Stambuk : D10120353
Setelah amandemen UUD 1945, lembaga-lembaga negara di Indonesia terdiri dari beberapa
lembaga diantaranya, yaitu :
1. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)
MPR adalah lembaga negara. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR), sekarang ini
bukan lagi merupakan lembaga tertinggi negara. Ia adalah lembaga negara yang
sederajat dengan lembaga negara lainnya. Dengan tidak adanya lembaga tertinggi
negara maka tidak ada lagi sebutan lembaga tinggi negara dan lembaga tertinggi
negara. Semua lembaga yang disebutkan dalam UUD 1945 adalah lembaga negara.
Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) merupakan lembaga pelaksana kedaulatan
rakyat oleh karena anggota Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) adalah para
wakil rakyat yang berasal dari pemilihan umum. MPR bukan pelaksana sepenuhnya
kedaulatan rakyat sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 Ayat (2) UUD 1945
,perubahan ketiga bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut undang-undang dasar. Ketentuan mengenai keanggotaan MPR tertuang
dalam Pasal 2 Ayat (1) UUD 1945 sebagai berikut:
• Tugas dan Wewenang MPR
Majelis Permusyawaratan Rakyat terdiri atas anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan
anggota Dewan Perwakilan Daerah yang dipilih melalui pemilihan umum dan diatur
lebih lanjut dengan undang-undang. MPR mempunyai tugas dan wewenang, yaitu :
➢ Mengubah dan menetapkan undang-undang dasar;
➢ Melantik presiden dan wakil presiden berdasarkan hasil pemilihan umum dalam
sidang paripurna MPR;
➢ Memutuskan usul DPR berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi untuk
memberhentikan presiden dan/atau wakil presiden dalam masa jabatannya setelah
presiden dan atau wakil presiden diberi kesempatan untuk menyampaikan
penjelasan di dalam sidang paripuma MPR;
➢ Melantik wakil presiden menjadi presiden apabila presiden mangkat, berhenti,
diberhentikan, atau tidak dapat melaksanakan kewajibannya dalam masa
jabatannya;
➢ Memilih wakil presiden dari dua calon yang diajukan presiden apabila terjadi
kekosongan jabatan wakil presiden dalam masa jabatannya selambat-lambatnya
dalam waktu enam puluh hari;
➢ Memilih presiden dan wakil presiden apabila keduanya berhenti secara bersamaan
dalam masa jabatannya, dari dua paket calon presiden dan wakil presiden yang
diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang paket calon presiden
dan wakil presidennya meraih suara terbanyak pertama dan kedua dalam pemilihan
sebelumnya, sampai habis masa jabatannya selambat-lambatnya dalam waktu tiga
puluh hari;
➢ Menetapkan peraturan tata tertib dan kode etik MPR.
• Tugas dan Wewenang DPD Mengutip laman resmi DPR, kewenangan DPD diatur
dalam Pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal tersebut, kewenangan
DPD di bidang legislasi adalah:
➢ Berwewenang dalam pengajuan RUU tertentu.
➢ Berwewenang untuk ikut membahas bersama DPR dan Pemerintah terhadap
penyusunan RUU tertentu.
➢ Berwewenang memberikan pandangan dan pendapat terhadap RUU tertentu
Berwewenang memberikan pertimbangan terhadap RUU tentang APBN dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama, serta pengawasan
terhadap pelaksanaan UU tertentu Detail tugas dan wewenang DPD
sebagaimana tercantum dalam Undang-Undang Republik Indonesia No.17 Tahun
2014 adalah sebagai berikut:
1. Mengajukan RUU kepada DPR terkait dengan otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lain, dan yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
2. Ikut membahas RUU yang berkaitan dengan hal no.1.
3. DPD bertugas dan berwewenang menyusun sekaligus menyampaikan daftar
inventaris masalah RUU yang berasal dari DPR atau Presiden yang berkaitan
dengan hal no.1.
4. DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas RUU tentang APBN dan RUU
yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
5. DPD melakukan pengawasan atas pelaksanaan UU terkait otonomi daerah,
pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah, hubungan pusat dan
daerah, pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lain, pelaksanaan APBN,
pajak, pendidikan, dan agama.
