Anda di halaman 1dari 15

ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002

TENTANG KOMISI PEMBERANTASAN


TINDAK PIDANA KORUPSI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah : Politik Hukum


Dosen Pengampu : Dr. H. Bambang Ali Kusumo, SH., M.Hum

Oleh :

PIPIN SETYO UTOMO


NPM. 21111026

PROGRAM PASCASARJANA

UNIVERSITAS SLAMET RIYADI

SURAKARTA

2021
ANALISIS UNDANG-UNDANG NOMOR 30 TAHUN 2002 TENTANG
KOMISI PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA KORUPSI

I. PENDAHULUAN
Dalam rangka memberantas korupsi, dunia internasional telah menandatangani
deklarasi pemberantasan korupsi di Lima, Peru pada tanggal 7-11 September 1997
dalam konferensi anti korupsi yang dihadiri oleh 93 negara. Deklarasi yang
kemudian dikenal dengan Declaration Of 8th International Conference Against
Corruption diyakini bahwa korupsi mengerosi tatanan moral masyarakat,
mengingkari hak-hak sosial dan ekonomi dari kalangan kurang mampu dan lemah.
Demikian pula korupsi dianggap menggerogoti demokrasi, merusak aturan
hukum yang merupakan dasar dari setiap masyarakat, memundurkan pembangunan,
dan menjauhkan masyarakat dari manfaat persaingan bebas dan terbuka, khususnya
bagi kalangan kurang mampu. Konferensi tersebut juga mempercayai bahwa
memerangi korupsi adalah urusan setiap orang dari setiap masyarakat. Memerangi
korupsi mencakup pula mempertahankan dan memperkuat nilai-nilai etika dalam
semua masyarakat. Karena itu sangat penting untuk menumbuhkan kerjasama
diantara pemerintah, masyarakat sipil, dan pihak usaha swasta.
Perkembangan berikutnya, melalui Ad Hoc Committee For The Negotiation Of
The United Nations Conventions Against Corruption sejak tanggal 1 Oktober 2003,
lebih kurang 107 negara telah menyetujui korupsi sebagai transnational Crime.
Indonesia termasuk salah satu negara yang telah menyetujui Convention Against
Corruption yang diselenggarakan di Wina tersebut. Pemberantasan korupsi yang
sudah akut, dirasakan tidak cukup hanya dengan perluasan perbuatan yang
dirumuskan sebagai korupsi serta cara-cara yang konvensional. Diperlukan metode
dan cara tertentu agar mampu membendung meluasnya korupsi. Salah satu cara ialah
dengan menetapkan kejahatan korupsi sebagai kejahatan luar biasa, sehingga
pemberantasannya tidak lagi dapat dilakukan secara biasa, tetapi dituntut cara-cara
yang luar biasa.
Dalam rangka pemberantasan tersebut yang tentunya memerlukan metode
penegakan hukum secara luar biasa pula, sinyalemen Pasal 43 Undang-Undang
Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana

1
telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 telah mengamanatkan
pembentukan Badan khusus yang kemudian beken dengan nama Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK bersifat independen dan bebas dari kekuasaan
manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya
dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan.
Sejak terbentuknya, KPK telah memperlihatkan sepak terjangnya dalam
membongkar sindikat korupsi di Indonesia. Namun saat ini, eksistensi KPK sedang
digugat, menyusul Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 30
Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

II. PERUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka yang menjadi pokok
permasalahan adalah: Pasal-pasal apa saja dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun
2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang dianggap
bertentangan dengan UUD 1945?

III. PEMBAHASAN
Pasal-pasal Undang-Undang KPK yang Dimohonkan Untuk Uji Materiil dan
Alasan Pemohon
Secara garis besar ada 7 pasal dalam undang-undang KPK yang dimohonkan
kepada Mahkamah Konstitusi untuk uji materiil terhadap UUD 1945. Pertama,
keberadaan pengadilan Tipikor. Pasal 1 Angka 3 dikaitkan dengan Pasal 53 undang-
undang KPK Melanggar Prinsip Kemandirian dan Kemerdekaan Kekuasaan
Kehakiman serta menimbulkan Ketidakpastian Hukum dan Ketidakadilan, sehingga
bertentangan dengan Pasal 24 (1) dan (2) dan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945.
Adapun alasan pemohon adalah bahwa Pasal 1 angka 3 undang-undang KPK telah
menempatkan pengadilan Tipikor sebagai bagian dari fungsi pemberantasan tindak
pidana korupsi dan apabila dikaitkan dengan Pasal 53 serta konsideran bagian
“Menimbang” huruf b undang-undang KPK menunjukkan bahwa pengadilan tipikor
tidak berada dalam bagian kekuasaan kehakiman (kekuasaan yudikatif), dan

2
Pengadilan Tipikor justru lebih erat dan / atau merupakan bagian dari kekuasaan
pemerintahan negara (kekuasaan eksekutif).
Kedua, keberadaan KPK. Pasal 2 undang-undang KPK jo. Pasal 3 jo. Pasal 20
undang-undang KPK melanggar prinsip dan konsep negara, sehingga bertentangan
dengan Pasal 1 Ayat (3) UUD 1945. Adapun alasan pemohon bahwa keseluruhan
ketentuan baik dalam Pembukaan UUD 1945 maupun dalam Pasal 1 UUD 1945
bermakna bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum dan UUD 1945
menetapkan 8 (delapan) organ negara yang mempunyai kedudukan yang sama atau
sederajat, yang secara langsung menerima konstitusional dari UUD 1945, yaitu MPR,
Presiden, DPR, DPD, BPK, MA, MK, dan KY.
Kewenangan organ negara yang berdasarkan perintah Undangundang
seharusnya didasarkan dalam kerangka sistem ketatanegaraan yang diatur dalam
UUD 1945 guna menghindarkan kekacauan sistem ketatanegaraan, menjamin
tegaknya keadilan dan demokrasi, serta menghindari terjadinya penyalahgunaaan
kekuasaaan (abuse of power). Kenyataannya dalam undang-undang KPK, telah
menjadikan KPK sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang berada di luar
kerangka sistem ketatanegaraan, tidak memiliki sistem pengawasan dan sistem
pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan peran dan
fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden. Dengan demikian
sebagai organ kenegaraan baru yang mengambil alih kewenangan lembaga lain yang
diperoleh dari UUD 1945, yang sebetulnya telah terbagi dalam beberapa kekuasaan,
maka dapat dimaknai bahwa KPK merupakan atau dapat disebut sebagai lembaga
ekstra konstitusional.
Ketiga, Pasal 6 huruf c undang-undang KPK bertentangan dengan pasal 28 D
ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan pemohon adalah bahwa wujud
dari adanya kepastian hukum dalam suatu negara adalah adanya ketegasan tentang
berlakunya suatu aturan hukum (lex certa) yang mengharuskan suatu aturan hukum
berlaku mengikat secara tegas karena tidak ada keragu-raguan dalam
pemberlakuannya. Dengan pemberlakuan pasal 6 huruf c undang-undang KPK
sesungguhnya mengandung materi muatan penyatuan fungsi-fungsi penegakan
hukum, sehingga terdapat pertentangan antara dua atau lebih ketentuan dalam UU

3
yang berbeda namun berlaku mengikat pada saat yang sama dan mengatur materi
muatan yang sama pula tentang tugas yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum.
Penegasan tugas dan wewenang Kepolisian maupun Kejaksaan dalam upaya
penegakan hukum di bidang korupsi diatur dalam pasal 13 dan 14 Ayat (1) huruf g
undang-undang kepolisian negara mengatur tugas dan wewenang Kepolisian dalam
hal penyelidikan dan penyidikan perkara pidana termasuk perkara tindak pidana
korupsi tetap menghormati prinsip pengawasan keseimbangan (check and balances)
dengan Kejaksaan dan Penyidik lain berdasarkan Undang-undang. Dalam teori
hukum acara pidana prinsip ini dikenal sebagai sistem peradilan pidana terpadu
(integrated criminal justice system) dan telah berjalan selama ini sebelum
pemberlakuan pasal 6 huruf c undang-undang KPK.
Demikian pula penegasan tugas dan wewenang Kejaksaan RI dalam hal
penyidikan dan penuntutan diatur dalam pasal 30 ayat (1) huruf a dan huruf d
undang-undang kejaksaan dalam melakukan penyidikan dan penuntutan terhadap
tindak pidana korupsi. Dengan berlakunya pasal 6 huruf c undang-undang KPK,
dalam hal penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi terdapat dua aturan yang
sama-sama berlaku. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip lex certa. Bahwa
dengan adanya keraguraguan dalam pemberlakuan dua atau lebih undang-undang,
tentu telah berpotensi terhadap tidak adanya kepastian hukum. Padahal kepastian
hukum merupakan hak konstitusional pemohon yang dijamin berdasarkan pasal 28 D
ayat (1) UUD 1945. Sehingga dengan demikian, pasal 6 huruf c undang-undang KPK
bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945.
Keempat, Mendapatkan Perhatian Masyarakat. Pasal 11 huruf b undang-undang
KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga bertentangan
dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan pemohon adalah bahwa Pasal
11 huruf b undang-undang KPK yang menyatakan pada pokoknya bahwa KPK
berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana
korupsi yang mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, jadi sangat sumir
jika sesuatu yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta merta dijadikan bahan
penyelidikan, penyidikan dan penuntutan oleh KPK. Bahwa KPK sengaja
membocorkan informasi kepada wartawan / pers secara tendensius mengenai segala
hal atas diri Pemohon yang dipersangkakan atau diselidiki oleh KPK. Bahkan secara

4
sistematik KPK telah melakukan pembentukan opini di masyarakat luas berdasarkan
informasi dan bukti yang sangat sumir dan lemah.
Kelima, Penyadapan dan Perekaman. Pasal 12 Ayat (1) huruf a undang-undang
KPK melanggar Hak Warga Negara atas rasa aman dan jaminan perlindungan dan
kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G
Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan pemohon adalah bahwa keberadaan KPK yang
diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan sangat jelas melanggar hak warga
negara dari rasa aman untuk berkomunikasi, selain itu proses penyadapan yang tanpa
ada aturan tersebut, jelas-jelas melanggar prinsip praduga tidak bersalah
(presumption of innocence) yang merupakan prinsip utama dalam penegakan hukum.
Hal tersebut telah menimbulkan kekhawatiran dan bahkan ketakutan serta perasaan
tidak aman pada diri Pemohon.
Keenam, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence). Pasal 40
undang-undang KPK melanggar prinsip persamaan di muka hukum dan kepastian
hukum, serta bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan dengan Pasal 1 Ayat (3),
Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat (2) UUD 1945. Adapun
alasan pemohon bahwa berdasarkan Pasal 40 undang-undang KPK yang menyatakan
KPK tidak berwenang untuk mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan
dan penuntutan membawa konsekuensi seseorang yang disidik atau diperiksa sebagai
Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi Terdakwa.
Hal ini berbeda bagi tersangka perkara tindak pidana korupsi yang penanganan
perkaranya diajukan oleh Kepolisian atau Kejaksaan. Sehingga, ketentuan ini jelas-
jelas telah mencabut dan melanggar hak-hak asasi warga negara atas kedudukan dan
perlakuan yang sama di hadapan hukum sebagaimana diberikan dan dijamin oleh
konstitusi, yaitu dalam Pasal 27 ayat (1) serta Pasal 28D ayat (1) UUD 1945. Secara
faktual proses penegakan hukum terhadap seorang Warga Negara Indonesia, dapat
dilakukan oleh tiga lembaga, yaitu: Kepolisian, Kejaksaan dan KPK. Namun
demikian mengenai ketentuan hukum acaranya berbeda-beda, yaitu untuk Kepolisian
dan Kejaksaan menggunakan hukum acara sebagaimana diatur dalam KUHAP dan
undang-undang korupsi, sedangkan untuk KPK, disamping menggunakan hukum
acara sebagaimana diatur dalam KUHAP dan undang-undang korupsi, juga
menggunakan undang-undang KPK sebagai ketentuan khusus (lex specialis)

5
sebagaimana disebutkan dalam Bagian Penjelasan Umum undang-undang KPK.
Sehingga, ketentuan ini jelas sangat diskriminatif.
Ketujuh atau yang terakhir adalah Pasal 72 undang-undang KPK bertentangan
dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan pemohon
keberadaan pasal 72 undang-undang KPK yang menyangkut tentang
pemberlakuannya, tampak jelas bahwa undang-undang KPK berlaku sejak tanggal
diundangkan yakni terhitung sejak tanggal 27 Desember 2002. Adanya penafsiran di
kalangan ahli dalam perkara No. 069/PUU-II/2004 tentang apakah undang-undang a
quo berlaku ke depan (prospective) atau sebaliknya dapat diberlakukan surut
(retroaktif), telah menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dalam
pemberlakuannya.

Tanggapan Terhadap Susbtansi Permohonan Pengujian Undang-Undang KPK


Adapun tanggapan penulis terhadap dasar permohonan pengujian undang-
undang KPK adalah sebagai berikut: Pertama, mengenai keberadaan Pengadilan
Tipikor. TIDAK BENAR argumentasi pemohon yang menyatakan Pengadilan
Tipikor merupakan bagian dari kekuasaan eksekutif dengan merujuk Pasal 53
undang-undang KPK. Pengadilan Tipikor tetap merupakan bagian kekuasaan
yudikatif yang mempunyai dasar cantolan yang jelas.
Dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 menyatakan bahwa : ”Kekuasaan
kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang
berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, .......”. Sementara dalam
Pasal 10 ayat (2) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan
Kehakiman menyebutkan, ” Badan Peradilan yang berada di bawah Mahkamah
Agung meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, ......”.
Sedangkan Pasal 15 ayat (1) nya menyatakan, ”Pengadilan khusus hanya dapat
dibentuk dalam salah satu lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 10 yang diatur dalam undang-undang”. Secara eksplisit penjelasan Pasal 15
ayat (1) menyatakan, ”Yang dimaksud dengan ”Pengadilan Khusus dalam ketentuan
ini, antara lain adalah pengadilan anak, pengadilan niaga, pengadilan hak asasi
manusia, pengadilan tindak pidana korupsi, pengadilan hubungan industrial yang
berada di lingkungan peradilan umum, ......”.

6
Kedua, perihal keberadaan KPK yang menurut pendapat para pemohon bukan
merupakan organ yang disebut dalam UUD 1945. Masih menurut para pemohon,
KPK sebagai lembaga yang mempunyai kekuasaan yang berada di luar kerangka
sistem ketatanegaraan, tidak memiliki sistem pengawasan dan sistem
pertanggungjawaban yang accountable, dan melakukan pemangkasan peran dan
fungsi kepolisian dan kejaksaan yang berada dibawah Presiden. Pendapat penulis,
argumen para pemohon TERLALU MENGADA-ADA . Bukankah, institusi kejasaan
yang nota bene adalah aparat penegak hukum juga tidak disebut dalam UUD 1945
sehingga eksistensinya perlu dipertanyakan ?
Berdasarkan Pasal 15 undang-undang KPK dan juga dalam penjelasan umum,
KPK berkewajiban menyusun laporan tahunan sebagai pertanggungjawaban yang
disampaikan kepada Presiden, DPR dan BPK. Bukankah hal ini merupakan salah
satu bentuk akuntabilitas ? Selain itu dalam hubungan kemitraannya dengan aparat
penegak hukum yang lain (baca : polisi dan jaksa), KPK dapat senantiasa diawasi
dalam pelaksanaan tugasnya. Hal ini terbukti dengan kasus yang sudah diputus
pengadilan mengenai pegawai KPK yang mencoba memeras tersangka kasus korpusi
yang kemudian dipidana dengan menggunakan Pasal 67 undang-undang KPK.
Ketiga, mengenai penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
yang berada dalam satu tangan, yakni KPK. Menurut para pemohon Pasal 6 huruf c
undang-undang KPK bertentangan dengan pasal 28 D ayat (1) UUD 1945. Adapun
alasan pemohon bahwa pemberlakuan pasal tersebut sesungguhnya mengandung
materi muatan penyatuan fungsi-fungsi penegakan hukum, sehingga terdapat
pertentangan antara dua atau lebih ketentuan dalam undang-undang yang berbeda
namun berlaku mengikat pada saat yang sama dan mengatur materi muatan yang
sama pula tentang tugas yang dimiliki oleh lembaga penegak hukum, khususnya
polisi dan jaksa. Hal ini jelas bertentangan dengan prinsip lex certa.
Tanggapan penulis, penyatuan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan
pada KPK dalam perkara korupsi, TIDAK ADA KAITANNYA dengan Pasal 28 D
ayat (1) UUD 1945. Penyatuan ketiga fungsi tersebut pada KPK lebih pada faktor
efisiensi dan efektifitas dalam penanganan kasus korupsi. Sebab dalam konteks
hukum acara, meskipun dikenal intergrated criminal justice system dari para aparat
penegak hukum yang terlibat didalamnya, namun pada kenyataannya antara satu

7
institusi dengan institusi yang lain saling berkompetisi, bekerja dalam sistem yang
tertutup dan kurang koordinasi.
Mengenai hal ini secara tegas dinyatakan oleh Feeney, “Despite the fact that no
one denies that the stages and processes of criminal justice are interconnected, many
commentators argue that the process can not be viewed as a system because it is
dysfunctional because it is made up of different agencies all of which have different
and sometimes competing objectives and exercise wide and unaccountable
discretionary powers. The agencies work in isolation and there is a lack of
communication and cooperation both between stages and agencies. As a result, the
criminal justice process is ill coordinated.”
Bila kita menggunakan metode perbandingan, fungsi penyelidikan, penyidikan
dan penuntutan di negeri Belanda berada dalam satu kekuasaan. Meskipun polisi
merupakan institusi tersendiri, tetapi dalam hal strafrechtelijke handhaving van de
rechtsorde di Belanda, polisi berada di bawah kekuasaan jaksa. Artinya, dalam
menjalankan fungsi penyelidikan, penyidikan dan penuntutan berada dalam
kekuasaan officier van justitie, polisi hanyalah hulp magistraat atau pembantu dari
jaksa.
Terhadap asas lex certa, dalam konteks hukum pidana materiil, tidak boleh ada
perumusan delik yang kurang jelas. Artinya, ketentuan pidana yang tidak jelas atau
terlalu rumit hanya akan memunculkan ketidakpastian hukum dan menghalangi
keberhasilan upaya penuntutan. Dalam konteks hukum pidana formal, ketentuan
beracara haruslah pula dirumuskan secara tegas sehingga tidak dapat
diinterpretasikan lain dari apa yang tertulis. Ketentuan Pasal 6 C sama sekali tidak
bertentangan dengan asas lex certa, namun merupakan lex specialis dari ketentuan
KUHAP, ketentuan dalam undang-undang kepolisian dan ketentuan dalam undang-
undang kejaksaan selama kasus korupsi tersebut memenuhi kriteria Pasal 11 undang-
undang KPK.
Keempat, Mendapatkan Perhatian Masyarakat. Menurut para pemohon Pasal 11
huruf b UU KPK menimbulkan ketidakpastian hukum dan ketidakadilan, sehingga
bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) UUD 1945. Alasannya KPK berwenang
melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang
mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, jadi sangat sumir jika sesuatu

8
yang tidak ada tolok ukurnya kemudian serta merta dijadikan bahan penyelidikan,
penyidikan dan penuntutan oleh KPK.
Tanggapan penulis terhadap hal ini adalah bahwa ketentuan dalam Pasal 11 UU
KPK tidaklah dapat dipisahkan dengan ajaran sifat melawan hukum yang terkandung
dalam undang-undang korupsi. Seperti yang kita ketahui bahwa berdasarkan
penjelasan Pasal 2 Ayat (1) undang-undang korupsi yang dimaksud dengan melawan
hukum tidak hanya dalam artian formil semata tetapi juga dalam arti materiil.
Artinya, meskipun perbuatan tersebut tidak diatur dalam peraturan perundang-
undangan, namun apabila perbuatan tersebut dianggap tercela karena tidak sesuai
dengan rasa keadilan atau norma-norma kehidupan sosial dalam masyarakat, maka
perbuatan tersebut dapat dipidana.
Ajaran sifat melawan hukum materiil ini sebenarnya berasal dari Jerman
dengan salah satu ilmuannya adalah Von Liszt. Secara tegas Von Liszt menyatakan
bahwa setiap perbuatan yang anti-sosial adalah wederrechtelijk. Di negeri Belanda,
pengikut fanatiknya adalah Vos, yang dalam Leerbook nya ia mengatakan, “..... het
strafrecht zich richt tegen min of meer abnormale gedragingen....”. Dalam kaitannya
dengan kasus korupsi yang mendapatkan perhatian masyarakat, sudah barang tentu
menganut unsur dapat dicelanya suatu perbuatan yang merupakan salah satu elemen
dari perbuatan pidana.
Kelima, Penyadapan dan Perekaman. Pendapat para pemohon, Pasal 12 Ayat
(1) huruf a undang-undang KPK melanggar Hak Warga Negara atas rasa aman,
jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28
D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945. Adapun alasan pemohon adalah
bahwa keberadaan KPK yang diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan
sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa aman untuk berkomunikasi, selain
itu proses penyadapan yang tanpa ada aturan tersebut, jelas-jelas melanggar prinsip
praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang merupakan prinsip utama
dalam penegakan hukum.
Perihal penyadapan dan perekaman seperti yang dimohonkan oleh para
pemohon, ada beberapa tanggapan penulis, yaitu:
1. Penyadapan dan perekaman adalah dalam rangka menemukan bukti untuk
membuat terang suatu peristiwa pidana. Artinya, kita sedang berbicara mengenai

9
apa yang dikenal dengan istilah bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara
harafiah bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-
alat bukti kepada hakim di pengadilan.
Bagi negara-negara yang cenderung menggunakan due process model dalam
sistem peradilan pidananya, perihal bewijsvoering ini cukup mendapatkan
perhatian. Dalam due process model, negara begitu menjunjung tinggi hak asasi
manusia (hak-hak tersangka), sehingga acap kali seorang tersangka dibebaskan
oleh pengadilan dalam pemeriksaan pra peradilan, lantaran alat bukti diperoleh
dengan cara yang tidak sah atau yang diesbut dengan istilah unlawful legal
evidence. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang
bersifat formalistis. Konsekuensi selanjutnya, seirngkali mengkesampingkan
kebenaran dan fakta yang ada.
Lain hanlnya dengan sistem peradilan pidana di Indonesia, meskipun tidak
sepenunhnya, namun paling tidak didominasi oleh crime control model dalam
beracara. Di sini teknis penyelidikan dan penyidikan dalam rangka menemukan
tersangka dan barang serta alat bukti dapat disimpangi dari ketentuan umum yang
diatur oleh KUHAP selama ada undang-undang khusus yang mengatur tentang
itu. Dalam pengungkapan kasus korupsi, demikian pula dalam pengungkapan
kasus narkotika, psikotropika dan terorisme teknis penyelidikan dan penyidikan
secara khsus seperti under cover, penyadapan dan perekaman pembicaraan dapat
dibenarkan. Sehingga tidaklah dapat dikualifikasikan sebagai unlawful legal
evidance karena sesuai dengan ketentuan undang-undang.
2. Kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagaimana
yang diatur dalam Pasal 28 F Ayat (1) UUD 1945, demikian pula Pasal 28 D
Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang dimaksud oleh
para pemohon, bukanlah pasal-pasal yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan
apapun. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 28 I Ayat (1) UUD 1945
yang menyebutkan dengan tegas dan rinci hak-hak yang tidak dapat disimpangi
dalam keadaan apapun. Meskipun ada yang berpendapat bahwa pembatasan
terhadap Pasal 28 I Ayat (1) terdapat dalam Pasal 28 J UUD 1945, namun masih
bisa diperdebatkan lebih lanjut.

10
3. Penyadapan dan perekaman TIDAK ADA KAITANNYA dengan asas
presumption of innocent yang akan penulis jelaskan lebih lanjut dalam uraian di
bawah ini.
Keenam, Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocent). Menurut para
pemohon, Pasal 40 undang-undang KPK melanggar prinsip persamaan di muka
hukum dan kepastian hukum, serta bersifat diskriminatif, sehingga bertentangan
dengan Pasal 1 Ayat (3), Pasal 27 Ayat (1), Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 I Ayat
(2) UUD 1945. Adapun alasan pemohon bahwa berdasarkan Pasal 40 undang-undang
KPK yang menyatakan KPK tidak berwenang untuk mengeluarkan surat perintah
penghentian penyidikan dan penuntutan membawa konsekuensi seseorang yang
disidik atau diperiksa sebagai Tersangka oleh KPK otomatis juga sudah menjadi
terdakwa.
Terhadap masalah asas praduga tidak bersalah yang dikaitkan dengan tidak
adanya kewenangan KPK untuk mengeluarkan surat perintah penghentian
penyidikan dan penuntutan, ada dua hal yang menjadi tanggapan penulis : Pertama,
ketentuan dalam Pasal 40 undang-undang KPK merupakan prudential principle bagi
KPK untuk menetapkan seseorang sebagai tersangka. Sebab, begitu ditetapkan
sebagai tersangka dalam sebuah kasus korupsi oleh KPK, membawa konsekuensi
akan dibawa sampai ke pengadilan. Oleh karena itu, sebelum menetapkan seseorang
sebagai tersangka, KPK dituntut untuk bekerja semaksimal dan secermat mungkin,
terutama yang berkaitan dengan masalah pembuktian. Kedua, sebagai konsekuensi
logis sistem peradilan pidana di Indonesia yang didominasi oleh crime control model
yang menggunakan asas praduga bersalah dalam beracara, tidaklah dapat dilawankan
dengan asas praduga tidak bersalah. Secara tegas dinyatakan oleh Packer adalah
keliru jika asas praduga bersalah sebagai suatu yang bertentangan dengan asas
praduga tidak bersalah. Ibarat kedua bintang kutub dari proses kriminal, asas praduga
tidak bersalah bukan lawannya, ia tidak relevan dengan asas praduga bersalah, kedua
konsep itu berbeda tetapi tidak bertentangan.
Asas praduga tidak bersalah adalah pengarahan bagi aparat penegak hukum
tentang bagaimana mereka harus bertindak lebih lanjut dan mengesampingkan asas
praduga bersalah dalam tingkah laku mereka terhadap tersangka. Intinya, praduga
tidak bersalah bersifat legal normative dan tidak berorientasi padsa hasil akhir.

11
Sedangkan asas praduga bersalah bersifat deskriptif faktual. Artinya, berdasar fakta-
fakta yang ada si tersangkan akhirnya akan dinyatakan bersalah. Karena itu,
terhadapnya harus dilakukan proses hukum mulai dari tahap penyelidikan,
penyidikan, penuntutan sampai pada tahap peradilan. Tidak boleh berhenti di tengah
jalan.
Ketujuh atau yang terakhir adalah Pasal 72 undang-undang KPK bertentangan
dengan pasal 28 D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945. Adapun alasan pemohon
keberadaan pasal 72 undang-undang KPK yang menyangkut tentang
pemberlakuannya, tampak jelas bahwa undang-undang KPK berlaku sejak tanggal
diundangkan yakni terhitung sejak tanggal 27 Desember 2002. Adanya penafsiran di
kalangan ahli dalam perkara No. 069/PUU-II/2004 tentang apakah undang-undang a
quo berlaku ke depan (prospective) atau sebaliknya dapat diberlakukan surut
(retroaktif), telah menimbulkan tidak adanya kepastian hukum dalam
pemberlakuannya.
Tanggapan penulis, ketentuan Pasal 72 undang-undang a quo, tidak ada
kaitannya dengan kepastian hukum. Persoalan yang selalu diperdebatkan dalam
ketentuan Pasal 72 undang-undang KPK ini adalah apakah KPK dapat menyidik
perkara korupsi sebelum KPK dibentuk berdasarkan undang-undang a quo ?
Mengenai persoalan ini terlebih dulu harus dijelaskan bahwa kewenangan untuk
melakukan proses penuntutan sebagai bagian yang tidak dipisahkan proses beracara
merupakan salah satu makna yang tergantung dalam asas legalitas.
Menurut sejarahnya, asas legalitas ini dirumuskan oleh Anselm von Feuerbach.
Dengan mantap dalam bahasa Latin ia mengatakan : nulla poena sine lege (tidak ada
pidana tanpa ketentuan pidana menurut undang-undang) ; nulla poena sine crimine
(tidak ada pidana tanpa perbuatan pidana) ; nullum crimen sine poena legali (tidak
ada perbuatan pidana tanpa pidana menurut undang-undang). Berdasarkan ketiga
frase tersebut, asas legalitas ini mempunyai dua fungsi. Kedua frase yang pertama
adalah fungsi melindungi dari asas legalitas. Artinya, undang-undang pidana
melindungi rakyat terhadap kekuasaan yang tanpa batas dari pemerintah. Sedangkan
frase ketiga adalah fungsi instrumentasi dari asas legalitas. Artinya, di dalam batas-
batas yang ditentukan undang-undang, pelaksanaan kekuasaan oleh pemerintah
tegastegas diperbolehkan.

12
Asas legalitas dalam hukum pidana dapat dibedakan dalam hukum pidana
materiil dan hukum pidana formal. Sebagaimana pembagian umum dalam hukum
pidana seperti yang dinyatakan van Hamel, ”..... strafrecht omvat naar de gangbare
onderscheiding twee deelen, een materieel en een formeel”. Fungsi melindungi ada
dalam hukum pidana materiil, sementara fungsi instrumentasi ada dalam hukum
pidana formal. Asas legalitas dalam hukum pidana formal (hukum acara pidana)
mempunyai makna setiap perbuatan pidana harus dituntut. Dengan demikian, KPK
sejak terbentuk berwenang untuk melakukan proses pidana terhadap kasus korupsi
selama memenuhi kriteria yang terdapat dalam Pasal 11 undang-undang KPK tanpa
dibatasi batas waktu kapan perbuatan koruspi tersebut dilakukan.

IV. PENUTUP
Pengujian materi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi
Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yang bertentangan dengan UUD 1945
menurut penulis kurang relevan, sebab pengurangan kewenangan KPK berdampak
terhadap pemberantasan tindak pidana korupsi. Menurut penulis sebaiknya
pemerintah memberikan kewenangan yang lebih lagi kepada KPK namun dengan
batas yang tertentu pula sehingga fungsi dan tujuan pembentukan KPK dapat
dilaksanakan sebaik mungkin.

13
DAFTAR PUSTAKA

Dani Krisnawati, Eddy O.S Hiariej, Marcus Priyo Gunarto, Sigid Riyanto dan
Supriyadi, 2006, Bunga Rampai Hukum Pidana Khusus, Pena : ilmu dan amal,
Jakarta.

Enschede, Ch.J., 2002, Beginselen Van Strafrecht, Kluwer Deventer.

Hiariej, Eddy O.S., 2002, Memahami Asas Praduga Bersalah Dan Tidak Bersalah,
KOMPAS, 21 Oktober 2002.

Hiariej, Eddy O.S., Kinerja Polisi, Surat Kabar Harian KOMPAS, Kamis, 6
November 2003.

Hiariej, Eddy O.S., 2005, Crimnal Justice System In Indonesia, Between Theory And
Reality, Asia Law Review Vol.2, No. 2 December 2005, Korean Legislation
Research Institute.

Packer, Hebert L., 1968, The Limits of the Criminal Sanction, Oxford University
Press.

Remmelink, Jan., 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting


Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannya
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka
Utama.

Romli Atmasasmita, 2004, Sekitar Masalah Korupsi Aspek Nasional dan Aspek
Internasional, Mandar Maju, Bandung.

Schaffmeister, D., Keijzer, N., Sutorius, E.PH., Diterjemahkan oleh J.E Sahetapy,
1995, Hukum Pidana, Liberty.

Suringa Hazewinkel, D., 2003, Inleiding Tot De Studie Van Het Nederlandse
Strafrecht, H.D.Tjeenk Willink & Zoon N.V. – Haarlem.

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak


Pidana Korupsi

14

Anda mungkin juga menyukai