Anda di halaman 1dari 21

Nama : Elsa Viona Odilia Songgor

NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH

Kewenangan DPD RI dalam membentuk Undang-Undang

Kewenangan DPD dalam Pembentukan Undang-Undang?


Dewan Perwakilan Daerah lahir lewat amandemen ke-3 UUD 1945. Pembentukannya
dimaksudkan untuk memperjuangkan setidaknya empat hal. Pertama, kepentingan daerah
dalam kebijakan nasioanl. Kedua, aspirasi masyarakat daerah. Ketiga, mengikutsertakan
daerah dalam setiap keputusan politik nasional. Keempat, sebagai penyeimbang dalam
struktur parlemen.
Apa itu DPD dan Apa Tujuannya?
Dewan Perwakilan Daerah (DPD) adalah sebuah lembaga perwakilan. Seperti halnya Dewan
Perwakilan Rakyat (DPR) yang mewakili masyarakat pada wilayah tertentu.
DPD merupakan alternatif baru bagi “utusan daerah” di MPR, yang lebih merepresentasikan
kepentingan daerah. Anggota DPD dipilih melalui Pemilihan Umum (Pemilu). Siapa pun
yang mendapatkan suara terbanyak pada daerah pemilihannya, maka dia akan mewakili
daerah tersebut.  
Pada sistem ini, masyarakat langsung memilih nama calon melalui Pemilu. Calon disyaratkan
untuk independen. Artinya bukan sebagai pengurus Partai Politik.
Anggota DPD merupakan jembatan bagi aspirasi daerah dalam pembuatan kebijakan
nasional, dalam rangka mekanisme check and balances.
Mengutip Wikipedia.org, DPD merupakan bentuk perwujudan lembaga perwakilan daerah di
Indonesia. Lembaga perwakilan daerah … secara internasional, telah ada sejak lama di
Indonesia. Sebelum DPD dibentuk, telah terdapat lembaga Senat RIS, yang mewakili 16
negara bagian RIS.
Kewenangan Konstitusional DPD dalam Pembentukan Undang-Undang

Pasca Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 92/PUU-X/2012 pada Rabu, 27 Maret 2013,
politik ketatanegaraan Indonesia khususnya model legislasi telah semakin mempertegas
bentuknya menuju arah sistem parlemen dua kamar. Hal ini merupakan implikasi setelah
Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan permohonan yang diajukan oleh DPD.

Dalam putusan tersebut, MK menyatakan bahwa: “Seluruh ketentuan Undang-Undang


Nomor 27 Tahun 2009 Tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) dan Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 Tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU
P3) yang telah mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD sebagaimana dimaksudkan
pada saat DPD dibentuk dalam konstitusi haruslah dinyatakan inkonstitusional. Begitu pula
terhadap Penjelasan Umum dan penjelasan pasal demi pasal kedua undang-undang tersebut
yang terkait dengan kewenangan konstitusional DPD, harus pula dianggap menyesuaikan
dengan pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh MK. Selanjutnya, seluruh ketentuan
yang mereduksi atau mengurangi kewenangan DPD dalam kedua undang-undang tersebut,
baik yang dimohonkan atau yang tidak dimohonkan oleh Pemohon, tetapi berkaitan dengan
kewenangan DPD harus dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI 1945 atau dinyatakan
bertentangan secara bersyarat dengan UUD NRI 1945 apabila tidak sesuai dengan
pemahaman atau penafsiran yang diberikan oleh MK.
Pada prinsipnya, MK telah memperkuat kewenangan konstitusional DPD dalam tiga aspek,
yakni pertama, kewenangan DPD dalam mengusulkan Rancangan Undang-Undang (RUU)
yang berkaitan dengan daerah; kedua, kewenangan DPD ikut membahas RUU yang berkaitan
dengan daerah; dan ketiga,  keterlibatan DPD dalam penyusunan Program Legislasi Nasional
(Prolegnas).
Nama : Elsa Viona Odilia Songgor
NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH

Lembaga Pembentuk UU menurut Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun


1945

macam-macam lembaga tinggi negara beserta tugas dan wewenangnya sebagai pelaksana
kedaulatan rakyat berdasarkan UUD Negara RI Tahun 1945 adalah sebagai berikut:
1. Presiden
Presiden beserta wakil presiden merupakan satu lembaga penyelenggara kekuasaan eksekutif
tertinggi di bawah UUD. Secara politik, presiden tidak bertanggung jawab kepada MPR atau
pun DPR melainkan bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang memilih. Tugas
presiden sebagai eksekutif kepala pemerintah ialah memegang kekuasaan tertinggi atas
Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara. Selain itu juga membuat perjanjian
internasional dengan persetujuan DPR, serta mengangkat duta dan menerima duta negara lain
dengan persetujuan DPR.
Kemudian tugas legislatif presiden antara lain membentuk Undang-Undang, menetapkan
peraturan pemerintah pengganti Undang-Undang, dan juga menetapkan Peraturan Pemerintah
untuk melaksanakan Undang-Undang. Sedangkan untuk tugas yudisial sering disebut sebagai
hak prerogratif atau privilege presiden, yaitu merupakan hak istimewa yang melekat pada
presiden selaku kepala negara.

2. Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR)


Tugas dan wewenang MPR antara lain untuk mengubah dan menetapkan UUD,
memberhentikan presiden dan wakil presiden berdasarkan putusan Mahkamah Konstitusi,
memilih presiden dan wakil presiden untuk mengisi jabatan bila terjadi kekosongan, sera
menyaksikan pengucapan sumpah presiden dan wakil presiden. Meski begitu, sejumlah
kegiatan ini bukan merupakan kegiatan yang rutin untuk dilakukan.
3. Dewan Perwakilan Rakyat (DPR)
Sebagaimana yang diatur dalam UUD Negara RI Tahun 1945 pasal 20, DPR memiliki 3
fungsi antara lain fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan. Fungsi legislasi
merupakan kekuasaan untuk membentuk Undang-Undang, sedangkan fungsi anggaran yaitu
kewenangan membahas dan memberi persetujuan atas rancangan anggaran negara yang
diajukan presiden dalam bentuk rancangan Undang-Undang terkait Anggaran Pendapatan dan
Belanja Negara (APBN).

4. Dewan Perwakilan Daerah (DPD)


Dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, kewenangan DPD hanya bersifat tambahan dan
terbatas pada hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan daerah.
Dalam UUD RI Tahun 1945 pasal 22D hasil amandemen, menegaskan bahwa wewenang
DPD antara lain dapat mengajukan rancangan Undang-Undang kepada DPR yang berkaitan
dengan otonomi daerah; hubungan pusat dan daerah; pembentukan, pemekaran serta
penggabungan daerah; pengelolaan sumber daya alam dan sumber daya ekonomi lainnya;
serta yang berkaitan dengan perimbangan keuangan pusat dan daerah.

5.Mahkamah Agung (MA)


Sebagai lembaga negara yang memiliki kekuasaan kehakiman, Mahkamah Agung bertugas
menyelenggarakan peradilan untuk menegakkan hukum dan keadilan sesuai dalam pasal 24
ayat (1) UUD Negara RI Tahun 1945.
Kewenangan yang dimiliki antara lain mengadili perkara pada tingkat kasasi, menguji
peraturan perundang-undangan di bawah UU, dan juga memberikan pertimbangan kepada
presiden jika hendak memberikan grasi dan rehabilitasi.
Nama : Elsa Viona Odilia Songgor
NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH

Hubungan antara DPR dengan DPD

Berdasarkan UUD 1945, kini dewan perwakilan terdiri dari DPR dan DPD.Perbedaan
keduanya terletak pada hakekat kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat
sedangkan DPD untuk mewakili daerah.

Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa DPR memegang kekuasaan membentuk undang-undang.
Selanjutnya untuk menguatkan posisi DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif maka pada
Pasal 20 ayat (5) ditegaskan bahwa dalam hal RUU yang disetujui bersama tidak disahkan
oleh Presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui, sah menjadi UU dan
wajib diundangkan.Dalam hubungan dengan DPD, terdapat hubungan kerja dalam hal ikut
membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu, DPD memberikan pertimbangan atas
RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan pelaksanaan UU tertentu pada DPR.

Tugas dan wewenang DPD yang berkaitan dengan DPR adalah dalam hal mengajukan RUU
tertentu kepada DPR, ikut membahas RUU tertentu bersama dengan DPR, memberikan
pertimbangan kepada DPR atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan
pelaksanaan UU tertentu pada DPR. Dalam kaitan itu, DPD sebagai lembaga perwakilan
yang mewakili daerah dalam menjalankan kewenangannya tersebut adalah dengan
mengedepankan kepentingan daerah.