6. DPD menyampaikan hasil pengawasan sebagaimana dimaksud pada no.5
kepada DPR sebagai bahan pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
7. DPD menerima hasil pemeriksaan atas keuangan negara dari Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK) sebagai bahan pertimbangan kepada DPR tentang RUU yang
berkaitan dengan APBN.
8. DPD dapat memberikan pertimbangan kepada DPR dalam pemilihan anggota
BPK.
9. DPD menyusun program legislasi nasional terkait otonomi daerah, hubungan
pusat dan daerah, pembentukan dan pemekaran serta penggabungan daerah,
pengelolaan SDA dan sumber daya ekonomi lainnya, serta yang berkaitan dengan
perimbangan keuangan pusat dan daerah.
4. Lembaga Kepresidenan
Dari awal kemerdekaan, lembaga kepresidenan di Indonesia menjadi satu-satunya
lembaga Negara yang pembentukannya tidak diatur dengan Undang-undang
tertentu dan hanya dalam batang tubuh Undang-undang Dasar sebelum terjadinya
Amandemen terhadap Undang-undang Dasar Tahun 1945,18 sehingga lazim disebut
sebagai masa executive heavy. Pasca terjadi perubahan Undang-undang Dasar
NRI Tahun 1945, terjadi perubahan yang sangat mendasar terkait dengan lembaga
kepresidenan, yang lazim disebut sebagai pergeseran konsep kekuasaan eksekutif
dari executive heavy menjadi legislative heavy. Terdapat beberapa catatan penting
terkait keberadaan lembaga Kepresidenan dalam konteks sistem presidensiil saat ini,
yakni pertama, perubahan cara pengisian jabatan kepresidenan, dari awalnya Majelis
Permusyawaratan Rakyat yang memilih Presiden dan Wakil Presiden,20 menjadi
dipilih langsung oleh rakyat, sebagaimana perubahan Pasal 6 Ayat (1) UUD NRI 1945.
Kedua, terkait dengan kekuasaan Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala
Pemerintahan, bahwa Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan
penyelenggaraan pemerintahan, kekuasaan di bidang perundang-
undangan,kekuasaan dibidang yudisial, dan kekuasaan dalam hubungan
luar negeri. Pada hakikatnya, lembaga kepresidenan adalah institusi atau organisasi
jabatan dalam sistem pemerintahan berdasarkan UUD 1945.
2. Fungsi Pengawasan
a. Mahkamah Agung melakukan pengawasan tertinggi terhadap jalannya peradilan
di semua lingkungan peradilan dengan tujuan agar peradilan yang dilakukan
Pengadilan-pengadilan diselenggarakan dengan seksama dan wajar dengan
berpedoman pada azas peradilan yang sederhana, cepat dan biaya ringan, tanpa
mengurangi kebebasan Hakim dalam memeriksa dan memutuskan perkara (Pasal 4
dan Pasal 10 Undang-undang Ketentuan Pokok Kekuasaan Nomor 14 Tahun 1970).
b. Mahkamah Agung juga melakukan pengawasan :
- terhadap pekerjaan Pengadilan dan tingkah laku para Hakim dan perbuatan
Pejabat Pengadilan dalam menjalankan tugas yang berkaitan dengan pelaksanaan
tugas pokok Kekuasaan Kehakiman, yakni dalam hal menerima, memeriksa,
mengadili, dan menyelesaikan setiap perkara yang diajukan kepadanya, dan
meminta keterangan tentang hal-hal yang bersangkutan dengan teknis peradilan
serta memberi peringatan, teguran dan petunjuk yang diperlukan tanpa mengurangi
kebebasan Hakim (Pasal 32 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun
1985).
- Terhadap Penasehat Hukum dan Notaris sepanjang yang menyangkut peradilan
(Pasal 36 Undang-undang Mahkamah Agung Nomor 14 Tahun 1985).
