Anda di halaman 1dari 35

e.

bahwa berdasarkan pertimbangan pada huruf a, huruf b,


huruf c dan huruf d, perlu ditetapkan Undang-Undang tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 1 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18A, Pasal 20, Pasal 21,
Pasal 23, Pasal 23C, dan Pasal 33 Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
2. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
Negara (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2003
Nomor 47, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
NOMOR 33 TAHUN 2004
Nomor 4286);
3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
TENTANG
Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran Negara
PERIMBANGAN KEUANGAN
Republik Indonesia Nomor 4355);
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH
4. Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan
Pengelolaan dan Tanggung Jawab Keuangan Negara
DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA
(Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004 Nomor
66, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
4400);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Menimbang : a. bahwa Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Daerah (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2004
Tahun 1945 mengamanatkan diselenggarakan otonomi Nomor 125, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia
seluas-luasnya dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Nomor 4437);
Indonesia;
b. bahwa hubungan keuangan, pelayanan umum, pemanfaatan
sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara Dengan Persetujuan Bersama
Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah, dan antar
Pemerintahan Daerah perlu diatur secara adil dan selaras; DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA
c. bahwa untuk mendukung penyelenggaraan otonomi daerah
melalui penyediaan sumber-sumber pendanaan berdasarkan Dan
kewenangan Pemerintah Pusat, Desentralisasi,
Dekonsentrasi, dan Tugas Pembantuan, perlu diatur PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan
Pemerintahan Daerah berupa sistem keuangan yang diatur MEMUTUSKAN:
berdasarkan pembagian kewenangan, tugas, dan tanggung
jawab yang jelas antarsusunan pemerintahan; Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG PERIMBANGAN
d. bahwa Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang KEUANGAN ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Daerah PEMERINTAHAN DAERAH.
sudah tidak sesuai dengan perkembangan keadaan,
ketatanegaraan serta tuntutan penyelenggaraan otonomi
daerah, sehingga perlu diganti;
GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 1
BAB I 12. Pengeluaran Daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
KETENTUAN UMUM 13. Pendapatan Daerah adalah hak Pemerintah Daerah yang diakui sebagai
penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun bersangkutan.
Pasal 1 14. Belanja daerah adalah semua kewajiban Daerah yang diakui sebagai
pengurang nilai kekayaan bersih dalam periode tahun anggaran yang
Dalam Undang-Undang ini yang dimaksud dengan: bersangkutan.
15. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali
1. Pemerintah Pusat, yang selanjutnya disebut Pemerintah, adalah Presiden dan/atau pengeluaran yang akan diterima kembali, baik pada tahun
Republik Indonesia yang memegang kekuasaan pemerintahan Negara anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun anggaran berikutnya.
Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 16. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. adalah rencana keuangan tahunan pemerintahan Negara yang disetujui
2. Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh oleh Dewan Perwakilan Rakyat.
Pemerintah Daerah dan DPRD menurut asas otonomi dan Tugas 17. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD
Pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam sistem dan adalah rencana keuangan tahunan Pemerintahan Daerah yang dibahas
prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dan disetujui bersama oleh Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan
dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Rakyat Daerah, dan ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
3. Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah 18. Pendapatan Asli Daerah, selanjutnya disebut PAD adalah pendapatan
adalah suatu sistem pembagian keuangan yang adil, proporsional, demokratis, yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah
transparan, dan efisien dalam rangka pendanaan penyelenggaraan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Desentralisasi, dengan memper-timbangkan potensi, kondisi, dan kebutuhan 19. Dana Perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
daerah, serta besaran pendanaan penyelenggaraan Dekonsentrasi dan Tugas yang dialokasikan kepada Daerah untuk mendanai kebutuhan Daerah
Pembantuan. dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
4. Pemerintah Daerah adalah gubernur, bupati, atau walikota, dan perangkat 20. Dana Bagi Hasil adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN
Daerah sebagai unsur penyelenggara Pemerintahan Daerah. yang dialokasikan kepada Daerah berdasarkan angka persentase untuk
5. Daerah otonom, selanjutnya disebut Daerah, adalah kesatuan masyarakat mendanai kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
hukum yang mempunyai batas-batas wilayah berwenang mengatur dan 21. Dana Alokasi Umum, selanjutnya disebut DAU adalah dana yang
mengurus urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan dengan tujuan
menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah untuk mendanai
Negara Kesatuan Republik Indonesia. kebutuhan Daerah dalam rangka pelaksanaan Desentralisasi.
6. Kepala Daerah adalah gubernur bagi daerah provinsi atau bupati bagi 22. Celah fiskal dihitung berdasarkan selisih antara kebutuhan fiskal Daerah
daerah kabupaten atau walikota bagi daerah kota. dan kapasitas fiskal Daerah.
7. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah 23. Dana Alokasi Khusus, selanjutnya disebut DAK, adalah dana yang
lembaga perwakilan rakyat daerah sebagai unsur penyelenggara bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada Daerah
Pemerintahan Daerah. tertentu dengan tujuan untuk membantu mendanai kegiatan khusus yang
8. Desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan prioritas nasional.
Pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan 24. Pinjaman Daerah adalah semua transaksi yang mengakibatkan Daerah
pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. menerima sejumlah uang atau menerima manfaat yang bernilai uang dari
9. Dekonsentrasi adalah pelimpahan wewenang dari Pemerintah kepada pihak lain sehingga Daerah tersebut dibebani kewajiban untuk membayar
gubernur sebagai wakil Pemerintah. kembali.
10. Tugas Pembantuan adalah penugasan dari Pemerintah kepada Daerah 25. Obligasi Daerah adalah Pinjaman Daerah yang ditawarkan kepada publik
dan/atau desa atau sebutan lain dengan kewajiban melaporkan dan melalui penawaran umum di pasar modal.
mempertanggungjawabkan pelaksanaannya kepada yang menugaskan.
11. Penerimaan Daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 2
26. Dana Dekonsentrasi adalah dana yang berasal dari APBN yang (2) Pemberian sumber keuangan Negara kepada Pemerintahan Daerah dalam
dilaksanakan oleh gubernur sebagai wakil Pemerintah yang mencakup rangka pelaksanaan Desentralisasi didasarkan atas penyerahan tugas oleh
semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Pemerintah kepada Pemerintah Daerah dengan memperhatikan stabilitas
Dekonsentrasi, tidak termasuk dana yang dialokasikan untuk instansi dan keseimbangan fiskal.
vertikal pusat di daerah. (3) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
27. Dana Tugas Pembantuan adalah dana yang berasal dari APBN yang merupakan suatu sistem yang menyeluruh dalam rangka pendanaan
dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan penyelenggaraan asas Desentralisasi, Dekonsentrasi, dan Tugas
pengeluaran dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan. Pembantuan.
28. Hibah adalah Penerimaan Daerah yang berasal dari pemerintah negara
asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional, Pemerintah, Pasal 3
badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam bentuk
devisa, rupiah maupun barang dan/atau jasa, termasuk tenaga ahli dan (1) PAD bertujuan memberikan kewenangan kepada Pemerintah Daerah
pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali. untuk mendanai pelaksanaan otonomi daerah sesuai dengan potensi
29. Dana Darurat adalah dana yang berasal dari APBN yang dialokasikan Daerah sebagai perwujudan Desentralisasi.
kepada Daerah yang mengalami bencana nasional, peristiwa luar biasa, (2) Dana Perimbangan bertujuan mengurangi kesenjangan fiskal antara
dan/atau krisis solvabilitas. Pemerintah dan Pemerintahan Daerah dan antar-Pemerintah Daerah.
30. Rencana Kerja Pemerintah Daerah, selanjutnya disebut RKPD, adalah (3) Pinjaman Daerah bertujuan memperoleh sumber pembiayaan dalam
dokumen perencanaan daerah provinsi, kabupaten, dan kota untuk periode rangka penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah.
1 (satu) tahun. (4) Lain-lain Pendapatan bertujuan memberi peluang kepada Daerah untuk
31. Rencana Kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya disebut Renja memperoleh pendapatan selain pendapatan sebagaimana dimaksud pada
SKPD, adalah dokumen perencanaan Satuan Kerja Perangkat Daerah ayat (1), ayat (2), dan ayat (3).
untuk periode 1 (satu) tahun.
32. Rencana Kerja dan Anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah, selanjutnya
disebut RKA SKPD, adalah dokumen perencanaan dan penganggaran BAB III
yang berisi program dan kegiatan Satuan Kerja Perangkat Daerah yang DASAR PENDANAAN
merupakan penjabaran dari Rencana Kerja Pemerintah Daerah dan PEMERINTAHAN DAERAH
rencana strategis Satuan Kerja Perangkat Daerah yang bersangkutan
dalam satu tahun anggaran, serta anggaran yang diperlukan untuk Pasal 4
melaksanakannya.
(1) Penyelenggaraan urusan Pemerintahan Daerah dalam rangka
33. Pengguna Anggaran adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
pelaksanaan Desentralisasi didanai APBD.
anggaran kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat Daerah.
(2) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur
34. Pengguna Barang adalah pejabat pemegang kewenangan penggunaan
dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi didanai APBN.
barang milik Negara/Daerah.
(3) Penyelenggaraan urusan Pemerintah yang dilaksanakan oleh gubernur
dalam rangka Tugas Pembantuan didanai APBN.
BAB II
(4) Pelimpahan kewenangan dalam rangka pelaksanaan Dekonsentrasi
PRINSIP KEBIJAKAN PERIMBANGAN KEUANGAN
dan/atau penugasan dalam rangka pelaksanaan Tugas Pembantuan dari
Pasal 2 Pemerintah kepada Pemerintah Daerah diikuti dengan pemberian dana.

(1) Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah


merupakan subsistem Keuangan Negara sebagai konsekuensi pembagian
tugas antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 3
BAB IV b. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menghambat
SUMBER PENERIMAAN DAERAH mobilitas penduduk, lalu lintas barang dan jasa antardaerah, dan kegiatan
impor/ekspor.
Pasal 5
Pasal 8
(1) Penerimaan Daerah dalam pelaksanaan Desentralisasi terdiri atas
Pendapatan Daerah dan Pembiayaan. Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah sebagaimana
(2) Pendapatan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a dan huruf b dilaksanakan sesuai
a. Pendapatan Asli Daerah; dengan Undang-Undang.
b. Dana Perimbangan; dan
c. Lain-lain Pendapatan.
(3) Pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) bersumber dari: Pasal 9
d. sisa lebih perhitungan anggaran Daerah;
e. penerimaan Pinjaman Daerah; Ketentuan mengenai hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan
f. Dana Cadangan Daerah; dan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf c ditetapkan berdasarkan
g. hasil penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan. peraturan perundang-undangan.

BAB V BAB VI
PENDAPATAN ASLI DAERAH DANA PERIMBANGAN

Pasal 6 Bagian Kesatu


Jenis
(1) PAD bersumber dari:
a. Pajak Daerah; Pasal 10
b. Retribusi Daerah;
c. hasil pengelolaan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan (1) Dana Perimbangan terdiri atas:
d. lain-lain PAD yang sah. Dana Bagi Hasil;
(2) Lain-lain PAD yang sah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf d, Dana Alokasi Umum; dan
meliputi: Dana Alokasi Khusus.
a. hasil penjualan kekayaan Daerah yang tidak dipisahkan; (2) Jumlah Dana Perimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
b. jasa giro; ditetapkan setiap tahun anggaran dalam APBN.
c. pendapatan bunga;
d. keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; dan Bagian Kedua
e. komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan Dana Bagi Hasil
dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
Pasal 11
Pasal 7
(1) Dana Bagi Hasil bersumber dari pajak dan sumber daya alam.
Dalam upaya meningkatkan PAD, Daerah dilarang: (2) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari pajak sebagaimana dimaksud pada
a. menetapkan Peraturan Daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ayat (1) terdiri atas:
ekonomi biaya tinggi; dan a. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB);
b. Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan (BPHTB); dan

