam dasar yuridis yang digunakan untuk
mengatur suatu masalah atau isu tertentu. Hal ini dapat membuat undang-undang menjadi
rentan terhadap tantangan hukum atau dipertanyakan keabsahannya.
Dasar yuridis untuk pentingnya naskah akademik dalam penyusunan rancangan undang-undang
dapat ditemukan dalam prinsip-prinsip hukum, seperti prinsip kepastian hukum, kualitas hukum, dan
keberlanjutan hukum. Dalam konteks Indonesia, pedoman penyusunan naskah akademik untuk
rancangan undang-undang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2012 tentang
Pedoman Penyusunan Naskah Akademik. Peraturan ini menegaskan pentingnya penyusunan naskah
akademik sebagai dasar hukum yang kuat dalam rangka penyusunan undang-undang yang berkualitas
dan sesuai dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

5. Partisipasi masyarakat merupakan prasyarat dari respresentasi dari terealisasinya


pemerintahan yang demokratis, tanpa adanya partisipasi dan hanya mengandalkan mobilisasi, maka
demokrasi dalam sistem pemerintahan negara tidak akan terwujud. Maka penting bagi sebuah
pemerintahan yang baik dalam upaya untuk meningkatkan arus informasi, akuntabilitas, memberikan
perlindungan kepada masyarakat, serta memberikan suara bagi pihak-pihak yang paling berimbas oleh
kebijakan publik yang diterapkan.2 Partisipasi masyarakat dalam pembentukan peraturan perundang-
undangan secara prinsip dilakukan pada setiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan.
Hal tersebut dipertegaskan dengan asas pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik yang
diatur pada Pasal 5 huruf g Undang-Undang 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan yaitu asas keterbukaan, yang menyaratkan bahwa pada proses pembentukan
peraturan perundang-undangan harus dilakukan secara transparan atau terbuka. Sehingga setiap
elemen masyarakat dapat memiliki kesempatan untuk memberikan masukan.

Menurut Nonet dan Selznick, pentingnya peran masyarakat dalam pembentukan produk
hukum harus terlihat pada proses pembentukannya yang partisipatif, dimana masyarakat ikut
berpatisiasi dalam pembentukan undang-undang. 3 Berikut bentuk-bentuk partisipasi masyarakat
dalam pembentukan undang-undang yaitu :
1. Masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan dan tertulis dalam proses
pembentukan undang-undang, sebagaimana yang diatur dalam UU. No. 10 tahun
2004 tentang pembentukan peraturan perudang-undangan diatur pada bab X pasal 53.
2. Penyusunan dan pembahasan rancangan peraturan perundang- undangan sesuai
dengan tata cara dan tata tertib DPR, dalam pembentukan dan pembahasan suatu
undang-undang kebutuhan akan partisipasi masyarakat untuk menyusun dan

2
Riskiyono, Joko, “Partisipasi Masyarakat Dalam Pembentukan Perundang-Undangan Untuk Mewujudkan
Kesejahteraan” Vol. 6 No. 2 (Desember, 2015), hlm. 163
3
Nonet dan Selznick, Law and Society in Transition: Toward Rensponsive Law, dalam A. Ahsin Thohari,
Reorientasi Fungsi legslasi Dewan Perwakilan: Upaya Menuju Undang-Undang Responsif, Jurnal Legislasi
Indonesia, Vol. 8 No. 4, (Jakarta: Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-Undangan, 2011), hlm. 569. 10
Yuliandri, Op.Cit, hlm. 188.
membahas sangat diperlukan untuk mengetahui aspirasi yang disampaikan, atas suatu
rancangan undang-undang yang berakibat langsung kepada kesejahteraan rakyat.
3. Bentuk partisipasi masyarakat dalam pembuatan undang-undang yaitu menjaga
netralitas. Netralitas maksudnya yaitu persamaan, keadilan, dan perlindungan bagi
seluruh pihak terutama masyarakat, mencerminkan suasana konflik antar kekuatan
dan kepentingan dalam masyarakat.

