Anda di halaman 1dari 63

UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA

NOMOR 17 TAHUN 2003

TENTANG

KEUANGAN NEGARA

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : a. bahwa penyelenggaraan pemerintahan negara untuk mewujudkan


tujuan bernegara menimbulkan hak dan kewajiban negara yang
dapat dinilai dengan uang;
b. bahwa pengelolaan hak dan kewajiban negara sebagaimana
dimaksud pada huruf a telah diatur dalam Bab VIII UUD 1945;
c. bahwa Pasal 23C Bab VIII UUD 1945 mengamanatkan hal-hal lain
mengenai keuangan negara diatur dengan undang-undang;
d. bahwa berdasarkan pertimbangan sebagaimana dimaksud pada
huruf a, huruf b, dan huruf c perlu dibentuk Undang-undang
tentang Keuangan Negara;

Mengingat : Pasal 4, Pasal 5 ayat (1), Pasal 11 ayat (2), Pasal 17, Pasal 18, Pasal
18A, Pasal 20, Pasal 20A, Pasal 21, Pasal 22D, Pasal 23, Pasal 23A,
Pasal 23B, Pasal 23C, Pasal 23D, Pasal 23E, dan Pasal 33 ayat (2), ayat
(3) dan ayat (4) Undang-Undang Dasar 1945 sebagaimana telah diubah
dengan Perubahan Keempat Undang-Undang Dasar 1945;

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 1
Dengan Persetujuan

DEWAN PERWAKILAN RAKYAT REPUBLIK INDONESIA

MEMUTUSKAN :

Menetapkan : UNDANG-UNDANG TENTANG KEUANGAN NEGARA

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1

Dalam Undang-undang ini yang dimaksud dengan :


1. Keuangan Negara adalah semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
serta segala sesuatu baik berupa uang maupun berupa barang yang dapat dijadikan milik
negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban tersebut.
2. Pemerintah adalah pemerintah pusat dan/atau pemerintah daerah.
3. Dewan Perwakilan Rakyat yang selanjutnya disebut DPR adalah Dewan Perwakilan Rakyat
sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar 1945.
4. Dewan Perwakilan Rakyat Daerah yang selanjutnya disebut DPRD adalah Dewan
Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten, dan
Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kota sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang
Dasar 1945.
5. Perusahaan Negara adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh
Pemerintah Pusat.
6. Perusahaan Daerah adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian modalnya dimiliki oleh
Pemerintah Daerah.
7. Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara, selanjutnya disebut APBN, adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan negara yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 2
8. Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah, selanjutnya disebut APBD, adalah rencana
keuangan tahunan pemerintahan daerah yang disetujui oleh Dewan Perwakilan Rakyat
Daerah.
9. Penerimaan negara adalah uang yang masuk ke kas negara.
10. Pengeluaran negara adalah uang yang keluar dari kas negara.
11. Penerimaan daerah adalah uang yang masuk ke kas daerah.
12. Pengeluaran daerah adalah uang yang keluar dari kas daerah.
13. Pendapatan negara adalah hak pemerintah pusat yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih.
14. Belanja negara adalah kewajiban pemerintah pusat yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih.
15. Pendapatan daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai
kekayaan bersih.
16. Belanja daerah adalah kewajiban pemerintah daerah yang diakui sebagai pengurang nilai
kekayaan bersih.
17. Pembiayaan adalah setiap penerimaan yang perlu dibayar kembali dan/atau pengeluaran yang
akan diterima kembali, baik pada tahun anggaran yang bersangkutan maupun tahun-tahun
anggaran berikutnya.

Pasal 2

Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1, meliputi :


a. hak negara untuk memungut pajak, mengeluarkan dan mengedarkan uang, dan melakukan
pinjaman;
b. kewajiban negara untuk menyelenggarakan tugas layanan umum pemerintahan negara dan
membayar tagihan pihak ketiga;
c. Penerimaan Negara;
d. Pengeluaran Negara;
e. Penerimaan Daerah;
f. Pengeluaran Daerah;
g. kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang,
surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk
kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/ perusahaan daerah;
h. kekayaan pihak lain yang dikuasai oleh pemerintah dalam rangka penyelenggaraan tugas
pemerintahan dan/atau kepentingan umum;

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 3
i. kekayaan pihak lain yang diperoleh dengan menggunakan fasilitas yang diberikan
pemerintah.

Pasal 3

(1) Keuangan Negara dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien,
ekonomis, efektif, transparan, dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan
dan kepatutan.
(2) APBN, perubahan APBN, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN setiap tahun
ditetapkan dengan undang-undang.
(3) APBD, perubahan APBD, dan pertanggungjawaban pelaksanaan APBD setiap tahun
ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
(4) APBN/APBD mempunyai fungsi otorisasi, perencanaan, pengawasan, alokasi, distribusi,
dan stabilisasi.
(5) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban negara
dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBN.
(6) Semua penerimaan yang menjadi hak dan pengeluaran yang menjadi kewajiban daerah
dalam tahun anggaran yang bersangkutan harus dimasukkan dalam APBD.
(7) Surplus penerimaan negara/daerah dapat digunakan untuk membiayai pengeluaran
negara/daerah tahun anggaran berikutnya.
(8) Penggunaan surplus penerimaan negara/daerah sebagaimana dimaksud dalam ayat untuk
membentuk dana cadangan atau penyertaan pada Perusahaan Negara/Daerah harus
memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari DPR/DPRD.

Pasal 4

Tahun Anggaran meliputi masa satu tahun, mulai dari tanggal 1 Januari sampai dengan tanggal
31 Desember.

Pasal 5

(1) Satuan hitung dalam penyusunan, penetapan, dan pertanggungjawaban APBN/APBD


adalah mata uang Rupiah.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 4
(2) Penggunaan mata uang lain dalam pelaksanaan APBN/APBD diatur oleh Menteri
Keuangan sesuai dengan ketentuan perundangan-undangan yang berlaku.

BAB II
KEKUASAAN ATAS PENGELOLAAN KEUANGAN NEGARA

Pasal 6

(1) Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan keuangan negara
sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan.
(2) Kekuasaan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) :
a. dikuasakan kepada Menteri Keuangan, selaku pengelola fiskal dan Wakil Pemerintah
dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan;
b. dikuasakan kepada menteri/pimpinan lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna
Barang kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
c. diserahkan kepada gubernur/bupati/walikota selaku kepala pemerintahan daerah untuk
mengelola keuangan daerah dan mewakili pemerintah daerah dalam kepemilikan
kekayaan daerah yang dipisahkan.
d. tidak termasuk kewenangan dibidang moneter, yang meliputi antara lain
mengeluarkan dan mengedarkan uang, yang diatur dengan undang-undang.

Pasal 7

(1) Kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara digunakan untuk mencapai tujuan bernegara.
(2) Dalam rangka penyelenggaraan fungsi pemerintahan untuk mencapai tujuan bernegara
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) setiap tahun disusun APBN dan APBD.

Pasal 8

Dalam rangka pelaksanaan kekuasaan atas pengelolaan fiskal, Menteri Keuangan mempunyai
tugas sebagai berikut :

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 5
a. menyusun kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi makro;
b. menyusun rancangan APBN dan rancangan Perubahan APBN;
c. mengesahkan dokumen pelaksanaan anggaran;
d. melakukan perjanjian internasional di bidang keuangan;
e. melaksanakan pemungutan pendapatan negara yang telah ditetapkan dengan undang-undang;
f. melaksanakan fungsi bendahara umum negara;
g. menyusun laporan keuangan yang merupakan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN;
h. melaksanakan tugas-tugas lain di bidang pengelolaan fiskal berdasarkan ketentuan undang-
undang.

Pasal 9

Menteri/pimpinan lembaga sebagai Pengguna Anggaran/ Pengguna Barang kementerian


negara/lembaga yang dipimpinnya mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun rancangan anggaran kementerian negara/lembaga yang dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran kementerian negara /lembaga yang dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan negara bukan pajak dan menyetorkannya ke Kas
Negara;
e. mengelola piutang dan utang negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara
/lembaga yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan negara yang menjadi tanggung jawab kementerian negara
/lembaga yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan kementerian negara /lembaga yang
dipimpinnya;
h. melaksanakan tugas-tugas lain yang menjadi tanggung jawabnya berdasarkan ketentuan
undang-undang.

Pasal 10

(1) Kekuasaan pengelolaan keuangan daerah sebagaimana tersebut dalam Pasal 6 ayat (2)
huruf c :
a. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja pengelola keuangan daerah selaku pejabat
pengelola APBD;

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 6
b. dilaksanakan oleh kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna
anggaran/barang daerah.
(2) Dalam rangka pengelolaan Keuangan Daerah, Pejabat Pengelola Keuangan Daerah
mempunyai tugas sebagai berikut :
a. menyusun dan melaksanakan kebijakan pengelolaan APBD;
b. menyusun rancangan APBD dan rancangan Perubahan APBD;
c. melaksanakan pemungutan pendapatan daerah yang telah ditetapkan dengan Peraturan
Daerah;
d. melaksanakan fungsi bendahara umum daerah;
e. menyusun laporan keuangan yang merupakan per-tanggungjawaban pelaksanaan
APBD.
(3) Kepala satuan kerja perangkat daerah selaku pejabat pengguna anggaran/barang daerah
mempunyai tugas sebagai berikut:
a. menyusun anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
b. menyusun dokumen pelaksanaan anggaran;
c. melaksanakan anggaran satuan kerja perangkat daerah yang dipimpinnya;
d. melaksanakan pemungutan penerimaan bukan pajak;
e. mengelola utang piutang daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja perangkat
daerah yang dipimpinnya;
f. mengelola barang milik/kekayaan daerah yang menjadi tanggung jawab satuan kerja
perangkat daerah yang dipimpinnya;
g. menyusun dan menyampaikan laporan keuangan satuan kerja perangkat daerah yang
dipimpinnya.

BAB III
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBN

Pasal 11

(1) APBN merupakan wujud pengelolaan keuangan negara yang ditetapkan tiap tahun dengan
undang-undang.
(2) APBN terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan negara terdiri atas penerimaan pajak, penerimaan bukan pajak, dan hibah.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 7
(4) Belanja negara dipergunakan untuk keperluan penyeleng-garaan tugas pemerintahan pusat
dan pelaksanaan perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah.
(5) Belanja negara dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.

Pasal 12

(1) APBN disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan negara dan
kemampuan dalam menghimpun pendapatan negara.
(2) Penyusunan Rancangan APBN sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada
rencana kerja Pemerintah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Undang-undang tentang APBN.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, Pemerintah Pusat dapat mengajukan rencana
penggunaan surplus anggaran kepada Dewan Perwakilan Rakyat.

Pasal 13

(1) Pemerintah Pusat menyampaikan pokok-pokok kebijakan fiskal dan kerangka ekonomi
makro tahun anggaran berikutnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat selambat-lambatnya
pertengahan bulan Mei tahun berjalan.
(2) Pemerintah Pusat dan Dewan Perwakilan Rakyat membahas kerangka ekonomi makro dan
pokok-pokok kebijakan fiskal yang diajukan oleh Pemerintah Pusat dalam pembicaraan
pendahuluan rancangan APBN tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kerangka ekonomi makro dan pokok-pokok kebijakan fiskal, Pemerintah Pusat
bersama Dewan Perwakilan Rakyat membahas kebijakan umum dan prioritas anggaran
untuk dijadikan acuan bagi setiap kementerian negara/lembaga dalam penyusunan usulan
anggaran.

Pasal 14

(1) Dalam rangka penyusunan rancangan APBN, menteri/ pimpinan lembaga selaku pengguna
anggaran/pengguna barang menyusun rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga tahun berikutnya.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 8
(2) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan
prakiraan belanja untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sedang disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada Dewan
Perwakilan Rakyat untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan rancangan APBN.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada Menteri Keuangan
sebagai bahan penyusunan rancangan undang-undang tentang APBN tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga diatur dengan Peraturan Pemerintah.