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 4
c. Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak Orang (5) 20% (dua puluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan BPHTB
Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21. dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk seluruh kabupaten dan
(3) Dana Bagi Hasil yang bersumber dari sumber daya alam sebagaimana kota.
dimaksud pada ayat (1) berasal dari: (6) Penyaluran Dana Bagi Hasil PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud
a. kehutanan; pada ayat (3) dan ayat (4) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-
b. pertambangan umum; undangan.
c. perikanan;
d. pertambangan minyak bumi; Pasal 13
e. pertambangan gas bumi; dan
f. pertambangan panas bumi. (1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak
Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
Pasal 12 dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c yang merupakan bagian Daerah adalah
sebesar 20% (dua puluh persen).
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB dan BPHTB sebagaimana dimaksud (2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh sebagaimana dimaksud pada ayat
dalam Pasal 11 ayat (2) huruf a dan huruf b dibagi antara daerah provinsi, (1) dibagi antara Pemerintah Daerah provinsi dan kabupaten/kota.
daerah kabupaten/kota, dan Pemerintah. (3) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib Pajak
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PBB sebesar 90% (sembilan puluh Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 sebagaimana dimaksud
persen) untuk Daerah dengan rincian sebagai berikut: pada ayat (1) dibagi dengan imbangan 60% (enam puluh persen) untuk
a. 16,2% (enam belas dua persepuluh persen) untuk daerah provinsi kabupaten/kota dan 40% (empat puluh persen) untuk provinsi.
yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah (4) Penyaluran Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
provinsi; dilaksanakan secara triwulanan.
b. 64,8% (enam puluh empat delapan persepuluh persen) untuk daerah
kabupaten/kota yang bersangkutan dan disalurkan ke Rekening Kas Pasal 14
Umum Daerah kabupaten/kota; dan
c. 9% (sembilan persen) untuk biaya pemungutan. Pembagian Penerimaan Negara yang berasal dari sumber daya alam
(3) 10% (sepuluh persen) bagian Pemerintah dari penerimaan PBB dibagikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (3) ditetapkan sebagai berikut:
kepada seluruh daerah kabupaten dan kota yang didasarkan atas realisasi a. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari penerimaan Iuran Hak
penerimaan PBB tahun anggaran berjalan, dengan imbangan sebagai Pengusahaan Hutan (IHPH) dan Provisi Sumber Daya Hutan (PSDH) yang
berikut: dihasilkan dari wilayah Daerah yang bersangkutan dibagi dengan
a. 65% (enam puluh lima persen) dibagikan secara merata kepada imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan
seluruh daerah kabupaten dan kota; dan puluh persen) untuk Daerah.
b. 35% (tiga puluh lima persen) dibagikan sebagai insentif kepada daerah b. Penerimaan Kehutanan yang berasal dari Dana Reboisasi dibagi dengan
kabupaten dan kota yang realisasi tahun sebelumnya imbangan sebesar 60% (enam puluh persen) untuk Pemerintah dan 40%
mencapai/melampaui rencana penerimaan sektor tertentu. (empat puluh persen) untuk Daerah.
(4) Dana Bagi Hasil dari penerimaan BPHTB adalah sebesar 80% (delapan c. Penerimaan Pertambangan Umum yang dihasilkan dari wilayah Daerah
puluh persen) dengan rincian sebagai berikut: yang bersangkutan, dibagi dengan imbangan 20% (dua puluh persen)
a. 16% (enam belas persen) untuk daerah provinsi yang bersangkutan untuk Pemerintah dan 80% (delapan puluh persen) untuk Daerah.
dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah provinsi; dan d. Penerimaan Perikanan yang diterima secara nasional dibagi dengan
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk daerah kabupaten dan kota imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (delapan
penghasil dan disalurkan ke Rekening Kas Umum Daerah puluh persen) untuk seluruh kabupaten/kota.
kabupaten/kota. e. Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi yang dihasilkan dari wilayah
Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 5
pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi (2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Tetap (Land-rent) yang
dengan imbangan: menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a,
1. 84,5% (delapan puluh empat setengah persen) untuk Pemerintah; dan dibagi dengan rincian:
2. 15,5% (lima belas setengah persen) untuk Daerah. a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dan
f. Penerimaan Pertambangan Gas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil.
yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan (3) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara Iuran Eksplorasi dan Iuran
lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi dengan Eksploitasi (Royalti) yang menjadi bagian Daerah sebagaimana dimaksud
imbangan: pada ayat (1) huruf b, dibagi dengan rincian:
1. 69,5% (enam puluh sembilan setengah persen) untuk Pemerintah; dan a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
2. 30,5% (tiga puluh setengah persen) untuk Daerah. b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan
g. Pertambangan Panas Bumi yang dihasilkan dari wilayah Daerah yang c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam
bersangkutan yang merupakan Penerimaan Negara Bukan Pajak, dibagi provinsi yang bersangkutan.
dengan imbangan 20% (dua puluh persen) untuk Pemerintah dan 80% (4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf c,
(delapan puluh persen) untuk Daerah. dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota
dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 15
Pasal 18
(1) Dana Bagi Hasil dari penerimaan IHPH yang menjadi bagian Daerah
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian: (1) Penerimaan Perikanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf d
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi; dan terdiri atas:
b. 64% (enam puluh empat persen) untuk kabupaten/kota penghasil. a. Penerimaan Pungutan Pengusahaan Perikanan; dan
(2) Dana Bagi Hasil dari penerimaan PSDH yang menjadi bagian Daerah b. Penerimaan Pungutan Hasil Perikanan.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf a, dibagi dengan rincian: (2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Negara sektor perikanan sebagaimana
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan; dimaksud dalam Pasal 14 huruf d dibagikan dengan porsi yang sama
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan besar kepada kabupaten/kota di seluruh Indonesia.
c. 32% (tiga puluh dua persen) dibagikan dengan porsi yang sama besar
untuk kabupaten/kota lainnya dalam provinsi yang bersangkutan. Pasal 19

Pasal 16 (1) Penerimaan Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi yang dibagikan ke
Daerah adalah Penerimaan Negara dari sumber daya alam Pertambangan
Dana Bagi Hasil dari Dana Reboisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 Minyak Bumi dan Gas Bumi dari wilayah Daerah yang bersangkutan
huruf b: setelah dikurangi komponen pajak dan pungutan lainnya.
a. 60% (enam puluh persen) bagian Pemerintah digunakan untuk rehabilitasi (2) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi sebagaimana dimaksud
hutan dan lahan secara nasional; dan dalam Pasal 14 huruf e angka 2 sebesar 15% (lima belas persen) dibagi
b. 40% (empat puluh persen) bagian daerah digunakan untuk kegiatan dengan rincian sebagai berikut:
rehabilitasi hutan dan lahan di kabupaten/kota penghasil. a. 3% (tiga persen) dibagikan untuk provinsi yang ber-sangkutan;
b. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; dan
Pasal 17 c. 6% (enam persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam
provinsi yang bersangkutan.
(1) Penerimaan Pertambangan Umum sebagaimana dimaksud dalam Pasal (3) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Gas Bumi sebagaimana dimaksud
14 huruf c terdiri atas: dalam Pasal 14 huruf f angka 2 sebesar 30% (tiga puluh persen) dibagi
a. Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent); dan dengan rincian sebagai berikut:
c. Penerimaan Iuran Eksplorasi dan Iuran Eksploitasi (Royalti). a. 6% (enam persen) dibagikan untuk provinsi yang bersangkutan;

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 6
b. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota penghasil; Pasal 22
dan
c. 12% (dua belas persen) dibagikan untuk kabupaten/kota lainnya dalam Pemerintah menetapkan alokasi Dana Bagi Hasil yang berasal dari sumber
provinsi bersangkutan. daya alam sesuai dengan penetapan dasar perhitungan dan daerah penghasil.
(4) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c dan
ayat (3) huruf c, dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua
kabupaten/kota dalam provinsi yang bersangkutan. Pasal 23

Pasal 20 Dana Bagi Hasil yang merupakan bagian Daerah sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 11 disalurkan berdasarkan realisasi penerimaan tahun anggaran
(1) Dana Bagi Hasil dari Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi berjalan.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e angka 2 dan huruf f angka
2 sebesar 0,5% (setengah persen) dialokasikan untuk menambah Pasal 24
anggaran pendidikan dasar.
(2) Dana Bagi Hasil sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dibagi masing- (1) Realisasi penyaluran Dana Bagi Hasil yang berasal dari sektor minyak
masing dengan rincian sebagai berikut: bumi dan gas bumi tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari
a. 0,1% (satu persepuluh persen) dibagikan untuk provinsi yang asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi dalam APBN tahun
bersangkutan; berjalan.
b. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota (2) Dalam hal Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi
penghasil; dan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) melebihi 130% (seratus tiga puluh
c. 0,2% (dua persepuluh persen) dibagikan untuk kabupaten/ kota lainnya persen), penyaluran dilakukan melalui mekanisme APBN Perubahan.
dalam provinsi yang bersangkutan.
Pasal 25
(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c,
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat
dalam provinsi yang bersangkutan. (1) dan ayat (2) dikenakan sanksi administrasi berupa pemotongan atas
penyaluran Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi.
Pasal 21
Pasal 26
(1) Penerimaan Negara dari Pertambangan Panas Bumi sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 14 huruf g merupakan Penerimaan Negara Bukan Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Bagi Hasil diatur dengan Peraturan
Pajak yang terdiri atas: Pemerintah.
a. Setoran Bagian Pemerintah; dan
b. Iuran tetap dan iuran produksi. Bagian Ketiga
(2) Dana Bagi Hasil dari Penerimaan Pertambangan Panas Bumi yang Dana Alokasi Umum
dibagikan kepada Daerah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf g
dibagi dengan rincian: Pasal 27
a. 16% (enam belas persen) untuk provinsi yang bersangkutan;
b. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota penghasil; dan (1) Jumlah keseluruhan DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 26% (dua puluh
c. 32% (tiga puluh dua persen) untuk kabupaten/kota lainnya dalam enam persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan dalam
provinsi yang bersangkutan. APBN.
(3) Bagian kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (2) huruf c, (2) DAU untuk suatu Daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi
dibagikan dengan porsi yang sama besar untuk semua kabupaten/kota dasar.
dalam provinsi yang bersangkutan.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 7
(3) Celah fiskal sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah kebutuhan fiskal Pasal 32
dikurangi dengan kapasitas fiskal Daerah.
(4) Alokasi dasar sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dihitung berdasarkan (1) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal sama dengan nol menerima DAU
jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah. sebesar alokasi dasar.
(2) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut
Pasal 28 lebih kecil dari alokasi dasar menerima DAU sebesar alokasi dasar setelah
dikurangi nilai celah fiskal.
(1) Kebutuhan fiskal Daerah merupakan kebutuhan pendanaan Daerah untuk (3) Daerah yang memiliki nilai celah fiskal negatif dan nilai negatif tersebut
melaksanakan fungsi layanan dasar umum. sama atau lebih besar dari alokasi dasar tidak menerima DAU.
(2) Setiap kebutuhan pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diukur
secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, Indeks Pasal 33
Kemahalan Konstruksi, Produk Domestik Regional Bruto per kapita, dan
Indeks Pembangunan Manusia. Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal sebagaimana
(3) Kapasitas fiskal Daerah merupakan sumber pendanaan Daerah yang dimaksud dalam Pasal 28 diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan/atau
berasal dari PAD dan Dana Bagi Hasil. lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat
dipertanggungjawabkan.
Pasal 29
Pasal 34
Proporsi DAU antara daerah provinsi dan kabupaten/kota ditetapkan
berdasarkan imbangan kewenangan antara provinsi dan kabupaten/kota. Pemerintah merumuskan formula dan penghitungan DAU sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 30, Pasal 31, dan Pasal 32 dengan memperhatikan
Pasal 30 pertimbangan dewan yang bertugas memberikan saran dan pertimbangan
terhadap kebijakan otonomi daerah.
(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah provinsi sebagai-mana
dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dihitung berdasarkan perkalian bobot Pasal 35
daerah provinsi yang bersangkutan dengan jumlah DAU seluruh daerah
provinsi. Hasil penghitungan DAU per provinsi, kabupaten, dan kota ditetapkan dengan
(2) Bobot daerah provinsi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan Keputusan Presiden.
perbandingan antara celah fiskal daerah provinsi yang bersangkutan dan
total celah fiskal seluruh daerah provinsi. Pasal 36

Pasal 31 (1) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 dilaksanakan


setiap bulan masing-masing sebesar 1/12 (satu perdua belas) dari DAU
(1) DAU atas dasar celah fiskal untuk suatu daerah kabupaten/kota Daerah yang bersangkutan.
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 27 ayat (2) dihitung berdasarkan (2) Penyaluran DAU sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan
perkalian bobot daerah kabupaten/kota yang bersangkutan dengan jumlah sebelum bulan bersangkutan.
DAU seluruh daerah kabupaten/ kota.
(2) Bobot daerah kabupaten/kota sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Pasal 37
merupakan perbandingan antara celah fiskal daerah kabupaten/kota yang
bersangkutan dan total celah fiskal seluruh daerah kabupaten/kota. Ketentuan lebih lanjut mengenai DAU diatur dalam Peraturan Pemerintah.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 8
Bagian Keempat BAB VII
Dana Alokasi Khusus LAIN-LAIN PENDAPATAN