3. Fungsi Mengatur
a. Mahkamah Agung dapat mengatur lebih lanjut hal-hal yang diperlukan bagi
kelancaran penyelenggaraan peradilan apabila terdapat hal-hal yang belum cukup
diatur dalam Undang-undang tentang Mahkamah Agung sebagai pelengkap untuk
mengisi kekurangan atau kekosongan hukum yang diperlukan bagi kelancaran
penyelenggaraan peradilan (Pasal 27 Undang-undang No.14 Tahun 1970, Pasal 79
Undang-undang No.14 Tahun 1985).
b. Mahkamah Agung dapat membuat peraturan acara sendiri bilamana dianggap
perlu untuk mencukupi hukum acara yang sudah diatur Undang-undang.
4. Fungsi Nasehat
a. Mahkamah Agung memberikan nasihat-nasihat atau pertimbangan-
pertimbangan dalam bidang hukum kepada Lembaga Tinggi Negara lain (Pasal 37
Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun 1985). Mahkamah Agung
memberikan nasihat kepada Presiden selaku Kepala Negara dalam rangka pemberian
atau penolakan grasi (Pasal 35 Undang-undang Mahkamah Agung No.14 Tahun
1985). Selanjutnya Perubahan Pertama Undang-undang Dasar Negara RI Tahun 1945
Pasal 14 Ayat (1), Mahkamah Agung diberikan kewenangan untuk memberikan
pertimbangan kepada Presiden selaku Kepala Negara selain grasi juga rehabilitasi.
Namun demikian, dalam memberikan pertimbangan hukum mengenai rehabilitasi
sampai saat ini belum ada peraturan perundang-undangan yang mengatur
pelaksanaannya.
b. Mahkamah Agung berwenang meminta keterangan dari dan memberi petunjuk
kepada pengadilan disemua lingkunga peradilan dalam rangka pelaksanaan
ketentuan Pasal 25 Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Kekuasaan Kehakiman. (Pasal 38 Undang-undang No.14 Tahun 1985 tentang
Mahkamah Agung).
5. Fungsi Administratif
a. Badan-badan Peradilan (Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer
dan Peradilan Tata Usaha Negara) sebagaimana dimaksud Pasal 10 Ayat (1) Undang-
undang No.14 Tahun 1970 secara organisatoris, administrative dan finansial sampai
saat ini masih berada dibawah Departemen yang bersangkutan, walaupun menurut
Pasal 11 (1) Undang-undang Nomor 35 Tahun 1999 sudah dialihkan dibawah
kekuasaan Mahkamah Agung.
b. Mahkamah Agung berwenang mengatur tugas serta tanggung jawab, susunan
organisasi dan tata kerja Kepaniteraan Pengadilan (Undang-undang No. 35 Tahun
1999 tentang Perubahan Atas Undang-undang No.14 Tahun 1970 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Kekuasaan Kehakiman).
6. Fungsi Lain-Lain
Selain tugas pokok untuk menerima, memeriksa dan mengadili serta menyelesaikan
setiap perkara yang diajukan kepadanya, berdasar Pasal 2 ayat (2) Undang-undang
Nomor 14 Tahun 1970 serta Pasal 38 Undang-undang Nomor 14 Tahun 1985,
Mahkamah Agung dapat diserahi tugas dan kewenangan lain berdasarkan Undang-
undang.
6. Mahkamah konstitusi (MK)
Mahkamah Konstusi adalah lembaga yang berwenang menyelenggarakan peradilan
kontitusional di Indonesia. Mahkamah Konstitusi (MK) di Indonesia memiliki
kedudukan dan derajat sama dengan Mahkamah Agung (MA). Sebagai lembaga
peradilan konstitusional, salah satu wewenang MK adalah melakukan uji materiil
undang-undang terhadap UUD 1945.