Dari pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Dewan Perwakilan Rakyat


memegang kekuasaan untuk membentuk undang-undang dimana setiap rancangan undang-
undang dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.Apabila RUU
tersebut tidak mendapat persetujuan bersama, maka RUU tersebut tidak boleh diajukan lagi
dalam persidangan DPR pada masa tersebut. Dewan Perwakilan Daerah pun berhak untuk
ikut membahas rancangan undang-undang tersebut serta memberikan pertimbangan kepada
DPR atas RUU APBN dan RUU yang berkaitan dengan pajak serta DPD melakukan
pengawasan terhadap pelaksanaan Undang-undang tersebut. DPR dan DPD memiliki
tanggung jawab tersendiri dalam menjalankan tugas dan wewenang masing-masing.Agar
terciptanya keseimbangan DPR dan DPD memiliki hak dan kewajiban.

Demikian pula DPR maupun DPD,selalu melaksanakan persidangan untuk mengambil


sebuah keputusan yang strategis untuk kepentingan bangsa dan negara. Sebagai lembaga
legislatif yang menyatu dalam DPR dan DPD memiliki keterkaitan dan hubungan yang erat
dalam pelaksanaan tugas dan wewenangnya. Hubungan DPR dengan DPD terdapat dalam
hubungan kerja yakni ikut membahas RUU yang berkaitan dengan bidang tertentu,dimana
DPD memberikan pertimbangan atas RUU tertentu, dan menyampaikan hasil pengawasan
pelaksanaan UU tertentu pada DPR sedangkan perbedaan keduanya terletak pada hakekat
kepentingan yang diwakilinya, DPR untuk mewakili rakyat sedangkan DPD untuk mewakili
daerah.
Nama : Elsa Viona Odilia Songgor
NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH

Pengujian Undang-Undang di Mahkamah Konstitusi

Pengujian Undang-Undang merupakan suatu wewenang untuk menilai apakah suatu


peraturan perundang-undangan isinya sesuai atau bertentangan dengan peraturan yang lebih
tinggi derajatnya, serta apakah suatu kekuasaan tertentu berhak mengeluarkan suatu peraturan
tertentu (Sumantri, 1986).

Pengujian Undang-undang dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia merupakan salah satu


bentuk kewenangan MK. Kewenangan ini diatur dalam UUD dan UU Mahkamah Konstitusi.
UUD memberikan hak kepada masyarakat untuk dapat mengajukan pengujian undang-
undang baik materiil maupun formil atas suatu undang-undang kepada MK. Sedangkan,
pengujian peraturan perundang-undangan dibawah UU, seperti Peraturan Pemerintah,
Peraturan Presiden, dan Peraturan Daerah kewenangan menguji baik secara materiil maupun
formil peraturan perundang-undangan di bawah UU berada pada Mahkamah Agung.

Pengujian Undang-undang secara materiil adalah pengujian materi muatan dalam ayat, pasal
dan/atau bagian dari undang-undang terhadap UUD. Pengujian ini untuk membuktikan
apakah materi dalam suatu undang-undang baik berupa ayat, pasal atau bagian dari undang-
undang bertentangan dengan materi UUD.

Mengapa?

Undang-undang merupakan sebuah produk politik. Membentuk undang-undang adalah


sebuah pekerjaan yang sarat dengan kepentingan politik. Ketika proses membentuk Undang-
undang ini berada di dalam ruang politik, maka akan muncul potensi undang-undang yang
sarat akan muatan politik. Dampaknya undang-undang yang berpotensi bertentangan dengan
UUD yaitu melanggar hak-hak dasar warga negara yang telah dijamin dalam UUD. Padahal
undang-undang mempunyai kekuatan mengikat yang memaksa.
Oleh karena itu perlu adanya mekanisme perlindungan hak-hak konstitusional warga. Hak
konstitusional adalah hak yang diatur dalam UUD. Menguji undang-undang, baik secara
formil maupun materiil merupakan salah satu bentuk upaya perlindungan hak konstitusional
warga Negara.

Bagaimana?

Proses beracara di MK yang dimulai dengan pengajuan permohonan hingga sidang putusan
diatur dalam Undang-Undang (UU) Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi dan
Peraturan Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia (PMK) No. 06/PMK/2005 tentang
Pedoman Beracara Dalam Perkara Pengujian Undang-Undang. Tahapan pengajuan dan
pemeriksaan permohonan uji materil meliputi:

1) Pengajuan Permohonan

Permohonan diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia dengan ditandatangani oleh
pemohon atau kuasa pemohon. Pendaftaran ini dilakukan pada panitera MK. Dalam
pengajuan permohonan uji materil, permohonan harus menguraikan secara jelas hak atau
kewenangan konstitusionalnya yang dilanggar. Dalam pengujian formil, Pemohon wajib
menjelaskan bahwa pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan
UUD dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang yang
dianggap bertentangan dengan UUD. Pengajuan permohonan ini harus disertai dengan bukti-
bukti yang akan digunakan dalam persidangan.