Pasal 38 Pasal 43

Besaran DAK ditetapkan setiap tahun dalam APBN. Lain-lain Pendapatan terdiri atas pendapatan hibah dan pendapatan Dana
Darurat.
Pasal 39
Pasal 44
(1) DAK dialokasikan kepada Daerah tertentu untuk mendanai kegiatan
khusus yang merupakan urusan Daerah. (1) Pendapatan hibah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 43 merupakan
(2) Kegiatan khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) sesuai dengan bantuan yang tidak mengikat.
fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. (2) Hibah kepada Daerah yang bersumber dari luar negeri dilakukan melalui
Pemerintah.
Pasal 40 (3) Hibah dituangkan dalam suatu naskah perjanjian antara Pemerintah
Daerah dan pemberi hibah.
(1) Pemerintah menetapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria (4) Hibah digunakan sesuai dengan naskah perjanjian sebagaimana dimaksud
khusus, dan kriteria teknis. pada ayat (3).
(2) Kriteria umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
mempertimbangkan kemampuan Keuangan Daerah dalam APBD. Pasal 45
(3) Kriteria khusus sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan dengan
memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik Daerah. Tata cara pemberian, penerimaan, dan penggunaan hibah, baik dari dalam
(4) Kriteria teknis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh negeri maupun luar negeri diatur dengan Peraturan Pemerintah.
kementerian Negara/departemen teknis.
Pasal 46
Pasal 41
(1) Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang berasal dari APBN untuk
(1) Daerah penerima DAK wajib menyediakan Dana Pendamping sekurang- keperluan mendesak yang diakibatkan oleh bencana nasional dan/atau
kurangnya 10% (sepuluh persen) dari alokasi DAK. peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi oleh Daerah dengan
(2) Dana Pendamping sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dianggarkan menggunakan sumber APBD.
dalam APBD. (2) Keadaan yang dapat digolongkan sebagai bencana nasional dan/atau
(3) Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu tidak diwajibkan menyediakan peristiwa luar biasa ditetapkan oleh Presiden.
Dana Pendamping.
Pasal 47
Pasal 42
(1) Pemerintah dapat mengalokasikan Dana Darurat pada Daerah yang
Ketentuan lebih lanjut mengenai DAK diatur dalam Peraturan Pemerintah. dinyatakan mengalami krisis solvabilitas.
(2) Daerah dinyatakan mengalami krisis solvabilitas sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) berdasarkan evaluasi Pemerintah sesuai dengan peraturan
perundang-undangan.
(3) Krisis solvabilitas sebagaimana dimaksud pada ayat (1) ditetapkan oleh
Pemerintah setelah berkonsultasi dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 9
Pasal 48 d. lembaga keuangan bukan bank; dan
e. masyarakat.
Ketentuan lebih lanjut mengenai Dana Darurat diatur dengan Peraturan (2) Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah sebagaimana
Pemerintah. dimaksud pada ayat (1) huruf a diberikan melalui Menteri Keuangan.
(3) Pinjaman Daerah yang bersumber dari masyarakat sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) huruf e berupa Obligasi Daerah diterbitkan melalui
BAB VIII pasar modal.
PINJAMAN DAERAH
Bagian Ketiga
Bagian Kesatu Jenis dan Jangka Waktu Pinjaman
Batasan Pinjaman
Pasal 52
Pasal 49
(1) Jenis Pinjaman terdiri atas :
(1) Pemerintah menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman Pemerintah a. Pinjaman Jangka Pendek;
dan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan keadaan dan prakiraan b. Pinjaman Jangka Menengah; dan
perkembangan perekonomian nasional. c. Pinjaman Jangka Panjang.
(2) Batas maksimal kumulatif pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (2) Pinjaman Jangka Pendek sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a
tidak melebihi 60% (enam puluh persen) dari Produk Domestik Bruto tahun merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu kurang atau sama
bersangkutan. dengan satu tahun anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman
(3) Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal kumulatif pinjaman yang meliputi pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain seluruhnya harus
Pemerintah Daerah secara keseluruhan selambat-lambatnya bulan dilunasi dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Agustus untuk tahun anggaran berikutnya. (3) Pinjaman Jangka Menengah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf b
(4) Pengendalian batas maksimal kumulatif Pinjaman Daerah sesuai dengan merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun
peraturan perundang-undangan. anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi
pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi dalam kurun waktu
Pasal 50 yang tidak melebihi sisa masa jabatan Kepala Daerah yang bersangkutan.
(4) Pinjaman Jangka Panjang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf c
(1) Daerah tidak dapat melakukan pinjaman langsung kepada pihak luar merupakan Pinjaman Daerah dalam jangka waktu lebih dari satu tahun
negeri. anggaran dan kewajiban pembayaran kembali pinjaman yang meliputi
(2) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1), pokok pinjaman, bunga, dan biaya lain harus dilunasi pada tahun-tahun
dikenakan sanksi administratif berupa penundaan dan/atau pemotongan anggaran berikutnya sesuai dengan persyaratan perjanjian pinjaman yang
atas penyaluran Dana Perimbangan oleh Menteri Keuangan. bersangkutan.
Bagian Kedua Bagian Keempat
Sumber Pinjaman Penggunaan Pinjaman
Pasal 51 Pasal 53
(1) Pinjaman Daerah bersumber dari: (1) Pinjaman Jangka Pendek dipergunakan hanya untuk menutup kekurangan
a. Pemerintah; arus kas.
b. Pemerintah Daerah lain; (2) Pinjaman Jangka Menengah dipergunakan untuk membiayai penyediaan
c. lembaga keuangan bank; layanan umum yang tidak menghasilkan peneri-maan.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 10
(3) Pinjaman Jangka Panjang dipergunakan untuk membiayai proyek investasi Bagian Ketujuh
yang menghasilkan penerimaan. Obligasi Daerah
(4) Pinjaman Jangka Menengah dan Jangka Panjang wajib mendapatkan
persetujuan DPRD. Pasal 57

Bagian Kelima (1) Daerah dapat menerbitkan Obligasi Daerah dalam mata uang Rupiah di
Persyaratan Pinjaman pasar modal domestik.
(2) Nilai Obligasi Daerah pada saat jatuh tempo sama dengan nilai nominal
Pasal 54 Obligasi Daerah pada saat diterbitkan.
(3) Penerbitan Obligasi Daerah wajib memenuhi ketentuan dalam Pasal 54
Dalam melakukan pinjaman, Daerah wajib memenuhi persyaratan: dan Pasal 55 serta mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang
a. jumlah sisa Pinjaman Daerah ditambah jumlah pinjaman yang akan ditarik pasar modal.
tidak melebihi 75% (tujuh puluh lima persen) dari jumlah penerimaan (4) Hasil penjualan Obligasi Daerah digunakan untuk membiayai investasi
umum APBD tahun sebelumnya; sektor publik yang menghasilkan penerimaan dan memberikan manfaat
b. rasio kemampuan keuangan Daerah untuk mengembalikan pinjaman bagi masyarakat.
ditetapkan oleh Pemerintah; (5) Penerimaan dari investasi sektor publik sebagaimana dimaksud pada ayat
c. tidak mempunyai tunggakan atas pengembalian pinjaman yang berasal (4) digunakan untuk membiayai kewajiban bunga dan pokok Obligasi
dari Pemerintah. Daerah terkait dan sisanya disetorkan ke kas Daerah.

Pasal 55 Pasal 58

(1) Daerah tidak dapat memberikan jaminan atas pinjaman pihak lain. (1) Dalam hal Pemerintah Daerah menerbitkan Obligasi Daerah, Kepala
(2) Pendapatan Daerah dan/atau barang milik Daerah tidak boleh dijadikan Daerah terlebih dahulu mendapatkan persetujuan DPRD dan Pemerintah.
jaminan Pinjaman Daerah. (2) Penerbitan Obligasi Daerah ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Proyek yang dibiayai dari Obligasi Daerah beserta barang milik Daerah (3) Persetujuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan atas nilai
yang melekat dalam proyek tersebut dapat dijadikan jaminan Obligasi bersih maksimal Obligasi Daerah yang akan diterbitkan pada saat
Daerah. penetapan APBD.

Bagian Keenam Pasal 59


Prosedur Pinjaman Daerah
Pemerintah tidak menjamin Obligasi Daerah.
Pasal 56
Pasal 60
(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman kepada Pemerintah Daerah yang
dananya berasal dari luar negeri. Setiap Obligasi Daerah sekurang-kurangnya mencantumkan:
(2) Pinjaman kepada Pemerintah Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat a. nilai nominal;
(1) dilakukan melalui perjanjian penerusan pinjaman kepada Pemerintah b. tanggal jatuh tempo;
Daerah. c. tanggal pembayaran bunga;
(3) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (2) d. tingkat bunga (kupon);
dilakukan antara Menteri Keuangan dan Kepala Daerah. e. frekuensi pembayaran bunga;
(4) Perjanjian penerusan pinjaman sebagaimana dimaksud pada ayat (3) f. cara perhitungan pembayaran bunga;
dapat dinyatakan dalam mata uang Rupiah atau mata uang asing. g. ketentuan tentang hak untuk membeli kembali Obligasi Daerah sebelum
jatuh tempo; dan

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 11
h. ketentuan tentang pengalihan kepemilikan. Pasal 64

Pasal 61 (1) Seluruh kewajiban Pinjaman Daerah yang jatuh tempo wajib dianggarkan
dalam APBD tahun anggaran yang bersangkutan.
(1) Persetujuan DPRD mengenai penerbitan Obligasi Daerah sebagaimana (2) Dalam hal Daerah tidak memenuhi kewajiban membayar pinjamannya
dimaksud dalam Pasal 58 ayat (1) meliputi pembayaran semua kewajiban kepada Pemerintah, kewajiban membayar pinjaman tersebut
bunga dan pokok yang timbul sebagai akibat penerbitan Obligasi Daerah diperhitungkan dengan DAU dan/atau Dana Bagi Hasil dari Penerimaan
dimaksud. Negara yang menjadi hak Daerah tersebut.
(2) Pemerintah Daerah wajib membayar bunga dan pokok setiap Obligasi
Daerah pada saat jatuh tempo. Pasal 65
(3) Dana untuk membayar bunga dan pokok sebagaimana dimaksud pada
ayat (2) disediakan dalam APBD setiap tahun sampai dengan berakhirnya Ketentuan lebih lanjut mengenai Pinjaman Daerah termasuk Obligasi Daerah
kewajiban tersebut. diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(4) Dalam hal pembayaran bunga dimaksud melebihi perkiraan dana
sebagaimana dimaksud pada ayat (3), Kepala Daerah melakukan
pembayaran dan menyampaikan realisasi pembayaran tersebut kepada BAB IX
DPRD dalam pembahasan Perubahan APBD. PENGELOLAAN KEUANGAN
DALAM RANGKA DESENTRALISASI
Pasal 62
Bagian Kesatu
(1) Pengelolaan Obligasi Daerah diselenggarakan oleh Kepala Daerah. Asas Umum
(2) Pengelolaan Obligasi Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
sekurang-kurangnya meliputi: Pasal 66
a. penetapan strategi dan kebijakan pengelolaan Obligasi Daerah
termasuk kebijakan pengendalian risiko; (1) Keuangan Daerah dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-
b. perencanaan dan penetapan struktur portofolio Pinjaman Daerah; undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab
c. penerbitan Obligasi Daerah; dengan memperhatikan keadilan, kepatutan, dan manfaat untuk
d. penjualan Obligasi Daerah melalui lelang; masyarakat.
e. pembelian kembali Obligasi Daerah sebelum jatuh tempo; (2) APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
f. pelunasan pada saat jatuh tempo; dan setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
g. pertanggungjawaban. (3) APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi,
dan distribusi.
Bagian Kedelapan (4) Semua Penerimaan dan Pengeluaran Daerah dalam tahun anggaran yang
Pelaporan Pinjaman bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(5) Surplus APBD dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran Daerah
Pasal 63 tahun anggaran berikutnya.
(6) Penggunaan surplus APBD sebagaimana dimaksud pada ayat (5) untuk
(1) Pemerintah Daerah wajib melaporkan posisi kumulatif pinjaman dan membentuk Dana Cadangan atau penyertaan dalam Perusahaan Daerah
kewajiban pinjaman kepada Pemerintah setiap semester dalam tahun harus memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPRD.
anggaran berjalan.
(2) Dalam hal Daerah tidak menyampaikan laporan, Pemerintah dapat
menunda penyaluran Dana Perimbangan.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 12
Pasal 67 Pasal 70

(1) Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah (1) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan anggaran
Daerah untuk melakukan Penerimaan dan Pengeluaran Daerah. pembiayaan.
(2) Setiap pejabat dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada (2) Anggaran pendapatan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berasal dari
pengeluaran atas beban APBD, jika anggaran untuk mendanai Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, dan Lain-lain Pendapatan.
pengeluaran tersebut tidak tersedia atau tidak cukup tersedia. (3) Anggaran belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diklasifikasikan
(3) Semua Pengeluaran Daerah, termasuk subsidi, hibah, dan bantuan menurut organisasi, fungsi, program, kegiatan, dan jenis belanja.
keuangan lainnya yang sesuai dengan program Pemerintah Daerah (4) Anggaran pembiayaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri atas
didanai melalui APBD. penerimaan pembiayaan dan pengeluaran pembiayaan.
(5) Keterlambatan pembayaran atas tagihan yang berkaitan dengan
pelaksanaan APBD dapat mengakibatkan pengenaan denda dan/atau Pasal 71
bunga.
(6) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan (1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun
dan kemampuan Keuangan Daerah. anggaran berikutnya sejalan dengan RKPD kepada DPRD selambat-
(7) Dalam hal APBD diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber lambatnya bulan Juni tahun berjalan.
pembiayaan untuk menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah (2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan Pemerintah
tentang APBD. Daerah dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran
(8) Dalam hal APBD diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus berikutnya.
tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD. (3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati, Pemerintah
Daerah dan DPRD membahas prioritas dan plafon anggaran sementara
Pasal 68 untuk dijadikan acuan bagi setiap SKPD.

Tahun anggaran APBD sama dengan tahun anggaran APBN, yang meliputi Pasal 72
masa 1 (satu) tahun mulai tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal 31
Desember. (1) Kepala SKPD selaku pengguna anggaran menyusun RKA SKPD tahun
berikutnya.
Bagian Kedua (2) Renja SKPD disusun dengan pendekatan prestasi kerja yang akan dicapai.
Perencanaan (3) RKA SKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) disertai dengan
prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang
Pasal 69 sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
(1) Dalam rangka penyelenggaraan Pemerintahan Daerah, Pemerintah ayat (2) disampaikan kepada DPRD untuk dibahas dalam pembicaraan
Daerah menyusun RKPD yang mengacu pada Rencana Kerja Pemerintah pendahuluan RAPBD.
sebagai satu kesatuan dalam sistem perencanaan pembangunan nasional. (5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada
(2) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan dasar pejabat pengelola Keuangan Daerah sebagai bahan penyusunan
penyusunan rancangan APBD. rancangan Peraturan Daerah tentang APBD tahun berikutnya.
(3) RKPD sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dijabarkan dalam RKA SKPD.
(4) Ketentuan mengenai pokok-pokok penyusunan RKA SKPD sebagaimana Pasal 73
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan RKA SKPD diatur dengan (1) Kepala Daerah mengajukan rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
Peraturan Daerah. disertai penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 13
(2) DPRD bersama dengan Pemerintah Daerah membahas Rancangan APBD Daerah, dan penerimaan lain yang penggunaan-nya dibatasi untuk
yang disampaikan dalam rangka mendapatkan persetujuan. pengeluaran tertentu.
(3) Rancangan APBD yang telah disetujui bersama oleh DPRD dan Kepala (3) Penggunaan Dana Cadangan dalam satu tahun anggaran menjadi
Daerah dituangkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD. penerimaan pembiayaan APBD dalam tahun anggaran yang
bersangkutan.
Bagian Ketiga
Pelaksanaan Pasal 77