Pasal 15

(1) Pemerintah Pusat mengajukan Rancangan Undang-undang tentang APBN, disertai nota
keuangan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada Dewan Perwakilan Rakyat pada
bulan Agustus tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Undang-undang tentang APBN dilakukan sesuai dengan undang-
undang yang mengatur susunan dan kedudukan Dewan Perwakilan Rakyat.
(3) Dewan Perwakilan Rakyat dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah
penerimaan dan pengeluaran dalam Rancangan Undang-undang tentang APBN.
(4) Pengambilan keputusan oleh Dewan Perwakilan Rakyat mengenai Rancangan Undang-
undang tentang APBN dilakukan selambat-lambatnya 2 (dua) bulan sebelum tahun
anggaran yang bersangkutan dilaksanakan.
(5) APBN yang disetujui oleh DPR terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja.
(6) Apabila Dewan Perwakilan Rakyat tidak menyetujui Rancangan Undang-undang
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), Pemerintah Pusat dapat melakukan pengeluaran
setinggi-tingginya sebesar angka APBN tahun anggaran sebelumnya.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 9
BAB IV
PENYUSUNAN DAN PENETAPAN APBD

Pasal 16

(1) APBD merupakan wujud pengelolaan keuangan daerah yang ditetapkan setiap tahun
dengan Peraturan Daerah.
(2) APBD terdiri atas anggaran pendapatan, anggaran belanja, dan pembiayaan.
(3) Pendapatan daerah berasal dari pendapatan asli daerah, dana perimbangan, dan lain-lain
pendapatan yang sah.
(4) Belanja daerah dirinci menurut organisasi, fungsi, dan jenis belanja.

Pasal 17

(1) APBD disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan
pendapatan daerah.
(2) Penyusunan Rancangan APBD sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) berpedoman kepada
rencana kerja Pemerintah Daerah dalam rangka mewujudkan tercapainya tujuan bernegara.
(3) Dalam hal anggaran diperkirakan defisit, ditetapkan sumber-sumber pembiayaan untuk
menutup defisit tersebut dalam Peraturan Daerah tentang APBD.
(4) Dalam hal anggaran diperkirakan surplus, ditetapkan penggunaan surplus tersebut dalam
Peraturan Daerah tentang APBD.

Pasal 18

(1) Pemerintah Daerah menyampaikan kebijakan umum APBD tahun anggaran berikutnya
sejalan dengan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, sebagai landasan penyusunan RAPBD
kepada DPRD selambat-lambatnya pertengahan Juni tahun berjalan.
(2) DPRD membahas kebijakan umum APBD yang diajukan oleh Pemerintah Daerah dalam
pembicaraan pendahuluan RAPBD tahun anggaran berikutnya.
(3) Berdasarkan kebijakan umum APBD yang telah disepakati dengan DPRD, Pemerintah
Daerah bersama Dewan Perwakilan Rakyat Daerah membahas prioritas dan plafon
anggaran sementara untuk dijadikan acuan bagi setiap Satuan Kerja Perangkat Daerah.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 10
Pasal 19

(1) Dalam rangka penyusunan RAPBD, Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah selaku
pengguna anggaran menyusun rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja Perangkat Daerah
tahun berikutnya.
(2) Rencana kerja Satuan Kerja Perangkat Daerah disusun dengan pendekatan berdasarkan
prestasi kerja yang akan dicapai.
(3) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) disertai dengan prakiraan belanja
untuk tahun berikutnya setelah tahun anggaran yang sudah disusun.
(4) Rencana kerja dan anggaran dimaksud dalam ayat (1) dan (2) disampaikan kepada DPRD
untuk dibahas dalam pembicaraan pendahuluan RAPBD.
(5) Hasil pembahasan rencana kerja dan anggaran disampaikan kepada pejabat pengelola
keuangan daerah sebagai bahan penyusunan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
tahun berikutnya.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai penyusunan rencana kerja dan anggaran Satuan Kerja
Perangkat Daerah diatur dengan Peraturan Daerah.

Pasal 20

(1) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD, disertai
penjelasan dan dokumen-dokumen pendukungnya kepada DPRD pada minggu pertama
bulan Oktober tahun sebelumnya.
(2) Pembahasan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dilakukan sesuai dengan undang-
undang yang mengatur susunan dan kedudukan DPRD.
(3) DPRD dapat mengajukan usul yang mengakibatkan perubahan jumlah penerimaan dan
pengeluaran dalam Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD.
(4) Pengambilan keputusan oleh DPRD mengenai Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD
dilakukan selambat-lambatnya satu bulan sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
dilaksanakan.
(5) APBD yang disetujui oleh DPRD terinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program,
kegiatan, dan jenis belanja.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 11
(6) Apabila DPRD tidak menyetujui Rancangan Peraturan Daerah sebagaimana dimaksud
dalam ayat (1), untuk membiayai keperluan setiap bulan Pemerintah Daerah dapat
melaksanakan pengeluaran setinggi-tingginya sebesar angka APBD tahun anggaran
sebelumnya.

BAB V
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH PUSAT DAN BANK SENTRAL, PEMERINTAH DAERAH,
SERTA PEMERINTAH/LEMBAGA ASING

Pasal 21

Pemerintah Pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan kebijakan
fiskal dan moneter.

Pasal 22

(1) Pemerintah Pusat mengalokasikan dana perimbangan kepada Pemerintah Daerah


berdasarkan undang-undang perimbangan keuangan pusat dan daerah.
(2) Pemerintah Pusat dapat memberikan pinjaman dan/atau hibah kepada Pemerintah Daerah
atau sebaliknya.
(3) Pemberian pinjaman dan/atau hibah sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) dilakukan setelah
mendapat persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat.
(4) Pemerintah Daerah dapat memberikan pinjaman kepada/menerima pinjaman dari daerah lain
dengan persetujuan DPRD.

Pasal 23

(1) Pemerintah Pusat dapat memberikan hibah/pinjaman kepada atau menerima hibah/pinjaman
dari pemerintah/lembaga asing dengan persetujuan DPR.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 12
(2) Pinjaman dan/atau hibah yang diterima Pemerintah Pusat sebagaimana dimaksud dalam
ayat (1) dapat diteruspinjam-kan kepada Pemerintah Daerah/Perusahaan Negara/
Perusahaan Daerah.

BAB VI
HUBUNGAN KEUANGAN ANTARA
PEMERINTAH DAN PERUSAHAAN NEGARA,
PERUSAHAAN DAERAH, PERUSAHAAN SWASTA, SERTA
BADAN PENGELOLA DANA MASYARAKAT

Pasal 24

(1) Pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/ penyertaan modal kepada dan menerima
pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah.
(2) Pemberian pinjaman/hibah/penyertaan modal dan penerimaan pinjaman/hibah sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) terlebih dahulu ditetapkan dalam APBN/APBD.
(3) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan negara.
(4) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada perusahaan
daerah.
(5) Pemerintah Pusat dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan negara
setelah mendapat persetujuan DPR.
(6) Pemerintah Daerah dapat melakukan penjualan dan/atau privatisasi perusahaan daerah
setelah mendapat persetujuan DPRD.
(7) Dalam keadaan tertentu, untuk penyelamatan perekonomian nasional, Pemerintah Pusat
dapat memberikan pinjaman dan/atau melakukan penyertaan modal kepada perusahaan
swasta setelah mendapat persetujuan DPR.

Pasal 25

(1) Menteri Keuangan melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola dana
masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Pusat.
(2) Gubernur/bupati/walikota melakukan pembinaan dan pengawasan kepada badan pengelola
dana masyarakat yang mendapat fasilitas dari Pemerintah Daerah.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 13
(3) Ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (1) berlaku bagi badan pengelola dana
masyarakat yang mendapat fasilitas dari pemerintah.

BAB VII
PELAKSANAAN APBN DAN APBD

Pasal 26

(1) Setelah APBN ditetapkan dengan undang-undang, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut
dengan Keputusan Presiden.
(2) Setelah APBD ditetapkan dengan peraturan daerah, pelaksanaannya dituangkan lebih lanjut
dengan Keputusan Gubernur/Bupati/Walikota.

Pasal 27

(1) Pemerintah Pusat menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBN dan prognosis
untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPR selambat-
lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara
DPR dan Pemerintah Pusat.
(3) Penyesuaian APBN dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama
DPR dengan Pemerintah Pusat dalam rangka penyusunan prakiraan perubahan atas APBN
tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan ekonomi makro yang tidak sesuai dengan asumsi yang digunakan
dalam APBN;
b. perubahan pokok-pokok kebijakan fiskal;
c. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja;
d. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah dapat melakukan pengeluaran yang belum tersedia
anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBN dan/atau
disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 14
(5) Pemerintah Pusat mengajukan rancangan undang-undang tentang Perubahan APBN tahun
anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (3)
untuk mendapatkan persetujuan DPR sebelum tahun anggaran yang bersangkutan berakhir.

Pasal 28

(1) Pemerintah Daerah menyusun Laporan Realisasi Semester Pertama APBD dan prognosis
untuk 6 (enam) bulan berikutnya.
(2) Laporan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disampaikan kepada DPRD selambat-
lambatnya pada akhir Juli tahun anggaran yang bersangkutan, untuk dibahas bersama antara
DPRD dan Pemerintah Daerah.
(3) Penyesuaian APBD dengan perkembangan dan/atau perubahan keadaan dibahas bersama
DPRD dengan Pemerintah Daerah dalam rangka penyusunan prakiraan Perubahan atas
APBD tahun anggaran yang bersangkutan, apabila terjadi :
a. perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi kebijakan umum APBD;
b. keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja.
c. keadaan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya harus digunakan
untuk pembiayaan anggaran yang berjalan.
(4) Dalam keadaan darurat Pemerintah Daerah dapat melakukan pengeluaran yang belum
tersedia anggarannya, yang selanjutnya diusulkan dalam rancangan perubahan APBD,
dan/atau disampaikan dalam Laporan Realisasi Anggaran.
(5) Pemerintah Daerah mengajukan Rancangan Peraturan Daerah tentang Perubahan APBD
tahun anggaran yang bersangkutan berdasarkan perubahan sebagaimana dimaksud dalam
ayat (3) untuk mendapatkan persetujuan DPRD sebelum tahun anggaran yang bersangkutan
berakhir.

Pasal 29

Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan APBN dan APBD
ditetapkan dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan negara.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 15
BAB VIII
PERTANGGUNGJAWABAN PELAKSANAAN
APBN DAN APBD

Pasal 30

(1) Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban


pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan
Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBN, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan negara dan badan lainnya.

Pasal 31

(1) Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang


pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang
telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan
setelah tahun anggaran berakhir.
(2) Laporan keuangan dimaksud setidak-tidaknya meliputi Laporan Realisasi APBD, Neraca,
Laporan Arus Kas, dan Catatan atas Laporan Keuangan, yang dilampiri dengan laporan
keuangan perusahaan daerah.

Pasal 32

(1) Bentuk dan isi laporan pertanggungjawaban pelaksanaan APBN/APBD sebagaimana


dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal 31 disusun dan disajikan sesuai dengan standar
akuntansi pemerintahan.
(2) Standar akuntansi pemerintahan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) disusun oleh suatu
komite standar yang independen dan ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah setelah
terlebih dahulu mendapat pertimbangan dari Badan Pemeriksa Keuangan.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 16
Pasal 33

Pemeriksaan pengelolaan dan pertanggungjawaban keuangan negara diatur dalam undang-


undang tersendiri.

BAB IX
KETENTUAN PIDANA, SANKSI ADMINISTRATIF,
DAN GANTI RUGI

Pasal 34

(1) Menteri/Pimpinan lembaga/Gubernur/Bupati/Walikota yang terbukti melakukan


penyimpangan kebijakan yang telah ditetapkan dalam undang-undang tentang
APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana penjara dan denda sesuai
dengan ketentuan undang-undang.
(2) Pimpinan Unit Organisasi Kementerian Negara/Lembaga/ Satuan Kerja Perangkat Daerah
yang terbukti melakukan penyimpangan kegiatan anggaran yang telah ditetapkan dalam
undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD diancam dengan pidana
penjara dan denda sesuai dengan ketentuan undang-undang.
(3) Presiden memberi sanksi administratif sesuai dengan ketentuan undang-undang kepada
pegawai negeri serta pihak-pihak lain yang tidak memenuhi kewajibannya sebagaimana
ditentukan dalam undang-undang ini.