Pemohon dalam pengujian UU terhadap UUD 1945 adalah:

a. Perorangan warga negara Indonesia atau kelompok orang yang mempunyai kepentingan
sama;

b. Kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam UU;

c. Badan hukum publik atau badan hukum privat, atau;

d. Lembaga negara.

2) Pemeriksaan kelengkapan permohonan oleh panitera MK;

Panitera MK yang menerima pengajuan permohonan akan melakukan pemeriksaan atas


kelengkapan administrasi. Apabila dalam permohonan tersebut syarat-syarat administrasi
masih kurang, maka pemohon diberi kesempatan untuk melengkapinya dalam waktu tujuh
hari setelah pemberitahuan mengenai ketidaklengkapan permohonan diterima oleh pemohon.
Apabila dalam waktu tersebut pemohon tidak memenuhi kelengkapan permohonannya, maka
panitera membuat akta yang menyatakan permohonan tidak diregistrasi dan diberitahukan
kepaa pemohon disertai pengembalian berkas permohonan.

3) Pencatatan permohonan dalam Buku Registrasi Perkara Konstitusi (BRPK);


Panitera melakukan pencatatan permohonan yang sudah lengkap ke dalam Buku Registrasi
Perkara Konstitusi (BRPK). Dalam waktu paling lambat tujuh hari sejak permohonan dicatat
dalam BRPK, MK menyampaikan salinan permohonan kepada DPR dan Presiden. Selain itu,
MK juga memberitahu kepada MA mengenai adanya permohonan pengujian undang-undang
dimaksud dan meberitahukan agar MA meberhentikan pengujian peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang yang sedang diuji.

4) Pembentukan Panel Hakim


Panitera menyampaikan berkas perkara yang sudah diregistrasi kepada Ketua MK untuk
menetapkan susunan panel hakim yang akan memeriksa perkara pengujian undang-undang
tersebut.

5) Penjadwalan Sidang;
Dalam waktu 14 (empat belas) hari setelah permohonan dicatat dalam BRPK, MK
menetapkan hari sidang pertama untuk sidang pemeriksaan permohonan. Penetapan ini
diberitahukan kepada para pihak dan diumumkan masyarakat dengan menempelkan pada
papan pengumuman MK yang khusus untuk itu dan dalam situs www.mahkamah
konstitusi.go.id, serta disampaikan kepada media cetak dan elektronik.
Pemanggilan sidang harus sudah diterima oleh pemohon atau kuasanya dalam jangka waktu
paling lambat tiga hari sebelum hari persidangan.

6) Sidang Pemeriksaan Pendahuluan;


Sebelum memeriksa pokok perkara, MK melalui panel hakim melakukan pemeriksaan
pendahuluan permohonan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan,
kedudukan hukum (legal standing) pemohon dan pokok permohonan. Dalam pemeriksaan ini,
hakim wajib memberikan nasehat kepada pemohon atau kuasanya untuk melengkapi dan atau
memperbaiki permohonan. Pemohon diberi waktu selama 14 (empat belas) hari untuk
melengkapi dan atau memperbaiki permohonan tersebut. Nasihat yang diberikan kepada
pemohon atau kuasanya termasuk hal-hal yang berkaitan dengan pelaksanaan tertib
persidangan.
Dalam hal hakim berpendapat permohonan telah lengkap dan jelas, dan/atau telah diperbaiki,
panitera menyampaikan salinan permohonan tersebut kepada Presiden, DPR dan Mahkamah
Agung.

7) Sidang pemeriksaan pokok perkara dan bukti-bukti;


Dalam sidang pleno dan terbuka untuk umum ini, majelis hakim yang terdiri dari sembilan
hakim MK memulai pemeriksaan terhadap permohonan dan memeriksa bukti-bukti yang
sudah diajukan. Untuk kepentingan persidangan, majelis hakim wajib memanggil para pihak
yang berperkara untuk memberi keterangan yang dibutuhkan dan/atau meminta keterangan
secara tertulis kepada lembaga negara yang terkait dengan permohonan.