Pasal 74 (1) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76 ayat (1)
ditempatkan dalam rekening tersendiri dalam Rekening Kas Umum
Semua Penerimaan Daerah wajib disetor seluruhnya tepat waktu ke Rekening Daerah.
Kas Umum Daerah. (2) Dalam hal Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) belum
digunakan sesuai dengan peruntukannya, dana tersebut dapat
Pasal 75 ditempatkan dalam portofolio yang memberikan hasil tetap dengan risiko
rendah.
(1) Pengeluaran atas beban APBD dalam satu tahun anggaran hanya dapat
dilaksanakan setelah APBD tahun anggaran yang bersangkutan ditetapkan Pasal 78
dalam Peraturan Daerah.
(2) Dalam hal Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) (1) Pemerintah Daerah dapat melakukan kerja sama dengan pihak lain atas
tidak disetujui DPRD, untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah dasar prinsip saling menguntungkan.
Daerah dapat melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar (2) Kerja sama dengan pihak lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
realisasi APBD tahun anggaran sebelumnya. ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(3) Kepala SKPD menyusun dokumen pelaksanaan anggaran untuk SKPD (3) Anggaran yang timbul akibat dari kerja sama sebagaimana dimaksud pada
yang dipimpinnya berdasarkan alokasi anggaran yang ditetapkan oleh ayat (1) dicantumkan dalam APBD.
Kepala Daerah.
(4) Pengguna anggaran melaksanakan kegiatan sebagaimana tersebut dalam Pasal 79
dokumen pelaksanaan anggaran yang telah disahkan.
(5) Pengguna anggaran berhak untuk menguji, membebankan pada mata (1) Dalam keadaan darurat, Pemerintah Daerah dapat melakukan belanja dari
anggaran yang disediakan, dan memerintahkan pembayaran tagihan atas APBD yang belum tersedia anggarannya.
beban APBD. (2) Belanja sebagaimana dimaksud pada ayat (1) selanjutnya diusulkan dalam
(6) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD dilakukan oleh rancangan perubahan APBD dan/atau disampaikan dalam Laporan
bendahara umum Daerah. Realisasi Anggaran.
(7) Pembayaran atas tagihan yang dibebankan APBD tidak boleh dilakukan
sebelum barang dan/atau jasa diterima. Pasal 80

Pasal 76 (1) Perubahan APBD ditetapkan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sebelum


berakhirnya tahun anggaran.
(1) Daerah dapat membentuk Dana Cadangan guna mendanai kebutuhan (2) Perubahan APBD hanya dapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 1 (satu) tahun
yang tidak dapat dibebankan dalam satu tahun anggaran yang ditetapkan anggaran, kecuali dalam keadaan luar biasa.
dengan Peraturan Daerah. (3) Keadaan luar biasa sebagaimana dimaksud pada ayat (2) adalah keadaan
(2) Dana Cadangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat bersumber yang menyebabkan estimasi penerimaan dan/atau pengeluaran dalam
dari penyisihan atas penerimaan APBD kecuali dari DAK, Pinjaman APBD mengalami kenaikan atau penurunan lebih besar dari 50% (lima
puluh persen).

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 14
Bagian Keempat c. Penjualan kekayaan Daerah yang dipisahkan; dan
Pertanggungjawaban d. Pinjaman Daerah.

Pasal 81 Bagian Keenam


Pengawasan dan Pemeriksaan
(1) Pemerintah Daerah menyampaikan rancangan Peraturan Daerah tentang
pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan Pasal 85
keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan paling
lambat 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran. Pengawasan Dana Desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
(2) Laporan keuangan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) setidak-tidaknya perundang-undangan.
meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca, Laporan Arus Kas, dan Catatan Pemeriksaan Dana Desentralisasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
atas Laporan Keuangan, yang dilampiri laporan keuangan Perusahaan perundang-undangan di bidang pemeriksaan pengelolaan dan tanggung
Daerah. jawab Keuangan Negara.
(3) Bentuk dan isi Laporan Pertanggungjawaban pelaksanaan APBD
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) disusun dan disajikan Pasal 86
sesuai dengan Standar Akuntasi Pemerintahan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pengelolaan Keuangan Daerah diatur dengan
Pasal 82 Peraturan Pemerintah.

Pengelolaan dan pertanggungjawaban Keuangan Daerah dilaksanakan sesuai


dengan peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara dan BAB X
Perbendaharaan Negara. DANA DEKONSENTRASI

Bagian Kelima Bagian Kesatu


Pengendalian Umum

Pasal 83 Pasal 87

(1) Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal jumlah kumulatif defisit (1) Pendanaan dalam rangka Dekonsentrasi dilaksanakan setelah adanya
APBN dan APBD. pelimpahan wewenang Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga
(2) Jumlah kumulatif defisit sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak kepada gubernur sebagai wakil Pemerintah di Daerah.
melebihi 3% (tiga persen) dari Produk Domestik Bruto tahun bersangkutan. (2) Pelaksanaan pelimpahan wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
(3) Menteri Keuangan menetapkan kriteria defisit APBD dan batas maksimal didanai oleh Pemerintah.
defisit APBD masing-masing Daerah setiap tahun anggaran. (3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
(4) Pelanggaran terhadap ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disesuaikan dengan wewenang yang dilimpahkan.
dapat dikenakan sanksi berupa penundaan atas penyaluran Dana (4) Kegiatan Dekonsentrasi di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang
Perimbangan. ditetapkan oleh gubernur.
(5) Gubernur memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian
Pasal 84 negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi di Daerah
kepada DPRD.
Dalam hal APBD diperkirakan defisit, pembiayaan defisit bersumber dari: (6) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (5)
a. Sisa Lebih Perhitungan Anggaran (SiLPA); diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD.
b. Dana Cadangan;

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 15
(7) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk (4) Gubernur menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh
kegiatan yang bersifat nonfisik. pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi kepada menteri negara/ pimpinan
lembaga yang memberikan pelimpahan wewenang.
Bagian Kedua (5) Menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan
Penganggaran Dana Dekonsentrasi pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi secara nasional
kepada Presiden sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Pasal 88
Bagian Kelima
Dana Dekonsentrasi merupakan bagian anggaran kementerian Status Barang dalam Pelaksanaan Dekonsentrasi
negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran
kementerian negara/lembaga. Pasal 91

Bagian Ketiga (1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Dekonsentrasi menjadi barang
Penyaluran Dana Dekonsentrasi milik Negara.
(2) Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
Pasal 89 dihibahkan kepada Daerah.
(3) Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagai-mana
(1) Dana Dekonsentrasi disalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara. dimaksud pada ayat (2) wajib dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah.
(2) Pada setiap awal tahun anggaran gubernur menetapkan Satuan Kerja (4) Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola
Perangkat Daerah sebagai pelaksana kegiatan Dekonsentrasi. dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan
(3) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Dekonsentrasi, pelimpahan wewenang.
sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN.
(4) Dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Dekonsentrasi, saldo Pasal 92
tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
(5) Dalam hal pelaksanaan Dekonsentrasi menghasilkan penerimaan, maka Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran,
penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN dan disetor ke pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara yang
Rekening Kas Umum Negara sesuai dengan peraturan perundang- diperoleh atas pelaksanaan Dana Dekonsentrasi diatur dengan Peraturan
undangan. Pemerintah.

Bagian Keempat Bagian Keenam


Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pengawasan dan Pemeriksaan
Dana Dekonsentrasi
Pasal 93
Pasal 90
(1) Pengawasan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
(1) Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Dekonsentrasi dilakukan perundang-undangan.
secara terpisah dari penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Tugas (2) Pemeriksaan Dana Dekonsentrasi dilaksanakan sesuai dengan peraturan
Pembantuan dan Desentralisasi. perundang-undangan di bidang Pemeriksaan Pengelolaan dan Tanggung
(2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang dalam rangka Jawab Keuangan Negara.
Dekonsentrasi secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-
undangan.
(3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Dekonsentrasi
kepada gubernur.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 16
BAB XI (3) Dalam hal terdapat sisa anggaran lebih atas pelaksanaan Tugas
DANA TUGAS PEMBANTUAN Pembantuan, sisa tersebut merupakan penerimaan kembali APBN.
(4) Dalam hal terdapat saldo kas atas pelaksanaan Tugas Pembantuan, saldo
Bagian Kesatu tersebut harus disetor ke Rekening Kas Umum Negara.
Umum (5) Dalam hal pelaksanaan Tugas Pembantuan menghasilkan penerimaan,
maka penerimaan tersebut merupakan penerimaan APBN yang harus
Pasal 94 disetor ke Rekening Kas Umum Negara sesuai ketentuan yang berlaku.
(1) Pendanaan dalam rangka Tugas Pembantuan dilaksanakan setelah Bagian Keempat
adanya penugasan Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga Pertanggungjawaban dan Pelaporan Pelaksanaan
kepada Kepala Daerah. Tugas Pembantuan
(2) Pelaksanaan Tugas Pembantuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
didanai oleh Pemerintah. Pasal 97
(3) Pendanaan oleh Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (2)
disesuaikan dengan penugasan yang diberikan. (1) Penatausahaan keuangan dalam pelaksanaan Tugas Pembantuan
(4) Kegiatan Tugas Pembantuan di Daerah dilaksanakan oleh SKPD yang dilakukan secara terpisah dari penatausahaan keuangan dalam
ditetapkan oleh gubernur, bupati, atau walikota. pelaksanaan Dekonsentrasi dan Desentralisasi.
(5) Kepala Daerah memberitahukan rencana kerja dan anggaran kementerian (2) SKPD menyelenggarakan penatausahaan uang/barang dalam rangka
negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Tugas Pembantuan Tugas Pembantuan secara tertib sesuai dengan peraturan perundang-
kepada DPRD. undangan.
(6) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud pada ayat (4) (3) SKPD menyampaikan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan
diberitahukan kepada DPRD pada saat pembahasan RAPBD. kepada Gubernur, bupati, atau walikota.
(7) Pendanaan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dialokasikan untuk (4) Kepala Daerah menyampaikan laporan pertanggungjawaban seluruh
kegiatan yang bersifat fisik. pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan kepada menteri
negara/pimpinan lembaga yang menugaskan.
Bagian Kedua (5) Menteri negara/pimpinan lembaga menyampaikan laporan
Penganggaran Dana Tugas Pembantuan pertanggungjawaban pelaksanaan kegiatan Tugas Pembantuan secara
nasional kepada Presiden sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
Pasal 95
Bagian Kelima
Dana Tugas Pembantuan merupakan bagian anggaran kementerian Status Barang dalam Pelaksanaan
negara/lembaga yang dialokasikan berdasarkan rencana kerja dan anggaran Tugas Pembantuan
kementerian negara/lembaga.
Pasal 98
Bagian Ketiga
Penyaluran Dana Tugas Pembantuan (1) Semua barang yang diperoleh dari Dana Tugas Pembantuan menjadi
barang milik Negara.
Pasal 96 (2) Barang milik Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat
dihibahkan kepada Daerah.
(1) Dana Tugas Pembantuan disalurkan melalui Rekening Kas Umum Negara. (3) Barang milik Negara yang dihibahkan kepada Daerah sebagaimana
(2) Pada setiap awal tahun anggaran Kepala Daerah menetapkan Satuan dimaksud pada ayat (2) dikelola dan ditatausahakan oleh Daerah.
Kerja Perangkat Daerah sebagai pelaksana kegiatan Tugas Pembantuan.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 17
(4) Barang milik Negara yang tidak dihibahkan kepada Daerah wajib dikelola Pasal 102
dan ditatausahakan oleh kementerian negara/lembaga yang memberikan
penugasan. (1) Daerah menyampaikan informasi Keuangan Daerah yang dapat
dipertanggungjawabkan kepada Pemerintah.
Pasal 99 (2) Daerah menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah.
(3) Informasi yang berkaitan dengan Sistem Informasi Keuangan Daerah
Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara penganggaran, penyaluran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), mencakup:
pelaporan, pertanggungjawaban, dan penghibahan barang milik Negara yang APBD dan laporan realisasi APBD provinsi, kabupaten, dan kota;
diperoleh atas pelaksanaan Dana Tugas Pembantuan diatur dengan Peraturan neraca Daerah;
Pemerintah. laporan arus kas;
catatan atas laporan Keuangan Daerah;
Bagian Enam Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan;
Pengawasan dan Pemeriksaan laporan keuangan Perusahaan Daerah; dan
data yang berkaitan dengan kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal Daerah.
(4) Informasi sebagaimana dimaksud pada ayat (3) huruf a, huruf b, huruf c,
Pasal 100 dan huruf d disampaikan kepada Pemerintah sesuai dengan Standar
Akuntansi Pemerintahan.
(1) Pengawasan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan (5) Menteri Keuangan memberikan sanksi berupa penundaan penyaluran
peraturan perundang-undangan. Dana Perimbangan kepada Daerah yang tidak menyampaikan informasi
(2) Pemeriksaan Dana Tugas Pembantuan dilaksanakan sesuai dengan sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
peraturan perundang-undangan di bidang Pemeriksaan Pengelolaan dan
Tanggung Jawab Keuangan Negara. Pasal 103

Informasi yang dimuat dalam Sistem Informasi Keuangan Daerah


BAB XII sebagaimana dimaksud dalam Pasal 101 merupakan data terbuka yang dapat
SISTEM INFORMASI KEUANGAN DAERAH diketahui, diakses, dan diperoleh masyarakat.
Pasal 101 Pasal 104