Pasal 35

(1) Setiap pejabat negara dan pegawai negeri bukan bendahara yang melanggar hukum atau
melalaikan kewajibannya baik langsung atau tidak langsung yang merugikan keuangan
negara diwajibkan mengganti kerugian dimaksud.
(2) Setiap orang yang diberi tugas menerima, menyimpan, membayar, dan/atau menyerahkan
uang atau surat berharga atau barang-barang negara adalah bendahara yang wajib
menyampaikan laporan pertanggungjawaban kepada Badan Pemeriksa Keuangan.
(3) Setiap bendahara sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) bertanggung jawab secara pribadi
atas kerugian keuangan negara yang berada dalam pengurusannya.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 17
(4) Ketentuan mengenai penyelesaian kerugian negara diatur di dalam undang-undang
mengenai perbendaharaan negara.

BAB X
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 36

(1) Ketentuan mengenai pengakuan dan pengukuran pendapatan dan belanja berbasis akrual
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 13, 14, 15, dan 16 undang-undang ini
dilaksanakan selambat-lambatnya dalam 5 (lima) tahun. Selama pengakuan dan pengukuran
pendapatan dan belanja berbasis akrual belum dilaksanakan, digunakan pengakuan dan
pengukuran berbasis kas.
(2) Batas waktu penyampaian laporan keuangan oleh pemerintah pusat/pemerintah daerah,
demikian pula penyelesaian pemeriksaan laporan keuangan pemerintah pusat/ pemerintah
daerah oleh Badan Pemeriksa Keuangan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30 dan Pasal
31, berlaku mulai APBN/APBD tahun 2006.

BAB XI
KETENTUAN PENUTUP

Pasal 37

Pada saat berlakunya undang-undang ini :


(1) Indische Comptabiliteitswet (ICW), Staatsblad Tahun 1925 Nomor 448 sebagaimana telah
beberapa kali diubah, terakhir dengan Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968 (Lembaran
Negara Republik Indonesia Tahun 1968 Nomor 53, Tambahan Lembaran Negara Nomor
2860);
(2) Indische Bedrijvenwet (IBW) Stbl. 1927 Nomor 419 jo. Stbl. 1936 Nomor 445;
(3) Reglement voor het Administratief Beheer (RAB) Stbl. 1933 Nomor 381;
Sepanjang telah diatur dalam undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku lagi

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 18
Pasal 38

Ketentuan pelaksanaan sebagai tindak lanjut undang-undang ini sudah selesai selambat-
lambatnya 1 (satu) tahun sejak undang-undang ini diundangkan.

Pasal 39

Undang-undang ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan.

Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan Undang-undang ini dengan


penempatannya dalam Lembaran Negara Republik Indonesia.

Disahkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2003
PRESIDEN REPUBLIK
INDONESIA,
ttd.

MEGAWATI SOEKARNOPUTRI

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 28 April 2003
SEKRETARIS NEGARA REPUBLIK INDONESIA,
ttd.

BAMBANG KESOWO

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2003 NOMOR

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 19
PENJELASAN
ATAS
UNDANG-UNDANG REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 17 TAHUN 2003
TENTANG
KEUANGAN NEGARA

I. UMUM
1. Dasar Pemikiran
Dalam rangka pencapaian tujuan bernegara sebagaimana tercantum dalam alinea
IV Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dibentuk pemerintahan negara yang
menyelenggarakan fungsi pemerintahan dalam berbagai bidang. Pembentukan
pemerintahan negara tersebut menimbulkan hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai
dengan uang yang perlu dikelola dalam suatu sistem pengelolaan keuangan negara.
Sebagai suatu negara yang berkedaulatan rakyat, berdasarkan hukum, dan
menyelenggarakan pemerintahan negara berdasarkan konstitusi, sistem pengelolaan
keuangan negara harus sesuai dengan aturan pokok yang ditetapkan dalam Undang-
Undang Dasar. Dalam Undang-Undang Dasar 1945 Bab VIII Hal Keuangan, antara lain
disebutkan bahwa anggaran pendapatan dan belanja negara ditetapkan setiap tahun
dengan undang-undang, dan ketentuan mengenai pajak dan pungutan lain yang bersifat
memaksa untuk keperluan negara serta macam dan harga mata uang ditetapkan dengan
undang-undang. Hal-hal lain mengenai keuangan negara sesuai dengan amanat Pasal 23C
diatur dengan undang-undang.
Selama ini dalam pelaksanaan pengelolaan keuangan negara masih digunakan
ketentuan perundang-undangan yang disusun pada masa pemerintahan kolonial Hindia
Belanda yang berlaku berdasarkan Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945, yaitu
Indische Comptabiliteitswet yang lebih dikenal dengan nama ICW Stbl. 1925 No. 448
selanjutnya diubah dan diundangkan dalam Lembaran Negara 1954 Nomor 6, 1955
Nomor 49, dan terakhir Undang-undang Nomor 9 Tahun 1968, yang ditetapkan pertama
kali pada tahun 1864 dan mulai berlaku pada tahun 1867, Indische Bedrijvenwet (IBW)
Stbl. 1927 No. 419 jo. Stbl. 1936 No. 445 dan Reglement voor het Administratief Beheer

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 20
(RAB) Stbl. 1933 No. 381. Sementara itu, dalam pelaksanaan pemeriksaan
pertanggungjawaban keuangan negara digunakan Instructie en verdere bepalingen voor
de Algemeene Rekenkamer (IAR) Stbl. 1933 No. 320. Peraturan perundang-undangan
tersebut tidak dapat mengakomodasikan berbagai perkembangan yang terjadi dalam
sistem kelembagaan negara dan pengelolaan keuangan pemerintahan negara Republik
Indonesia. Oleh karena itu, meskipun berbagai ketentuan tersebut secara formal masih
tetap berlaku, secara materiil sebagian dari ketentuan dalam peraturan perundang-
undangan dimaksud tidak lagi dilaksanakan.
Kelemahan perundang-undangan dalam bidang keuangan negara menjadi salah
satu penyebab terjadinya beberapa bentuk penyimpangan dalam pengelolaan keuangan
negara. Dalam upaya menghilangkan penyimpangan tersebut dan mewujudkan sistem
pengelolaan fiskal yang berkesinambungan (sustainable) sesuai dengan aturan pokok
yang telah ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar dan asas-asas umum yang berlaku
secara universal dalam penyelenggaraan pemerintahan negara diperlukan suatu undang-
undang yang mengatur pengelolaan keuangan negara.
Upaya untuk menyusun undang-undang yang mengatur pengelolaan keuangan
negara telah dirintis sejak awal berdirinya negara Indonesia. Oleh karena itu,
penyelesaian Undang-undang tentang Keuangan Negara merupakan kelanjutan dan hasil
dari berbagai upaya yang telah dilakukan selama ini dalam rangka memenuhi kewajiban
konstitusional yang diamanatkan oleh Undang-Undang Dasar 1945.

2. Hal-hal Baru dan/atau Perubahan Mendasar dalam Ketentuan Pengelolaan Keuangan


Negara yang Diatur dalam Undang-undang ini.
Hal-hal baru dan/atau perubahan mendasar dalam ketentuan keuangan negara yang
diatur dalam undang-undang ini meliputi pengertian dan ruang lingkup keuangan negara,
asas-asas umum pengelolaan keuangan negara, kedudukan Presiden sebagai pemegang
kekuasaan pengelolaan keuangan negara, pendelegasian kekuasaan Presiden kepada
Menteri Keuangan dan Menteri/Pimpinan Lembaga, susunan APBN dan APBD,
ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN dan APBD, pengaturan hubungan
keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah dan
pemerintah/lembaga asing, pengaturan hubungan keuangan antara pemerintah dengan

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 21
perusahaan negara, perusahaan daerah dan perusahaan swasta, dan badan pengelola dana
masyarakat, serta penetapan bentuk dan batas waktu penyampaian laporan
pertanggungjawaban pelaksanaan APBN dan APBD.
Undang-undang ini juga telah mengantisipasi perubahan standar akuntansi di
lingkungan pemerintahan di Indonesia yang mengacu kepada perkembangan standar
akuntansi di lingkungan pemerintahan secara internasional.

3. Pengertian dan Ruang Lingkup Keuangan Negara


Pendekatan yang digunakan dalam merumuskan Keuangan Negara adalah dari sisi
obyek, subyek, proses, dan tujuan. Dari sisi obyek yang dimaksud dengan Keuangan
Negara meliputi semua hak dan kewajiban negara yang dapat dinilai dengan uang,
termasuk kebijakan dan kegiatan dalam bidang fiskal, moneter dan pengelolaan kekayaan
negara yang dipisahkan, serta segala sesuatu baik berupa uang, maupun berupa barang
yang dapat dijadikan milik negara berhubung dengan pelaksanaan hak dan kewajiban
tersebut. Dari sisi subyek yang dimaksud dengan Keuangan Negara meliputi seluruh
obyek sebagaimana tersebut di atas yang dimiliki negara, dan/atau dikuasai oleh
Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, Perusahaan Negara/Daerah, dan badan lain yang
ada kaitannya dengan keuangan negara. Dari sisi proses, Keuangan Negara mencakup
seluruh rangkaian kegiatan yang berkaitan dengan pengelolaan obyek sebagaimana
tersebut di atas mulai dari perumusan kebijakan dan pengambilan keputusan sampai
dengan pertanggunggjawaban. Dari sisi tujuan, Keuangan Negara meliputi seluruh
kebijakan, kegiatan dan hubungan hukum yang berkaitan dengan pemilikan dan/atau
penguasaan obyek sebagaimana tersebut di atas dalam rangka penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Bidang pengelolaan Keuangan Negara yang demikian luas dapat dikelompokkan
dalam sub bidang pengelolaan fiskal, sub bidang pengelolaan moneter, dan sub bidang
pengelolaan kekayaan negara yang dipisahkan.

4. Asas-asas Umum Pengelolaan Keuangan Negara


Dalam rangka mendukung terwujudnya good governance dalam penyelenggaraan
negara, pengelolaan keuangan negara perlu diselenggarakan secara profesional, terbuka,

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 22
dan bertanggung jawab sesuai dengan aturan pokok yang telah ditetapkan dalam Undang-
Undang Dasar. Sesuai dengan amanat Pasal 23C Undang-Undang Dasar 1945, Undang-
undang tentang Keuangan Negara perlu menjabarkan aturan pokok yang telah ditetapkan
dalam Undang-Undang Dasar tersebut ke dalam asas-asas umum yang meliputi baik asas-
asas yang telah lama dikenal dalam pengelolaan keuangan negara, seperti asas tahunan,
asas universalitas, asas kesatuan, dan asas spesialitas maupun asas-asas baru sebagai
pencerminan best practices (penerapan kaidah-kaidah yang baik) dalam pengelolaan
keuangan negara, antara lain :
• akuntabilitas berorientasi pada hasil;
• profesionalitas;
• proporsionalitas;
• keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara;
• pemeriksaan keuangan oleh badan pemeriksa yang bebas dan mandiri.
Asas-asas umum tersebut diperlukan pula guna menjamin terselenggaranya
prinsip-prinsip pemerintahan daerah sebagaimana yang telah dirumuskan dalam Bab VI
Undang-Undang Dasar 1945. Dengan dianutnya asas-asas umum tersebut di dalam
Undang-undang tentang Keuangan Negara, pelaksanaan Undang-undang ini selain
menjadi acuan dalam reformasi manajemen keuangan negara, sekaligus dimaksudkan
untuk memperkokoh landasan pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah di Negara
Kesatuan Republik Indonesia.