4. Bentuk partisipasi yang dapat dilakukan masyarakat dalam pembentukan udang-


undang yaitu sebagai stakeholeders yang disebut dengan pemangku kepentingan.
Pemangku kepentingan yaitu partisipasi masyarakat dalam membahas rancangan
undang-undang akan sangat dibutuhkan untuk rancangan undang-undang yang sesuai
dengan masyarakat.
5. Selalu menyampaikan aspirasi masyarakat kepada pemerintahan yang sesuai dengan
proses pembentukan undang-undang dengan tujuan untuk meningkatkan
kesejahteraan indonesia.

6. Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik
yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi
diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa diisi oleh
mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok
pemegang kekuasaan politik. Kekuatan- kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi
kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin
dalam struktur kekuasaan lembaga negara, seperti Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat dan lembaga-
lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti: partai
politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, Lembaga Swadaya Masyarakat,
organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk
hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang
diberikan otoritas untuk itu. Seperti telah diuraikan dalam bagian terdahulu bahwa teori-teori hukum
yang berpengaruh kuat terhadap konsep-konsep dan implementasi kehidupan hukum di Indonesia
adalah teori hukum positivisme. Pengaruh teori ini dapat dilihat dari dominannya konsep kodifikasi
hukum dalam berbagai jenis hukum yang berlaku di Indonesia bahkan telah merambat ke sistem
hukum internasional dan tradisional (Lili Rasjidi, SH., 2003 : 181). 4
Hukum determinan atas politik dalam artian bahwa kegiatan politik diatur oleh dan harus
tunduk pada aturan-aturan hukum kemudian ketika politik determinan atas hukum, hukum merupakan
hasil atau kristalisasi dari kehendakkehendak politik yang saling berinteraksi dan bahkan saling
bersaingan. Tetapi, suatu system yang ideal yang posisi keduanya berada pada posisi determinan yang
seimbang maka dapat membentuk sebuah keteraturan. Meskipun hukum merupakan produk keputusan
politik, namun begitu hukum berlaku, maka semua kegiatan politik harus tunduk pada hukum. Pelaku
politik hukum adalah alat pemerintahan dalam arti luas, yakni alat pemerintahan dalam bidang
legislatif, alat pemerintahan dalam bidang yudikatif, yang dimaksud dengan alat pemerintahan dalam
bidang legislatif adalah alat pemerintahan yang bertugas menetapkan ketentuan hukum yang belum
berlaku umum. Berdasarkan undang-undang dasar 1945 (lama) yang termasuk alat pemerintahan
dalam bidang legislatif adalah MPR dalam menetapkan UUD dan garis-garis besar haluan negara
(Abdul Latif dan Hasbi Ali, 2011 : 81-82).5

7. Beberapa contoh yang menggambarkan lambannya hukum merespon derasnya kenyataan


perubahan yang terjadi di masyarakat di Indonesia adalah sebagai berikut:
 Perkembangan Teknologi: Perkembangan teknologi yang pesat sering kali memunculkan
tantangan dalam pengaturan hukum. Contohnya, munculnya platform digital seperti e-
commerce, ride-sharing, atau layanan daring lainnya yang mengubah cara masyarakat
berinteraksi dan melakukan bisnis. Namun, regulasi hukum yang mengatur hal-hal tersebut
seringkali tertinggal dan belum memadai untuk mengatasi tantangan yang muncul. Hal ini
dapat mengakibatkan ketidakseimbangan antara perkembangan teknologi dengan kerangka