(1) Pemerintah menyelenggarakan Sistem Informasi Keuangan Daerah secara Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah sebagaimana dimaksud
nasional, dengan tujuan : dalam Pasal 101, Pasal 102, dan Pasal 103, diatur lebih lanjut dengan
a. merumuskan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional; Peraturan Pemerintah.
b. menyajikan informasi Keuangan Daerah secara nasional;
c. merumuskan kebijakan Keuangan Daerah, seperti Dana Perimbangan,
Pinjaman Daerah, dan pengendalian defisit anggaran; dan BAB XIII
d. melakukan pemantauan, pengendalian dan evaluasi pendanaan KETENTUAN PERALIHAN
Desentralisasi, Dekonsentrasi, Tugas Pembantuan, Pinjaman Daerah,
dan defisit anggaran Daerah. Pasal 105
(2) Sistem Informasi Keuangan Daerah secara nasional sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diselenggarakan oleh Pemerintah. (1) Peraturan pelaksanaan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Daerah masih tetap
berlaku sepanjang belum diganti dengan peraturan pelaksanaan yang baru
berdasarkan Undang-Undang ini.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 18
(2) Peraturan pelaksanaan sebagai tindak lanjut Undang-Undang ini sudah BAB XIV
selesai selambat-lambatnya 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini KETENTUAN PENUTUP
diundangkan.
Pasal 109
Pasal 106
Pada saat Undang-Undang ini mulai berlaku, maka:
(1) Pelaksanaan tambahan Dana Bagi Hasil sektor minyak bumi dan gas bumi 1. Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang Perimbangan Keuangan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 huruf e dan huruf f serta Pasal 20 Antara Pemerintah dan Daerah (Lembaran Negara Tahun 1999 Nomor 72,
dilaksanakan mulai tahun anggaran 2009. Tambahan Lembaran Negara Nomor 3848) dinyatakan tidak berlaku.
(2) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran 2. Ketentuan yang mengatur tentang Dana Bagi Hasil sebagaimana diatur
2008 penerimaan pertambangan minyak bumi yang dihasilkan dari wilayah dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus
Daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Undang-Undang Nomor 21
pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi Tahun 2001 tentang Otonomi Khusus Provinsi Papua dinyatakan tetap
dengan imbangan: berlaku selama tidak diatur lain.
a. 85% (delapan puluh lima persen) untuk Pemerintah; dan
b. 15% (lima belas persen) untuk Daerah. Pasal 110
(3) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran
2008 penerimaan pertambangan gas bumi yang dihasilkan dari wilayah Undang-Undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
daerah yang bersangkutan setelah dikurangi komponen pajak dan Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-
pungutan lainnya sesuai dengan peraturan perundang-undangan, dibagi Undang ini dengan penempatannya dalam Lembaran Negara Republik
dengan imbangan: Indonesia.
a. 70% (tujuh puluh persen) untuk Pemerintah; dan
b. 30% (tiga puluh persen) untuk daerah.
Disahkan di Jakarta
Pasal 107 pada tanggal 15 Oktober 2004
PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,
(1) Sejak berlakunya Undang-Undang ini sampai dengan tahun anggaran
2007 DAU ditetapkan sekurang-kurangnya 25,5% (dua puluh lima ttd
setengah persen) dari Pendapatan Dalam Negeri Neto yang ditetapkan
dalam APBN. MEGAWATI SOEKARNOPUTRI
(2) Ketentuan mengenai alokasi DAU sebagaimana diatur dalam Undang-
Undang ini dilaksanakan sepenuhnya mulai tahun anggaran 2008.
Diundangkan di Jakarta
Pasal 108 pada tanggal 15 Oktober 2004
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
(1) Dana Dekonsentrasi dan Dana Tugas Pembantuan yang merupakan
bagian dari anggaran kementerian negara/lembaga yang digunakan untuk ttd
melaksanakan urusan yang menurut peraturan perundang-undangan
menjadi urusan Daerah, secara bertahap dialihkan menjadi Dana Alokasi BAMBANG KESOWO
Khusus.
(2) Pengalihan secara bertahap sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2004 NOMOR 126.
lebih lanjut dalam Peraturan Pemerintah.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 19
PENJELASAN dan menyeluruh terhadap Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 tentang
ATAS Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Sejalan
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA dengan amanat TAP MPR tersebut serta adanya perkembangan dalam
peraturan perundang-undangan di bidang Keuangan Negara yaitu Undang-
NOMOR 33 TAHUN 2004 Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, dan
TENTANG Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2004 tentang Pemeriksaan Pengelolaan
dan Tanggung Jawab Keuangan Negara, menyebabkan terjadinya
PERIMBANGAN KEUANGAN perubahan yang bersifat mendasar dan menyeluruh dalam sistem
Keuangan Negara. Dengan demikian, Undang-Undang Nomor 25 Tahun
ANTARA PEMERINTAH PUSAT DAN PEMERINTAHAN DAERAH 1999 perlu diperbaharui serta diselaraskan dengan Undang-Undang
Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah.

I. UMUM Pembentukan Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara


Pemerintah Pusat dan Pemerintahan Daerah dimaksudkan untuk
Negara Kesatuan Republik Indonesia menyelenggarakan pemerintahan mendukung pendanaan atas penyerahan urusan kepada Pemerintahan
Negara dan pembangunan nasional untuk mencapai masyarakat adil, Daerah yang diatur dalam Undang-Undang tentang Pemerintahan Daerah.
makmur, dan merata berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Pendanaan tersebut menganut prinsip money follows function, yang
Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dalam rangka penyelenggaraan mengandung makna bahwa pendanaan mengikuti fungsi pemerintahan
pemerintahan, Negara Kesatuan Republik Indonesia dibagi atas daerah- yang menjadi kewajiban dan tanggung jawab masing-masing tingkat
daerah provinsi dan daerah provinsi terdiri atas daerah-daerah kabupaten pemerintahan.
dan kota. Tiap-tiap daerah tersebut mempunyai hak dan kewajiban
mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya untuk Perimbangan keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah
meningkatkan efisiensi dan efektivitas penyelenggaraan pemerintahan mencakup pembagian keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan
dan pelayanan kepada masyarakat. Daerah secara proporsional, demokratis, adil, dan transparan dengan
memperhatikan potensi, kondisi, dan kebutuhan Daerah.
Pasal 18A ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia
Tahun 1945 mengamanatkan agar hubungan keuangan, pelayanan umum, Pemerintah pada hakikatnya mengemban tiga fungsi utama yakni fungsi
serta pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya antara distribusi, fungsi stabilisasi, dan fungsi alokasi. Fungsi distribusi dan fungsi
Pemerintah dan Pemerintah Daerah diatur dan dilaksanakan secara adil stabilisasi pada umumnya lebih efektif dan tepat dilaksanakan oleh
dan selaras berdasarkan Undang-Undang. Dengan demikian, Pasal ini Pemerintah, sedangkan fungsi alokasi oleh Pemerintahan Daerah yang
merupakan landasan filosofis dan landasan konstitusional pembentukan lebih mengetahui kebutuhan, kondisi, dan situasi masyarakat setempat.
Undang-Undang tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat Pembagian ketiga fungsi dimaksud sangat penting sebagai landasan
dan Pemerintahan Daerah. dalam penentuan dasar-dasar perimbangan keuangan antara Pemerintah
dan Pemerintahan Daerah.
Ketetapan MPR Nomor IV/MPR/2000 tentang Rekomendasi Kebijakan
dalam penyelenggaraan Otonomi Daerah dan Ketetapan MPR Nomor Dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah, penyerahan, pelimpahan,
VI/MPR/2002 tentang Rekomendasi atas Laporan Pelaksanaan Putusan dan penugasan urusan pemerintahan kepada Daerah secara nyata dan
Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia oleh Presiden, DPA, bertanggung jawab harus diikuti dengan pengaturan, pembagian, dan
DPR, BPK, dan MA merekomendasikan kepada Pemerintah dan Dewan pemanfaatan sumber daya nasional secara adil, termasuk perimbangan
Perwakilan Rakyat agar melakukan perubahan yang bersifat mendasar keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. Sebagai daerah

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 20
otonom, penyelenggaraan pemerintahan dan pelayanan tersebut dilakukan pertambangan panas bumi sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
berdasarkan prinsip-prinsip transparansi, partisipasi, dan akuntabilitas. Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi. Selain itu, dana reboisasi
Pendanaan penyelenggaraan pemerintahan agar terlaksana secara efisien yang semula termasuk bagian dari DAK, dialihkan menjadi DBH.
dan efektif serta untuk mencegah tumpang tindih ataupun tidak tersedianya
pendanaan pada suatu bidang pemerintahan, maka diatur pendanaan DAU bertujuan untuk pemerataan kemampuan keuangan antar-Daerah
penyelenggaraan pemerintahan. Penyelenggaraan pemerintahan yang yang dimaksudkan untuk mengurangi ketimpangan kemampuan keuangan
menjadi kewenangan Daerah dibiayai dari APBD, sedangkan antar-Daerah melalui penerapan formula yang mempertimbangkan
penyelenggaraan kewenangan pemerintahan yang menjadi tanggung kebutuhan dan potensi Daerah. DAU suatu Daerah ditentukan atas besar
jawab Pemerintah dibiayai dari APBN, baik kewenangan Pusat yang kecilnya celah fiskal (fiscal gap) suatu Daerah, yang merupakan selisih
didekonsentrasikan kepada Gubernur atau ditugaskan kepada Pemerintah antara kebutuhan Daerah (fiscal need) dan potensi Daerah (fiscal
Daerah dan/atau Desa atau sebutan lainnya dalam rangka Tugas capacity). Dalam Undang-Undang ini ditegaskan kembali mengenai
Pembantuan. formula celah fiskal dan penambahan variabel DAU. Alokasi DAU bagi
Daerah yang potensi fiskalnya besar tetapi kebutuhan fiskal kecil akan
Sumber-sumber pendanaan pelaksanaan Pemerintahan Daerah terdiri memperoleh alokasi DAU relatif kecil. Sebaliknya, Daerah yang potensi
atas Pendapatan Asli Daerah, Dana Perimbangan, Pinjaman Daerah, dan fiskalnya kecil, namun kebutuhan fiskal besar akan memperoleh alokasi
Lain-lain Pendapatan Yang Sah. DAU relatif besar. Secara implisit, prinsip tersebut menegaskan fungsi
DAU sebagai faktor pemerataan kapasitas fiskal.
Pendapatan Asli Daerah merupakan Pendapatan Daerah yang bersumber
dari hasil Pajak Daerah, hasil Retribusi Daerah, hasil pengelolaan DAK dimaksudkan untuk membantu membiayai kegiatan-kegiatan khusus
kekayaan Daerah yang dipisahkan, dan Lain-lain Pendapatan Asli Daerah di Daerah tertentu yang merupakan urusan Daerah dan sesuai dengan
yang sah, yang bertujuan untuk memberikan keleluasaan kepada Daerah prioritas nasional, khususnya untuk membiayai kebutuhan sarana dan
dalam menggali pendanaan dalam pelaksanaan otonomi daerah sebagai prasarana pelayanan dasar masyarakat yang belum mencapai standar
perwujudan asas Desentralisasi. tertentu atau untuk mendorong percepatan pembangunan Daerah.

Dana Perimbangan merupakan pendanaan Daerah yang bersumber dari Undang-Undang ini juga mengatur hibah yang berasal dari pemerintah
APBN yang terdiri atas Dana Bagi Hasil (DBH), Dana Alokasi Umum negara asing, badan/lembaga asing, badan/lembaga internasional,
(DAU), dan Dana Alokasi Khusus (DAK). Dana Perimbangan selain Pemerintah, badan/lembaga dalam negeri atau perseorangan, baik dalam
dimaksudkan untuk membantu Daerah dalam mendanai kewenangannya, bentuk devisa, rupiah, maupun dalam bentuk barang dan/atau jasa
juga bertujuan untuk mengurangi ketimpangan sumber pendanaan termasuk tenaga ahli, dan pelatihan yang tidak perlu dibayar kembali.
pemerintahan antara Pusat dan Daerah serta untuk mengurangi
kesenjangan pendanaan pemerintahan antar-Daerah. Ketiga komponen Dalam lain-lain pendapatan selain hibah, Undang-Undang ini juga
Dana Perimbangan ini merupakan sistem transfer dana dari Pemerintah mengatur pemberian Dana Darurat kepada Daerah karena bencana
serta merupakan satu kesatuan yang utuh. nasional dan/atau peristiwa luar biasa yang tidak dapat ditanggulangi
dengan dana APBD. Di samping itu, Pemerintah juga dapat memberikan
DBH adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang Dana Darurat pada Daerah yang mengalami krisis solvabilitas, yaitu
dibagihasilkan kepada Daerah berdasarkan angka persentase tertentu. Daerah yang mengalami krisis keuangan berkepanjangan. Untuk
Pengaturan DBH dalam Undang-Undang ini merupakan penyelarasan menghindari menurunnya pelayanan kepada masyarakat setempat,
dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Pemerintah dapat memberikan Dana Darurat kepada Daerah tersebut
sebagaimana telah beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-Undang setelah dikonsultasikan terlebih dahulu dengan Dewan Perwakilan Rakyat.
Nomor 17 Tahun 2000. Dalam Undang-Undang ini dimuat pengaturan Pinjaman Daerah merupakan salah satu sumber Pembiayaan yang
mengenai Bagi Hasil penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 bertujuan untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi Daerah dan
Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri dan PPh Pasal 21 serta sektor meningkatkan pelayanan kepada masyarakat. Pembiayaan yang