5. Kekuasaan atas Pengelolaan Keuangan Negara


Presiden selaku Kepala Pemerintahan memegang kekuasaan pengelolaan
keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. Kekuasaan tersebut
meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat khusus. Untuk
membantu Presiden dalam penyelenggaraan kekuasaan dimaksud, sebagian dari
kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Pengelola Fiskal dan
Wakil Pemerintah dalam kepemilikan kekayaan negara yang dipisahkan, serta kepada
Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran/Pengguna Barang kementerian
negara/lembaga yang dipimpinnya. Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden dalam
bidang keuangan pada hakekatnya adalah Chief Financial Officer (CFO) Pemerintah
Republik Indonesia, sementara setiap menteri/pimpinan lembaga pada hakekatnya adalah

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 23
Chief Operational Officer (COO) untuk suatu bidang tertentu pemerintahan. Prinsip ini
perlu dilaksanakan secara konsisten agar terdapat kejelasan dalam pembagian wewenang
dan tanggung jawab, terlaksananya mekanisme checks and balances serta untuk
mendorong upaya peningkatan profesionalisme dalam penyelenggaraan tugas
pemerintahan.
Sub bidang pengelolaan fiskal meliputi fungsi-fungsi pengelolaan kebijakan fiskal
dan kerangka ekonomi makro, penganggaran, administrasi perpajakan, administrasi
kepabeanan, perbendaharaan, dan pengawasan keuangan.
Sesuai dengan asas desentralisasi dalam penyelenggaraan pemerintahan negara
sebagian kekuasaan Presiden tersebut diserahkan kepada Gubernur/ Bupati/Walikota
selaku pengelola keuangan daerah. Demikian pula untuk mencapai kestabilan nilai rupiah
tugas menetapkan dan melaksanakan kebijakan moneter serta mengatur dan menjaga
kelancaran sistem pembayaran dilakukan oleh bank sentral.

6. Penyusunan dan Penetapan APBN dan APBD


Ketentuan mengenai penyusunan dan penetapan APBN/APBD dalam undang-
undang ini meliputi penegasan tujuan dan fungsi penganggaran pemerintah, penegasan
peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses penyusunan dan penetapan anggaran,
pengintegrasian sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran, penyempurnaan
klasifikasi anggaran, penyatuan anggaran, dan penggunaan kerangka pengeluaran jangka
menengah dalam penyusunan anggaran.
Anggaran adalah alat akuntabilitas, manajemen, dan kebijakan ekonomi. Sebagai
instrumen kebijakan ekonomi anggaran berfungsi untuk mewujudkan pertumbuhan dan
stabilitas perekonomian serta pemerataan pendapatan dalam rangka mencapai tujuan
bernegara. Dalam upaya untuk meluruskan kembali tujuan dan fungsi anggaran tersebut
perlu dilakukan pengaturan secara jelas peran DPR/DPRD dan pemerintah dalam proses
penyusunan dan penetapan anggaran sebagai penjabaran aturan pokok yang telah
ditetapkan dalam Undang-Undang Dasar 1945.
Sehubungan dengan itu, dalam undang-undang ini disebutkan bahwa belanja
negara/belanja daerah dirinci sampai dengan unit organisasi, fungsi, program, kegiatan,

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 24
dan jenis belanja. Hal tersebut berarti bahwa setiap pergeseran anggaran antarunit
organisasi, antarkegiatan, dan antarjenis belanja harus mendapat persetujuan DPR/DPRD.
Masalah lain yang tidak kalah pentingnya dalam upaya memperbaiki proses
penganggaran di sektor publik adalah penerapan anggaran berbasis prestasi kerja.
Mengingat bahwa sistem anggaran berbasis prestasi kerja/hasil memerlukan kriteria
pengendalian kinerja dan evaluasi serta untuk menghindari duplikasi dalam penyusunan
rencana kerja dan anggaran kementerian negara/lembaga/perangkat daerah, perlu
dilakukan penyatuan sistem akuntabilitas kinerja dalam sistem penganggaran dengan
memperkenalkan sistem penyusunan rencana kerja dan anggaran kementerian
negara/lembaga/perangkat daerah. Dengan penyusunan rencana kerja dan anggaran
kementerian/lembaga/perangkat daerah tersebut dapat terpenuhi sekaligus kebutuhan
akan anggaran berbasis prestasi kerja dan pengukuran akuntabilitas kinerja
kementerian/lembaga/perangkat daerah yang bersangkutan.
Sejalan dengan upaya untuk menerapkan secara penuh anggaran berbasis kinerja
di sektor publik, perlu pula dilakukan perubahan klasifikasi anggaran agar sesuai dengan
klasifikasi yang digunakan secara internasional. Perubahan dalam pengelompokan
transaksi pemerintah tersebut dimaksudkan untuk memudahkan pelaksanaan anggaran
berbasis kinerja, memberikan gambaran yang objektif dan proporsional mengenai
kegiatan pemerintah, menjaga konsistensi dengan standar akuntansi sektor publik, serta
memudahkan penyajian dan meningkatkan kredibilitas statistik keuangan pemerintah.
Selama ini anggaran belanja pemerintah dikelompokkan atas anggaran belanja
rutin dan anggaran belanja pembangunan. Pengelompokan dalam anggaran belanja rutin
dan anggaran belanja pembangunan yang semula bertujuan untuk memberikan penekanan
pada arti pentingnya pembangunan dalam pelaksanaannya telah menimbulkan peluang
terjadinya duplikasi, penumpukan, dan penyimpangan anggaran. Sementara itu,
penuangan rencana pembangunan dalam suatu dokumen perencanaan nasional lima
tahunan yang ditetapkan dengan undang-undang dirasakan tidak realistis dan semakin
tidak sesuai dengan dinamika kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dalam era
globalisasi.
Perkembangan dinamis dalam penyelenggaraan pemerintahan membutuhkan
sistem perencanaan fiskal yang terdiri dari sistem penyusunan anggaran tahunan yang
dilaksanakan sesuai dengan Kerangka Pengeluaran Jangka Menengah (Medium Term
Expenditure Framework) sebagaimana dilaksanakan di kebanyakan negara maju.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 25
Walaupun anggaran dapat disusun dengan baik, jika proses penetapannya
terlambat akan berpotensi menimbulkan masalah dalam pelaksanaannya. Oleh karena itu,
dalam undang-undang ini diatur secara jelas mekanisme pembahasan anggaran tersebut di
DPR/DPRD, termasuk pembagian tugas antara panitia/komisi anggaran dan komisi-
komisi pasangan kerja kementerian negara/lembaga/perangkat daerah di DPR/DPRD.

7. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Bank Sentral, Pemerintah Daerah,
Pemerintah/Lembaga Asing, Perusahaan Negara, Perusahaan Daerah, Perusahaan Swasta,
serta Badan Pengelola Dana Masyarakat
Sejalan dengan semakin luas dan kompleksnya kegiatan pengelolaan keuangan
negara, perlu diatur ketentuan mengenai hubungan keuangan antara pemerintah dan
lembaga-lembaga infra/supranasional. Ketentuan tersebut meliputi hubungan keuangan
antara pemerintah pusat dan bank sentral, pemerintah daerah, pemerintah asing,
badan/lembaga asing, serta hubungan keuangan antara pemerintah dan perusahaan
negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta dan badan pengelola dana masyarakat.
Dalam hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan bank sentral ditegaskan bahwa
pemerintah pusat dan bank sentral berkoordinasi dalam penetapan dan pelaksanaan
kebijakan fiskal dan moneter. Dalam hubungan dengan pemerintah daerah, undang-
undang ini menegaskan adanya kewajiban pemerintah pusat mengalokasikan dana
perimbangan kepada pemerintah daerah. Selain itu, undang-undang ini mengatur pula
perihal penerimaan pinjaman luar negeri pemerintah. Dalam hubungan antara pemerintah
dan perusahaan negara, perusahaan daerah, perusahaan swasta, dan badan pengelola dana
masyarakat ditetapkan bahwa pemerintah dapat memberikan pinjaman/hibah/penyertaan
modal kepada dan menerima pinjaman/hibah dari perusahaan negara/daerah setelah
mendapat persetujuan DPR/DPRD.

8. Pelaksanaan APBN dan APBD


Setelah APBN ditetapkan secara rinci dengan undang-undang, pelaksanaannya
dituangkan lebih lanjut dengan keputusan Presiden sebagai pedoman bagi kementerian
negara/lembaga dalam pelaksanaan anggaran. Penuangan dalam keputusan Presiden
tersebut terutama menyangkut hal-hal yang belum dirinci di dalam undang-undang
APBN, seperti alokasi anggaran untuk kantor pusat dan kantor daerah kementerian
negara/lembaga, pembayaran gaji dalam belanja pegawai, dan pembayaran untuk
tunggakan yang menjadi beban kementerian negara/lembaga. Selain itu, penuangan

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 26
dimaksud meliputi pula alokasi dana perimbangan untuk provinsi/kabupaten/kota dan
alokasi subsidi sesuai dengan keperluan perusahaan/badan yang menerima.
Untuk memberikan informasi mengenai perkembangan pelaksanaan
APBN/APBD, pemerintah pusat/pemerintah daerah perlu menyampaikan laporan
realisasi semester pertama kepada DPR/DPRD pada akhir Juli tahun anggaran yang
bersangkutan. Informasi yang disampaikan dalam laporan tersebut menjadi bahan
evaluasi pelaksanaan APBN/APBD semester pertama dan penyesuaian/perubahan
APBN/APBD pada semester berikutnya.
Ketentuan mengenai pengelolaan keuangan negara dalam rangka pelaksanaan
APBN/APBD ditetapkan tersendiri dalam undang-undang yang mengatur perbendaharaan
negara mengingat lebih banyak menyangkut hubungan administratif antarkementerian
negara/lembaga di lingkungan pemerintah.

9. Pertanggungjawaban Pengelolaan Keuangan Negara


Salah satu upaya konkrit untuk mewujudkan transparansi dan akuntabilitas
pengelolaan keuangan negara adalah penyampaian laporan pertanggungjawaban
keuangan pemerintah yang memenuhi prinsip-prinsip tepat waktu dan disusun dengan
mengikuti standar akuntansi pemerintah yang telah diterima secara umum.
Dalam undang-undang ini ditetapkan bahwa laporan pertanggung-jawaban
pelaksanaan APBN/APBD disampaikan berupa laporan keuangan yang setidak-tidaknya
terdiri dari laporan realisasi anggaran, neraca, laporan arus kas dan catatan atas laporan
keuangan yang disusun sesuai dengan standar akuntansi pemerintah. Laporan keuangan
pemerintah pusat yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus
disampaikan kepada DPR selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun
anggaran yang bersangkutan, demikian pula laporan keuangan pemerintah daerah yang
telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan harus disampaikan kepada DPRD
selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah berakhirnya tahun anggaran yang
bersangkutan.
Dalam rangka akuntabilitas pengelolaan keuangan negara menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota selaku pengguna anggaran/pengguna barang
bertanggung jawab atas pelaksanaan kebijakan yang ditetapkan dalam Undang-undang
tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi manfaat/hasil (outcome).

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 27
Sedangkan Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga bertanggung jawab atas
pelaksanaan kegiatan yang ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN, demikian
pula Kepala Satuan Kerja Perangkat Daerah bertanggung jawab atas pelaksanaan
kegiatan yang ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD, dari segi barang
dan/atau jasa yang disediakan (output). Sebagai konsekuensinya, dalam undang-undang
ini diatur sanksi yang berlaku bagi menteri/pimpinan lembaga/gubernur/bupati/walikota,
serta Pimpinan unit organisasi kementerian negara/lembaga/Satuan Kerja Perangkat
Daerah yang terbukti melakukan penyimpangan kebijakan/kegiatan yang telah ditetapkan
dalam Undang-undang tentang APBN /Peraturan Daerah tentang APBD. Ketentuan
sanksi tersebut dimaksudkan sebagai upaya preventif dan represif, serta berfungsi sebagai
jaminan atas ditaatinya Undang-undang tentang APBN/Peraturan Daerah tentang APBD
yang bersangkutan.
Selain itu perlu ditegaskan prinsip yang berlaku universal bahwa barang siapa
yang diberi wewenang untuk menerima, menyimpan dan membayar atau menyerahkan
uang, surat berharga atau barang milik negara bertanggungjawab secara pribadi atas
semua kekurangan yang terjadi dalam pengurusannya. Kewajiban untuk mengganti
kerugian keuangan negara oleh para pengelola keuangan negara dimaksud merupakan
unsur pengendalian intern yang andal.

II. PASAL DEMI PASAL


Pasal 1
Cukup jelas

Pasal 2
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 28
Huruf g
Cukup jelas
Huruf h
Cukup jelas
Huruf i
Kekayaan pihak lain sebagaimana dimaksud dalam huruf i meliputi kekayaan
yang dikelola oleh orang atau badan lain berdasarkan kebijakan pemerintah,
yayasan-yayasan di lingkungan kementerian negara/lembaga, atau perusahaan
negara/daerah.