4
Salam, Abdus. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia. Samarinda : Mazahib Jurnal
Pemikiran Islam (2015), hlm. 123
5
Salam, Abdus. Pengaruh Politik Dalam Pembentukan Hukum Di Indonesia. Samarinda : Mazahib Jurnal
Pemikiran Islam (2015), hlm. 125-126
hukum yang ada.
 Isu Lingkungan Hidup: Perubahan lingkungan hidup yang cepat dan masalah lingkungan
yang kompleks seringkali memerlukan respons hukum yang cepat. Contoh masalah ini adalah
deforestasi, perubahan iklim, dan kerusakan lingkungan lainnya. Namun, proses pembentukan
undang-undang yang lambat dan kompleks seringkali tidak dapat menangkap perubahan
tersebut dengan segera, sehingga respons hukum terhadap isu lingkungan seringkali
tertinggal.
 Perubahan Sosial dan Budaya: Perubahan sosial dan budaya yang terjadi di masyarakat
seringkali tidak sejalan dengan hukum yang ada. Misalnya, perubahan nilai-nilai sosial yang
berkaitan dengan peran gender, hak asasi manusia, atau perkawinan sejenis. Hukum yang
belum mengakomodasi perubahan ini dapat mengakibatkan ketidakadilan dan ketidaksetaraan
dalam perlindungan hukum bagi masyarakat.
 Inovasi Bisnis dan Ekonomi: Perkembangan bisnis dan ekonomi yang cepat seringkali
menghasilkan model bisnis baru atau praktik ekonomi yang belum diatur dengan baik dalam
hukum yang ada. Contoh seperti bisnis berbasis aplikasi, blockchain, atau mata uang digital.
Lambatnya respons hukum dalam mengatur inovasi bisnis ini dapat meninggalkan celah
hukum dan risiko bagi masyarakat.
 Perubahan Sosial-Politik: Perubahan sosial-politik yang terjadi dalam masyarakat, seperti
perubahan nilai, tuntutan baru dari masyarakat, atau perubahan kepentingan politik, seringkali
membutuhkan pengaturan hukum yang sesuai. Namun, proses pembentukan undang-undang
yang kompleks dan panjang seringkali tidak mampu mengakomodasi perubahan ini dengan
cepat.
Tantangan tersebut menggambarkan bahwa hukum seringkali lambat merespon perubahan yang
terjadi di masyarakat. Hal ini dapat mengakibatkan ketidakcocokan antara tuntutan nyata dari
masyarakat dengan kerangka hukum yang ada.
Menurut argumen saya, untuk mengatasi lambannya hukum merespon derasnya perubahan yang
terjadi di masyarakat, beberapa solusi yang dapat dilakukan adalah sebagai berikut:
1. Peningkatan Kecepatan Proses Legislasi: Diperlukan upaya untuk mempercepat proses
pembentukan undang-undang dengan mengurangi birokrasi yang berlebihan dan
menyederhanakan prosedur legislatif. Pembentukan tim atau kelompok kerja khusus yang
fokus pada isu-isu yang memerlukan perubahan hukum dapat membantu mengatasi
keterlambatan.
2. Penggunaan Pendekatan Responsif: Hukum perlu disusun dengan pendekatan yang responsif
terhadap perubahan sosial, budaya, ekonomi, dan teknologi. Pendekatan ini melibatkan
pemantauan terus-menerus terhadap perkembangan masyarakat dan identifikasi cepat
terhadap isu-isu yang membutuhkan regulasi hukum baru atau perubahan dalam hukum yang
ada.
3. Keterlibatan Pihak-Pihak Terkait: Melibatkan berbagai pihak terkait seperti akademisi,
praktisi hukum, kelompok masyarakat, dan pakar di bidang terkait dalam proses pembentukan
undang-undang dapat membantu memperoleh perspektif yang lebih luas dan mempercepat
respons hukum terhadap perubahan.
4. Penggunaan Instrumen Hukum Alternatif: Selain undang-undang, penggunaan instrumen
hukum alternatif seperti peraturan pemerintah, keputusan presiden, atau peraturan daerah
dapat digunakan untuk merespon perubahan yang memerlukan tindakan lebih cepat daripada
proses legislasi yang panjang.
5. Peningkatan Kapasitas Lembaga Legislasi: Meningkatkan kapasitas lembaga legislatif seperti
DPR untuk dapat merespons dengan cepat perubahan yang terjadi di masyarakat. Ini dapat
dilakukan melalui pelatihan dan pendidikan yang terus-menerus tentang isu-isu terkini,
pemahaman hukum, dan proses pembentukan undang-undang.
6. Peningkatan Kesadaran Hukum di Masyarakat: Mengedukasi masyarakat tentang hukum, hak,
dan kewajiban mereka dapat membantu menghasilkan masyarakat yang lebih sadar hukum.
Hal ini dapat mendorong partisipasi aktif dalam proses legislatif dan membantu mempercepat
respons hukum terhadap perubahan yang terjadi.
Solusi-solusi ini bertujuan untuk mempercepat respons hukum terhadap perubahan yang terjadi di
masyarakat dan menjaga relevansi hukum dengan kebutuhan nyata masyarakat. Penting untuk
melibatkan semua pemangku kepentingan terkait dalam proses ini dan mendorong kolaborasi untuk
mencapai sistem hukum yang lebih adaptif dan responsif.
8. Dalam pencabutan suatu undang-undang, terdapat beberapa prinsip penting yang perlu
diperhatikan. Berikut adalah beberapa prinsip tersebut beserta penjelasannya 6:
 Prinsip Kejelasan: Pencabutan undang-undang harus dilakukan dengan kejelasan yang
memadai. Artinya, proses pencabutan harus jelas dan transparan sehingga semua pihak yang
terlibat dapat memahami dan mengerti alasan serta mekanisme pencabutan tersebut. Prinsip
kejelasan juga berhubungan dengan kejelasan terkait efek dan konsekuensi dari pencabutan
tersebut.
 Prinsip Kepastian Hukum: Prinsip ini menuntut adanya kepastian hukum dalam pencabutan
undang-undang. Pemerintah atau badan yang berwenang harus memberikan jaminan bahwa
pencabutan dilakukan sesuai dengan prosedur yang diatur dan tidak bertentangan dengan
prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Hal ini penting untuk menjaga kestabilan dan
kepercayaan masyarakat terhadap sistem hukum.
 Prinsip Legalitas: Pencabutan undang-undang harus didasarkan pada landasan hukum yang
jelas dan sesuai dengan aturan yang berlaku. Pemerintah atau badan yang berwenang harus
memastikan bahwa pencabutan dilakukan dengan mematuhi prinsip-prinsip hukum dan tidak
melanggar hak-hak dan kepentingan yang dilindungi oleh hukum.
 Prinsip Proporsionalitas: Pencabutan undang-undang harus dilakukan dengan memperhatikan
prinsip proporsionalitas. Artinya, pencabutan tersebut harus sebanding dengan tujuan yang
ingin dicapai dan tidak melebihi batas yang diperlukan. Prinsip ini penting untuk mencegah
tindakan yang berlebihan atau tidak wajar dalam pencabutan undang-undang yang dapat
merugikan masyarakat.