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 21
bersumber dari pinjaman harus dikelola secara benar agar tidak menjamin tersedianya dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah
menimbulkan dampak negatif bagi Keuangan Daerah sendiri serta yang ditugaskan kepada Daerah.
stabilitas ekonomi dan moneter secara nasional. Oleh karena itu, Pinjaman
Daerah perlu mengikuti kriteria, persyaratan, mekanisme, dan sanksi Dalam Undang-Undang ini ditegaskan bahwa pengadministrasian Dana
Pinjaman Daerah yang diatur dalam Undang-Undang ini. Dekonsentrasi dan Tugas Pembantuan dilakukan melalui mekanisme
APBN, sedangkan pengadministrasian Dana Desentralisasi mengikuti
Dalam Undang-Undang ini juga ditegaskan bahwa Daerah dilarang mekanisme APBD. Hal ini dimaksudkan agar penyelenggaraan
melakukan pinjaman langsung ke luar negeri. Pinjaman yang bersumber pembangunan dan Pemerintahan Daerah dapat dilakukan secara efektif,
dari luar negeri hanya dapat dilakukan melalui Pemerintah dengan efisien, transparan, dan akuntabel.
mekanisme penerusan pinjaman. Pengaturan ini dimaksudkan agar
terdapat prinsip kehati-hatian dan kesinambungan fiskal dalam kebijakan Dalam rangka meningkatkan pelaksanaan Desentralisasi berdasarkan
fiskal dan moneter oleh Pemerintah. Di lain pihak, Pinjaman Daerah tidak prinsip transparansi dan akuntabilitas, diperlukan adanya dukungan Sistem
hanya dibatasi untuk membiayai prasarana dan sarana yang menghasilkan Informasi Keuangan Daerah. Sistem tersebut antara lain dimaksudkan
penerimaan, tetapi juga dapat untuk membiayai proyek pembangunan untuk perumusan kebijakan dan pengendalian fiskal nasional.
prasarana dasar masyarakat walaupun tidak menghasilkan penerimaan. Berdasarkan pemikiran sebagaimana diuraikan di atas, maka pokok-pokok
Selain itu, dilakukan pembatasan pinjaman dalam rangka pengendalian muatan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut:
defisit APBD dan batas kumulatif pinjaman Pemerintah Daerah. a. Penegasan prinsip-prinsip dasar perimbangan keuangan Pemerintah
dan Pemerintahan Daerah sesuai asas Desentralisasi, Dekonsentrasi,
Daerah juga dimungkinkan untuk menerbitkan Obligasi Daerah dengan dan Tugas Pembantuan;
persyaratan tertentu, serta mengikuti peraturan perundang-undangan di b. Penambahan jenis Dana Bagi Hasil dari sektor Pertambangan Panas
bidang pasar modal dan memenuhi ketentuan nilai bersih maksimal Bumi, Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25/29 Wajib Pajak Orang Pribadi
Obligasi Daerah yang mendapatkan persetujuan Pemerintah. Segala Dalam Negeri dan PPh Pasal 21;
bentuk akibat atau risiko yang timbul dari penerbitan Obligasi Daerah c. Pengelompokan Dana Reboisasi yang semula termasuk dalam
menjadi tanggung jawab Daerah sepenuhnya. komponen Dana Alokasi Khusus menjadi Dana Bagi Hasil;
d. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Umum;
Pengelolaan keuangan dilakukan secara tertib, taat pada peraturan e. Penyempurnaan prinsip pengalokasian Dana Alokasi Khusus;
perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan dapat f. Penambahan pengaturan Hibah dan Dana Darurat;
dipertanggungjawabkan kepada para pemangku kepentingan yang sudah g. Penyempurnaan persyaratan dan mekanisme Pinjaman Daerah,
menjadi tuntutan masyarakat. Semua penerimaan dan pengeluaran yang termasuk Obligasi Daerah;
menjadi hak dan kewajiban Daerah dalam tahun anggaran yang bersangkutan h. Pengaturan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan;
harus dimasukkan dalam APBD. Dalam pengadministrasian Keuangan i. Penegasan pengaturan Sistem Informasi Keuangan Daerah; dan
Daerah, APBD, Perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan j. Prinsip akuntabilitas dan responsibilitas dalam Undang-Undang ini
APBD setiap tahun ditetapkan dengan Peraturan Daerah. dipertegas dengan pemberian sanksi.

Surplus APBD digunakan untuk membiayai Pengeluaran Daerah tahun


anggaran berikutnya, membentuk Dana Cadangan, dan penyertaan modal II. PASAL DEMI PASAL
dalam Perusahaan Daerah. Dalam hal anggaran diperkirakan defisit,
ditetapkan sumber-sumber Pembiayaan untuk menutup defisit tersebut.
Pasal 1
Pengaturan Dana Dekonsentrasi bertujuan untuk menjamin tersedianya Cukup jelas
dana bagi pelaksanaan kewenangan Pemerintah yang dilimpahkan kepada
gubernur sebagai wakil Pemerintah. Dana Tugas Pembantuan untuk

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 22
Pasal 2 Huruf b
Ayat (1) Termasuk hasil dari pelayanan Badan Layanan Umum (BLU)
Perimbangan Keuangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah.
Daerah merupakan bagian pengaturan yang tidak terpisahkan dari Huruf c
sistem Keuangan Negara, dan dimaksudkan untuk mengatur Cukup jelas
sistem pendanaan atas kewenangan pemerintahan yang Huruf d
diserahkan, dilimpahkan, dan ditugasbantukan kepada Daerah. Cukup jelas
Ayat (2) Ayat (2)
Yang dimaksud dengan stabilitas pada ayat ini adalah stabilitas Cukup jelas
kondisi perekonomian nasional.
Yang dimaksud dengan keseimbangan fiskal pada ayat ini adalah Pasal 7
keseimbangan fiskal antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah Huruf a
serta antar-Daerah. Yang dimaksud dengan Peraturan Daerah tentang pendapatan
Ayat (3) yang menyebabkan ekonomi biaya tinggi adalah Peraturan Daerah
Perimbangan keuangan dilaksanakan sejalan dengan pembagian yang mengatur pengenaan Pajak dan Retribusi oleh Daerah
kewenangan antara Pemerintah dan Pemerintahan Daerah. terhadap objek-objek yang telah dikenakan pajak oleh Pusat dan
Dengan demikian, pengaturan perimbangan keuangan tidak hanya Provinsi, sehingga menyebabkan menurunnya daya saing Daerah.
mencakup aspek Pendapatan Daerah tetapi juga mengatur aspek Huruf b
pengelolaan dan pertanggungjawabannya. Contoh pungutan yang dapat menghambat kelancaran mobilitas
penduduk, lalu lintas barang dan jasa antar-Daerah, dan kegiatan
Pasal 3 impor/ekspor antara lain adalah Retribusi izin masuk kota dan
Cukup jelas Pajak/Retribusi atas pengeluaran/pengiriman barang dari suatu
daerah ke daerah lain.
Pasal 4
Ayat (1) Pasal 8
Cukup jelas Ketentuan mengenai Pajak Daerah dan Retribusi Daerah diarahkan
Ayat (2) untuk memberikan kewenangan yang lebih besar kepada Daerah dalam
Cukup jelas perpajakan dan Retribusi Daerah melalui perluasan basis Pajak dan
Ayat (3) Retribusi dan pemberian diskresi dalam penetapan tarif Pajak dan
Cukup jelas Retribusi tersebut.
Ayat (4)
Pendanaan sebagaimana dimaksud dalam ketentuan ini Perluasan basis Pajak tersebut antara lain dengan menambah jenis
disesuaikan dengan besarnya beban kewenangan yang Pajak dan Retribusi baru dan diskresi penetapan tarif dilakukan dengan
dilimpahkan dan/atau Tugas Pembantuan yang diberikan. memberikan kewenangan sepenuhnya kepada Daerah dalam
menetapkan tarif sesuai tarif maksimal yang ditetapkan dalam Undang-
Pasal 5 Undang.
Cukup jelas
Pasal 9
Pasal 6 Cukup jelas
Ayat (1)
Huruf a
Cukup jelas

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 23
Pasal 10 Pasal 13
Ayat (1) Ayat (1)
Dana Perimbangan yang terdiri atas 3 (tiga) jenis sumber dana, Cukup jelas
merupakan pendanaan pelaksanaan Desentralisasi yang Ayat (2)
alokasinya tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lain karena Cukup jelas
masing-masing jenis Dana Perimbangan tersebut saling mengisi Ayat (3)
dan melengkapi. Bagian Daerah dari penerimaan PPh Pasal 25 dan Pasal 29 dan
Ayat (2) PPh Pasal 21 untuk kabupaten/kota sebesar 60% (enam puluh
Pencantuman Dana Perimbangan dalam APBN dimaksudkan persen) dan bagian provinsi sebesar 40% (empat puluh persen)
untuk memberikan kepastian pendanaan bagi Daerah. ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Ayat (4)
Pasal 11 Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 14
Huruf a
Pasal 12 Cukup jelas
Ayat (1) Huruf b
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (2) Huruf c
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (3) Huruf d
Huruf a Cukup jelas
Pembagian tersebut dimaksudkan dalam rangka pemerataan Huruf e
kemampuan keuangan antar-Daerah. Cukup jelas
Huruf b Huruf f
Pemberian insentif ini dimaksudkan untuk mendorong Cukup jelas
intensifikasi pemungutan PBB. Yang dimaksud dengan Huruf g
sektor tertentu adalah penerimaan PBB dari sektor Berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang berlaku,
perkotaan dan perdesaan. Penerimaan Negara Bukan Pajak dari hasil pengusahaan sumber
Ayat (4) daya panas bumi terdiri atas:
Yang dimaksud dengan Rekening Kas Umum Daerah adalah 1) Penerimaan Negara Bukan Pajak dari kontrak pengusahaan
rekening tempat penyimpanan uang Daerah yang ditentukan oleh panas bumi yang ditandatangani sebelum Undang-Undang
gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh Penerimaan Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan,
Daerah dan membayar seluruh Pengeluaran Daerah pada bank berasal dari setoran bagian Pemerintah setelah dikurangi
yang ditetapkan. Rekening Kas Umum Daerah ini dikelola oleh dengan kewajiban perpajakan dan pungutan-pungutan lainnya
Kepala satuan kerja pengelola Keuangan Daerah selaku sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Bendahara Umum Daerah. 2) Penerimaan Negara Bukan Pajak dari kontrak pengusahaan
Ayat (5) panas bumi yang ditandatangani sesudah Undang-Undang
Pembagian tersebut dimaksudkan dalam rangka pemerataan Nomor 27 Tahun 2003 tentang Panas Bumi ditetapkan,
kemampuan keuangan antar-Daerah. berasal dari Iuran Tetap dan Iuran Produksi.
Ayat (6)
Cukup jelas Pasal 15
Cukup jelas
GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 24
Pasal 16 ikan sesuai dengan Surat Penangkapan Ikan (SPI) yang
Cukup jelas diperoleh.
Ayat (2)
Pasal 17 Cukup jelas
Ayat (1)
Huruf a Pasal 19
Yang dimaksud dengan Penerimaan Iuran Tetap (Land-rent) Ayat (1)
adalah seluruh penerimaan iuran yang diterima Negara Penerimaan Negara dari sumber daya alam sektor Pertambangan
sebagai imbalan atas kesempatan Penyelidikan Umum, Minyak Bumi dan Gas Bumi berasal dari kegiatan Operasi
Eksplorasi, atau Eksploitasi pada suatu wilayah Kuasa Pertamina itu sendiri, kegiatan Kontrak Bagi Hasil (Production
Pertambangan. Sharing Contract), dan kontrak kerja sama selain Kontrak Bagi
Huruf b Hasil.
Yang dimaksud dengan Penerimaan Iuran Ekplorasi dan Komponen Pajak adalah pajak-pajak dalam kegiatan
Eksploitasi (Royalti) adalah Iuran Produksi yang diterima Pertambangan Minyak Bumi dan Gas Bumi dan pungutan-
Negara dalam hal Pemegang Kuasa Pertambangan pungutan lain sesuai dengan ketentuan perundang-undangan.
Eksplorasi mandapat hasil berupa bahan galian yang tergali Ayat (2)
atas kesempatan Eksplorasi yang diberikan kepadanya serta Cukup jelas
atas hasil yang diperoleh dari usaha pertambangan Ayat (3)
eksploitasi (Royalti) satu atau lebih bahan galian. Cukup jelas
Ayat (2) Ayat (4)
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas Pasal 20
Ayat (4) Ayat (1)
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (2)
Pasal 18 Huruf a
Ayat (1) Bagian untuk provinsi harus digunakan untuk menunjang
Huruf a pemenuhan sarana pendidikan dasar.
Yang dimaksud dengan Pungutan Pengusahaan Perikanan Huruf b
adalah pungutan Negara yang dikenakan kepada Cukup jelas
perusahaan perikanan Indonesia yang memperoleh Izin Huruf c
Usaha Perikanan (IUP), Alokasi Penangkapan Ikan Cukup jelas
Penanaman Modal (APIPM), dan Surat Izin Kapal Ayat (3)
Pengangkut Ikan (SIKPI), sebagai imbalan atas kesempatan Cukup jelas
yang diberikan kepada Pemerintah Indonesia untuk
melakukan usaha perikanan dalam wilayah perikanan Pasal 21
Republik Indonesia. Ayat (1)
Huruf b Huruf a
Yang dimaksud dengan Pungutan Hasil Perikanan adalah Cukup jelas
pungutan Negara yang dikenakan kepada perusahaan Huruf b
perikanan Indonesia yang melakukan usaha penangkapan Yang dimaksud dengan iuran tetap adalah iuran yang
dibayarkan kepada Negara sebagai imbalan atas
GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 25
kesempatan eksplorasi, studi kelayakan, dan eksploitasi memberikan saran dan pertimbangan terhadap kebijakan otonomi
pada suatu wilayah kerja. daerah, tata cara penyaluran, pelaporan, dan pertanggungjawaban.
Yang dimaksud dengan iuran produksi adalah iuran yang
dibayarkan kepada Negara atas hasil yang diperoleh dari Pasal 27
usaha pertambangan Panas Bumi. Ayat (1)
Ayat (2) Pendapatan Dalam Negeri Neto adalah Penerimaan Negara yang
Cukup jelas berasal dari pajak dan bukan pajak setelah dikurangi dengan
Ayat (3) Penerimaan Negara yang dibagihasilkan kepada Daerah.
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 22 Ayat (3)
Ketentuan lebih lanjut mengenai penetapan dasar penghitungan dan Cukup jelas
daerah penghasil diatur dalam Peraturan Pemerintah. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan jumlah gaji Pegawai Negeri Sipil Daerah
Pasal 23 adalah gaji pokok ditambah tunjangan keluarga dan tunjangan
Cukup jelas jabatan sesuai dengan peraturan penggajian Pegawai Negeri Sipil.
Pasal 24 Pasal 28
Ayat (1) Ayat (1)
Penerimaan pertambangan minyak bumi dan gas bumi yang Yang dimaksud dengan layanan dasar publik antara lain adalah
dibagihasilkan, penghitungannya didasarkan pada realisasi harga penyediaan layanan kesehatan dan pendidikan, penyediaan
minyak dan gas bumi. Realisasi harga minyak dan gas bumi infrastruktur, dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan.
tersebut tidak melebihi 130% (seratus tiga puluh persen) dari Ayat (2)
asumsi dasar harga minyak bumi dan gas bumi yang ditetapkan Jumlah penduduk merupakan variabel yang mencerminkan
dalam APBN tahun berjalan. kebutuhan akan penyediaan layanan publik di setiap Daerah.
Ayat (2) Luas wilayah merupakan variabel yang mencerminkan kebutuhan
Apabila realisasi harga minyak bumi dan gas bumi melebihi 130% atas penyediaan sarana dan prasarana per satuan wilayah.
(seratus tiga puluh persen) dari asumsi dasar harga minyak bumi Indeks Kemahalan Konstruksi merupakan cerminan tingkat
dan gas bumi yang ditetapkan dalam APBN tahun berjalan, kesulitan geografis yang dinilai berdasarkan tingkat kemahalan
kelebihan Dana Bagi Hasil berasal dari penerimaan sektor harga prasarana fisik secara relatif antar-Daerah.
pertambangan minyak bumi dan gas bumi dibagikan ke Daerah Produk Domestik Regional Bruto merupakan cerminan potensi dan
sebagai DAU tambahan melalui Penerimaan Dalam Negeri Neto aktivitas perekonomian suatu Daerah yang dihitung berdasarkan
dengan menggunakan formulasi DAU. total seluruh output produksi kotor dalam suatu wilayah.
Indeks Pembangunan Manusia merupakan variabel yang
Pasal 25 mencerminkan tingkat pencapaian kesejahteraan penduduk atas
Cukup jelas layanan dasar di bidang pendidikan dan kesehatan.
Kebutuhan pendanaan suatu Daerah dihitung dengan pendekatan
Pasal 26 total pengeluaran rata-rata nasional.
Muatan Peraturan Pemerintah antara lain mengatur kewenangan Ayat (3)
masing-masing instansi yang terlibat di dalam penetapan daerah Cukup jelas
penghasil, dasar penghitungan, perkiraan dana bagi hasil, jangka waktu
proses penetapan, mekanisme konsultasi dengan dewan yang bertugas Pasal 29
Cukup jelas
GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 26
Pasal 30 Pasal 34
Cukup jelas Cukup jelas