Pasal 3
Ayat (1)
Setiap penyelenggara negara wajib mengelola keuangan negara secara tertib,
taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan,
dan bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.
Pengelolaan dimaksud dalam ayat ini mencakup keseluruhan kegiatan
perencanaan, penguasaan, penggunaan, pengawasan, dan pertanggung-jawaban.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Fungsi otorisasi mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi dasar untuk
melaksanakan pendapatan dan belanja pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi perencanaan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman
bagi manajemen dalam merencanakan kegiatan pada tahun yang bersangkutan.
Fungsi pengawasan mengandung arti bahwa anggaran negara menjadi pedoman
untuk menilai apakah kegiatan penyelenggaraan pemerintahan negara sesuai
dengan ketentuan yang telah ditetapkan.
Fungsi alokasi mengandung arti bahwa anggaran negara harus diarahkan untuk
mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta meningkatkan
efisiensi dan efektivitas perekonomian.
Fungsi distribusi mengandung arti bahwa kebijakan anggaran negara harus
memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 29
Fungsi stabilisasi mengandung arti bahwa anggaran pemerintah menjadi alat
untuk memelihara dan mengupayakan keseimbangan fundamental
perekonomian.
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas
Ayat (8)
Cukup jelas

Pasal 4
Cukup jelas

Pasal 5
Cukup jelas

Pasal 6
Ayat (1)
Kekuasaan pengelolaan Keuangan Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat
ini meliputi kewenangan yang bersifat umum dan kewenangan yang bersifat
khusus.
Kewenangan yang bersifat umum meliputi penetapan arah, kebijakan umum,
strategi, dan prioritas dalam pengelolaan APBN, antara lain penetapan pedoman
pelaksanaan dan pertanggungjawaban APBN, penetapan pedoman penyusunan
rencana kerja kementerian negara/lembaga, penetapan gaji dan tunjangan, serta
pedoman pengelolaan Penerimaan Negara.
Kewenangan yang bersifat khusus meliputi keputusan/ kebijakan teknis yang
berkaitan dengan pengelolaan APBN, antara lain keputusan sidang kabinet di
bidang pengelolaan APBN, keputusan rincian APBN, keputusan dana
perimbangan, dan penghapusan aset dan piutang negara.
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 30
Huruf b
Dalam ketentuan ini yang dimaksud dengan lembaga adalah lembaga
negara dan lembaga pemerintah nonkementerian negara.
Di lingkungan lembaga negara, yang dimaksud dengan pimpinan lembaga
adalah pejabat yang bertangguing jawab atas pengelolaan keuangan
lembaga yang bersangkutan.
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas

Pasal 7
Cukup jelas

Pasal 8
Cukup jelas

Pasal 9
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Piutang dimaksud dalam ayat ini adalah hak negara dalam rangka penerimaan
negara bukan pajak yang pemungutannya menjadi tanggung jawab kementerian
negara/lembaga yang bersangkutan.
Utang dimaksud dalam ayat ini adalah kewajiban negara kepada pihak ketiga
dalam rangka pengadaan barang dan jasa yang pembayarannya merupakan
tanggung jawab kementerian negara/lembaga berkaitan sebagai unit pengguna
anggaran dan/atau kewajiban lainnya yang timbul berdasarkan undang-
undang/keputusan pengadilan.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 31
Huruf f
Cukup jelas
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam rangka
akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan negara, termasuk
prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.
Huruf h
Cukup jelas

Pasal 10
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Ayat (3)
Huruf a
Cukup jelas
Huruf b
Cukup jelas
Huruf c
Cukup jelas
Huruf d
Cukup jelas
Huruf e
Cukup jelas
Huruf f
Cukup jelas

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 32
Huruf g
Penyusunan dan penyajian laporan keuangan dimaksud adalah dalam
rangka akuntabilitas dan keterbukaan dalam pengelolaan keuangan
daerah, termasuk prestasi kerja yang dicapai atas penggunaan anggaran.

Pasal 11
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Dalam pungutan perpajakan tersebut termasuk pungutan bea masuk dan cukai.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Rincian belanja negara menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
kementerian negara/lembaga pemerintahan pusat.
Rincian belanja negara menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum,
pertahanan, ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan
dan fasilitas umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, dan
perlindungan sosial.
Rincian belanja negara menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri
dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah,
bantuan sosial, dan belanja lain-lain.

Pasal 12
Ayat (1)
Dalam menyusun APBN dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak
melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Domestik Bruto.
Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari Produk Domestik Bruto.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 33
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip pertang-
gungjawaban antargenerasi sehingga penggunaannya diutamakan untuk
pengurangan utang, pembentukan dana cadangan, dan peningkatan jaminan
sosial.

Pasal 13
Cukup jelas

Pasal 14
Cukup jelas

Pasal 15
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan Rancangan Undang-undang tentang APBN dapat diusulkan oleh
DPR sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 16
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 34
Ayat (4)
Rincian belanja daerah menurut organisasi disesuaikan dengan susunan
perangkat daerah/lembaga teknis daerah.
Rincian belanja daerah menurut fungsi antara lain terdiri dari pelayanan umum,
ketertiban dan keamanan, ekonomi, lingkungan hidup, perumahan dan fasilitas
umum, kesehatan, pariwisata, budaya, agama, pendidikan, serta perlindungan
sosial.
Rincian belanja daerah menurut jenis belanja (sifat ekonomi) antara lain terdiri
dari belanja pegawai, belanja barang, belanja modal, bunga, subsidi, hibah, dan
bantuan sosial.

Pasal 17
Ayat (1)
Dalam menyusun APBD dimaksud, diupayakan agar belanja operasional tidak
melampaui pendapatan dalam tahun anggaran yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Defisit anggaran dimaksud dibatasi maksimal 3% dari Produk Regional Bruto
daerah yang bersangkutan. Jumlah pinjaman dibatasi maksimal 60% dari
Produk Regional Bruto daerah yang bersangkutan.
Ayat (4)
Penggunaan surplus anggaran perlu mempertimbangkan prinsip
pertanggungjawaban antar generasi, sehingga penggunaannya diutamakan
untuk pengurangan utang, pembentukan cadangan, dan peningkatan jaminan
sosial.

Pasal 18
Cukup jelas

Pasal 19
Cukup jelas

Pasal 20
Ayat (1)
Cukup jelas

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 35
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Perubahan Rancangan Peraturan Daerah tentang APBD dapat diusulkan oleh
DPRD sepanjang tidak mengakibatkan peningkatan defisit anggaran.
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas

Pasal 21
Cukup jelas

Pasal 22
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan
setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas

Pasal 23
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan
setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 36
Pasal 24
Ayat (1)
Pemerintah wajib menyampaikan kepada Badan Pemeriksa Keuangan salinan
setiap perjanjian pinjaman dan/atau hibah yang telah ditandatangani.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Cukup jelas
Ayat (5)
Cukup jelas
Ayat (6)
Cukup jelas
Ayat (7)
Cukup jelas

Pasal 25
Ayat (1)
Yang dimaksud dengan badan pengelola dana masyarakat dalam ayat ini tidak
termasuk perusahaan jasa keuangan yang telah diatur dalam aturan tersendiri.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 26
Cukup jelas

Pasal 27
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 37
Ayat (4)
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan
mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Undang-undang tentang APBN
yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 28
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas
Ayat (4)
Pengeluaran tersebut dalam ayat ini termasuk belanja untuk keperluan
mendesak yang kriterianya ditetapkan dalam Peraturan Daerah tentang APBD
yang bersangkutan.
Ayat (5)
Cukup jelas

Pasal 29
Cukup jelas

Pasal 30
Ayat (1)
Pemeriksaan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan selambat-lambatnya
2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari Pemerintah Pusat.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan
belanja, juga menjelaskan prestasi kerja setiap kementerian negara/lembaga.

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 38
Pasal 31
Ayat (1)
Pemeriksaan laporan keuangan oleh Badan Pemeriksa Keuangan diselesaikan
selambat-lambatnya 2 (dua) bulan setelah menerima laporan keuangan dari
Pemerintah Daerah.
Ayat (2)
Laporan Realisasi Anggaran selain menyajikan realisasi pendapatan dan
belanja, juga menjelaskan prestasi kerja satuan kerja perangkat daerah.

Pasal 32
Ayat (1)
Cukup jelas
Ayat (2)
Apabila dalam waktu 2 (dua) bulan tidak memberikan pertimbangan yang
diminta, Badan Pemeriksa Keuangan dianggap menyetujui sepenuhnya standar
akuntansi pemerintahan yang diajukan oleh Pemerintah.

Pasal 33
Cukup jelas

Pasal 34
Ayat (1)
Kebijakan yang dimaksud dalam ayat ini tercermin pada manfaat/hasil yang
harus dicapai dengan pelaksanaan fungsi dan program kementerian
negara/lembaga/pemerintahan daerah yang bersangkutan.
Ayat (2)
Cukup jelas
Ayat (3)
Cukup jelas

Pasal 35
Cukup jelas

Pasal 36
Cukup jelas

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 39
Pasal 37
Cukup jelas

Pasal 38
Peraturan perundang-undangan yang terkait dengan pelaksanaan Undang-undang ini
sudah harus selesai selambat-lambatnya dalam waktu 1 (satu) tahun. Pelaksanaan
penataan dimulai sejak ditetapkannya Undang-undang ini dan sudah selesai dalam
waktu 2 (dua) tahun.

Pasal 39
Cukup jelas

TAMBAHAN LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA NOMOR 4286

DHendianto-BiroHukum BPK-RI/5/26/2008 40
PERATURAN PEMERINTAH REPUBLIK INDONESIA
NOMOR 39 TAHUN 2007
TENTANG
PENGELOLAAN UANG NEGARA/DAERAH

DENGAN RAHMAT TUHAN YANG MAHA ESA


PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

Menimbang : bahwa dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 28 ayat


(1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang
Perbendaharaan Negara, perlu menetapkan Peraturan
Pemerintah tentang Pengelolaan Uang Negara/Daerah;

Mengingat : 1. Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Dasar Negara Republik


Indonesia Tahun 1945;

2. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang


Perbendaharaan Negara (Lembaran Negara Republik
Indonesia Tahun 2004 Nomor 5, Tambahan Lembaran
Negara Republik Indonesia Nomor 4355);

MEMUTUSKAN:
Menetapkan : PERATURAN PEMERINTAH TENTANG PENGELOLAAN UANG
NEGARA/DAERAH.

BAB I
KETENTUAN UMUM

Pasal 1
Dalam Peraturan Pemerintah ini yang dimaksud dengan:
1. Perbendaharaan Negara adalah pengelolaan dan
pertanggungjawaban keuangan negara, termasuk investasi
dan kekayaan yang dipisahkan, yang ditetapkan dalam
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) dan
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD).
2. Kas Negara adalah tempat penyimpanan Uang Negara yang
ditentukan oleh Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum
Negara untuk menampung seluruh penerimaan negara dan
untuk membayar seluruh pengeluaran negara.

