NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH
Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 pada Rabu, 27 Maret 2013,
politik ketatanegaraan Indonesia khususnya model legislasi telah semakin mempertegas
bentuknya menuju arah sistem parlemen dua kamar. Hal ini merupakan implikasi setelah
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan yang diajukan oleh DPD.
macam-macam lembaga tinggi negara beserta tugas dan wewenangnya sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 adalah sebagai berikut:
1. Presiden
Presiden beserta wakil presiden merupakan satu lembaga penyelenggara kekuasaan eksekutif
tertinggi di bawah UUD. Secara politik, presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR atau
pun DPR melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilih. Tugas
presiden sebagai eksekutif kepala pemerintah ialah memegang kekuasaan tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Selain itu juga membuat perjanjian
internasional dengan persetujuan DPR, serta mengangkat duta dan menerima duta negara lain
dengan persetujuan DPR.
Kemudian tugas legislatif presiden antara lain membentuk Undang-Undang, menetapkan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, dan juga menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk melaksanakan Undang-Undang. Sedangkan untuk tugas yudisial sering disebut sebagai
hak prerogratif atau privilege presiden, yaitu merupakan hak istimewa yang melekat pada
presiden selaku kepala negara.
Berdasarkan UUD 1945, kini dewan perwakilan terdiri dari DPR dan DPD.Perbedaan
keduanya terletak pada hakekat kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat
sedangkan DPD untuk mewakili daerah.
Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif maka pada
Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, sah menjadi UU dan
wajib diundangkan.Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut
membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas
RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.
Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU
tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan
pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan
yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan
mengedepankan kepentingan daerah.
Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal
dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian ini untuk membuktikan
apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-
undang bertentangan dengan materi UUD.
Mengapa?
Bagaimana?
Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga sidang putusan
diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan
pemeriksaan permohonan uji materil meliputi:
1) Pengajuan Permohonan
Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh
pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK. Dalam
pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau
kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar. Dalam pengujian formil, Pemohon wajib
menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-
bukti yang akan digunakan dalam persidangan.
a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama;
b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;
d. Lembaga negara.
5) Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan ini
diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada
papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah
konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik.
Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu
paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.
8) Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan
Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapatnya secara tertulis. Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka
musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya. Selanjutnya apabila
dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan secara musyawarah mufakat maka
putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan putusan
apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang dapat
berupa:
Hak uji materiil (HUM) adalah hak yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk
menilai materi muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap perhaturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Lingkup tugas dan
wewenang Mahkamah Agung ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.”
Bersumber dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar tersebut maka,
dalam hal terdapat muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Kemudian melalui putusan HUM, MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku.Adapun putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat
diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan keberatan langsung yang diajukan kepada Mahkamah Agung. Implikasi hukum
atas putusan tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah maka
tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Prosedur Pengajuan Uji Materiil
Termohon
Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan
perundangan-undangan yang dipersoalkan, seperti Presiden untuk Peraturan Presiden dan
Peraturan Pemerintah, Kepala Daerah dan DPRD untuk PERDA, dan sebagainya.
1.Permohonan Hak Uji Materiil diajukan dengan membuat permohonan secara tertulis, dibuat
rangkap sesuai keperluan, yang menyebutkan secara jelas dalil-dalil/ alasan keberatan dan
wajib ditandangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah.
Dalam hal hal permohonan keberatan diajukan melalui PN/PTUN, didaftarkan pada
kepaniteraan PN/PTUN dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan
menggunakan kode / nomor:....., P/HUM/Th....../PN atau PTUN......, dengan
membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
Panitera PN/PTUN setelah memeriksa kelengkapan berkas, mengirimkan permohonan
keberatan HUM kepada MA pada hari berikutnya setelah pendaftaran (dan proses
selanjutnya ditangani oleh MA);
Panitera MA menyampaikan kepada Ketua MA untuk menetapkan Majelis Hakim
Agung, setelah dinyatakan lengkap berkas-berkas permohonan tersebut.
1.Putusan HUM
2.Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, yaitu karena
peraturan perundang-undangan yang dimohonkan HUM tersebut bertentangan dengan uu
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka permohonan HUM tersebut
dapat dikabulkan dengan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan HUM tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk umum,
serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya;
3.Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan HUM tidak beralasan, maka permohonan
itu ditolak;
4.Pemberitahuan isi putusan beserta salinan Putusan MA dikirimkan dengan surat tercatat
kepada para pihak, atau dalam hal permohonan diajukan melalui PN/PTUN, maka
penyerahan/pengiriman salinan putusan melalui PN/PTUN yang bersangkutan;
5.Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Putusan diucapkan Panitera MA
mencantumkan petikan Putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara;
6.Dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan MA dikirim kepada
Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata
tidak dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan demi hukum
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;
Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu
kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan
norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.Dalam menghadapi konflik antar
norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas
preferensi), yaitu:
1. Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan
peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus
didahulukan;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau
melumpuhkan peraturan yang lama.
Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas
penyelesaian konflik (asas preferensi).Di samping itu ada langkah praktis untuk
menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi,
pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy).
Dalam hal menghadapi norma yang kabur/norma tidak jelas, pertama-tama seorang hakim
harus berpegang pada rasio hukum yang terkandung dalam aturan dan selanjutnya hakim
dapat menetapkan metode interpretasi mana yang dianggap paling tepat.
Hakim juga dapat menjadikan ketentuan undang-undang hanya sebagai alat atau sarana untuk
menemukan pemecah ke dalam peristiwa konkret. Dalam keadaan seperti ini, seorang hakim
tidak berfungsi sebagai petugas yang menjelaskan atau menafsirkan undang-undang, tetapi
lebih sebagai pencipta hukum. Metode penemuan hukum yang tidak terikat pada undang-
undang disebut dengan metode penemuan hukum bebas. Penafsiran oleh hakim merupakan
penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat
mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah saran atau
alat untuk mengetahui makna undang-undang.
Nama : Elsa Viona Odilia Songgor
NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH
Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-
undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia novit, dimana hakim dianggap
tahu akan hukumnya. Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau
tidak jelas hukumnya. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-
undangnya tidak lengkap atau tidak jelas. Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan
hukum (rechtvinding) dengan tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta memihak
dan peka terhadap nasib bangsa dan keadaan negaranya.
Sudikno Mertokusumo mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah
proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas untuk melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap
peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan
konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat
akan peristiwa konret (das sein) tertentu.
Paul Scholten menyatakan yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain
daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat
sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun
dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning (penghalusan/pengkonkretan
hukum).Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya
adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah
proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat
hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh
notaris, dan sebagainya).Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah
bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).
Dalam rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna hakim
merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat
mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.
Untuk dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara
menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini,
seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi
(interpretation methoden) dan konstruksi hukum ini terdiri atas nalar analogi yang
gandengannya (spiegelbeeld) a contrario, dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten
penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno
Mertokusumo disebut penyempitan hukum.
Menurut Achmad Ali,ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim
dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode
konstruksi hukum.Ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum
oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo
Saxon. Pada umumnya yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode
interpretasi hukum dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan
buku-buku Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra.
Sebaliknya, para penulis yang condong ke sistem Anglo Saxon, seperti Curzon, B. Arief
Shidharta, dan Achmad Ali membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi
hukum dan metode konstruksi hukum.