Pasal 31 Pasal 35
Cukup jelas Cukup jelas

Pasal 32 Pasal 36
Ayat (1) Cukup jelas
Contoh perhitungan : Kebutuhan Fiskal sama dengan Kapasitas
Fiskal Pasal 37
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur bobot
Kapasitas Fiskal = Rp 100 miliar variabel, persentase imbangan DAU antara provinsi dan kabupaten/kota,
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar dan tata cara penyaluran.
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
= Rp 100 miliar – Rp100 miliar = 0 Pasal 38
DAU = Alokasi Dasar Cukup jelas
Total DAU = Rp 50 miliar
Ayat (2) Pasal 39
Dalam hal celah fiskal negatif maka jumlah DAU yang diterima Ayat (1)
Daerah adalah sebesar Alokasi Dasar setelah diperhitungkan Yang dimaksud dengan Daerah tertentu adalah Daerah yang
dengan celah fiskalnya. Contoh perhitungan : memenuhi kriteria yang ditetapkan setiap tahun untuk
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar mendapatkan alokasi DAK. Dengan demikian, tidak semua Daerah
Kapasitas Fiskal = Rp 125 miliar mendapatkan alokasi DAK.
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar Ayat (2)
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal Yang dimaksud dengan fungsi dalam rincian Belanja Negara
= Rp 100 miliar – Rp 125 miliar = Rp-25 miliar antara lain terdiri atas layanan umum, pertahanan, ketertiban dan
(negatif) keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas
DAU = Alokasi Dasar + Celah Fiskal umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan dan
Total DAU = Rp50 miliar + Rp-25 miliar = Rp25 miliar perlindungan sosial.
Ayat (3)
Pasal 40
Contoh perhitungan : Celah Fiskal (negatif) melebihi Alokasi Dasar
Ayat (1)
Kebutuhan Fiskal = Rp 100 miliar
Cukup jelas
Kapasitas Fiskal = Rp 175 miliar
Ayat (2)
Alokasi Dasar = Rp 50 miliar
Kriteria umum dihitung untuk melihat kemampuan APBD untuk
Celah Fiskal = Kebutuhan Fiskal – Kapasitas Fiskal
membiayai kebutuhan-kebutuhan dalam rangka pembangunan
= Rp 100 miliar – Rp 175 miliar = Rp-75 miliar
Daerah yang dicerminkan dari penerimaan umum APBD dikurangi
(negatif)
dengan belanja pegawai.
DAU = Celah Fiskal + Alokasi Dasar
Kemampuan Keuangan Daerah = Penerimaan Umum APBD –
Total DAU = Rp-75 miliar + Rp 50 miliar = Rp-25 miliar
belanja pegawai Daerah
atau disesuaikan menjadi Rp 0 (nol)
Penerimaan Umum = PAD + DAU + (DBH –
Pasal 33 DBHDR)
Cukup jelas Belanja Pegawai Daerah = Belanja PNSD

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 27
Ayat (3) Ayat (3)
Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah Yang dimaksud dengan pemberi hibah dalam ayat ini adalah
Undang-Undang yang mengatur tentang kekhususan suatu Pemerintah selaku pihak yang menerushibahkan kepada Daerah.
Daerah. Ayat (4)
Yang dimaksud dengan karakteristik Daerah antara lain adalah Hibah yang diterima oleh Daerah antara lain dapat digunakan
daerah pesisir dan kepulauan, daerah perbatasan dengan negara untuk menunjang peningkatan fungsi pemerintahan dan layanan
lain, daerah tertinggal/terpencil, daerah yang termasuk rawan dasar umum, serta pemberdayaan aparatur Daerah.
banjir dan longsor, serta daerah yang termasuk daerah ketahanan
pangan. Pasal 45
Ayat (4) Cukup jelas
Kriteria teknis antara lain meliputi standar kualitas/kuantitas
konstruksi, serta perkiraan manfaat lokal dan nasional yang Pasal 46
menjadi indikator dalam perhitungan teknis. Ayat (1)
Pada dasarnya biaya penanggulangan bencana nasional dibiayai
Pasal 41 dari APBD, tetapi apabila APBD tidak mencukupi untuk
Ayat (1) menanggulangi bencana nasional dan/atau peristiwa luar biasa
Cukup jelas lainnya Pemerintah mengalokasikan Dana Darurat yang
Ayat (2) bersumber dari APBN.
Cukup jelas Ayat (2)
Ayat (3) Yang dimaksud dengan bencana nasional dan atau peristiwa luar
Yang dimaksud Daerah dengan kemampuan fiskal tertentu adalah biasa lainnya adalah bencana yang menimbulkan dampak yang
Daerah yang selisih antara Penerimaan Umum APBD dan belanja luas sehingga mengganggu kegiatan perekonomian dan sosial.
pegawainya sama dengan nol atau negatif.
Pasal 47
Pasal 42 Ayat (1)
Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain kriteria umum, kriteria Krisis solvabilitas adalah krisis keuangan berkepanjangan yang
khusus, kriteria teknis, mekanisme pengalokasian, tata cara penyaluran, dialami Daerah selama 2 (dua) tahun anggaran dan tidak dapat
penganggaran di Daerah, pemantauan dan pengawasan, evaluasi, dan diatasi melalui APBD.
pelaporan. Ayat (2)
Cukup jelas
Pasal 43 Ayat (3)
Cukup jelas Cukup jelas

Pasal 44 Pasal 48
Ayat (1) Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur kriteria
Dalam menerima hibah, Daerah tidak boleh melakukan ikatan yang penetapan bencana nasional atau peristiwa luar biasa, kriteria dan
secara politis dapat mempengaruhi kebijakan Daerah. persyaratan pengajuan, tata cara penyaluran, dan
Ayat (2) pertanggungjawabannya.
Pemberian hibah yang bersumber dari luar negeri dituangkan
dalam naskah perjanjian hibah yang ditandatangani oleh Pasal 49
Pemerintah dan pemberi hibah luar negeri. Cukup jelas

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 28
Pasal 50 Pasal 53
Ayat (1) Ayat (1)
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (2) Ayat (2)
Dana Perimbangan yang dapat dilakukan penundaan penyaluran Yang dimaksud dengan layanan umum adalah layanan yang
dan/atau pemotongan adalah Dana Bagi Hasil dan Dana Alokasi menjadi tanggung jawab Daerah.
Umum. Ayat (3)
Yang dimaksud dengan menghasilkan penerimaan adalah hasil
Pasal 51 penerimaan yang berkaitan dengan pembangunan prasarana dan
Ayat (1) sarana yang dibiayai dari pinjaman yang bersangkutan.
Huruf a Ayat (4)
Cukup jelas Persetujuan DPRD dimaksud termasuk dalam hal pinjaman
Huruf b tersebut diteruspinjamkan kepada BUMD.
Cukup jelas
Huruf c Pasal 54
Cukup jelas Huruf a
Huruf d Yang dimaksud dengan penerimaan umum APBD tahun
Cukup jelas sebelumnya adalah seluruh penerimaan APBD tidak termasuk
Huruf e Dana Alokasi Khusus, Dana Darurat, dana pinjaman lama, dan
Yang dimaksud dengan masyarakat adalah orang pribadi penerimaan lain yang kegunaannya dibatasi untuk membiayai
dan/atau badan yang melakukan investasi di pasar modal. pengeluaran tertentu.
Ayat (2) Huruf b
Pinjaman Daerah yang bersumber dari Pemerintah berasal dari Rasio kemampuan Keuangan Daerah dihitung berdasarkan
APBN atau pinjaman luar negeri Pemerintah yang perbandingan antara jumlah Pendapatan Asli Daerah, Dana Bagi
diteruspinjamkan kepada Daerah. Hasil, dan Dana Alokasi Umum setelah dikurangi belanja wajib
Ayat (3) dibagi dengan penjumlahan angsuran pokok, bunga, dan biaya lain
Cukup jelas yang jatuh tempo.
Yang dimaksud dengan belanja wajib adalah belanja pegawai dan
Pasal 52 belanja anggota DPRD.
Ayat (1) {PAD + DAU + (DBH – DBHDR)} –
Cukup jelas DSCR = Belanja Wajib ≥ X
Ayat (2) Pokok pinjaman + Bunga + Biaya Lain
Pinjaman jangka pendek tidak termasuk kredit jangka pendek yang DSCR = Debt Service Coverage Ratio atau Rasio
lazim terjadi dalam perdagangan, misalnya pelunasan kewajiban Kemampuan Membayar Kembali Pinjaman;
atas pengadaan/pembelian barang dan/atau jasa tidak dilakukan PAD = Pendapatan Asli Daerah;
pada saat barang dan atau jasa dimaksud diterima. DAU = Dana Alokasi Umum;
Yang termasuk biaya lain misalnya biaya administrasi, komitmen, DBH = Dana Bagi Hasil; dan
provisi, asuransi, dan denda. DBHDR = Dana Bagi Hasil Dana Reboisasi.
Ayat (3) Huruf c
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas Pasal 55
Cukup jelas
GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 29
Pasal 56 Ayat (4)
Cukup jelas Realisasi pembayaran bunga dapat melebihi proyeksi pembayaran
bunga dalam satu tahun anggaran, apabila tingkat bunga yang
Pasal 57 berlaku dari Obligasi Daerah dengan tingkat bunga mengambang
Cukup jelas lebih besar daripada asumsi tingkat bunga yang ditetapkan dalam
APBD.
Pasal 58
Ayat (1) Pasal 62
Cukup jelas Ayat (1)
Ayat (2) Pengelolaan dan pertanggungjawaban Obligasi Daerah dilakukan
Cukup jelas oleh unit yang ditunjuk oleh Kepala Daerah.
Ayat (3) Ayat (2)
Yang dimaksud dengan nilai bersih adalah tambahan atas nilai Dalam rangka mencapai biaya obligasi yang paling rendah pada
nominal Obligasi Daerah yang beredar. Tambahan nilai nominal ini tingkat risiko yang dapat diterima dan dikendalikan, Pemerintah
merupakan selisih antara nilai nominal Obligasi Daerah yang Daerah wajib melaksanakan dan melaporkan kegiatan yang
diterbitkan dengan nilai nominal obligasi yang ditarik kembali dan sekurang-kurangnya seperti disebutkan pada ayat ini.
dilunasi sebelum jatuh tempo dan obligasi yang dilunasi pada saat
jatuh tempo selama satu tahun anggaran. Pasal 63
Ayat (1)
Pasal 59 Tembusan laporan posisi kumulatif dimaksud disampaikan kepada
Ketentuan ini menegaskan bahwa segala risiko yang timbul sebagai DPRD sebagai pemberitahuan.
akibat dari penerbitan Obligasi Daerah tidak dijamin dan/atau ditanggung Ayat (2)
oleh Pemerintah. Cukup jelas
Pasal 60 Pasal 64
Cukup jelas Ayat (1)
Cukup jelas
Pasal 61 Ayat (2)
Ayat (1) Tata cara pelaksanaan pemotongan dan penundaan Dana Alokasi
Persetujuan DPRD atas semua Obligasi Daerah yang diterbitkan Umum dan/atau Bagian Daerah dari Penerimaan Negara diatur
secara otomatis merupakan persetujuan atas pembayaran dan lebih lanjut dengan Keputusan Menteri Keuangan.
pelunasan segala kewajiban keuangan di masa mendatang yang
timbul dari penerbitan Obligasi Daerah. Pasal 65
Ayat (2) Muatan Peraturan Pemerintah tersebut antara lain mengatur tata cara,
Cukup jelas prosedur, dan persyaratan Obligasi.
Ayat (3)
Semua kewajiban bunga dan pokok yang timbul akibat penerbitan Pasal 66
Obligasi dialokasikan dalam APBD setiap tahun sampai dengan Ayat (1)
berakhirnya kewajiban tersebut. Perkiraan dana yang perlu Penyelenggara Keuangan Daerah wajib mengelola Keuangan
dialokasikan untuk pembayaran kewajiban untuk satu tahun Daerah dengan mengacu pada asas-asas yang tercantum dalam
anggaran disampaikan kepada DPRD untuk diperhitungkan dalam ayat ini. Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup
APBD tahun yang bersangkutan. keseluruhan perencanaan, penguasaan, penggunaan,
pertanggungjawaban, dan pengawasan.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 30
Ayat (2) Ayat (5)
Cukup jelas Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja
Ayat (3) operasional tidak melampaui pendapatan dalam tahun anggaran
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah yang bersangkutan.
menjadi dasar untuk melaksanakan pendapatan dan belanja pada Ayat (6)
tahun yang bersangkutan. Cukup jelas
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran Daerah Ayat (7)
menjadi pedoman bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan Penggunaan surplus APBD perlu mempertimbangkan prinsip
pada tahun yang bersangkutan. pertanggung-jawaban antargenerasi, terutama untuk pelunasan
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran Daerah utang, pembentukan Dana Cadangan, dan peningkatan jaminan
menjadi pedoman untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan sosial.
Pemerintahan Daerah sesuai dengan ketentuan yang telah
ditetapkan. Pasal 68
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran Daerah harus Cukup jelas
diarahkan untuk mengurangi pengangguran dan pemborosan
sumber daya, serta meningkatkan efisiensi dan efektivitas Pasal 69
perekonomian. Cukup jelas
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran
Daerah harus memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Pasal 70
Ayat (4) Ayat (1)
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (5) Ayat (2)
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (6) Ayat (3)
Cukup jelas Rincian Belanja Daerah menurut organisasi disesuaikan dengan
susunan perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Pasal 67 Rincian Belanja Daerah menurut fungsi antara lain terdiri atas
Ayat (1) layanan umum, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan
Cukup jelas hidup, perumahan dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata,
Ayat (2) budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan sosial.
Cukup jelas Rincian Belanja Daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi)
Ayat (3) antara lain terdiri atas belanja pegawai, belanja barang, belanja
Program Pemerintah Daerah dimaksud diusulkan di dalam modal, bunga, subsidi, hibah, dan bantuan sosial.
rancangan Peraturan Daerah tentang APBD serta disusun sesuai Ayat (4)
dengan kebutuhan penyelenggaraan Pemerintahan Daerah dan Cukup jelas
kemampuan dalam menghimpun Pendapatan Daerah dengan
berpedoman kepada Rencana Kerja Pemerintah dalam rangka Pasal 71
mewujudkan tercapainya tujuan bernegara. Cukup jelas
Ayat (4)
Pasal 72
Denda dan/atau bunga dimaksud dapat dikenakan kepada kedua
Cukup jelas
belah pihak.

