Anda di halaman 1dari 8

ALDHY PUTRA WIBISONO

1710611334

PERANCANGAN PERUNDANG-UNDANGAN LOKAL B

Syamsul Hadi S.H.,M.H

1. Pembentukan peraturan perundang-undangan dilaksanakan berdasarkan asas


pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik. Sebutkan dan
jelaskan asas pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut ?

Menurut Undang-Undang 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan


Perundang-Undangan Pasal 5 :
a. Asas kejelasan tujuan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan PUU harus
mempunyai tujuan yang jelas yang hendak dicapai.
b. Asas kelembagaan atau pejabat pembentuk yang tepat adalah bahwa setiap
jenis peraturan PUU harus dibuat oleh lembaga negara atau pejabat pembentuk
peraturan PUU yang berwenang. Peraturan PUU tersebut dapat dibatalkan atau
batal demi hukum apabila dibuat oleh lembaga negara atau pejabat yang tidak
berwenang.
c. Asas kesesuaian antara jenis, hierarki, dan materi muatan adalah bahwa dalam
pembentukan peraturan PUU harus benar-benar memperhatikan materi muatan
yang tepat sesuai dengan jenis dan hierarki Peraturan Perundang-undangan
d. Asas dapat dilaksanakan adalah bahwa setiap pembentukan peraturan PUU
harus memperhitungkan efektivitas peraturan PUU tersebut di dalam
masyarakat, baik secara filosofis, sosiologis, maupun yuridis.
e. Asas kedayagunaan dan kehasilgunaan adalah bahwa setiap Peraturan
Perundang-undangan dibuat karena memang benar-benar dibutuhkan dan
bermanfaat dalam mengatur kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan
bernegara.
f. Asas kejelasan rumusan adalah bahwa setiap peraturan PUU harus memenuhi
persyaratan teknis penyusunan peraturan PUU, sistematika, pilihan kata atau
istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak
menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya
g. Asas keterbukaan adalah bahwa dalam pembentukan peraturan PUU mulai
dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, dan
pengundangan bersifat transparan dan terbuka.

2. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) sebagai lembaga negara yang melaksanakan


kekuasaan bidang legislatif berbeda dengan Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
dalam pembentukan atau mengajukan rancangan undangundang. Jelaskan
perbedaan kedua lembaga negara tersebut.

Secara Konstitusi kita yaitu Undang-Undang Dasar 1945 terkait Perbedaan DPR dan DPD
masing masing Lembaga tersebut memiliki kewenangan yang berbeda yakni :

No Lembaga Dasar KETERANGAN


Konstitusional

1 DPR  UUD 1945 DPR memegang kekuasaan membentuk


Undang-undang.
 Pasal 20 ayat
(1) Anggota DPR berhak mengajukan RUU.

 Pasal 21 Fungsi legislasi, ialah menetapkan undang-


undang dengan persetujuan Presiden.

Fungsi anggaran, ialah menyusun dan


menetapkan APBN melalui undang-undang.

Fungsi pengawasan, ialah mengawasi


pelaksanaan pemerintahan oleh Presiden.
2 DPD  UUD 1945 DPD dapat mengajukan kepada DPR RUU
yang berkaitan dengan otonomi daerah,
 Pasal 22D
hubungan pusat dan daerah, pembentukan dan
ayat (1)
pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan sumber daya alam dan sumber
daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan
dengan perimbangan keuangan pusat dan
daerah.

Membahas rancangan undang-undang berkaitan


dengan otonomi daerah, hubungan pusat dan
daerah, pembentukan dan pemekaran serta
pengembangan daerah, pengelolaan sumber
daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya,
serta perimbangan keuangan pusat dan daerah;
serta memberikan pertimbangan kepada DPR
atas rancangan undang-undang APBN, pajak,
pendidikan, dan agama.

Melakukan pengawasan atas pelaksanaan


undang-undang tersebut di atas, serta
menyampaikan hasil pengawasan kepada DPR.

Berhak mengajukan rancangan undang-undang


yang berkaitan dengan otonomi daerah dan
membahas yang berkaitan dengan daerah. DPD
juga berhak memberikan pertimbangan tentang
rancangan undang-undang APBN, pajak,
pendidikan dan agama.
3. Jelaskan apa yang dimaksud dengan legislative review terhadap peraturan
perundang-undangan. Lembaga apa yang berwenang melakukannya.

Legislative review yaitu Dewan Perwakilan Rakyat sebagai lembaga politik pada dasarnya
sangat berbeda dengan review yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga
yudisial. Proses review oleh Dewan Perwakilan Rakyat terhadap peraturan pemerintah
pengganti undang-undang yang diajukan oleh pemerintah bersifat politis. Di mana proses
tergantung kepada sikap fraksi-fraksi yang ada di Dewan Perwakilan Rakyat.