8) Putusan.
Putusan MK diambil secara musyawarah mufakat dalam forum Rapat Permusyawaratan
Hakim (RPH). Dalam sidang tersebut, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau
pendapatnya secara tertulis. Apabila musyawarah tidak menghasilkan putusan maka
musyawarah ditunda sampai dengan musyawarah hakim berikutnya. Selanjutnya apabila
dalam musyawarah ini masih belum bisa diambil putusan secara musyawarah mufakat maka
putusan diambil berdasarkan suara terbanyak. Ketua sidang berhak menentukan putusan
apabila mekanisme suara terbanyak juga tidak dapat mengambil putusan.
Putusan MK berkaitan dengan pengajuan permohonan pengujian undang-undang dapat
berupa:

 Dikabulkan; Apabila materi muatan yang terdapat dalam undang-undang melanggar


UUD dan apabila pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan
pembentukan undang-undang berdasarkan UUD;
 Ditolak; Apabila dalam persidangan terbukti bahwa ternyata undang-undang yang
oleh pemohon diajukan uji materil baik pembentukan maupun materinya tidak
bertentangan dengan UUD;
 Tidak diterima; Apabila syarat-syarat yang telah ditentukan dalam undang-undang
tidak dipenuhi.
Apabila sebuah permohonan pengujian undang-undang dikabulkan, maka undang-undang,
pasal, ayat atau bagian dari sebuah undang-undang yang diajukan tersebut menjadi tidak
berlaku. MK merupakan sebuah lembaga peradilan yang mengadili pada tingkat pertama dan
terakhir serta putusannya bersifat final. Tidak ada upaya hukum yang bisa ditempuh para
pihak yang tidak puas dengan putusan MK.
Nama : Elsa Viona Odilia Songgor
NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH

Pengujian Peraturan di Mahkamah Agung RI

Kewenangan Uji Materiil yang dimiliki oleh Mahkamah Agung

Hak uji materiil (HUM) adalah hak yang dimiliki oleh Mahkamah Agung untuk
menilai materi muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah Undang-Undang
terhadap perhaturan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.Lingkup tugas dan
wewenang Mahkamah Agung ini sebagaimana yang telah diatur dalam Pasal 24A ayat (1)
Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi:
“Mahkamah Agung berwenang mengadili pada tingkat kasasi, menguji peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang, dan mempunyai wewenang lainnya yang diberikan oleh
undang-undang.”
Bersumber dari kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar tersebut maka,
dalam hal terdapat muatan suatu peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yang diduga bertentangan dengan undang-undang, pengujiannya dilakukan oleh Mahkamah
Agung. Kemudian melalui putusan HUM, MA menyatakan tidak sah peraturan perundang-
undangan di bawah undang-undang atas alasan bertentangan dengan peraturan perundang-
undangan yang lebih tinggi atau pembentukannya tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku.Adapun putusan mengenai tidak sahnya peraturan perundang-undangan dapat
diambil baik berhubungan dengan pemeriksaan pada tingkat kasasi maupun berdasarkan
permohonan keberatan langsung yang diajukan kepada Mahkamah Agung. Implikasi hukum
atas putusan tersebut adalah peraturan perundang-undangan yang dinyatakan tidak sah maka
tidak lagi mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Prosedur Pengajuan Uji Materiil

Kriteria Pemohon Uji Materiil

 Subyek permohonan dapat berupa perorangan warga negara Indonesia, kesatuan


masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan
masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam
undang-undang, atau badan hukum publik atau badan hukum privat;
 Pemohon keberatan disyarakatkan harus merupakan pihak yang menganggap haknya
dirugikan atas berlakunya peraturan perundang-undangan di bawah undang-undang
yang hendak diajukan uji materiil;
 Adanya hubungan sebab akibat (causal verband) antara kerugian dan obyek
permohonan kebaratan;
 Apabila permohonan bersangkutan kelak dikabulkan, maka kerugian yang
bersangkutan tidak lagi atau tidak akan terjadi dengan dibatalkannya peraturan
perundang-undangan dibawah undang-undang dimaksud.

Termohon

Termohon adalah Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan peraturan
perundangan-undangan yang dipersoalkan, seperti Presiden untuk Peraturan Presiden dan
Peraturan Pemerintah, Kepala Daerah dan DPRD untuk PERDA, dan sebagainya.

Obyek Permohonan Keberatan

Obyek permohonan HUM adalah peraturan perundang-undangan, yakni kaidah hukum


tertulis yang mengikat umum di bawah undang-undang.[11] Berkaitan dengan obyek
permohonan, dalam hal terjadi kasus bilamana undang-undang yang dijadikan sebagai dasar
pengujian sedang diuji di Mahkamah Konstitusi, maka berdasarkan nota kesepakatan MA dan
MK yang telah dibuat, setiap pengujian UU terhadap UUD 1945 oleh MK diberitahukan ke
MA. Disamping itu bagian pratalak secara berkala memeriksa di situs resmi MK adanya
pengujian UU terhadap UUD tersebut.
Dasar Alasan Permohonan Hak Uji Materiil

 Materi muatan ayat, pasal, dan/atau bagian peraturan perundang-undangan di bawah


undang-undang yang dimohonkan uji materiil dianggap bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi; dan/atau
 Pembentukan peraturan perundang-undangan tidak memenuhi ketentuan yang
berlaku.