a) Pencabutan dengan Penggantian, pencabutan dengan penggantian terjadi apabila suatu


undang-undang yang ada digantikan dengan suatu undang-undang yang baru. Dalam
pencabutan dengan penggantian ini, ketentuan pencabutan tersebut dapat diletakkan di depan
(dalam pembukaan) ataupun diletakkan di belakang (dalam ketentuan penutup). Apabila
ketentuan pencabutan tersebut diletakkan di depan (dalam pembukaan), maka ketentuan
pencabutan ini berakibat bahwa undang-undang yang dinyatakan dicabut itu akan tercabut
beserta akar-akarnya, dalam arti undang-undang tersebut tercabut beserta seluruh peraturan
pelaksanaannya. Apabila ketentuan pencabutan tersebut diletakkan di belakang (dalam
ketentuan penutup), undang-undang yang dicabut itu akan tercabut, tetapi tidak beserta akar-
akarnya, dalam arti undang-undang tersebut tercabut namun peraturan pelaksanaannya masih
dapat dinyatakan berlaku.
b) Pencabutan tanpa Penggantian, dalam pencabutan suatu undang-undang yang dilakukan
tanpa penggantian, kerangka (kenvorm) dari undang-undang tersebut mempunyai kesamaan
dengan perubahan undang-undang, yaitu dalam batang tubuhnya akan terdiri atas dua pasal
yang berisi:
Pasal 1: berisi tentang ketentuan pencabutan.
Pasal 2: berisi tentang ketentuan mulai berlakunya undang-undang tersebut.
Dalam mencabut suatu undang-undang karena undang-undang yang lama tidak diperlukan
lagi dan diganti dengan yang baru, maka dalam undang-undang yang baru harus secara tegas
mencabut undang-undang yang tidak diperlukan itu. Jika materi dalam undang-undang
baru menyebabkan perlunya penggantian seluruh atau sebagian materi dalam undang-undang
lama, di dalam undang-undang baru harus secara tegas diatur mengenai pencabutan seluruh
atau pencabutan sebagian undang-undang.