Sebagai contoh saya mengambil contoh terkait Proses review peraturan pemerintah pengganti
undang-undang dilaksanakan berdasarkan ketentuan Pasal 22 Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia yang kemudian pelaksanaan diatur dalam Pasal 52 Undang-Undang
Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

Berdasarkan Pasal 52 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan


Peraturan Perundang-undangan proses review peraturan pemerintah pengganti undang-
undang oleh Dewan Perwakilan Rakyat yaitu sebagai berikut:

 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus diajukan ke Dewan


Perwakilan Rakyat dalam persidangan berikut.
 Pengajuan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) dilakukan dalam bentuk pengajuan Rancangan Undang-Undang tentang
Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang menjadi Undang-
Undang.
 Dewan Perwakilan Rakyat hanya memberikan persetujuan atau tidak memberikan
persetujuan terhadap Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
 Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang mendapat persetujuan
Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang tersebut ditetapkan menjadi Undang-Undang.
 Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang tidak mendapat
persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat dalam rapat paripurna, Peraturan Pemerintah
Pengganti Undang-Undang tersebut harus dicabut dan harus dinyatakan tidak berlaku.
 Dalam hal Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang harus dicabut dan harus
dinyatakan tidak berlaku sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Dewan Perwakilan
Rakyat atau Presiden mengajukan Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan
Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang.
 Rancangan Undang-Undang tentang Pencabutan Peraturan Pemerintah Pengganti
Undang-Undang.

Proses pembahasannya di Dewan Perwakilan Rakyat sama dengan proses pembahasan


rancangan undang-undang biasa. Di mana, proses pembahasan rancangan undangundang
dilakukan melalui 2 (dua) tingkat pembicaraan yaitu :

A. pembicaraan tingkat I dalam rapat komisi, rapat gabungan komisi, rapat Badan
Legislasi, rapat Badan Anggaran, atau rapat Panitia Khusus; dan
B. pembicaraan tingkat II dalam rapat paripurna. Pembicaraan tingkat I dilakukan
dengan kegiatan:
 Pengantar musyawarah,
 Pembahasan daftar inventarisasi masalah; dan
 Penyampaian pendapat mini.

Kemudian pembicaraan tingkat II merupakan pengambilan keputusan dapat rapat paripurna


dengan kegiatan:

- Penyampaian laporan berisi proses, pendapat mini fraksi, pendapat mini Dewan
Perwakilan Daerah, dan hasil pembicaraan tingkat I;
- Pernyataan persetujuan atau penolakan dari tiap-tiap fraksi dan anggota secara lisan
yang diminta oleh pimpinan rapat paripurna; dan
- Penyampaian pendapat akhir Presiden yang dilakukan oleh menteri yang ditugasi.

Kesimpulan Legislative review adalah upaya ke lembaga legislatif atau lembaga lain yang
memiliki kewenangan legislasi untuk mengubah suatu peraturan perundang-undangan.
Misalnya, pihak yang keberatan terhadap suatu undang-undang dapat meminta legislative
review ke Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) –dan tentunya pemerintah (dalam UUD 1945,
pemerintah juga mempunyai kewenangan membuat UU)- untuk mengubah UU tertentu.
Dalam legislative review, setiap orang tentu bisa saja meminta agar lembaga yang memiliki
fungsi legislasi melakukan revisi terhadap produk hukum yang dibuatnya dengan alasan,
misalnya, peraturan perundang-undangan itu sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan
zaman, bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi atau
bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang sederajat secara horizontal.
Lembaga yang berwenang melakukan hal ini adalah Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
4. Sebagaimana diketahui akhir-akhir ini sedang marak aksi penolakan terhadap
Rancangan Undang-Undang (RUU) Cipta Kerja yang dikenal dengan
OmnibusLaw.

A. Jelaskan apa yang dimaksud dengan Omnibus Law.

Omnibus law adalah peraturan perundangan yang dikenal sebagai omnibus bill pada negara
penganut sistem hukum common law yang mana meninggikan nilai keadilan. Berbeda dengan
Indonesia yang menganut sistem hukum civil law yang meninggikan kepastian hukum sebagai
landasan utamanya, omnibus law dapat menjadi terobosan baru yang membawa manfaat kepada
publik, namun omnibus law juga berpotensi mengacaukan sistem hukum yang sudah menjadi kultur
indonesia apabila tidak disusun dan direncanakan dengan baik.

Mengutip dari Bryan A. Garner, et.al (Eds.) dalam Black’s Law Dictionary Ninth Edition

Bahwa omnibus bill merupakan peraturan perundangan yang bersifat menagih atau memaksa, yang
mana pada sistem hukum amerika omnibus bill merupakan way to force the executive to accept all
the unrelated minor provisions or to veto the major provision, yang sejatinya terdapat prosedural
hukum yang tidak kompatibel dengan sistem hukum yang berlaku indonesia. Habitat dari omnibus
bill yaitu common law system memberikan keleluasaan parlemen untuk membuat satu undang-
undang baru untuk mengamandemen beberapa undang-undang sekaligus. Berbeda dengan konsep
omnibus law yang ada di indonesia yaitu mengatur beberapa undang-undang dalam satu perundang-
undangan, namun hanya menyisipkan atau mengurangi pasal dari regulasi utama atau regulasi
induknya sehingga status dari omnibus law dan induk regulasinya menjadi bias.