3. Rekening . . .
- 2 -

3. Rekening Kas Umum Negara adalah rekening tempat


penyimpanan Uang Negara yang ditentukan oleh Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara untuk
menampung seluruh penerimaan negara dan membayar
seluruh pengeluaran negara pada Bank Sentral.
4. Kas Daerah adalah tempat penyimpanan Uang Daerah yang
ditentukan oleh gubernur/bupati/walikota untuk
menampung seluruh penerimaan daerah dan membayar
seluruh pengeluaran daerah.
5. Rekening Kas Umum Daerah adalah rekening tempat
penyimpanan Uang Daerah yang ditentukan oleh
gubernur/bupati/walikota untuk menampung seluruh
penerimaan daerah dan membayar seluruh pengeluaran
daerah pada bank yang ditetapkan.
6. Bank Sentral adalah sebagaimana dimaksud dalam Undang-
Undang Dasar 1945 Pasal 23D.
7. Bank Umum adalah bank yang melaksanakan kegiatan
usaha secara konvensional dan/atau berdasarkan prinsip
syariah yang dalam kegiatannya memberikan jasa dalam lalu
lintas pembayaran.
8. Bendahara adalah setiap orang atau badan yang diberi tugas
untuk dan atas nama negara/daerah, menerima,
menyimpan, dan membayar/menyerahkan uang atau surat
berharga atau barang-barang negara/daerah.
9. Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang diberi tugas
untuk melaksanakan fungsi bendahara umum negara.
10. Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang diberi tugas
untuk melaksanakan fungsi bendahara umum daerah.
11. Bendahara Penerimaan adalah orang yang ditunjuk untuk
menerima, menyimpan, menyetorkan, menatausahakan, dan
mempertanggungjawabkan uang pendapatan negara/daerah
dalam rangka pelaksanaan APBN/APBD pada kantor/satuan
kerja kementerian negara/lembaga/pemerintah daerah.
12. Bendahara Pengeluaran adalah orang yang ditunjuk untuk
menerima, menyimpan, membayarkan, menatausahakan,
dan mempertanggungjawabkan uang untuk keperluan
belanja negara/daerah dalam rangka pelaksanaan
APBN/APBD pada kantor/satuan kerja kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah.

13. Kepala . . .
13. Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah adalah
kepala badan/dinas/biro keuangan/bagian keuangan yang
- 3 -

mempunyai tugas melaksanakan pengelolaan APBD dan


bertindak sebagai Bendahara Umum Daerah.
14. Uang Negara adalah uang yang dikuasai oleh Bendahara
Umum Negara.
15. Uang Daerah adalah uang yang dikuasai oleh Bendahara
Umum Daerah.
16. Uang Persediaan adalah sejumlah uang yang disediakan
untuk satuan kerja dalam melaksanakan kegiatan
operasional kantor sehari-hari.
17. Kuasa Bendahara Umum Negara adalah pejabat yang
diangkat oleh Bendahara Umum Negara untuk
melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah
ditetapkan.
18. Kuasa Bendahara Umum Daerah adalah pejabat yang
diangkat oleh Bendahara Umum Daerah untuk
melaksanakan tugas kebendaharaan dalam rangka
pelaksanaan anggaran dalam wilayah kerja yang telah
ditetapkan.
19. Pengelolaan Uang adalah kegiatan pengelolaan yang
mencakup pengelolaan kas dan surat berharga termasuk
kegiatan untuk menanggulangi kekurangan kas atau
memanfaatkan kelebihan kas secara optimal.

BAB II
BENDAHARA UMUM NEGARA DAN
BENDAHARA UMUM DAERAH
Bagian Kesatu
Bendahara Umum Negara

Pasal 2
(1) Menteri Keuangan adalah Bendahara Umum Negara.
(2) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
mengangkat Kuasa Bendahara Umum Negara untuk
melaksanakan sebagian wewenang Bendahara Umum
Negara dan tugas kebendaharaan yang berkaitan dengan
pengelolaan uang dan surat berharga.

Pasal 3 . . .
Pasal 3
Kuasa Bendahara Umum Negara sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 2 ayat (2) terdiri atas:
- 4 -

a. Kuasa Bendahara Umum Negara pusat; dan


b. Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah.

Pasal 4
Wewenang Bendahara Umum Negara dalam pengelolaan Uang
Negara yang dilaksanakan oleh Kuasa Bendahara Umum Negara
pusat meliputi:
a. menetapkan sistem penerimaan dan pengeluaran Kas
Negara;
b. menunjuk bank dan/atau lembaga keuangan lainnya dalam
rangka pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran anggaran
negara;
c. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam
pelaksanaan anggaran negara;
d. menyimpan Uang Negara;
e. menempatkan Uang Negara;
f. mengelola/menatausahakan investasi melalui pembelian
Surat Utang Negara;
g. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat
Pengguna Anggaran atas beban Rekening Kas Umum Negara;
dan
h. menyajikan informasi keuangan negara.

Pasal 5
(1) Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah bertugas:
a. menerima, menyimpan, membayar, menatausahakan,
dan mempertanggungjawabkan uang yang berada dalam
pengelolaannya; dan/atau
b. menerima, menyimpan, menyerahkan, mencatat, dan
mempertanggungjawabkan surat berharga yang berada
dalam pengelolaannya.
(2) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas Kuasa
Bendahara Umum Negara di daerah sebagaimana dimaksud
pada ayat (1) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 6 . . .

Pasal 6

(1) Untuk melaksanakan tanggung jawabnya dalam pengelolaan


dan pertanggungjawaban keuangan negara, Bendahara
Umum Negara mempunyai kewenangan untuk mengeluarkan
pedoman yang wajib dipatuhi oleh pengelola keuangan
- 5 -

negara di seluruh kementerian negara/lembaga/pemerintah


daerah.
(2) Bendahara Umum Negara mempunyai kewenangan untuk
memperhitungkan, menagih, memotong dana perimbangan,
dan/atau hak daerah lainnya yang berasal dari Pemerintah
Pusat atas kewajiban daerah kepada Pemerintah Pusat yang
belum diselesaikan.
(3) Bendahara Umum Negara bertanggung jawab atas
pelaksanaan perbendaharaan negara sesuai dengan norma
transparansi dan pengelolaan yang baik.

Bagian Kedua
Bendahara Umum Daerah

Pasal 7
(1) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah bertindak
sebagai Bendahara Umum Daerah.
(2) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Daerah dibantu oleh Kuasa Bendahara
Umum Daerah untuk melaksanakan tugas-tugas
kebendaharaan yang berkaitan dengan pengelolaan Uang
Daerah dan surat berharga.

Pasal 8
Wewenang Bendahara Umum Daerah dalam pengelolaan Uang
Daerah meliputi:
a. memberikan petunjuk teknis pelaksanaan sistem
penerimaan dan pengeluaran Kas Daerah;
b. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran APBD
oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang telah
ditunjuk;
c. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan dalam
pelaksanaan APBD;
d. menyimpan Uang Daerah;

e. melaksanakan . . .
e. melaksanakan penempatan Uang Daerah;
f. mengelola/menatausahakan investasi;
g. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat
Pengguna Anggaran atas beban Rekening Kas Umum
Daerah; dan
h. menyajikan informasi keuangan daerah.
- 6 -

Pasal 9
(1) Kuasa Bendahara Umum Daerah bertugas :
a. menyiapkan anggaran kas;
b. menyiapkan surat penyediaan dana;
c. menerbitkan surat perintah pencairan dana; dan
d. menyimpan seluruh bukti asli kepemilikan daerah.
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) Kuasa Bendahara Umum Daerah berwenang:
a. memantau pelaksanaan penerimaan dan pengeluaran
APBD oleh bank dan/atau lembaga keuangan lainnya yang
telah ditunjuk;
b. mengusahakan dan mengatur dana yang diperlukan
dalam pelaksanaan APBD;
c. menyimpan Uang Daerah;
d. melaksanakan penempatan Uang Daerah dan
mengelola/menatausahakan investasi;
e. melakukan pembayaran berdasarkan permintaan pejabat
Pengguna Anggaran atas beban Rekening Kas Umum
Daerah;
f. melaksanakan pemberian pinjaman atas nama pemerintah
daerah;
g. melakukan pengelolaan utang dan piutang daerah; dan
h. melakukan penagihan piutang daerah.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pelaksanaan tugas dan
wewenang Kuasa Bendahara Umum Daerah sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) diatur dengan Peraturan
Kepala Daerah.
(4) Penarikan dana dari Rekening Kas Umum Daerah di Bank
Umum dilakukan atas perintah Bendahara Umum
Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah.

(5) Pemindahbukuan . . .
(5) Pemindahbukuan dana dari rekening penerimaan dan
rekening pengeluaran ke Rekening Kas Umum Daerah
dilakukan atas perintah Bendahara Umum Daerah/Kuasa
Bendahara Umum Daerah.

BAB III
UANG NEGARA/DAERAH
- 7 -

Bagian Kesatu
Uang Negara

Pasal 10

(1) Uang Negara meliputi rupiah dan valuta asing.


(2) Uang Negara sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri
atas uang dalam Kas Negara dan uang pada Bendahara
Penerimaan dan Bendahara Pengeluaran kementerian
negara/lembaga.

Pasal 11

(1) Penambahan Uang Negara bersumber dari:


a. pendapatan negara, antara lain penerimaan pajak,
Penerimaan Negara Bukan Pajak, dan hibah;
b. penerimaan pembiayaan, antara lain penerimaan
pinjaman, hasil penjualan kekayaan negara yang
dipisahkan, dan pelunasan piutang; dan
c. penerimaan negara lainnya, antara lain penerimaan
perhitungan pihak ketiga.
(2) Pengurangan Uang Negara diakibatkan oleh:
a. belanja negara;
b. pengeluaran pembiayaan, antara lain pembayaran pokok
utang, penyertaan modal negara, dan pemberian
pinjaman; dan

c. pengeluaran . . .

c. pengeluaran negara lainnya, antara lain pengeluaran


perhitungan pihak ketiga.

Bagian Kedua
Uang Daerah

Pasal 12
(1) Uang Daerah meliputi rupiah dan valuta asing.
- 8 -

(2) Uang Daerah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) terdiri


dari uang dalam Kas Daerah dan uang pada Bendahara
Penerimaan daerah dan Bendahara Pengeluaran daerah.

Pasal 13
(1) Penambahan Uang Daerah bersumber dari:
a. pendapatan daerah, antara lain Pendapatan Asli Daerah,
Dana Perimbangan, dan lain-lain pendapatan daerah yang
sah;
b. penerimaan pembiayaan, antara lain penerimaan pinjaman
daerah, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan
dan penerimaan pelunasan piutang; dan
c. penerimaan daerah lainnya, antara lain penerimaan
perhitungan pihak ketiga.
(2) Pengurangan Uang Daerah diakibatkan oleh:
a. belanja daerah;
b. pengeluaran pembiayaan, antara lain pembayaran pokok
utang, penyertaan modal pemerintah daerah, dan
pemberian pinjaman; dan
c. pengeluaran daerah lainnya, antara lain pengeluaran
perhitungan pihak ketiga.

BAB IV…

BAB IV
REKENING MILIK BENDAHARA UMUM
NEGARA/DAERAH DAN MILIK KEMENTERIAN
NEGARA/LEMBAGA

Bagian Kesatu
Rekening Milik Bendahara Umum Negara
Paragraf 1
Rekening di Bank Sentral

Pasal 14
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
membuka Rekening Kas Umum Negara dan rekening lainnya
pada Bank Sentral dalam rangka pengelolaan Uang Negara.
- 9 -

(2) Semua penerimaan negara masuk ke Rekening Kas Umum


Negara dan semua pengeluaran negara keluar dari Rekening
Kas Umum Negara.
(3) Guna memperlancar pelaksanaan penerimaan dan
pengeluaran negara, Bendahara Umum Negara dapat
membuka subrekening Kas Umum Negara dan rekening
lainnya di Bank Sentral.
(4) Subrekening sebagaimana dimaksud pada ayat (3)
merupakan bagian dari Rekening Kas Umum Negara.
(5) Penarikan dana dari Rekening Kas Umum Negara,
subrekening Kas Umum Negara dan rekening lainnya di
Bank Sentral dilakukan atas perintah Menteri Keuangan
selaku Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara
Umum Negara pusat.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan dan
pengelolaan Rekening Kas Umum Negara, Subrekening Kas
Umum Negara dan rekening lainnya diatur dengan Peraturan
Menteri Keuangan.

Pasal 15
Bendahara Umum Negara berkoordinasi dengan Gubernur Bank
Sentral dapat membuka rekening yang memperoleh imbalan
bunga di Bank Sentral guna memungkinkan penempatan yang
menguntungkan atas kelebihan dana yang ada pada Rekening
Kas Umum Negara.