9. Dalam konteks pengujian terhadap suatu undang-undang (toetsingrecht), terdapat tiga jenis
pengujian yang umum dilakukan, yaitu executive review, legislative review, dan judicial review.
Berikut adalah penjelasan tentang perbedaan antara ketiga jenis pengujian tersebut 7:
 Executive Review: Executive review adalah pengujian terhadap undang-undang oleh
kekuasaan eksekutif atau pemerintah. Dalam proses ini, keputusan atau tindakan pemerintah
dievaluasi terhadap kesesuaian atau keabsahan undang-undang yang menjadi dasar atau
landasan hukum dari keputusan atau tindakan tersebut. Tujuan dari executive review adalah
memastikan bahwa tindakan pemerintah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku.

6
Purwaningsih, Titin. Hukum Pencabutan Undang-Undang dalam Sistem Hukum Indonesia. Jurnal Hukum &
Pembangunan (2017), hlm. 439-454.
7
Saldi Isra.. Pengujian Undang-Undang dalam Sistem Ketatanegaraan Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti
(2016).
 Legislative Review: Legislative review adalah pengujian terhadap undang-undang oleh badan
legislatif atau parlemen. Dalam konteks ini, badan legislatif mengevaluasi undang-undang
yang telah disahkan untuk memastikan kesesuaian dengan prinsip-prinsip konstitusional dan
prosedur legislasi yang berlaku. Tujuan dari legislative review adalah memastikan bahwa
undang-undang yang disahkan oleh badan legislatif sesuai dengan prinsip-prinsip hukum
yang berlaku.
 Judicial Review: Judicial review adalah pengujian terhadap undang-undang oleh lembaga
peradilan. Dalam hal ini, lembaga peradilan mengevaluasi undang-undang untuk memeriksa
kesesuaian dengan konstitusi atau prinsip-prinsip hukum yang lebih tinggi. Tujuan dari
judicial review adalah memastikan bahwa undang-undang tidak bertentangan dengan
konstitusi dan prinsip-prinsip hukum yang ada, serta melindungi hak-hak individu dan
kebebasan sipil.