Tata Cara Mengajukan Permohonan Uji Materiil

1.Permohonan Hak Uji Materiil diajukan dengan membuat permohonan secara tertulis, dibuat
rangkap sesuai keperluan, yang menyebutkan secara jelas dalil-dalil/ alasan keberatan dan
wajib ditandangani oleh Pemohon atau kuasanya yang sah.

2.Pemohon membayar biaya permohonan pada saat mendaftarkan permohonan keberatan.

3.Permohonan HUM dapat diajukan dengan dua cara, yakni:

 Diajukan langsung ke Mahkamah Agung (MA)


 Dalam hal permohonan keberatan diajukan langsung ke MA, didaftarkan di
Kepaniteraan MA dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan menggunakan
kode: .....P/HUM/Th......;
 Panitera MA setelah memeriksa kelengkapan berkas, kemudian mengirim salinan
permohonan tersebut kepada Termohon (setelah terpenuhi kelengkapan berkasnya);
 Termohon wajib mengirimkan atau menyerahkan jawabannya kepada Panitera MA
dalam waktu 14 (empat belas) hari sejak diterimanya salinan permohonan tersebut;
 Ketua Kamar Bidang Tata Usaha Negara MA atas nama Ketua MA, menetapkan
Majelis Hakim Agung yang akan memeriksa dan memutus permohonan keberatan
tersebut;
 Majelis Hakim Agung yang telah ditetapkan kemudian memeriksa dan memutus
permohonan keberatan HUM tersebut dengan menerapkan ketentuan hukum yang
berlaku bagi perkara permohonan dengan waktu yang sesingkat-singkatnya, sesuai
dengan asas peradilan yang sederhana, cepat da n berbiaya ringan.
2.Diajukan melalui Pengadilan Negeri atau PTUN yang membawahi wilayah hukum tempat
kedudukan pemohon

 Dalam hal hal permohonan keberatan diajukan melalui PN/PTUN, didaftarkan pada
kepaniteraan PN/PTUN dan dibukukan dalam buku register tersendiri dengan
menggunakan kode / nomor:....., P/HUM/Th....../PN atau PTUN......, dengan
membayar biaya permohonan dan diberikan tanda terima;
 Panitera PN/PTUN setelah memeriksa kelengkapan berkas, mengirimkan permohonan
keberatan HUM kepada MA pada hari berikutnya setelah pendaftaran (dan proses
selanjutnya ditangani oleh MA);
 Panitera MA menyampaikan kepada Ketua MA untuk menetapkan Majelis Hakim
Agung, setelah dinyatakan lengkap berkas-berkas permohonan tersebut.

1.Putusan HUM

2.Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan keberatan itu beralasan, yaitu karena
peraturan perundang-undangan yang dimohonkan HUM tersebut bertentangan dengan uu
atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, maka permohonan HUM tersebut
dapat dikabulkan dengan menyatakan bahwa peraturan perundang-undangan yang
dimohonkan HUM tersebut tidak sah dan tidak mempunyai kekuatan mengikat untuk umum,
serta memerintahkan kepada instansi yang bersangkutan segera mencabutnya;

3.Dalam hal MA berpendapat bahwa permohonan HUM tidak beralasan, maka permohonan
itu ditolak;

4.Pemberitahuan isi putusan beserta salinan Putusan MA dikirimkan dengan surat tercatat
kepada para pihak, atau dalam hal permohonan diajukan melalui PN/PTUN, maka
penyerahan/pengiriman salinan putusan melalui PN/PTUN yang bersangkutan;

5.Dalam jangka waktu 30 (tiga puluh) hari setelah Putusan diucapkan Panitera MA
mencantumkan petikan Putusan dalam Berita Negara dan dipublikasikan atas biaya Negara;

6.Dalam jangka waktu 90 (sembilan puluh) hari setelah Putusan MA dikirim kepada
Badan/Pejabat TUN yang mengeluarkan peraturan perundang-undangan tersebut ternyata
tidak dilaksanakan, maka peraturan perundang-undangan yang bersangkutan demi hukum
tidak mempunyai kekuatan hukum lagi;

7.Terhadap Putusan HUM, tidak dapat diajukan Peninjauan Kembali (PK).


Nama : Elsa Viona Odilia Songgor
NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH

Metode penyelesaian dari Norma Hukum Peraturan Perundang Undangan yang


Konflik.

