Nim: 21103070091
DPD Minta Dilibatkan Dalam Revisi UU MD3
Ringkasan
Dewan Perwakilan Rakyat Indonesia akan merevisi Undang-Undang Nomor
17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan
Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah atau
sering disebut Undang-Undang MD3. Karena dalam Undang-Undang tersebut
terdapat pembahasan mengenai Dewan Perwakilan Daerah, maka Dewan Perwakilan
Daerah Republik Indonesia menginginkan bahwa para pihaknya juga ikut terlibat
dalam perevisian Undang-Undang MD3.
Dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MD3 terdapat
putusan-putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak tercantum didalamnya. Dewan
Perwakilan Daerah menyebutkan harus ada tahap pembahasan lagi, dan harus
melibatkan DPD. Penggelaran rapat paripurna tanpa melewati tahap pembahasan,
maka validitas tata cara pembentukan peraturan perundang-undangan tidak sesuai
dengan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan.
Pertemuan privat antara para petinggi partai politik dan dua koalisi (Koalisi
Indonesia Hebat dan Koalisi Merah Putih), melahirkan sebuah kesepakatan yaitu
menambah jumlah pimpinan dewan pada alat kelengkapan dewan pada Koalisi
Indonesia Hebat. Penambahan hanya pada wakil pimpinan disebabkan karena
pimpinan komisi dan alat kelengkapan dewan hanya satu tidak boleh ditambah.
Kesepakatan tersebut membuat seluruh jajaran fraksi Dewan Perwakilan Rakyat
Republik Indonesia memberikan nama-nama anggotanya untuk diikutkan pada
pembentukan alat kelengkapan dewan. Dan nantinya akan berkontribusi dalam
merancang sidang-sidang komisi beserta perubahannya dengan tujuan untuk
membantu para menteri di Kabinet Kerja Presiden Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Tataran Teoritik
1. Teori Legislatif
Dalam proses pembuatan Undang-Undang, keberadaan lembaga legislatif
begitu berperan mengingat kewenangan yang dimandatkannya sebagai
legislator. Di Indonesia, lembaga tersebut dimiliki oleh Majelis Permusywaratan
Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat serta Dewan Perwakilan Daerah. Walaupun
Presiden memiliki sedikit kewenangan legislasi juga, akan tetapi Presiden bukan
disebut sebagai lembaga legislatif, melainkan lembaga eksekutif. mengenai
pembuat Legislasi biasanya diartikan sebagai suatu kewenangan dalam
pembuatan undang-undang. Definisi tersebut tidaklah salah, melainkan
memiliki pengertian yang sempit. Bahkan ada yang menganggap bahwa yang
memiliki kewenangan undang-undang itu hanya Dewan Perwakilan Rakyat saja,
Dewan Perwakilan Daerah hanya sebagian fungsi dari Dewan Perwakilan
Rakyat.1 Lembaga legislatif adalah persatuan lembaga parlemen antara Majelis
Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Dewan Perwakilan
Daerah. Tetapi tugas dan wewenang Dewan Perwakilan Daerah hanya terkhusus
pada pembuatan undang-undang otonomi daerah saja.
1
Fikri Abdullah, “Kewenangan Dewan Perwakilan Daerah Dalam Legislasi Rancangan Undang-Undang Otonomi
Daerah Analisis Putusan MK 93/PUU/-X/203”, (Jakarta, UIN Syarif Hidayatullah, 2014), hlm. 18.
Dalam berbagai negara yang menganut sistem bicameral, umumnya Dewan
Perwakilan Daerah biasa disebut sebagai Senat. Bahkan banyak yang
menyebutkan bahwa keberadaan Dewan Perwakilan Daerah saat ini
mencontoh konsep tersebut. Di Amerika Senat merupakan perwujudan
perwalian dari negara-negara bagian. Senat mempunyai peranan dalam
pengambilan keputusan pembentukan undang-undang tertentu. Akan tetapi
di Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah tidak mempunyai peranan
selayaknya senat di Amerika melainkan hanya sebatas pengajuan serta
pembahasan rancangan undang-undang otonomi daerah dan tidak memiliki
kewenangan dalam pengesahan undang-undang tersebut.2
2
Ibid.
3
Dewan Perwakilan Daerah RI, Konstitusi Republik Indonesia Menuju Perubahan Kelima, Cetakan Ketiga,
(Jakarta: Grafitribudi Utami, 2009), hlm. 14.
