Anda di halaman 1dari 5

See discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.

net/publication/340526049

Sanksi dalam RUU Cipta Kerja

Article · April 2020

CITATIONS READS
0 2,077

1 author:

Dicky Eko Prasetio


Universitas Negeri Surabaya
187 PUBLICATIONS   65 CITATIONS   

SEE PROFILE

Some of the authors of this publication are also working on these related projects:

Seminar Nasional dan Call For Papers yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) yang Bekerja sama dengan Laboratorium Hukum Tata Negara,
Fakultas Hukum, Universitas Surabaya dan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia dengan Tema “Aktualisasi UUD Negara RI Tahun 1945 dalam
Penyelenggaraan Negara: 23 Tahun Reformasi” Pada Tanggal 11-12 Desember 2021. View project

Call For Paper BEM UNESA dengan tema "Pentingnya Semangat Sumpah Pemuda untuk Menggerakan Peran Generasi Muda di Tengah Pandemi COVID-19" View project

All content following this page was uploaded by Dicky Eko Prasetio on 09 April 2020.

The user has requested enhancement of the downloaded file.


Sanksi dalam RUU Cipta Kerja

Oleh: Eddy O.S. Hiariej (Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM)

Publish di Harian Kompas 11 Maret 2020

Disalin oleh: Dicky Eko Prasetio (Pemerhati Politik dan Ketatanegaraan. Mahasiswa
Ilmu Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Anggota SEALS FH UNESA).
Berdomisili di Ngasem, Bojonegoro.

RUU Cipta Kerja atau omnibus law Cipta Kerja telah diserahkan secara resmi oleh
pemerintah kepada DPR pada 12 Februari 2020 untuk di bahas dalam masa sidang
berikut.

RUU setebal 1.028 halaman itu terdiri atas 174 pasal yang berdampak pada
1.203 pasal dalam 79 UU. RUU a quo terdiri atas 11 kluster pembahasan. Pertama,
penyederhanaan perizinan berkaitan dengan 1.042 pasal dalam 52 UU. Kedua,
persyaratan investasi berkaitan dengan Sembilan pasal dalam empat UU. Ketiga,
ketenagakerjaan berkaitan dengan 63 pasal dalam tiga UU.

Keempat, kemudahan perlindungan UMKM, dan koperasi berkaitan dengan


enam pasal dalam tiga UU. Kelima, kemudahan berusaha berkaitan dengan 20 pasal
dalam 9 UU. Keenam, dukungan riset dan inovasi berkaitan dengan satu pasal dalam
satu UU. Ketujuh, adminsitrasi pemerintahan berkaitan dengan 11 pasal dalam dua
UU. Kedelapan, pengenaan sanksi yang merupakan norma baru. Kesembilan,
pengadaan lahan berkaitan dengan 14 pasal dalam 2 UU. Kesepuluh, investasi dan
proyek strategi nasional yang merupakan norma baru. Ke-11, kawasan ekonomi
berkaitan dengan 37 pasal di tiga UU.

Banyak Kelemahan

Tujuan RUU ini adalah menciptakan lapangan kerja seluas-luasnya bagi


rakyat Indonesia secara merata dalam rangka memenuhi hak penghidupan yang layak
memalui kemudahan dan perlindungan UMKM serta koperasi, peningkatan
ekosistem investasi, kemudahan berusaha, peningkatan perlindungan dan
kesejahteraan pekerja, serta percepatan proyek strategi nasional.

Sesuai judul di atas, tulisan singkat ini membahas perihal pengenaan sanksi
yang terdapat pada semua kluster dalam RUU Cipta Kerja dan penegakan hukumnya.
Terlepas dari tujuan mulia omnibus law Cipta Kerja tersebut, di RUU a quo banyak
terdapat kelemahan yang perlu diperbaiki sebelum dibahas lebih lanjut di DPR.
Kelemahan itu antara lain sejumlah ketentuan terkait sanksi pidana dan penegakan
hukumnya.

Dalam konteks hukum pidana, sejumlah ketentuan pidana dalam RUU a quo
adalah hukum pidana khusus eksternal atau hukum pidana khusus yang bukan UU
pidana. Dapat dikatakan juga sebagai hukum pidana administratif. Artinya, sejumlah
UU itu pada hakikatnya hukum adminsitratif yang diberi sanksi pidana. Adapun sifat
dan karakteristik hukum pidana khusus eksternal adalah pertama, ulltimum remidium.
Artinya hukum pidana adalah sarana terkahir jika pranata hukum lain tak lagi
berfungsi untuk menegakkan hukum. Kedua, perumusan jenis sanksi pidana
diancamkan secara alternatif. Ketiga, sanksi pidana bersifat subtitusi atas penerapan
sanksi lainnya.

Bila merujuk pada paradigma hukum pidana modern yang berorientasi pada
keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif. RUU Cipta Kerja
telah sesuai sesuai dengan paradigma itu. Keadilan korektif berkaitan dengan sanksi
terhadap kesalahan pelaku, keadilan rehabilitatif lebih pada perbaikan kesalahan,
keadilan restoratif menitikberatkan pada pemulihan terhadap korban yang terdampak
dari kesalahan pelaku. Sayangnya, paradigma hukum pidana modern itu tidak diikuti
penormaan yang sesuai sehingga rentan diajukan uji materiil ke Mahkamah
Konstitusi karena tidak memberikan kepastian hukum, multiinterpretasi, dan
diskriminatif.