Menurut kesimpulan saya terkait Omnibus Law yang digadang-gadang pemerintah menjadi solusi
atas ketidak efektif dan efisiennya birokrasi dalam pembentukan peraturan perundang-undangan.
Yang kedua Omnibus law dicanangkan sebagai regulasi yang mempermudah investasi masuk dengan
memangkas izin lingkungan yang berantai, memberikan jaminan kepada pekerja yang di PHK dengan
jaminan berupa kompensasi dan pelatihan tertentu, dan juga kemudahan berusaha sangat linear
dengan visi pemerintah untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia dengan dunia usaha,
yang nantinya akan mendongkrak pertumbuhan ekonomi indonesia. Namun status dari Omnibus
Law yang masih bias dimata sistem hukum indonesia, mulai dari status utama dan juga upaya
hukumnya. Terlebih lagi Omnibus Law yang berkesan berpihak kepada pihak pebisnis juga
meresahkan masyarakat, Untuk sekarang ini publik akan menilai, antara urgensi ekonomi dan
kejelasan hukum guna keadilan dan kepastian hukum bagi masyarakat indonesia yang akan menjadi
pilihan mereka.
Dapat disimpulkan juga bahwa Omnibus law adalah suatu metode atau konsep pembuatan
regulasi yang menggabungkan beberapa aturan yang substansi pengaturannya berbeda,
menjadi satu peraturan dalam satu payung hukum. Regulasi yang dibuat senantiasa dilakukan
untuk membuat undang-undang yang baru dengan membatalkan atau mencabut juga
mengamandemen beberapa peraturan perundang-undangan sekaligus.

B. Apakah RUU Cipta Kerja sudah tepat disebut sebagai Omnibus Law.

Menurut saya sudah dapat disimpulkan sebagai Omnibus Law, Karena RUU Cipta Kerja
mengatur bermacam-macam aspek yang digabung menjadi satu perundang-undangan atau
bisa dikatakan satu undang-undang yang mengatur banyak hal. Karena itulah RUU Cipta
kerja dapat dikatakan sebagai Omnibus Law. Omnibus Law Cipta Kerja mencakup 11 klaster
yang diantaranya adalah:

 Penyederhanaan perizinan,  Kemudahan, pemberdayaan, dan


 Persyaratan investasi, perlindungan UMKM,
 Dukungan riset dan inovasi,
 Ketenagakerjaan

 Pengenaan sanksi,
 Kawasan ekonomi,
 Kemudahan berusaha
 Pengadaan lahan,
 Investasi dan proyek pemerintah,
 Administrasi Pemerintahan

Namun menurut kajian Analisa saya terdapat beberapa poin yang dapat merugikan buruh
karena regulasi tersebut, isi dari RUU Ciptaker tersebu dinilai sangat merugikan buruh dan
mempermudah perusahaan dalam urusan ekonomi namun harus mengoorbankan hak – hak
buruh, antara lain :

UU Cipta Kerja menghapus aturan mengenai jangka waktu perjanjian kerja waktu tertentu
(PKWT) atau pekerja kontrak.

Pasal 59 ayat (4) UU Cipta Kerja menyebutkan, ketentuan lebih lanjut mengenai jenis dan
sifat atau kegiatan pekerjaan, jangka waktu dan batas waktu perpanjangan perjanjian kerja
waktu tertentu diatur dengan Peraturan Pemerintah. Sebelumnya, UU Ketenagakerjaan
mengatur PKWT dapat diadakan paling lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu
kali untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Ketentuan baru ini berpotensi memberikan
kekuasaan dan keleluasaan bagi pengusaha untuk mempertahankan status pekerja kontrak
tanpa batas.

Hari libur dipangkas (Pasal 79)

Hak pekerja mendapatkan hari libur dua hari dalam satu pekan yang sebelumnya diatur dalam
UU Ketenagakerjaan, dipangkas. Pasal 79 ayat (2) huruf (b) mengatur, pekerja wajib
diberikan waktu istirahat mingguan satu hari untuk enam hari kerja dalam satu pekan. Selain
itu, Pasal 79 juga menghapus kewajiban perusahaan memberikan istirahat panjang dua bulan
bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun berturut-turut dan berlaku tiap kelipatan
masa kerja enam tahun.

Pasal 79 ayat (3) hanya mengatur pemberian cuti tahunan paling sedikit 12 hari kerja setelah
pekerja/buruh bekerja selama 12 bulan secara terus-menerus. Pasal 79 Ayat (4) menyatakan,
pelaksanaan cuti tahunan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan atau perjanjian
kerja bersama. Kemudian Pasal 79 ayat (5) menyebut, perusahaan tertentu dapat memberikan
istirahat panjang yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian
kerja bersama.

Anda mungkin juga menyukai