Pengujian produk hukum daerah pasca disahkan merujuk pada proses pengujian dan evaluasi
terhadap peraturan perundang-undangan tingkat daerah yang dilakukan oleh lembaga yudikatif
(Mahkamah Agung), dan telah disahkan oleh lembaga legislatif daerah (misalnya DPRD Provinsi atau
DPRD Kabupaten/Kota). Mekanisme dan prosedur pengujian ini
 Identifikasi Kebutuhan Pengujian: Pada tahap ini, pihak yang berwenang (seperti eksekutif
daerah, pemerintah provinsi, atau lembaga hukum terkait) mengidentifikasi kebutuhan
pengujian terhadap peraturan perundang-undangan yang telah disahkan. Hal ini bisa
dilakukan berdasarkan adanya indikasi atau dugaan mengenai ketidaksesuaian atau
ketidakpatuhan terhadap hukum yang berlaku, atau perluasan dampak peraturan tersebut
terhadap masyarakat atau sektor tertentu.
 Pengumpulan Informasi dan Data: Tahap ini melibatkan pengumpulan informasi dan data
terkait peraturan yang akan diuji. Informasi dan data ini dapat mencakup naskah peraturan,
latar belakang kebijakan, hasil evaluasi awal, dan pandangan pihak terkait seperti akademisi,
praktisi hukum, atau masyarakat terdampak.
 Analisis dan Evaluasi: Dalam tahap ini, peraturan perundang-undangan yang disahkan
dianalisis dan dievaluasi secara seksama. Analisis dan evaluasi ini dapat mencakup aspek-
aspek seperti kepatuhan terhadap hukum yang lebih tinggi (misalnya undang-undang nasional
atau konstitusi), konsistensi dengan kebijakan nasional atau regional, dan dampak sosial-
ekonomi yang ditimbulkan.
 Penentuan Tindakan: Setelah analisis dan evaluasi dilakukan, pihak yang berwenang
memutuskan tindakan apa yang harus diambil terhadap peraturan tersebut. Tindakan tersebut
dapat berupa merevisi, mencabut, atau mengubah sebagian atau seluruh isi peraturan
perundang-undangan. Keputusan ini harus mempertimbangkan hasil evaluasi serta ketentuan
hukum yang berlaku.
 Implementasi Tindakan: Tahap terakhir adalah implementasi tindakan yang telah diputuskan.
Hal ini melibatkan penyusunan dan pengumuman peraturan baru (jika ada perubahan atau
revisi), serta memastikan pelaksanaan dan kepatuhan terhadap peraturan yang baru.

10. Pendapat argumentatif saya tentang akar dari persoalan penundaan pengesahan RKUHP di
Indonesia adalah sebagai berikut:
Pertama, perbedaan dalam proses legislasi: Proses legislasi di Indonesia melibatkan banyak
pemangku kepentingan dan terkadang membutuhkan waktu yang cukup lama untuk mencapai
konsensus. Terdapat berbagai pandangan dan kepentingan yang beragam, baik dari kalangan
legislatif, eksekutif, maupun masyarakat sipil. Persoalan ini dapat menghambat proses
pengesahan undang-undang, termasuk RKUHP. Diskusi dan negosiasi yang panjang untuk
mencapai kata sepakat tentang berbagai ketentuan dalam RKUHP memerlukan waktu dan
upaya yang signifikan.
Kedua, kompleksitas dan sensitivitas materi RKUHP: RKUHP merupakan undang-undang
yang mengatur berbagai aspek kehidupan masyarakat, termasuk bidang kriminal, kejahatan,
dan keadilan. Materi yang kompleks dan sensitif ini memerlukan pembahasan yang
mendalam dan perhatian khusus dalam menjaga keseimbangan antara perlindungan hak
individu dan kepentingan umum. Persoalan-persoalan kontroversial seperti kriminalisasi
penistaan agama, kejahatan korupsi, atau kejahatan terkait dengan media sosial juga dapat
memperlambat proses pengesahan.
Ketiga, perbedaan pandangan dan nilai-nilai sosial budaya: Indonesia adalah negara yang
beragam, baik dari segi etnis, agama, budaya, dan adat istiadat. Perbedaan pandangan dan
nilai-nilai sosial budaya ini juga tercermin dalam proses legislasi, termasuk pengesahan
RKUHP. Terdapat perdebatan dan perselisihan tentang sejauh mana nilai-nilai agama dan
budaya harus tercermin dalam RKUHP. Persoalan ini memerlukan kesepahaman dan
kompromi yang kuat untuk mencapai kesepakatan yang dapat diterima oleh semua pihak.
Selain itu, perbedaan konteks sejarah dan hukum: Perubahan KUHP di Belanda yang sering
terjadi dapat dikaitkan dengan perbedaan konteks sejarah dan hukum antara Indonesia dan
Belanda. Belanda memiliki sistem hukum dan tradisi hukum yang berbeda dengan Indonesia.
Selain itu, konteks sosial, politik, dan budaya yang berbeda juga mempengaruhi perubahan
KUHP di kedua negara. Oleh karena itu, tidak dapat langsung menyamakan perubahan KUHP
di Belanda dengan proses pengesahan RKUHP di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai