1710611334
Secara Konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945 terkait Perbedaan DPR dan DPD
masing masing Lembaga tersebut memiliki kewenangan yang berbeda yakni :
Legislative review yaitu Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga politik pada dasarnya
sangat berbeda dengan review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
yudisial. Proses review oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap peraturan pemerintah
pengganti undang-undang yang diajukan oleh pemerintah bersifat politis. Di mana proses
tergantung kepada sikap fraksi-fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat.
Sebagai contoh saya mengambil contoh terkait Proses review peraturan pemerintah pengganti
undang-undang dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang kemudian pelaksanaan diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.
A. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
B. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. Pembicaraan tingkat I dilakukan
dengan kegiatan:
Pengantar musyawarah,
Pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
Penyampaian pendapat mini.
- Penyampaian laporan berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini Dewan
Perwakilan Daerah, dan hasil pembicaraan tingkat I;
- Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan
yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
- Penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.
Kesimpulan Legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang
memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan.
Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative
review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945,
pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU)- untuk mengubah UU tertentu.
Dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki
fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan,
misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal.
Lembaga yang berwenang melakukan hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
4. Sebagaimana diketahui akhir-akhir ini sedang marak aksi penolakan terhadap
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang dikenal dengan
OmnibusLaw.
Omnibus law adalah peraturan perundangan yang dikenal sebagai omnibus bill pada negara
penganut sistem hukum common law yang mana meninggikan nilai keadilan. Berbeda dengan
Indonesia yang menganut sistem hukum civil law yang meninggikan kepastian hukum sebagai
landasan utamanya, omnibus law dapat menjadi terobosan baru yang membawa manfaat kepada
publik, namun omnibus law juga berpotensi mengacaukan sistem hukum yang sudah menjadi kultur
indonesia apabila tidak disusun dan direncanakan dengan baik.
Mengutip dari Bryan A. Garner, et.al (Eds.) dalam Black’s Law Dictionary Ninth Edition
Bahwa omnibus bill merupakan peraturan perundangan yang bersifat menagih atau memaksa, yang
mana pada sistem hukum amerika omnibus bill merupakan way to force the executive to accept all
the unrelated minor provisions or to veto the major provision, yang sejatinya terdapat prosedural
hukum yang tidak kompatibel dengan sistem hukum yang berlaku indonesia. Habitat dari omnibus
bill yaitu common law system memberikan keleluasaan parlemen untuk membuat satu undang-
undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Berbeda dengan konsep
omnibus law yang ada di indonesia yaitu mengatur beberapa undang-undang dalam satu perundang-
undangan, namun hanya menyisipkan atau mengurangi pasal dari regulasi utama atau regulasi
induknya sehingga status dari omnibus law dan induk regulasinya menjadi bias.
Menurut kesimpulan saya terkait Omnibus Law yang digadang-gadang pemerintah menjadi solusi
atas ketidak efektif dan efisiennya birokrasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Yang kedua Omnibus law dicanangkan sebagai regulasi yang mempermudah investasi masuk dengan
memangkas izin lingkungan yang berantai, memberikan jaminan kepada pekerja yang di PHK dengan
jaminan berupa kompensasi dan pelatihan tertentu, dan juga kemudahan berusaha sangat linear
dengan visi pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan dunia usaha,
yang nantinya akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi indonesia. Namun status dari Omnibus
Law yang masih bias dimata sistem hukum indonesia, mulai dari status utama dan juga upaya
hukumnya. Terlebih lagi Omnibus Law yang berkesan berpihak kepada pihak pebisnis juga
meresahkan masyarakat, Untuk sekarang ini publik akan menilai, antara urgensi ekonomi dan
kejelasan hukum guna keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat indonesia yang akan menjadi
pilihan mereka.
Dapat disimpulkan juga bahwa Omnibus law adalah suatu metode atau konsep pembuatan
regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda,
menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. Regulasi yang dibuat senantiasa dilakukan
untuk membuat undang-undang yang baru dengan membatalkan atau mencabut juga
mengamandemen beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.
B. Apakah RUU Cipta Kerja sudah tepat disebut sebagai Omnibus Law.
Menurut saya sudah dapat disimpulkan sebagai Omnibus Law, Karena RUU Cipta Kerja
mengatur bermacam-macam aspek yang digabung menjadi satu perundang-undangan atau
bisa dikatakan satu undang-undang yang mengatur banyak hal. Karena itulah RUU Cipta
kerja dapat dikatakan sebagai Omnibus Law. Omnibus Law Cipta Kerja mencakup 11 klaster
yang diantaranya adalah:
Pengenaan sanksi,
Kawasan ekonomi,
Kemudahan berusaha
Pengadaan lahan,
Investasi dan proyek pemerintah,
Administrasi Pemerintahan
Namun menurut kajian Analisa saya terdapat beberapa poin yang dapat merugikan buruh
karena regulasi tersebut, isi dari RUU Ciptaker tersebu dinilai sangat merugikan buruh dan
mempermudah perusahaan dalam urusan ekonomi namun harus mengoorbankan hak – hak
buruh, antara lain :
UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) atau pekerja kontrak.
Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan
sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja
waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan
mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu
kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan
kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak
tanpa batas.
Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam
UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib
diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain
itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan
bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan
masa kerja enam tahun.
Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah
pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan,
pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan
istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.