Pembentukan MK tidak terlepas dari amandemen Undang-Undang (UUD) Dasar
1945 pada tahun 2001, atau masa setelah reformasi 1998. Dalam amandemen itu,
Majelis Permusyaratan Rakyat (MPR) mengadopsi gagasan mengenai lembaga
Mahkamah Konstitusi (Constitutional Court) untuk dimasukkan dalam batang tubuh
UUD 1945. Hasil amandemen itu kemudian dirumuskan masuk dalam Pasal 24 ayat
(2), Pasal 24C, dan Pasal 7B UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9
November 2001. Setelah amandemen ketiga UUD 1945 disahkan pada 9 November
2001, pembentukan MK lantas dipersiapkan. Pada periode usai amandemen dan MK
belum terbentuk, MPR memberikan mandat pada MA agar menjalankan sementara
fungsi Mahkamah Konstitusi. Pemberian mandat untuk menjalankan kewenangan
MK pada MA tersebut termaktub dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 dari
hasil amandemen keempat UUD 1945. Kemudian, mengutip laman MK, DPR RI dan
Pemerintah selanjutnya membuat Rancangan Undang-Undang tentang Mahkamah
Konstitusi. Akhirnya, Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah
Konstitusi disahkan pada 13 Agustus 2003, dan masuk dalam Lembaran Negara
Nomor 98 serta Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316. Dalam tenggat 2 hari usai
pengesahan UU Nomor 24 Tahun 2003, para hakim konstitusi generasi pertama MK
mengucapkan sumpah jabatan di Istana Negara pada 16 Agustus 2003. Sesuai
dengan ketentuan Pasal 24C ayat (3) UUD 1945, tiga lembaga negara yakni DPR,
Presiden, dan MA mengajukan hakim konstitusi masing-masing tiga orang. Hakim
konstitusi yang diajukan DPR yaitu Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H., I Dewa Gede
Palguna., dan Letjen TNI (Purn) Achmad Roestandi, S.H. Sementara Presiden
mengajukan Prof. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S., Prof. H.A.S. Natabaya, S.H., LLM.,
dan Dr. H. Harjono, S.H., MCL., S.H., M.H. Selebihnya, MA mengajukan Prof. Dr. H. M.
Laica Marzuki, S.H., Maruarar Siahaan, S.H., dan Sudarsono, S.H. Sembilan hakim
konstitusi periode pertama dengan masa jabatan 2003-2008 tersebut kemudian
bermusyawarah untuk memilih ketua dan wakil ketua. Hasilnya, Prof. Dr. Jimly
Asshiddiqie, S.H. terpilih sebagai Ketua MK dan Prof. Dr. H. M. Laica Marzuki, S.H.
sebagai Wakil Ketua MK. Setelah itu, Mahkamah Konstitusi mengambil alih tugas-
tugas yang sempat dilimpahkan kepada MA sebelum lembaga itu resmi terbentuk.
MK selaku cabang kekuasaan kehakiman secara resmi menjalankan operasional
kegiatannya pada 15 Oktober 2003. UU Nomor 24 Tahun 2003 belakangan
mengalami revisi sampai tiga kali. Yang terakhir, UU Nomor 7 Tahun 2020 tentang
Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang MK disahkan pada tanggal
1 September 2020. Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa dasar
hukum pembentukan Mahkamah Konstitusi ialah Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan
Pasal 7B UUD 1945 hasil Perubahan Ketiga yang kemudian dipertegas kembali dalam
UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
1. Lembaga Legislatif
merupakan lembaga atau dewan yang mempunyai tugas serta wewenang
membuat atau merumuskan UUD yang ada di sebuah negara. Di Indonesia
lembaga legislatif dijalankan oleh:
a. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)
b. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
c. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD)
d. Majelis Permusyawaran Rakyat (MPR)
2. Lembaga Eksekutif
Lembaga Eksekutif adalah lembaga yang dibentuk untuk melaksanakan undang-
undang. Terdiri dari:
a. Presiden
b. Wakil Presiden
3. Lembaga Yudikatif
Lembaga Yudikatif adalah lembaga yang bertugas menjadi pengawas dan
memantau proses berjalannya UUD dan juga pengawasan hukum di sebuah
negara.
a. Mahkamah Agung
b. Mahkamah Konstitusi
c. Komisi Yudisial
Lembaga negara bantu adalah lembaga yang dalam pelaksanaan fungsinya tidak
memposisikan diri sebagai salah satu dari tiga lembaga kekuasaan sesuai trias
politica.
1. KPK adalah lembaga negara bantu yang dalam melaksanakan tugas dan
wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan
manapun.