Paling tidak ada delapan catatan perihal sanksi dan penegakan hukumnya dala
RUU Cipta Kerja. Pertama, prinsip penormaan yang dlandaskan pada rubrica est lex.
Artinya, judul bab yang menentukan. Hampir semua sanksi dalam setiap kluster
dalam RUU ini berada dalam Bab Ketentuan Pidana. Celakanya pelanggaran terhadap
norma itu secara expressive verbis dikenai sanksi administrasi. Tegasnya, terdapat
ketidaksinkronan antara judul bab dan subtansi pasal. Jika norma diuji, hampir
dipastikan akan dibatalkan karena melanggar prinsip tersebut di atas yang lengkapnya
titulus est lex rubrica est lex.

Kedua, ancaman sanksi pidana yang tidak konsisten antara satu UU dan UU
yang lain. Ada jenis sanksi pidana yang diancamkan secara alternatif, tetapi ada juga
jenis sanksi pidana yang diancamkan secara kumulatif. Padahal, jika bersandar pada
karaketristik hukum pidana khusus eksternal, seharusnya jenis sanksi pidana yang
diancamkan secara alternatif. Ketiga, Pasal 18 angka 35 yang mengubah Pasal 70 UU
No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam perubahan pasal 70 terdapat
ketidaksinkronan antara angka nominal sanksi administrasi dan angka yang terbilang.
Nominal angka 4.000.000.000,00. Namun, angka yang terbilang adalah dua miliar
rupiah.

Keempat Pasal 23 angka 37 yang mengubah Pasal 98 UU No. 32 tahun 2009


tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup. Perubahan Pasal 98 Ayat
(2) dalam RUU Cipta Kerja tidak mencantumkan jenis sanksi pidana yang dapat
dijatuhkan. Kelima, ketentuan Pasal 25 angka 41 yang mengubah Pasal 44 UU No. 28
tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Perumahan Pasal 44 pada intinya antara lain
menyatakan bahwa pemilik bangunan gedung yang tidak memiliki persyaratan
dikenai sanksi administrasi. Padahal dalam RUU a quo sejumlah pasal mengenai
persyaratan bangunan gedung dihapus.

Keenam, penggunaan stelsel pemidanaan yang tidak konsisten. Terkadang


antara satu ayat dan ayat yang lain dalam satu pasal menggunakan stelsel pemidanaan
yang berbeda. Pada ayat satu menggunakan intermediate sentence. Artinya
pembentuk UU menetapkan batasan minimum dan batasan maksimum pidana yang
dapat dijatuhkan. Namun, pada ayat yang lain menggunakan indefinite sentence.
Artinya pembentuk UU hanya menetapkan minimum khusus tanpa maksimum
khusus. Hal ini berdampak pada disparitas pidana dalam praktik penegakan hukum
sehingga menimbulkan ketidakpastian dan cenderung diskriminatif.

Ketuujuh, perihal pertanggungjawaban korporasi. Omnibus law Cipta Kerja


tidak memiliki konsep yang jelas terkait pertanggungjawaban korporasi. Apakah
pertanggungjawaban korporasi hanya sebatas administrasi dan perdata atau kah juga
termasuk pertanggungjawaban pidana korporasi. Jika termasuk pertanggungjawaban
pidana korporasi, konsep lebih lanjut yang dipertanyakan apakah menggunakan
identifikasi teori atau agregasi teori. Hal ini sangat berdampak pada jenis pidana yang
dijatuhkan. Jika menggunakan teori identifikasi, maka selain pidana denda, pidana
penjara pun dapat dijatuhkan terhadap pengurus. Lain halnya jika yang digunakan
adalah teori agregasi, jenis pidana yang dapat dijatuhkan hanyalah denda. Jika
melihat secara keseluruhan RUU Cipta Kerja hampir sebagian besar menganut
pertanggungjawaban korporasi sebatas adminsitrasi dan perdata. Sayangnya, ada
beberapa pasal yang mencantumkan ancaman pidana penjara korporasi.

Macan Kertas

Kedelapan, perihal penegakan hukum. Kewenangan Polri sebagai penyidik


dalam 79 UU yang tercakup RUU Cipta Kerja dihapus dan diserahkan ke penyidik
pegawai negeri sipil (PPNS). Perlu diingat, tak semua kementerian memiliki PPNS.
Pembentukan PPNS pada suatu kementerian bukanlah hal yang mudah, terlebih jika
tindakan itu bersifat projustisia. Konsekuensi lebih lanjut, jika terjadi pelanggaran
terhadap omnibus law Cipta Kerja, sedangkan PPNS pada kementerian itu belum
terbentuk, maka penegakan hukum terhadap pelanggaran tak dapat diterapkan.
Artinya, berbagai sanksi yang ada dalam RUU Cipta Kerja ibarat macan kertas.

View publication stats

Anda mungkin juga menyukai