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 31
Pasal 73 Ayat (2)
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (3)
Pasal 74 Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 79
Pasal 75 Ayat (1)
Cukup jelas Pengeluaran tersebut dalam Pasal ini termasuk belanja untuk
keperluan mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan
Pasal 76 Daerah tentang APBD yang bersangkutan.
Ayat (1) Keadaan darurat sekurang-kurangnya harus memenuhi seluruh
Dana Cadangan adalah dana yang disisihkan untuk menampung kriteria sebagai berikut:
kebutuhan yang memerlukan dana relatif besar yang tidak dapat a. bukan merupakan kegiatan normal dari aktivitas Pemerintah
dipenuhi dalam satu tahun anggaran. Daerah dan tidak dapat diprediksikan sebelumnya;
Pembentukan Dana Cadangan dalam APBD diperlakukan sebagai b. tidak diharapkan terjadi secara berulang;
pengeluaran pembiayaan, sedangkan pada saat Dana Cadangan c. berada di luar kendali dan pengaruh Pemerintah Daerah; dan
digunakan diperlakukan sebagai penerimaan pembiayaan. d. memiliki dampak yang signifikan terhadap anggaran dalam
Peraturan Daerah tentang pembentukan Dana Cadangan rangka pemulihan yang disebabkan oleh keadaan darurat.
sekurang-kurangnya memuat tujuan, jumlah, sumber, periode, Ayat (2)
jenis pengeluaran, penggunaan, dan penempatan dana. Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas Pasal 80
Ayat (3) Ayat (1)
Dalam tahun pelaksanaan kegiatan yang didanai dengan Dana Cukup jelas
Cadangan sesuai dengan Peraturan Daerah, Dana Cadangan Ayat (2)
dicairkan dan merupakan penerimaan pembiayaan dalam tahun Cukup jelas
anggaran yang bersangkutan. Ayat (3)
Persentase 50% (lima puluh persen) adalah merupakan selisih
Pasal 77 (gap) kenaikan antara pendapatan dan belanja dalam APBD.
Ayat (1)
Cukup jelas Pasal 81
Ayat (2) Ayat (1)
Salah satu contoh portofolio yang memberikan hasil tetap dengan Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan
risiko rendah adalah deposito pada bank pemerintah. diselesaikan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima
laporan keuangan dari Pemerintah Daerah.
Pasal 78 Ayat (2)
Ayat (1) Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi
Kerja sama dengan pihak lain dilakukan manakala Pemerintah pendapatan dan belanja, juga menjelaskan prestasi kerja SKPD.
Daerah memiliki keterbatasan dana dalam menyediakan fasilitas Ayat (3)
layanan umum. Kerja sama dengan pihak lain meliputi kerja sama Cukup jelas
antar-Daerah, antara Pemerintah Daerah dan BUMD, serta antara
Pemerintah Daerah dengan swasta, yang bertujuan untuk Pasal 82
mengoptimalkan aset Daerah tanpa mengganggu layanan umum. Cukup jelas

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 32
Pasal 83 Ayat (3)
Ayat (1) Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar besaran dana yang
Yang dimaksudkan dengan jumlah kumulatif defisit APBN dan dialokasikan harus menjamin terlaksananya penyelenggaraan
APBD adalah jumlah defisit APBN ditambah jumlah defisit seluruh kewenangan yang dilimpahkan.
APBD dalam suatu tahun anggaran. Penetapan batas maksimal Ayat (4)
kumulatif defisit dimaksudkan dalam rangka prinsip kehati-hatian Cukup jelas
dan pengendalian fiskal nasional. Ayat (5)
Ayat (2) Pemberitahuan rencana kerja dan anggaran kementerian
Jumlah maksimal kumulatif defisit tidak melebihi 3% (tiga persen) negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Dekonsentrasi
dari Produk Domestik Bruto, sesuai dengan kaidah yang baik (best dimaksudkan untuk sinkronisasi antara kegiatan yang akan
practice) dalam bidang pengelolaan fiskal. dibiayai dari APBD dan kegiatan yang dibiayai dari APBN guna
Ayat (3) menghindari adanya duplikasi pendanaan.
Menteri Keuangan menetapkan batas maksimal defisit APBD untuk Ayat (6)
masing-masing Daerah setiap tahun pada bulan Agustus. Cukup jelas
Ayat (4) Ayat (7)
Cukup jelas Kegiatan yang bersifat nonfisik antara lain koordinasi
perencanaan, fasilitasi, pelatihan, pembinaan, pengawasan, dan
Pasal 84 pengendalian.
Pada dasarnya APBD disusun dengan mempertimbangkan kemampuan
Keuangan Daerah. Dalam hal belanja diperkirakan lebih besar daripada Pasal 88
pendapatan, maka sumber-sumber pembiayaan defisit diperoleh dari Cukup jelas
penggunaan SiLPA, Dana Cadangan, hasil penjualan kekayaan Daerah
yang dipisahkan, dan Pinjaman Daerah. Pasal 89
Ayat (1)
Pasal 85 Cukup jelas
Ayat (1) Ayat (2)
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (2) Ayat (3)
Pemeriksaan Keuangan Daerah sekurang-kurangnya meliputi Cukup jelas
PAD, Dana Perimbangan, Lain-lain Pendapatan, Pinjaman Ayat (4)
Daerah, dan Belanja Daerah. Pemeriksaan Keuangan Daerah ini Cukup jelas
dilakukan secara tahunan dan pada akhir masa jabatan Kepala Ayat (5)
Daerah dan DPRD. Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah
ketentuan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 86
Cukup jelas Pasal 90
Ayat (1)
Pasal 87 Pemisahan penatausahaan keuangan antara dana Dekonsentrasi,
Ayat (1) dana Tugas Pembantuan, dan dana Desentralisasi dimaksudkan
Cukup jelas agar terwujud penatausahaan yang tertib dan taat asas dalam
Ayat (2) pengelolaan keuangan.
Cukup jelas Ayat (2)
Cukup jelas
GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 33
Ayat (3) Pasal 95
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (4)
Yang dimaksud dengan laporan pelaksanaan kegiatan Pasal 96
Dekonsentrasi antara lain meliputi pertanggungjawaban Ayat (1)
pelaksanaan substansi kewenangan, biaya penyelenggaraan, Cukup jelas
keluaran, dan hasil pelaksanaan kewenangan yang dilimpahkan. Ayat (2)
Ayat (5) Cukup jelas
Cukup jelas Ayat (3)
Cukup jelas
Pasal 91 Ayat (4)
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (5)
Pasal 92 Yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah
Cukup jelas ketentuan tentang Penerimaan Negara Bukan Pajak.
Pasal 93 Pasal 97
Cukup jelas Ayat (1)
Pemisahan penatausahaan keuangan antara Dana Tugas
Pasal 94 Pembantuan dengan Dana Dekonsentrasi dan Dana
Ayat (1) Desentralisasi dimaksudkan agar terwujud penatausahaan yang
Penugasan oleh Pemerintah melalui kementerian negara/lembaga tertib dan taat asas dalam pengelolaan keuangan.
merupakan penugasan dalam lingkup kewenangan Pemerintah. Ayat (2)
Ayat (2) Cukup jelas
Cukup jelas Ayat (3)
Ayat (3) Cukup jelas
Ketentuan ayat ini dimaksudkan agar besaran dana yang Ayat (4)
dialokasikan harus menjamin terlaksananya penugasan yang Yang dimaksud dengan laporan pelaksanaan kegiatan Tugas
diberikan. Pembantuan antara lain meliputi pertanggungjawaban
Ayat (4) pelaksanaan substansi kewenangan, biaya penyelenggaraan,
Cukup jelas keluaran, dan hasil pelaksanaan kewenangan yang
Ayat (5) ditugaspembantuankan.
Pemberitahuan rencana kerja dan anggaran kementerian Ayat (5)
negara/lembaga yang berkaitan dengan kegiatan Tugas Cukup jelas
Pembantuan dimaksudkan untuk sinkronisasi antara kegiatan yang
akan dibiayai dari APBD dan kegiatan yang dibiayai dari APBN Pasal 98
guna menghindari adanya duplikasi pendanaan. Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas Pasal 99
Ayat (7) Cukup jelas
Cukup jelas
Pasal 100
Cukup jelas

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 34
Pasal 101 Pasal 106
Ayat (1) Cukup jelas
Sistem Informasi Keuangan Daerah secara nasional adalah sarana
bagi Pemerintah untuk mengolah, menyajikan, dan Pasal 107
mempublikasikan informasi dan laporan pengelolaan Keuangan Ayat (1)
Daerah sebagai sarana menunjang tercapainya tata pemerintahan Cukup jelas
yang baik melalui transparansi dan akuntabilitas. Ayat (2)
Ayat (2) Formula DAU digunakan mulai tahun anggaran 2006, tetapi
Cukup jelas sampai dengan tahun anggaran 2007 alokasi DAU yang
diberlakukan untuk masing-masing Daerah ditetapkan tidak lebih
Pasal 102 kecil dari tahun anggaran 2005.
Ayat (1) Sampai dengan tahun anggaran 2007 apabila DAU untuk provinsi
Yang dimaksud dengan informasi keuangan yang dapat tertentu lebih kecil dari tahun anggaran 2005, kepada provinsi
dipertanggung jawabkan adalah informasi yang bersumber dari yang bersangkutan dialokasikan dana penyesuaian yang besarnya
Peraturan Daerah tentang APBD, pelaksanaan APBD, dan laporan sesuai dengan kemampuan dan perekonomian Negara.
realisasi APBD.
Ayat (2) Pasal 108
Penyelenggaraan Sistem Informasi Keuangan Daerah oleh Daerah Cukup jelas
dilaksanakan secara bertahap sesuai dengan kemampuan
Keuangan Daerah. Pasal 109
Ayat (3) Cukup jelas
Cukup jelas
Ayat (4) Pasal 110
Cukup jelas Cukup jelas
Ayat (5)
Pemberian sanksi dilakukan setelah adanya teguran tertulis. Dana TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4438.
Perimbangan yang ditunda penyalurannya akibat pemberian
sanksi dilakukan dengan tidak mengganggu pelaksanaan
penyelenggaraan Pemerintahan Daerah.

Pasal 103
Cukup jelas

Pasal 104
Pokok-pokok muatan Peraturan Pemerintah tersebut, antara lain,
mekanisme penyampaian laporan Keuangan Daerah, prinsip-prinsip
penyelenggaraan sistem informasi keuangan di daerah, standar dan
format informasi keuangan di Daerah, dan mekanisme penerapan sanksi
atas keterlambatan penyampaian laporan.

Pasal 105
Cukup jelas

GTZ-SfDM>>irwan@gtzsfdm.or.id 35

Anda mungkin juga menyukai