Paragraf 2 …
Paragraf 2
Rekening di Bank Umum

Pasal 16
(1) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara
dapat membuka rekening penerimaan di Bank Umum/badan
lainnya yang ditunjuk sebagai mitra Kuasa Bendahara
Umum Negara dalam rangka pelaksanaan penerimaan
negara.
(2) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dioperasikan
sebagai rekening bersaldo nihil yang seluruh penerimaannya
dilimpahkan ke Rekening Kas Umum Negara sekurang-
kurangnya sekali sehari pada akhir hari kerja sebagaimana
yang ditetapkan dalam perjanjian dengan Bank Umum
bersangkutan.
- 10 -

(3) Dalam hal kewajiban pelimpahan secara teknis belum dapat


dilakukan setiap hari, Bendahara Umum Negara mengatur
pelimpahan secara berkala.
(4) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara
pusat dapat membuka rekening pengeluaran di Bank
Umum/badan lainnya yang ditunjuk sebagai mitra Kuasa
Bendahara Umum Negara pusat dalam rangka pelaksanaan
pengeluaran.
(5) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dioperasikan
sebagai rekening yang menampung pagu dana untuk
membiayai kegiatan pemerintah sesuai rencana pengeluaran,
yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan Menteri
Keuangan.
(6) Bendahara Umum Negara dapat membuka rekening
pengeluaran di Bank Umum/badan lainnya yang ditunjuk
sebagai mitra Kuasa Bendahara Umum Negara di daerah
dalam rangka pelaksanaan pengeluaran di daerah.
(7) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (6) dioperasikan
sebagai rekening bersaldo nihil.
(8) Pemindahbukuan dana dari rekening penerimaan dan
rekening pengeluaran pada Bank Umum ke Rekening Kas
Umum Negara pada Bank Sentral dilakukan atas perintah
Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara atau
Kuasa Bendahara Umum Negara pusat.

(9) Ketentuan …
(9) Ketentuan lebih lanjut mengenai pembukaan dan
pengoperasian rekening penerimaan dan rekening
pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (4), ayat (5), ayat (6), dan ayat (7) diatur dengan
Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 17
(1) Bendahara Umum Negara berkoordinasi dengan Gubernur
Bank Sentral menetapkan kriteria dan persyaratan untuk
memilih Bank Umum yang dapat melayani penerimaan
dan/atau pengeluaran baik bagi pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah.
(2) Bendahara Umum Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara
pusat menunjuk Bank Umum yang memenuhi kriteria dan
persyaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk
melayani penerimaan dan/atau pengeluaran pemerintah
pusat.
- 11 -

(3) Penunjukan Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat


(2) dimuat dalam perjanjian antara Bendahara Umum
Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara pusat dengan Bank
Umum yang bersangkutan.
(4) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. jenis pelayanan yang diberikan;
b. mekanisme pengeluaran/penyaluran dana melalui Bank
Umum;
c. pelimpahan penerimaan dan saldo rekening pengeluaran
ke Rekening Kas Umum Negara;
d. pemberian bunga/jasa giro/bagi hasil atas saldo rekening;
e. pemberian imbalan atas jasa pelayanan;
f. kewajiban menyampaikan laporan;
g. sanksi berupa denda dan/atau pengenaan bunga yang
harus dibayar karena pelayanan yang tidak sesuai dengan
perjanjian; dan
h. tata cara penyelesaian perselisihan.

Bagian …

Bagian Kedua
Rekening Milik Bendahara Umum Daerah

Pasal 18
(1) Gubernur/bupati/walikota menunjuk Bank Umum sesuai
dengan kriteria dan persyaratan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 17 ayat (1) dan/atau Bank Sentral untuk
menyimpan Uang Daerah yang berasal dari penerimaan
daerah dan untuk membiayai pengeluaran daerah.
(2) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Daerah membuka rekening Kas Umum
Daerah pada Bank Sentral dan/atau Bank Umum yang
ditunjuk oleh gubernur/bupati/walikota sebagaimana
dimaksud pada ayat (1).
(3) Penunjukan Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) dimuat dalam perjanjian antara Bendahara Umum
Daerah dengan Bank Umum yang bersangkutan.
(4) Perjanjian sebagaimana dimaksud pada ayat (3) sekurang-
kurangnya mencakup:
a. jenis pelayanan yang diberikan;
- 12 -

b. mekanisme pengeluaran/penyaluran dana melalui bank;


c. pelimpahan penerimaan dan saldo rekening pengeluaran
ke Rekening Kas Umum Daerah;
d. pemberian bunga/jasa giro/bagi hasil atas saldo rekening;
e. pemberian imbalan atas jasa pelayanan;
f. kewajiban menyampaikan laporan;
g. sanksi berupa denda dan/atau pengenaan bunga yang
harus dibayar karena pelayanan yang tidak sesuai dengan
perjanjian; dan
h. tata cara penyelesaian perselisihan.
(5) Pembukaan rekening di Bank Sentral oleh
gubernur/bupati/walikota berdasarkan penunjukan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) berpedoman kepada
ketentuan yang diterbitkan oleh Bank Sentral.

Pasal 19
(1) Bendahara Umum Daerah/Kuasa Bendahara Umum Daerah
dapat membuka rekening penerimaan pada Bank Umum
yang ditunjuk oleh gubernur/bupati/walikota untuk
mendukung kelancaran pelaksanaan operasional penerimaan
daerah.
(2) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dioperasikan
(2) Rekening …
sebagai rekening bersaldo nihil yang seluruh penerimaannya
dilimpahkan ke Rekening Kas Umum Daerah sekurang-
kurangnya sekali sehari pada akhir hari kerja sebagaimana
yang ditetapkan dalam perjanjian dengan Bank Umum
bersangkutan.
(3) Dalam hal kewajiban pelimpahan sebagaimana dimaksud
pada ayat (2) secara teknis belum dapat dilakukan setiap
hari, gubernur/bupati/walikota mengatur pelimpahan secara
berkala.
(4) Bendahara Umum Daerah dapat membuka rekening
pengeluaran pada Bank Umum yang ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota untuk mendukung kelancaran
pelaksanaan operasional pengeluaran daerah.
(5) Rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dioperasikan
sebagai rekening yang menampung pagu dana untuk
membiayai kegiatan pemerintah daerah sesuai rencana
pengeluaran, yang besarnya ditetapkan dengan Peraturan
Kepala Daerah.
(6) Pemindahbukuan dana dari rekening penerimaan dan/atau
rekening pengeluaran pada Bank Umum ke Rekening Kas
Umum Daerah dilakukan atas perintah Bendahara Umum
Daerah.
- 13 -

(7) Ketentuan lebih lanjut tentang pembukaan dan


pengoperasian rekening penerimaan dan rekening
pengeluaran sebagaimana dimaksud pada ayat (1), ayat (2),
ayat (4), dan ayat (5) diatur dengan Peraturan Kepala
Daerah.

Bagian Ketiga
Rekening Milik Kementerian Negara/Lembaga

Pasal 20
(1) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran
dapat membuka rekening penerimaan dan rekening
pengeluaran dan/atau rekening lainnya pada Bank
Umum/badan lainnya setelah mendapat persetujuan tertulis
dari Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara
atau Kuasa Bendahara Umum Negara.

(2) Untuk …
(2) Untuk kepentingan tertentu menteri/pimpinan lembaga
selaku Pengguna Anggaran dapat membuka rekening di
Bank Sentral setelah mendapat persetujuan dari Menteri
Keuangan selaku Bendahara Umum Negara.
(3) Menteri/Pimpinan Lembaga selaku Pengguna Anggaran wajib
melampirkan izin tertulis dari Bendahara Umum
Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara dalam rangka
pembukaan rekening untuk kepentingan kementerian
negara/lembaga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2).
(4) Rekening penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dioperasikan sebagai rekening bersaldo nihil yang seluruh
penerimaannya dilimpahkan ke Rekening Kas Umum Negara
sekurang-kurangnya sekali sehari pada akhir hari kerja
sesuai perjanjian dengan Bank Umum bersangkutan.
(5) Kementerian negara/lembaga, Bank Sentral/Bank
Umum/badan lainnya wajib menyampaikan informasi
mengenai rekening sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) atas permintaan tertulis Bendahara Umum
Negara/Kuasa Bendahara Umum Negara.
(6) Ketentuan lebih lanjut mengenai tata cara pembukaan,
pengoperasian, dan penutupan rekening sebagaimana
dimaksud pada ayat (1), ayat (2), ayat (3), dan ayat (4) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.
- 14 -

BAB V
PENUNJUKAN BADAN LAIN

Pasal 21
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara dapat
menunjuk badan lain untuk melaksanakan penerimaan
dan/atau pengeluaran negara untuk mendukung kegiatan
operasional kementerian negara/lembaga.
(2) Penunjukan badan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dituangkan dalam suatu kontrak kerja.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (2) diatur dengan Peraturan Menteri
Keuangan.

Pasal 22 …
Pasal 22
(1) Gubernur/bupati/walikota dapat menunjuk badan lain yang
sudah ditunjuk oleh Menteri Keuangan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 21 ayat (1) untuk melaksanakan
penerimaan dan/atau pengeluaran daerah dalam rangka
mendukung kegiatan operasional satuan kerja perangkat
daerah.
(2) Gubernur/bupati/walikota dapat menunjuk badan lain
selain yang dimaksud pada ayat (1) dengan persetujuan
Menteri Keuangan.
(3) Penunjukan badan lain sebagaimana dimaksud pada ayat (1)
dan ayat (2) dituangkan dalam kontrak kerja.
(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai kontrak kerja sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) diatur dengan Peraturan Kepala
Daerah.

BAB VI
BUNGA DAN/ATAU JASA GIRO
SERTA BIAYA PELAYANAN

Pasal 23
Menteri Keuangan berkoordinasi dengan Gubernur Bank Sentral
untuk:
a. merumuskan usulan kebijakan jangka menengah tentang
penggantian secara bertahap Sertifikat Bank Indonesia (SBI)
- 15 -

dengan Surat Utang Negara (SUN) sebagai instrumen


moneter yang diamanatkan dalam Pasal 71 Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara;
b. menyusun rekomendasi tentang satuan biaya yang harus
dibayar kepada Bank Sentral sebagai imbalan atas
pelayanan yang diberikan kepada Bendahara Umum Negara;
dan
c. menyusun usulan kebijakan tentang satuan biaya yang
harus dibayar kepada Bank Umum sebagai imbalan atas
pelayanan yang diberikan kepada Bendahara Umum Negara.

Pasal 24
(1) Pemerintah Pusat/Daerah memperoleh bunga dan/atau jasa
giro atas dana yang disimpan pada Bank Sentral.

(2) Jenis …
(2) Jenis dana, tingkat bunga dan/atau jasa giro sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) serta biaya sehubungan dengan
pelayanan yang diberikan oleh Bank Sentral ditetapkan
berdasarkan kesepakatan Gubernur Bank Sentral dengan
Menteri Keuangan.
(3) Bunga/jasa giro yang diterima pemerintah disetor ke Kas
Negara/Daerah.

Pasal 25

Terhadap Uang Negara/Daerah yang berada di Bank


Umum/badan lain, Bendahara Umum Negara/Daerah berhak
memperoleh bunga, jasa giro/bagi hasil pada tingkat bunga yang
berlaku umum untuk keuntungan Kas Negara/Daerah.

BAB VII

PENERIMAAN NEGARA/DAERAH
Bagian Kesatu
Penerimaan Kementerian Negara/Lembaga

Pasal 26
(1) Pada setiap awal tahun anggaran, menteri/pimpinan
lembaga selaku Pengguna Anggaran mengangkat Bendahara
Penerimaan untuk melaksanakan tugas kebendaharaan
- 16 -

dalam rangka pelaksanaan anggaran pendapatan pada


kantor satuan kerja di lingkungan kementerian
negara/lembaga bersangkutan.
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) menteri/pimpinan lembaga atau Kuasa Pengguna
Anggaran/Pejabat lain yang ditunjuk dapat membuka
rekening penerimaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
ayat (1).
(3) Penerimaan Negara yang ditampung pada rekening
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap hari disetor
seluruhnya ke Rekening Kas Umum Negara.

Bagian …
Bagian Kedua
Penerimaan Pemerintah Daerah

Pasal 27
(1) Pada setiap awal tahun anggaran gubernur/bupati/walikota
mengangkat Bendahara Penerimaan untuk melaksanakan
tugas kebendaharaan dalam rangka pelaksanaan anggaran
pendapatan pada kantor satuan kerja di lingkungan
pemerintah daerah.
(2) Untuk melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud pada
ayat (1) gubernur/bupati/walikota memberi izin kepada
kepala satuan kerja perangkat daerah di lingkungan
pemerintah daerahnya untuk membuka rekening
penerimaan pada Bank Umum yang ditetapkan oleh
gubernur/bupati/walikota.
(3) Semua pendapatan asli daerah yang ditampung di rekening
penerimaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) setiap hari
disetor seluruhnya ke Rekening Kas Umum Daerah.