Dalam identifikasi aturan hukum seringkali dijumpai keadaan aturan hukum, yaitu
kekosongan hukum (leemten in het recht), konflik antar norma hukum (antinomi hukum), dan
norma yang kabur (vage normen) atau norma tidak jelas.Dalam menghadapi konflik antar
norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas penyelesaian konflik (asas
preferensi), yaitu:

1.   Lex superiori derogat legi inferiori, yaitu peraturan perundang-undangan yang lebih
tinggi akan melumpuhkan peraturan perundang-undangan yang lebih rendah;
2. Lex specialis derogat legi generali, yaitu peraturan yang khusus akan melumpuhkan
peraturan yang umum sifatnya atau peraturan yang khususlah yang harus
didahulukan;
3. Lex posteriori derogat legi priori, yaitu peraturan yang baru mengalahkan atau
melumpuhkan peraturan yang lama.

Dalam menghadapi konflik antar norma hukum (antinomi hukum), maka berlakulah asas-asas
penyelesaian konflik (asas preferensi).Di samping itu ada langkah praktis untuk
menyelesaikan konflik tersebut antara lain pengingkaran (disavowal), reinterpretasi,
pembatalan (invalidation), dan pemulihan (remedy).

Pertama, pengingkaran (disavowal). Langkah ini seringkali merupakan suatu paradok


dengan mempertahankan bahwa tidak terjadi konflik norma. Seringkali konflik itu terjadi
berkenaan dengan asaslex specialis dalam konflik pragmatis atau konflik logika yang
diinterpretasi sebagai pragmatis. Tipe iniberanggapan bahwa tidak terdapat konflik norma,
meskipun dirasakan bahwa sesungguhnya terdapat konflik norma.

Kedua, reinterpretasi (reinterpretation). Dalam kaitan penerapan ketiga asas preferensi


hukum
harus dibedakan, yang pertama adalah reinterpretasi yaitu dengan mengikuti asas-asas
preferensi hukum, menginterpretasi kembali norma yang utama dengan cara yang lebih
fleksibel. Cara yang kedua yakni menginterpretasi norma preferensi dan kemudian
menerapkan
norma tersebut dengan menyampingkan norma yang lain.

Ketiga, pembatalan (invalidation). Terdapat 2 macam pembatalan, yakni pembatalan


abstrak formal dan pembatalan praktikal. Pembatalan abstrak formal, yaitu pembatalan suatu
norma yang dilaksanakan oleh suatu lembaga khusus, misalnya pembatalan Peraturan
Pemerintah ke bawah dalam hierarki ketentuan peraturan perundang-undangan dilaksanakan
oleh Mahkamah Agung. Semetara itu, pembatalan norma undang-undang terhadap UUD
1945 dilaksanakan oleh Mahkamah Konstitusi. Adapun pembatalan praktikal, yaitu
pembatalan suatu norma dengan cara tidak melaksanakan norma tersebut di dalam kasus
konkrit.

Keempat, pemulihan (remedy). Mempertimbangkan pemulihan dapat membatalkan suatu


ketentuan. Misalnya dalam hal suatu norma yang unggul dalam arti overruled norm, berkaitan
dengan aspek ekonomi maka sebagai ganti membatalkan norma yang kalah dengan cara
pemberian kompensasi
Nama : Elsa Viona Odilia Songgor
NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH

Metode penyelesaian dari Norma Hukum yang Kabur

Norma yang kabur (vage normen) / norma tidak jelas.

Dalam hal menghadapi norma yang kabur/norma tidak jelas, pertama-tama seorang hakim
harus berpegang pada rasio hukum yang terkandung dalam aturan dan selanjutnya hakim
dapat menetapkan metode interpretasi mana yang dianggap paling tepat.

Hakim juga dapat menjadikan ketentuan undang-undang hanya sebagai alat atau sarana untuk
menemukan pemecah ke dalam peristiwa konkret. Dalam keadaan seperti ini, seorang hakim
tidak berfungsi sebagai petugas yang menjelaskan atau menafsirkan undang-undang, tetapi
lebih sebagai pencipta hukum. Metode penemuan hukum yang tidak terikat pada undang-
undang disebut dengan metode penemuan hukum bebas. Penafsiran oleh hakim merupakan
penjelasan yang harus menuju kepada pelaksanaan yang dapat diterima oleh masyarakat
mengenai peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit. Metode interpretasi adalah saran atau
alat untuk mengetahui makna undang-undang.
Nama : Elsa Viona Odilia Songgor
NPM :202010121261
Kelas : CC3
Mata Kuliah: Ilmu Perundang-undangan
Dosen : Prof.Dr.I Made Subawa,SH.MH

