net/publication/340526049
CITATIONS READS
0 2,077
1 author:
SEE PROFILE
Some of the authors of this publication are also working on these related projects:
Seminar Nasional dan Call For Papers yang diselenggarakan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR RI) yang Bekerja sama dengan Laboratorium Hukum Tata Negara,
Fakultas Hukum, Universitas Surabaya dan Asosiasi Pimpinan Perguruan Tinggi Hukum Indonesia dengan Tema “Aktualisasi UUD Negara RI Tahun 1945 dalam
Penyelenggaraan Negara: 23 Tahun Reformasi” Pada Tanggal 11-12 Desember 2021. View project
Call For Paper BEM UNESA dengan tema "Pentingnya Semangat Sumpah Pemuda untuk Menggerakan Peran Generasi Muda di Tengah Pandemi COVID-19" View project
All content following this page was uploaded by Dicky Eko Prasetio on 09 April 2020.
Oleh: Eddy O.S. Hiariej (Guru Besar Hukum Pidana Fakultas Hukum UGM)
Disalin oleh: Dicky Eko Prasetio (Pemerhati Politik dan Ketatanegaraan. Mahasiswa
Ilmu Hukum, Universitas Negeri Surabaya. Anggota SEALS FH UNESA).
Berdomisili di Ngasem, Bojonegoro.
RUU Cipta Kerja atau omnibus law Cipta Kerja telah diserahkan secara resmi oleh
pemerintah kepada DPR pada 12 Februari 2020 untuk di bahas dalam masa sidang
berikut.
RUU setebal 1.028 halaman itu terdiri atas 174 pasal yang berdampak pada
1.203 pasal dalam 79 UU. RUU a quo terdiri atas 11 kluster pembahasan. Pertama,
penyederhanaan perizinan berkaitan dengan 1.042 pasal dalam 52 UU. Kedua,
persyaratan investasi berkaitan dengan Sembilan pasal dalam empat UU. Ketiga,
ketenagakerjaan berkaitan dengan 63 pasal dalam tiga UU.
Banyak Kelemahan
Sesuai judul di atas, tulisan singkat ini membahas perihal pengenaan sanksi
yang terdapat pada semua kluster dalam RUU Cipta Kerja dan penegakan hukumnya.
Terlepas dari tujuan mulia omnibus law Cipta Kerja tersebut, di RUU a quo banyak
terdapat kelemahan yang perlu diperbaiki sebelum dibahas lebih lanjut di DPR.
Kelemahan itu antara lain sejumlah ketentuan terkait sanksi pidana dan penegakan
hukumnya.
Dalam konteks hukum pidana, sejumlah ketentuan pidana dalam RUU a quo
adalah hukum pidana khusus eksternal atau hukum pidana khusus yang bukan UU
pidana. Dapat dikatakan juga sebagai hukum pidana administratif. Artinya, sejumlah
UU itu pada hakikatnya hukum adminsitratif yang diberi sanksi pidana. Adapun sifat
dan karakteristik hukum pidana khusus eksternal adalah pertama, ulltimum remidium.
Artinya hukum pidana adalah sarana terkahir jika pranata hukum lain tak lagi
berfungsi untuk menegakkan hukum. Kedua, perumusan jenis sanksi pidana
diancamkan secara alternatif. Ketiga, sanksi pidana bersifat subtitusi atas penerapan
sanksi lainnya.
Bila merujuk pada paradigma hukum pidana modern yang berorientasi pada
keadilan korektif, keadilan rehabilitatif, dan keadilan restoratif. RUU Cipta Kerja
telah sesuai sesuai dengan paradigma itu. Keadilan korektif berkaitan dengan sanksi
terhadap kesalahan pelaku, keadilan rehabilitatif lebih pada perbaikan kesalahan,
keadilan restoratif menitikberatkan pada pemulihan terhadap korban yang terdampak
dari kesalahan pelaku. Sayangnya, paradigma hukum pidana modern itu tidak diikuti
penormaan yang sesuai sehingga rentan diajukan uji materiil ke Mahkamah
Konstitusi karena tidak memberikan kepastian hukum, multiinterpretasi, dan
diskriminatif.
Paling tidak ada delapan catatan perihal sanksi dan penegakan hukumnya dala
RUU Cipta Kerja. Pertama, prinsip penormaan yang dlandaskan pada rubrica est lex.
Artinya, judul bab yang menentukan. Hampir semua sanksi dalam setiap kluster
dalam RUU ini berada dalam Bab Ketentuan Pidana. Celakanya pelanggaran terhadap
norma itu secara expressive verbis dikenai sanksi administrasi. Tegasnya, terdapat
ketidaksinkronan antara judul bab dan subtansi pasal. Jika norma diuji, hampir
dipastikan akan dibatalkan karena melanggar prinsip tersebut di atas yang lengkapnya
titulus est lex rubrica est lex.
Kedua, ancaman sanksi pidana yang tidak konsisten antara satu UU dan UU
yang lain. Ada jenis sanksi pidana yang diancamkan secara alternatif, tetapi ada juga
jenis sanksi pidana yang diancamkan secara kumulatif. Padahal, jika bersandar pada
karaketristik hukum pidana khusus eksternal, seharusnya jenis sanksi pidana yang
diancamkan secara alternatif. Ketiga, Pasal 18 angka 35 yang mengubah Pasal 70 UU
No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang. Dalam perubahan pasal 70 terdapat
ketidaksinkronan antara angka nominal sanksi administrasi dan angka yang terbilang.
Nominal angka 4.000.000.000,00. Namun, angka yang terbilang adalah dua miliar
rupiah.
Macan Kertas