BAB VIII

UANG PERSEDIAAN KEMENTERIAN


NEGARA/LEMBAGA/SATUAN KERJA/
SATUAN KERJA PERANGKAT DAERAH

Bagian Kesatu
Uang Persediaan Kementerian Negara/Lembaga

Pasal 28
- 17 -

(1) Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran, kementerian


negara/lembaga dapat diberikan Uang Persediaan sebagai
uang muka kerja untuk membiayai kegiatan operasional
sehari-hari.
(2) Menteri/Pimpinan Lembaga dapat membuka rekening
pengeluaran sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (1)
pada Bank Umum untuk menampung Uang Persediaan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1).
(3) Pada setiap awal tahun anggaran, menteri/pimpinan
lembaga mengangkat Bendahara Pengeluaran pada satuan
kerja kementerian negara/lembaga untuk mengelola Uang
Persediaan yang harus dipertanggungjawabkan.

(4) Dalam …
(4) Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Negara
dapat memerintahkan pemindahbukuan dan/atau
penutupan rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

Pasal 29
(1) Uang Persediaan hanya digunakan untuk jenis pengeluaran
yang tidak dapat dilakukan langsung oleh Pengguna
Anggaran/Kuasa Pengguna Anggaran kepada pihak yang
menyediakan barang dan/atau jasa.
(2) Penggunaan Uang Persediaan yang menyimpang dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pelanggaran dan dapat dikenakan sanksi berupa pencabutan
fasilitas pemberian Uang Persediaan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta penetapan
besaran, tata cara penggunaan, pembukaan dan penutupan
rekening, pembukuan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
Uang Persediaan diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Bagian Kedua
Uang Persediaan Satuan Kerja Perangkat Daerah

Pasal 30
(1) Dalam rangka pelaksanaan pengeluaran, satuan kerja
perangkat daerah dapat diberikan Uang Persediaan sebagai
uang muka kerja untuk membiayai kegiatan operasional
sehari-hari.
(2) Gubernur/bupati/walikota dapat memberikan izin
pembukaan rekening pengeluaran pada Bank Umum untuk
- 18 -

menampung Uang Persediaan sebagaimana dimaksud pada


ayat (1) kepada satuan kerja perangkat daerah.
(3) Pada setiap awal tahun anggaran gubernur/bupati/walikota
mengangkat Bendahara Pengeluaran pada satuan kerja
perangkat daerah untuk mengelola Uang Persediaan yang
harus dipertanggungjawabkan.
(4) Dalam rangka pengelolaan kas, Bendahara Umum Daerah
dapat memerintahkan pemindahbukuan dan/atau
penutupan rekening pengeluaran sebagaimana dimaksud
pada ayat (2).

Pasal 31 …

Pasal 31
(1) Uang Persediaan hanya digunakan untuk jenis pengeluaran
yang tidak dapat dilakukan langsung oleh kepala satuan
kerja perangkat daerah kepada pihak yang menyediakan
barang dan/atau jasa.
(2) Penggunaan Uang Persediaan yang menyimpang dari
ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan
pelanggaran dan dapat dikenakan sanksi.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai pengenaan sanksi
sebagaimana dimaksud pada ayat (2) serta penetapan
besaran, tata cara penggunaan, pembukaan dan penutupan
rekening, pembukuan, pelaporan, dan pertanggungjawaban
Uang Persediaan diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

BAB IX
PERENCANAAN KAS PEMERINTAH
PUSAT/DAERAH
Bagian Kesatu
Perencanaan Kas Pemerintah Pusat

Pasal 32
(1) Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara atau
Kuasa Bendahara Umum Negara pusat bertanggung jawab
untuk membuat perencanaan kas dan menetapkan saldo kas
minimal.
(2) Berdasarkan perencanaan arus kas dan saldo kas minimal,
Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara Umum
Negara pusat menentukan strategi manajemen kas untuk
- 19 -

mengatasi kekurangan kas maupun untuk menggunakan


kelebihan kas.
(3) Strategi manajemen kas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang dilaksanakan oleh Bendahara Umum Negara atau
Kuasa Bendahara Umum Negara pusat dapat memastikan:
a. negara selalu memiliki akses yang cukup untuk
memperoleh persediaan kas guna memenuhi pembayaran
kewajiban negara; dan/atau
b. saldo kas di atas saldo kas minimal diarahkan untuk
mendapatkan manfaat yang optimal.

(4) Dalam …
(4) Dalam rangka penyusunan perencanaan kas, kementerian
negara/lembaga dan pihak-pihak lain yang terkait dengan
penerimaan dan pengeluaran APBN wajib menyampaikan
proyeksi penerimaan dan pengeluaran secara periodik
kepada Bendahara Umum Negara atau Kuasa Bendahara
Umum Negara.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup, periode, dan
bentuk proyeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Bagian Kedua
Perencanaan Kas Pemerintah Daerah

Pasal 33
(1) Kepala Satuan Kerja Pengelola Keuangan Daerah selaku
Bendahara Umum Daerah bertanggung jawab untuk
membuat perencanaan kas dan menetapkan saldo kas
minimal.
(2) Berdasarkan perencanaan arus kas dan saldo kas minimal
sebagaimana dimaksud pada ayat (1), Bendahara Umum
Daerah menentukan strategi manajemen kas untuk
mengatasi kekurangan kas maupun untuk menggunakan
kelebihan kas.
(3) Strategi manajemen kas sebagaimana dimaksud pada ayat
(2) yang dilaksanakan oleh Bendahara Umum Daerah harus
dapat memastikan:
a. pemerintah daerah selalu memiliki akses yang cukup
untuk memperoleh persediaan kas guna memenuhi
pembayaran kewajiban daerah; dan/atau
b. saldo kas di atas saldo kas minimal diarahkan untuk
mendapatkan manfaat yang optimal.
(4) Dalam rangka penyusunan perencanaan kas, satuan kerja
perangkat daerah wajib menyampaikan proyeksi penerimaan
- 20 -

dan pengeluaran secara periodik kepada Bendahara Umum


Daerah.
(5) Ketentuan lebih lanjut mengenai ruang lingkup, periode, dan
bentuk proyeksi sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diatur
dalam peraturan kepala daerah mengenai sistem dan
prosedur pengelolaan keuangan daerah.

BAB X …

BAB X
PENGELOLAAN KEKURANGAN/KELEBIHAN KAS
Bagian Kesatu
Pengelolaan Kekurangan Kas

Pasal 34

Dalam hal terjadi kekurangan kas, Bendahara Umum Negara


dapat melakukan pinjaman baik dari dalam maupun luar negeri
dan/atau menjual atau menerbitkan Surat Utang Negara,
dan/atau menjual surat berharga lainnya sesuai dengan
ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Pasal 35
Dalam hal terjadi kekurangan kas, Bendahara Umum Daerah
dapat melakukan pinjaman dari dalam negeri dan/atau menjual
Surat Utang Negara dan/atau surat berharga lainnya sesuai
dengan ketentuan Peraturan Perundang-undangan.

Bagian Kedua
Pengelolaan Kelebihan Kas

Pasal 36
(1) Dalam hal terjadi kelebihan kas, Bendahara Umum Negara
setelah berkoordinasi dengan Gubernur Bank Sentral dapat
menempatkan Uang Negara pada rekening di Bank
Sentral/Bank Umum yang menghasilkan bunga/jasa giro
dengan tingkat bunga yang berlaku.
(2) Penempatan Uang Negara pada Bank Umum dilakukan
dengan memastikan bahwa Bendahara Umum Negara dapat
menarik uang tersebut sebagian atau seluruhnya ke
Rekening Kas Umum Negara pada saat diperlukan.
(3) Kelebihan kas dapat digunakan untuk pembelian kembali
Surat Utang Negara.
- 21 -

(4) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Uang Negara


pada Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan
tata cara pembelian/penjualan kembali Surat Utang Negara
dalam rangka pengelolaan kas sebagaimana dimaksud pada
ayat (3) diatur dengan Peraturan Menteri Keuangan.

Pasal 37 …

Pasal 37
(1) Dalam hal terjadi kelebihan kas, Bendahara Umum Daerah
dapat menempatkan Uang Daerah pada rekening di Bank
Sentral/Bank Umum yang menghasilkan bunga/jasa giro
dengan tingkat bunga yang berlaku.
(2) Penempatan Uang Daerah pada Bank Umum dilakukan
dengan memastikan bahwa Bendahara Umum Daerah dapat
menarik uang tersebut sebagian atau seluruhnya ke
Rekening Kas Umum Daerah pada saat diperlukan.
(3) Ketentuan lebih lanjut mengenai penempatan Uang Daerah
pada Bank Umum sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan
ayat (2) diatur dengan Peraturan Kepala Daerah.

BAB XI
PERTANGGUNGJAWABAN, AKUNTANSI DAN
PELAPORAN UANG NEGARA/DAERAH

Pasal 38
(1) Bendahara Umum Negara/Daerah, menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala kantor atau
Satuan Kerja di pusat maupun di daerah bertanggung jawab
atas pengelolaan uang yang menjadi tanggung jawabnya.
(2) Bendahara Umum Negara/Daerah, kementerian
negara/lembaga/pemerintah daerah dan semua unit kerja
yang berada di bawahnya, yang menguasai Uang
Negara/Daerah, melakukan akuntansi atas pengelolaan
Uang Negara/Daerah berdasarkan Standar Akuntansi
Pemerintahan.
(3) Pelaporan pengelolaan Uang Negara dalam rangka
pertanggungjawaban Pemerintah Pusat dalam bentuk laporan
keuangan pemerintah pusat dilakukan secara periodik dan
berjenjang.
(4) Pelaporan pengelolaan Uang Daerah dalam rangka
pertanggungjawaban Pemerintah Daerah dalam bentuk
- 22 -

laporan keuangan pemerintah daerah dilakukan secara


periodik.

BAB XII …

BAB XII
PENGAWASAN PENGELOLAAN UANG
NEGARA/DAERAH

Pasal 39

(1) Pengendalian internal terhadap pengelolaan Uang


Negara/Daerah dilakukan oleh menteri/pimpinan
lembaga/gubernur/bupati/walikota/kepala kantor/satuan
kerja.
(2) Pengawasan fungsional terhadap pengelolaan Uang
Negara/Daerah dilakukan oleh aparat pengawasan
fungsional pusat/daerah dan oleh Badan Pemeriksa
Keuangan.

BAB XIII
KETENTUAN PERALIHAN

Pasal 40
Pada saat Peraturan Pemerintah ini berlaku, rekening-rekening
yang dimiliki oleh menteri/pimpinan lembaga sebelum
berlakunya Peraturan Pemerintah ini wajib ditutup dan dananya
dipindahkan ke rekening baru yang dibuka dengan persetujuan
Menteri Keuangan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20
paling lambat 3 (tiga) bulan terhitung sejak berlakunya
Peraturan Pemerintah ini.

BAB XIV
SANKSI

Pasal 41

Pelanggaran terhadap ketentuan dalam Peraturan Pemerintah


ini dapat dikenakan hukuman administratif, denda dan/atau
tuntutan pidana sesuai ketentuan yang berlaku.

BAB XV
- 23 -

PENUTUP

Pasal 42
Peraturan Pemerintah ini mulai berlaku pada tanggal
diundangkan.
Agar …
Agar setiap orang mengetahuinya, memerintahkan pengundangan
Peraturan Pemerintah ini dengan penempatannya dalam
Lembaran Negara Republik Indonesia.

Ditetapkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2007

PRESIDEN REPUBLIK INDONESIA,

DR. H. SUSILO BAMBANG YUDHOYONO

Diundangkan di Jakarta
pada tanggal 16 Juli 2007

MENTERI HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA


REPUBLIK INDONESIA,

ANDI MATTALATTA

LEMBARAN NEGARA REPUBLIK INDONESIA TAHUN 2007 NOMOR 83

Anda mungkin juga menyukai