Metode Penyelesaian Dari Norma Hukum Yang Kosong

Dalam hal menghadapi kekosongan hukum (rechts vacuum) atau kekosongan undang-
undang (wet vacuum), hakim berpegang pada asas ius curia novit, dimana hakim dianggap
tahu akan hukumnya. Hakim tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak ada atau
tidak jelas hukumnya. Ia dilarang menolak menjatuhkan putusan dengan dalih undang-
undangnya tidak lengkap atau tidak jelas. Ia wajib memahami, mengikuti, dan menggali nilai-
nilai hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu ia harus melakukan penemuan
hukum (rechtvinding) dengan tetap berpedoman pada kebenaran dan keadilan serta memihak
dan peka terhadap nasib bangsa dan keadaan negaranya.

Sudikno Mertokusumo mengatakan apa yang dinamakan penemuan hukum lazimnya adalah
proses pembentukan hukum oleh hakim atau petugas-petugas hukum lainnya yang diberi
tugas untuk melaksanakan hukum atau menetapkan peraturan hukum umum terhadap
peristiwa hukum yang konkret. Lebih lanjut dikatakan bahwa penemuan hukum merupakan
konkretisasi dan individualisasi peraturan (das sollen) yang bersifat umum dengan mengingat
akan peristiwa konret (das sein) tertentu.

Paul Scholten menyatakan yang dimaksud dengan penemuan hukum adalah sesuatu yang lain
daripada hanya penerapan peraturan pada peristiwanya. Kadang-kadang dan bahkan sangat
sering terjadi bahwa peraturannya harus ditemukan, baik dengan jalan interpretasi maupun
dengan jalan analogi atau ataupun rechtsverfijning (penghalusan/pengkonkretan
hukum).Sedangkan D.H.M. Meuwissen berpendapat mengatakan penemuan hukum ihwalnya
adalah berkenaan dengan konkretisasi produk pembentukan hukum. Penemuan hukum adalah
proses kegiatan pengambilan yuridik konkret yang secara langsung menimbulkan akibat
hukum bagi situasi individual (putusan-putusan hakim, ketetapan, pembuatan akta oleh
notaris, dan sebagainya).Dengan demikian dalam penemuan hukum yang penting adalah
bagaimana mencarikan atau menemukan hukumnya untuk peristiwa konkret (in-concreto).

Dalam rangka menemukan hukum, Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009
Tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan, bahwa “Hakim dan hakim konstitusi wajib
menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam
masyarakat”. Adapun dalam penjelasan pasal tersebut menyatakan, bahwa “Ketentuan ini
dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa
keadilan masyarakat”. Dengan demikian ketentuan tersebut memberi makna hakim
merupakan perumus dan penggali nilai-nilai hidup dalam masyarakat, ia seharusnya dapat
mengenal, merasakan, dan mampu menyelami perasaan hukum dan rasa keadilan yang hidup
dalam masyarakat.

Untuk dapat menemukan hukum, hakim dalam memeriksa dan memutus suatu perkara
menggunakan metode penemuan hukum. Metode penemuan hukum yang dianut dewasa ini,
seperti yang dikemukakan antara lain oleh J.J.H. Bruggink meliputi metode interpretasi
(interpretation methoden) dan konstruksi hukum ini terdiri atas nalar analogi yang
gandengannya (spiegelbeeld) a contrario, dan ditambah bentuk ketiga oleh Paul Scholten
penghalusan hukum (rechtsverfijning) yang dalam bahasa Indonesia oleh Soedikno
Mertokusumo disebut penyempitan hukum.

Menurut Achmad Ali,ada 2 (dua) teori penemuan hukum yang dapat dilakukan oleh hakim
dalam praktik peradilan, yaitu melalui metode interpretasi atau penafsiran hukum dan metode
konstruksi hukum.Ada perbedaan pandangan tentang metode atau cara penemuan hukum
oleh hakim menurut yuris dari Eropa Kontinental dengan yuris yang berasal dari Anglo
Saxon. Pada umumnya yuris Eropa Kontinental tidak memisahkan secara tegas antara metode
interpretasi hukum dengan metode konstruksi hukum. Hal ini dapat dilihat dalam paparan
buku-buku Paul Scholten, Pitlo, Sudikno Mertokusumo, dan Yudha Bhakti Adiwisastra.
Sebaliknya, para penulis yang condong ke sistem Anglo Saxon, seperti Curzon, B. Arief
Shidharta, dan Achmad Ali membuat pemisahan secara tegas antara metode interpretasi
hukum dan metode konstruksi hukum.

Anda mungkin juga menyukai