4
Anna Triningsih, “Politik Hukum Kewenangan Konstitusional Dewan Perwakilan Daerah Dalam Proses Legislasi
Pasca Putusan MK Nomor 92/PUU-X/2012”, Jurnal Rechtsvinding, Vol. 4, No. 3, Desember 2015, hlm. 370-371.
3) Dewan Perwakilan Daerah dapat melakukan pengawasan atas pelaksanaan
undang-undang mengenai : otonomi daerah, pembentukan, pemekaran dan
penggabungan daerah, hubungan pusat dan daerah, pengelolaan sumber daya
alam dan sumber daya ekonomi lainnya, pelaksanaan anggaran pendapatan
dan belanja negara, pajak, pendidikan, dan agama serta menyampaikan hasil
pengawasannya itu kepada Dewan Perwakilan Rakyat sebagai bahan
pertimbangan untuk ditindaklanjuti.
4) Anggota Dewan Perwakilan Daerah dapat diberhentikan dari jabatannya, yang
syarat-syarat dan tata caranya diatur dalam undang-undang.
Aspirasi daerah sulit disalurkan oleh DPD karena Pasal 22D UUD1945 terkait
dengan kewenangan DPD dirumuskan tidak menggunakan diksi yang
mengandung norma obligatori, sehingga oleh pembentuk Undang- Undang (DPR
dan Presiden), DPD ditafsirkan sebagai "lembaga bantu”, bukan organ utama
negara (main state organ) dengan kejelasan fungsinya.5 Sehingga dalam pasal 22D
tersebut terkesan Dewan Perwakilan Daerah sebagai lembaga yang mewakili
suara rakyat di tingkat daerah tidak memiliki hak dalam keterlibatan
pengambilan keputusan untuk pembentukan undang-undang.
2. Pasal 65 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-Undangan:
(1) Pembahasan Rancangan Undang-Undang dilakukan oleh DPR bersama
Presiden atau menteri yang ditugasi.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-Undang sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) yang berkaitan dengan: a. otonomi daerah; b. hubungan pusat dan daerah;
c. pembentukan, pemekaran, dan penggabungan daerah; d. pengelolaan
sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya; dan e. perimbangan
keuangan pusat dan daerah, dilakukan dengan mengikutsertakan DPD.
(3) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan hanya pada pembicaraan
tingkat I.
(4) Keikutsertaan DPD dalam pembahasan Rancangan Undang-Undang
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diwakili oleh alat
kelengkapan yang membidangi materi muatan Rancangan UndangUndang
yang dibahas.
(5) DPD memberikan pertimbangan kepada DPR atas Rancangan Undang-Undang
tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara dan Rancangan Undang-
Undang yang berkaitan dengan pajak, pendidikan, dan agama.
3. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012
Mahkamah Konstitusi mengeluarkan putusannya bahwa kedudukan Dewan
Perwakilan Daerah di bidang legislasi setara dengan Dewan Perwakilan Rakyat
dan Presiden, atas dasar itu Dewan Perwakilan Daerah berhak dan/atau
berwenang mengusulkan Rancangan Undang-Undang tertentu yaitu menyusun
prolegnas di lingkungan Dewan Perwakilan Daerah dan membahas Rancangan
Undang-Undang tertentu tersebut sejak awal hingga akhir tahapan, namun
Dewan Perwakilan Daerah tidak memberi persetujuan atau pengesahan
Rancangan Undang-Undang menjadi Undang-Undang.6
5
Enny Nurbaningsih, “Implikasi Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 dan Alternatif Model
Hubungan Kelembagaan Terkait Pembentukan Undang-Undang”, Jurnal Mimbar Hukum, Vol. 27, No. 1,
Februari 2015, hlm. 2.
6
Fahrul Reza, “DPD sebagai Pembentuk Undang-Undang dan Peranannya dalam Fungsi Legislasi Pascaputusan
Mahkamah Konstitusi”, Jurnal Media Syariah, Vol. 21, No. 1, 2019, hlm. 48.
Penutup
Dari penjabaran di atas dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Daerah
dalam ikut dalam proses pembentukan peraturan perundang-undangan tetapi
hanya sampai pembahasan tingkat I dan memiliki batasan-batasan tertentu sesuai
dengan yang termaktub dalam pasal 22D Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Proses Pembentukan Peraturan Perundang-
Undangan dan berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi.