Anda di halaman 1dari 10

Latar Belakang

Berbagai studi dan kajian menunjukkan bahwa regulasi Indonesia berada dalam
kondisi yang memprihatinkan baik dari segi kualitas maupun kuantitas.1 Stewart
Fenwick sebagaimana dikutip Tom Ginsburg menyatakan bahwa Indonesia sedang
mengarah kepada negara regulasi.hal tersebut terbukti dari masifnya upaya negara
dalam membentuk peraturan perundang-undangan, terutama peraturan di tingkat
daerah.2
Jumlah regulasi yang ada di Indonesia saat ini, setidaknya terdapat 8451
Peraturan di tingkat pusat yang terhimpun dalam lembaran negara yang terdiri dari
1687 undang-undang, 180 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang
(Perpu), 4559 Peraturan Pemerintah, 2026 Peraturan Presiden, 14751 Peraturan
Menteri, dan 4294 Peraturan Lembaga Pemerintah non-Kementrian. 3 Tingginya
kuantitas regulasi tersebut berpotensi berpengaruh pada kualitas regulasi yang
buruk dan mengarah pada terjadi ketidakharmonisan, tumpang tindih, dan konflik
antar regulasi.4
Metode omnibus law menjadi pilihan kebijakan pemerintah dalam melakukan
penataan regulasi. Hal ini terlihat dengan salah satu isi pidato pelantikan Presiden
Jokowi yang mana mengajak Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) untukbersama
menerbitkan satu UU yang sekaligus merevisi beberapa UU, bahkan puluhan UU
yang disebut dengan omnibus law.5
Kuatnya political will Presiden Jokowi dalam penerapan metode omnibus law
dibuktikan dengan diundangkannya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020
tentang Cipta Kerja (UU CK). UU ini setidaknya memuat 1200 Pasal berupa
perubahan, pencabutan, maupun mengatur materi muatan yang berpengaruh
terhadap lebih dari 79 UU yang ada. Bukan tanpa persoalan, dengan
diundangkannya UU CK justru menimbulkan persoalan baru dalam peraturan

1
Wicipto Setiadi, “Simplifikasi Regulasi dengan Menggunakan Metode Pendekatan Omnibus Law,
Jurnal RechtsVinding No. 1 Vol. 9, April 2009, hlm. 42.
2
Zaka Firma Aditya & Abdul Basid Fuadi, “Konseptualisasi Omnibus Law dalam Pemindahan
Ibukota Negara”, Jurnal Ilmiah Kebijakan Hukum No. 1 Vol 15, Maret 2021, hlm. 150.
3
Ibid,.
4
Wicipto Setiadi, “Simplifikasi Regulasi dengan Menggunakan.............. op. cit., hlm. 42.
5
Bayu Dwi Anggono, Pokok-Pokok Pemikiran Penataan Peraturan Perundang-undangan di
Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Press, 2020) hlm. 172.

1
perundang-undangan Indonesia. Susi Dwi Harijanti mengungkapkan setidaknya
terdapat empat poin persoalan akibat diterapkannya metode omnibus law dalam UU
CK, yakni (i) terjadi deregulasi terhadap pranata hukum yang lebih prinsip dan
fundamental; (ii) menimbulkan over regulation baru di Indonesia; (iii) melanjutkan
persoalan ketidak tertiban materi muatan akibat terlalu banyak pendelegasian pada
peraturan pelaksana; dan (iv) dibentuk menggunakan format yang tidak dikenal
dalam UU PPP.6
Dengan segala persoalan teknis dan substansi tersebut, UU CK kemudian
dinyatakan inkonstitusional bersyarat oleh Mahkamah Konstitusi (MK) melalui
Putusan MK Nomor 91/PUU-XVIII/2020 mengenai Pengujian Formil UU No. 11
Tahun 2020 tentang Cipta Kerja yang menyatakan bahwa UU CK adalah
inkonstitutional manakala tidak dilakukan perbaikan dalam waktu paling lama 2
(dua) tahun. Berkaitan dengan metode omnibus law, MK dalam putusan tersebut
mengamanatkan kepada pembentuk undang-undang untuk membentuk landasan
hukum yang baku sebagai pedoman pembentukan undang-undang menggunakan
metode omnibus law yang mempunyai sifat kekhususan tersendiri.7
Amanat tersebut kemudian ditindaklanjuti dengan diundangkannya Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Undang-Undang Nomor
12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan (UU PPP)
yang salah satu meteri muatannya adalah pengadopsian metode omnibus ke dalam
sistem perturan perundang-undangan Indonesia. 8 Ketentuan mengenai metode
omnibus diatur dalam Pasal 64 ayat (1a) dan ayat (1b) UU PPP. Ketentuan tersebut
mengatur bahwa:
(1a) Penyusunan Rancangan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dapat menggunakan metode omnibus. (1b) metode
omnibus sebagaimana dimaksud pada ayat (1a) merupakan metode

6
Susi Dwi Harijanti dalam diskusi publik Indonesian Center for Legislative Drafting dikutip Ida
Bagus Gede Putra Agung Dhikshita, dkk, “Politik Hukum dan Quo Vadis Pembentukan Undang-
Undang dengan Metode Omnibus Law di Indonesia”, Jurnal Legislasi Indonesia No. 2 Vol. 19,
Juni 2022, hlm. 177.
7
Pertimbangan Hukum Putusan MK No. 91/PUU-XVIII/2020 pada Pengujian Formil Undang-
Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.
8
Penjelasan Umum Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua Undang-
Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan.

2
penyusunan Peraturan Perundang-undangan dengan: a. Memuat materi
muatan baru; b. Mengubah materi muatan yang dimiliki keterkaitan dan/atau
kebutuhan hukum yang diatur dalam berbagai Peraturan Perundang-
undangan yang jenis dan hierarkinya sama; dan/atau c. Mencabut Peraturan
Perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama, Dengan
menggabungkan ke dalam satu Peraturan Perundang-undangan untuk
mencapai tujuan tertentu.
Berdasarkan ketentuan tersebut hanya mengatur bahwa metode omnibus
dapat diterapkan pada pembentukan peraturan perundang-undangan. Penerapan
metode omnibus sendiri berupa mengatur materi muatan baru, perubahan, dan/atau
pencabutan peraturan perundang-undangan yang jenis dan hierarkinya sama dengan
menggabungkan ke dalam satu peraturan perundang-undangan.
Dalam mengadopsi metode omnibus dalam sistem peraturan perundang-
undangan di Indonesia memiliki beberapa tantangan, yakni: (i) tiap-tiap UU yang
ada memiliki landasan filosofis tersendiri; (iii) jaminan partisipasi publik dalam
proses pembentukannya; (iv) parameter materi muatan yang menggunakan metode
omnibus dengan pembentukan peraturan perundang-undangan biasa; dan (v)
adanya satu UU yang dilakukan perubahan melalui dua metode dan dua UU yang
berbeda.9 Sayanganya, pengadopsian metode omnibus di Indonesia sebagai tindak
lanjut dari putusan MK tersebut belum mampu menjawab tantangan-tantang yang
ada.
Dengan berbagai tantangan dan kondisi khusus tersebut, maka diperlukan
pengaturan yang lebih komprehensif mengenai pengaturan metode omnibus.
Dengan demikian selayaknya pengadopsian metode omnibus tidak cukup dilakukan
dengan tambal sulam terhadap UU PPP, dimana praktik tersebut hanya memberikan
legitimasi penerapan metode omnibus, namun tidak memberikan panduan dan
batasan dalam penerapannya. Tulisan singkat ini bertujuan untuk menguraikan
secara singkat gagasan pembentukan UU yang secara khusus mengatur metode
omnibus. Dengan dibentuknya UU khusus tersebut diharapkan mampu menjadi

9
Bayu Dwi Anggono, “Implikasi Perubahan UU PPP terhadap Pembentukan Perda Metode
Omnibus”, Presentasi pada Bimtek Legal Drafting Pembentukan Perda Omnibus, diselenggarakan
oleh Asosiasi Pengajar Hukum Tata Negara & Hukum Administrasi Negara Daerah Istimewa
Yogyakarta pada 10 September 2022.

3
pedoman baku penerapan metode omnibus yang mengakomodir segala
kekhususannya, sebagaimana amanat MK dalam putusannya.
Problematika dan Desain Materi Muatan Undang-Undang Metode Omnibus
Seacara etimologi omnibus berasal dari bahasa latin omnis yang memiliki arti
harfiah bagi semua atau banyak. Secara terminologi terdapat beberapa pemaknaan,
diantara dalam Black’s Law Dictionary Ninth Edition mengartikan sebagai sesuatu
yang berhubungan dangan banyak materi atau isu sekaligus, atau dapat juga sesuatu
yang dengan banyak tujun yang ada padanya.10 Menurut Barbara Sinclair, omnibus
law merupakan sebuah mekanisme pembentukan regulasi yang memakan waktu
lama dikarenakan pembahasan yang kompleks. Sedangkan menurut Audrey O.
Brian Omnibus Law merupakan sebuah rancangan undang-undang (bill) yang
meliputi lebih dari satu konsen yang setelahnya dilebur ke dalam satu UU.11
Jimly Asshidiqqie memberikan pengertian terhadap omnibus law sebagai
suatu peraturan yang menggapai sebagian atau keseluruhan materi peraturan lain,
di mana antar peraturan tersebut saling berhubungan baik secara langsung maupun
tidak langsung.12 Sedangkan menurut Fahri Bachmid mengartikan sebagai sebuah
produk hukum yang dipraktikan dengan tujuan untuk mengkonsolidasikan banyak
isu, materi isu, materi, objek, subjek, dan regulasi pada masing-masing sektor yang
berbeda, untuk selanjutnya dijadikan dalam satu produk hukum yang bersifat
holistik.13

Berbagai definisi di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa metode omnibus


merupakan sebuah metode pembentukan peraturan perundang-undangan yang
menyatukan berbagai pengaturan dengan mencabut atau merevisi peraturan lainnya
melalui satu peraturan. Sebagai sebuah metode yang bertujuan untuk mengatasi
berbagai permasalah regulasi di suatu negara baik berupa regulasi yang over crowd

10
Restu Gusti Monitasari, dkk. Implikasi Penerapan Metode Omnibus Law dalam Sistem
Pembentukan Perundang-undangan Indonesia Ditinjau dari Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011
tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, Jurnal Dialektika Hukum, Vol. 3 No. 1,
2021, 25.
11
Rizal Irvan Amin, dkk., Omnibus Law antara Desiderata dan Realita, Jurnal Hukum Samudra
Keadilan, Vol. 15 No. 2, Juli 2020, 194.
12
https://www.jimlyschool.com/baca/34/uu-omnibus-omnibus-law-penyederhanaan-legislasi-dan-
kodifikasi-administratif diakses pada 30 Desember 2022, Pukul 07.00 WIB.
13
Agnes Fitryantica, Harmonisasi Peraturan Perundang-undangan Indonesia melalui Konsep
Omnibus Law, Jurnal Gema Keadilan, Vol. 6, Maret 2019, 303.

4
maupun regulasi yang saling tumpang tindih, terdapat kelemahan yang melekat
dalam metode ini.

Kelemahan metode omnibus ini disebabkan oleh substansi materi muatan


peraturan yang dibentuk yang terlalu luas dan beragam (multi and divers subject).
Beberapa kelemahan tersebut diantaranya: pertama, terlalu banyaknya subjek
pengaturan dalam omnibus law menjadikan golongan kritis di parlemen terbatasi
dalam menyampaikan aspirasinya. Hal ini dapat dilihat dari praktik penyusunan
Omnibus Spending Bill di Amerika Serikat pada 2018, di mana hal ini menyebabkan
terjadinya government shutdown akibat parlemen yang tidak mampu
menyelesaikan UU Omnibus tersebut yang memiliki jumlah halaman mencapai
2000 halaman.14

Kedua, petensi yang tinggi terjadinya penumpang gelap atau penyelundupan


pasal-pasal tertentu yang menguntungkan kelompok tertentu. Terlalu luasnya
materi omnibus law memiliki resiko mendatangkan prakti black riders yang
menambahkan pasal-pasal bersifat kontradiktif dengan tujuan dan judul RUU, serta
keberpihakan yang jauh dari rakyat. Ketiga, terbatasnya ruang untuk
mengakomodir aspirasi publik secara luas. Dengan waktu yang terbatas, sedangkan
materi muatan yang dibahas terlalu banyak dan luas menyebabkan publik tidak
dapat menyalurkan aspirasinya secara komprehensif terhadap setiap isu yang ada
dalam materi muatan RUU omnibus tersebut.15

Pengaturan metode omnibus dalam UU PPP tersebut masih mengandung


persoalan, yakni: pertama, tidak adanya paramater penerapan metode omnibus baik
dari segi jenis maupun materi muatan peraturan perundang-undangan. Penggunaan
frasa “dapat” pada Pasal 64 ayat (1b) UU PPP tersebut menunjukkan adanya pilihan
penggunaan metode omnibus kepada pembentuk peraturan perundang-undangan.16
Dari segi jenis peraturan perundang-undangan, berdasarkan Pasal 7 ayat (1) dan
ayat (2) UU PPP Peraturan Perundang-Undangan Indonesia disusun secara

14
Stephanie Juwana, dkk., Policy Biref 4: Sistem dan Praktik Omnibus Law di Berbagai Negara
dan Analisis RUU Cipta Kerja dari Prespektif Good Legislation Making, (Indonesia Ocean Justice
Initiative, 2020), 26-27.
15
Ibid.
16
Ibid.

5
hierarkis berjenjang dimana peraturan yang berkedudukan lebih tinggi menjadi
dasar pembentukan peraturan di bawahnya.17 Selain itu berdasarkan Pasal 8 UU
PPP terdapat peraturan lain yang dibentuk oleh lembaga negara yang dikategorikan
sebagai peraturan perundang-undangan, sepanjang pembentukannya merupakan
amanat dari peraturan yang lebih tinggi.
Tidak adanya rambu-rambu kapan sebuah peraturan perundang-undangan
dibentuk menggunakan metode omnibus, dan kapan menggunakan metode biasa.
Hal ini menimbukan kebingungan/ketidakpastian bagi pembentuk karena tidak ada
rambu-rambu yang pasti. 18 Selain itu, dengan tidak adanya parameter jenis dan
hierarki peraturan perundang-undangan yang dapat dibentuk menggunakan metode
omnibus persoalan yang muncul adalah terjadinya kerumitan dan potensi
disharmoni regulasi yang baru. Disharmoni tersebut terjadi karena semakin rendah
jenis dan hierarki peraturan perundang-undangan dibentuk menggunakan metode
omnibus, maka akan memiliki tingkat kerumitan yang semakin tinggi. Hal ini
disebabkan semakin rendah kedudukan peraturan perundang-undangan, semakin
banyak pula peraturan perundang-undangan diatasnya yang merupakan landasan
pembentukannya.
Dari segi materi muatan, tidak adanya pembatasan dari segi materi muatan,
sebuah peraturan dapat dibentuk menggunakan metode omnibus dengan materi
muatan yang terlampau luas. Selaras dengan salah satu kritik Maria Sumardjono
terhadap pembentukan UU CK dimana mengganti/mencabut setidaknya 80 UU
yang memiliki landasan filosofis, asas, dan konsepsi tersendiri. Sehingga apakah
mungkin dalam rangka penyederhanaan dilakukan penyimpangan terhadap filosofi,
asas, dan konsep yang berbeda tersebut. 19 Contoh lain, yang menjadi persoalan
adalah berkaitan dengan UU yang dibentuk atas amanat UUD NRI 1945, karena
perbedaan frasa yang digunakan akan berimplikasi pada UU yang dibentuk. Frasa
“diatur dengan” menunjukkan bahwa hal tersebut materi muatan tersebut harus

17
UUD NRI 1945, Ketetapan MPR RI (TAP MPR), UU/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
Undang (Perpu), Peraturan Pemerintah (PP), Peraturan Presiden (Perpres), Peraturan Daerah (Perda)
Provinsi, dan Perda Kabupaten/Kota
18
Bayu Dwi Anggono, “Implikasi Perubahan UU PPP terhadap Pembentukan Perda.........., Op.Cit.
19
Maria SW. Sumardjono, “Mendorong Investasi dalam Disharmoni Pengaturan Sumber Daya
Alam (SDA) di Indonesia” dikutip Bayu Dwi Anggono, Bayu Dwi Anggono, “Onmibus Law sebagai
Teknik Pembentukan Undang-Undang................, hlm. 32.

6
diatur dalam UU tersendiri. Sedangkan frasa “diatur dalam” menunjukkan bahwa
materi muatan tersebut dapat diatur dalam UU bersamaan dengan materi muatan
lainnya. Yang persoalan adalah, apakah mungkin UU yang materi muatannya
merupakan amanat untuk diatur secara khusus, kemudian dilakukan perubahan
menggunakan metode omnibus bersamaan dengan UU lainnya?
Persoalan pengaturan metode omnibus yang kedua, adalah tidak terdapat
perbedaan secara prosedural antara pembentukan UU menggunakan metode
omnibus dengan pembentukan UU menggunakan metode biasa. Mengingat bahwa
metode ini memiliki beberapa kelemahan, yakni: (i) memiliki kecenderungan yang
pragmatis dan kurang demokratis; (ii) membatasi ruang partisipasi, sehingga
bertolak belakang dengan demokrasi deliberatif; (iii) mengurangi ketelitian dan
kehati-hatian dalam penyusunannya; dan (iv) potensial melampaui ketentuan dalam
konstitusi akibat keterbatasan partisipasi dan kurangnya kehati-hatinya dalam
prosesnya.20
Dari kedua persoalan tersebut kemudian terlihat bahwa terdapat urgensi
pengaturan yang lebih komprehensif terhadap metode omnibus. Pembentukan UU
Metode Omnibus dalam hal ini menjadi relevan guna memberikan rambu-terhadap
pembentuk peraturan dalam menerapkan metode omnibus. Materi muatan UU
Metode Omnibus tersebut setidaknya harus memuat dua hal, pertama parameter
penerapan metode omnibus, baik dari segi jenis peraturan perundang-undangannya
maupun dari segi materi muatan yang diaturnya. Kedua, UU ini harus memuat
metode khusus yang berbeda dari metode pembentukan peraturan perundang-
undangan yang biasa, utamanya prosedur dan mekanisme bagi publik untuk
melakukan pengawasan dan menyalurkan aspirasinya.
Pengaturan parameter penerapan metode omnibus dari sisi jenisnya perlu
memperhatikan konsep omnibus itu sendiri. Terdapat perbedaan antara Omnibus
Legislation dengan Omnibus Regulation. Omnibus Regulation merupakan
penerapan omnibus dalam peraturan perundang-undangan yang metode
pembentukannya melalui keterlibatan lembaga perwakilan (Parlemen). Jimly
Asshiddiqie mengkategorikan omnibus ini yang diterapkan terhadap undang-

20
Ibid., hlm. 28.

7
undang21 Hal ini sebagaimana dalam sejarahnya praktik penerapan metode omnibus
diawali dengan omnibus bill, dimana didalamnya memuat dan menggabungkan
berbagai subjek aturan dari beberapa undang-undang. 22 Sedangkan Omnibus
Regulation merupakan peraturan pelaksana di bawah Undang-Undang yang
dibentuk menggunakan metode omnibus.23
Dengan sistem peraturan perundang-undangan Indonesia yang disusun secara
hierarkis, maka jenis peraturan perundang-undangan yang dapat dibentuk melalui
metode omnibus harus dibatasi pada UU. Sedangkan peraturan perundang-
undangan di bawah UU yang lain, hanya dapat dibentuk melalui metode omnibus
apabila merupakan amanat dari UU yang menjadi dasar pembentukannya. Hal ini
didasari pada pertimbangan yang telah diuraikan sebelumnya bahwa semakin
rendah kedudukan peraturan perundang-undangan, maka akan semakin banyak
peraturan yang menjadi landasan pembentukannya, sedangkan di atas UU hanya
terdapat UUD NRI 1945 yang menjadi landasan pembentukannya. Pembatasan
sedemikian rupa diperlukan untuk menghindari munculnya persoalan disharmoni
regulasi yang lebih rumit.
Dari aspek materi muatan, pada dasarnya tidak dapat ukuran baku yang dapat
diterapkan untuk menentukan materi muatan yang dikandung dalam sebuah
undang-undang. Namun, sebagaimana telah disinggung diatas bahwa terdapat
landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis pada setiap Undang-Undang dibentuk.
Kajian terhadap ketiga landasan tersebut dituangkan dalam Naskah Akdemik (NA)
Pembentukan Undang-undang.24 Dengan demikian pembatasan yang paling tepat
untuk mengukur relevansi materi muatan UU yang dibentuk melalui metode
omnibus adalah melalui ketiga landasan pembentukannya tersebut.
NA kemudian menjadi bagian yang sangat penting dalam pembentukan UU
menggunakan metode omnibus ini. Yang menjadi persoalan adalah sejauh mana
NA dapat menjadi batu uji (setidaknya dasar pertimbangan) dalam pengujian formil
suatu UU di MK. Ketika NA dapat dijadikan sebagai sebuah batu uji, maka koreksi

21
Jimly Asshiddqie, Omnibus Law dan Penerapannya di Indonesia, (Jakarta: Konstitusi Pres,
2020), 55-56.
22
Ibid.,
23
Ibid., 58-60.
24
Sirajudin, dkk. Legislative Drafting: Pelembagaan Metode Partisipatif dalam Pembentukan
Peraturan Perundang-Undangan, (Malang: Setara Press, 2015), 172.

8
dan pembatasan materi muatan pembentukan UU menggunakan metode omnibus
dapat dilakukan secara efektif.
Selain itu pembatasan materi muatan UU yang dibentuk menggunakan
metode omnibus juga harus dibatasi untuk materi muatan yang oleh UUD NRI 1945
diamanat untuk diatur secara khusus dalam UU. Hal ini disebabkan bahwa ketika
suatu UU diubah menggunakan metode omnibus, maka materi muatan yang dirubah
tersebut menjadi bagian dari UU hasil omnibus tersebut. Hal ini tentu bertentangan
dengan UUD NRI 1945, karena UU yang dirubah tersebut merupakan UU yang
secara khusus oleh UUD NRI 1945 dikehendaki mengatur materi tertentu.
Sebagaimana diuraikan sebelumnya bahwa dalam pembentukan peraturan
menggunakan metode omnibus menimbulkan tekanan (suspention) terhadap
keterlibatan publik dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Satjipto
Rahardjo mengemukakan bahwa untuk menjaga netralitas suatu hukum perlu
adanya ‘transparansi’ dan ‘partisipasi’ tinggi. 25 Hal tersebut sejalan dengan
pertimbangan MK dalam putusan No. 91/PUU-XVIII/2020 yang menyatakan
pentingnya pelembagaan partisipasi yang berarti (meaningfull participation) dalam
semua tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan. Meaningfull
participation ini terdiri dari tiga hal, yakni: (i) hak untuk didengar pendapatnya; (ii)
hak untuk dipertimbangkan; dan (iii) hak untuk diberi penjelasan manakala pendapatnya
tidak dipenuhi. Sayangnya perlembagaan partisipasi yang bermakana dalam perubahan
kedua UU PPP belum memberikan desain yang lebih implementatif. Dengan tingkat
kerumitan yang lebih tinggi dibandingkan dengan peraturan perundang-undangan yang
dibentuk menggunakan metode biasa, maka mengenai partisipasi yang bermakna dalam
penerapan metode omnibus perlu diatur secara lebih komprehensif. Pengaturan ini akan
dapat terwujud melalui pembentukan UU Metode Omnibus tersebut.

Selain perlunya diatur pengaturan partisipasi yang bermakna dalam UU Metode


Omnibus, perlu dibatasi pula penerapan metode omnibus dari jenis peraturan perundang-
undangan yang memiliki prosedur pembentukan yang dengan sendirinya tidak partisipatif.
Untuk itu sudah selayaknya metode omnibus tidak diterapkan pada pembentukan Perppu.
Karena selain tidak partisipatif, terdapat unsur subjektifitas presiden yang sangat besar
dalam pembentukan Perppu, yang sangat potensial untuk disalahgunakan. Terlebih dengan

25
Ibid., 239.

9
tidak adanya NA dalam pembentukan Perppu maka Presiden dapat dengan secara ugal-
ugalan melakukan perubahan terhadap berbagai UU yang berlaku.

Kesimpulan

Berdasarkan uraian diatas maka terdapat beberapa hal yang dapat dijadikan benang merah
dalam pembahasan ini. Pertama, pengaturan metode omnibus dalam perubahan kedua UU
PPP masih memiliki beberapa persoalan sehingg tidak mampu meng-cover kekhususan
yang ada dalam metode omnibus. Beberapa persoalan tersebut diantaranya adalah tidak
adanya paramater penerapan metode omnibus baik dari aspek jenis peraturan perundang-
undangannya maupun cangkupan materi muatannya. Kekurangan lainnya dari pengaturan
tersebut adalah tidak terdapat metode yang berbeda antara pembentukan peraturan
menggunakan metode omnibus dengan pembentukan biasa.

Solusi yang dapat dilakukan adalah dengan membentuk UU yang secara khusus
mengatur metode omnibus tersebut. UU ini setidaknya haru memuat beberapa materi
muatan di antaranya adalah:

a. Pembatasan penerapan metode omnibus hanya pada UU, peraturan


perundang-undangan di bawah UU hanya dapat dibentuk menggunakan
metode omnibus ketika merupakan tindak lanjut dari UU diatasnya;
b. Membatasi penerapan metode omnibus dalam pembentukan Perppu;
c. NA menjadi bagian penting untuk membatasi materi muatan UU yang
dibentuk menggunakan metode omnibus. Hal ini bertujuan untuk
mengjaga keselarasan aspek filosofis, yuridis, dan sosiologis dari UU
yang terdampak;
d. Tidak menerapkan metode omnibus terhadap UU yang secara khusus oleh
UUD NRI 1945 diamanatkan untuk mengatur materi muatan tertentu; dan
e. Mengatur secara khusus partisipasi yang bermakna dalam penerapan
metode omnibus.

10

Anda mungkin juga menyukai