Anda di halaman 1dari 11

BAB I

PENDAHULUAN
1. Latar Belakang
Indonesia merupakan negara berkembang yang terus melakukan pembangunan fisik
infrastruktur dan bangunan umum. Dalam prosesnya dibutuhkan banyak sekali tenaga
ahli dari beragam profesi guna terus melanjutkan pembangunan, sehingga dicapailah
kesejahteraan rakyat seperti yang diamanatkan dalam undang-undang dasar 1945.
Untuk melaksanakan pembangunan tersebut dibutuhkan regulasai atau aturan-aturan
yang menjadi payung hukum selama proses pembangunan berlangsung.
Hukum Pembangunan dan Perburuhan merupakan regulasi yang membahas tentang
ketenagakerjaan atau perburuhan dan dunia konstruksi atau pembangunan di
indonesia. Lebih rincinya hukum perburuhan membahas tentang seperangkat aturan
dan norma, baik tertulis maupun tidak tertulis yang mengatur pola hubungan
Industrial antara Pengusaha, di satu sisi, dan Pekerja atau buruh, di sisi yang lain.
Sedangkan hukum pembangunan membahas tentang peraturan-peraturan pemerintah
dan daerah yang terkait dengan pembangunan, perumahan dan pemukiman,
perkotaan, konstruksi, dan tata ruang.
Pada dasarnya hukum perburuhan mempunyai sifat melindungi dan menciptakan rasa
aman, tentram, dan sejahtera dengan mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat.
Hukum perburuhan dalam memberi perlindungan harus berdasarkan pada dua aspek,
Pertama, hukum dalam perspektif ideal diwujudkan dalam peraturan perundangundangan (heterotom) dan hukum yang bersifat otonom. Ranah hukum ini harus dapat
mencerminkan produk hukum yang sesuai cita-cita keadilan dan kebenaran,
berkepastian, dan mempunyai nilai manfaat bagi para pihak dalam proses produksi.
Hukum perburuhan tidak semata mementingkan pelaku usaha, melainkan
memperhatikan dan memberi perlindungan kepada pekerja yang secara sosial
mempunyai kedudukan sangat lemah, jika dibandingkan dengan posisi pengusaha
yang cukup mapan. Hukum memberi manfaat terhadap prinsip perbedaan sosial serta
tingkat ekonomi bagi pekerja yang kurang beruntung, antara lain seperti tingkat
kesejahteraan, standar pengupahan serta syarat kerja, sebagaimana diatur dalam
peraturan perundang-undangan dan selaras dengan makna keadilan menurut ketentuan
Pasal 27 ayat 2 Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : Tiap-tiap warga negara berhak
atas pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan. Demikian pula
ketentuan Pasal 28 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945, bahwa : Setiap orang
berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan dan perlakuan yang adil dan layak
dalam hubungan kerja ; Kedua, hukum normatif pada tingkat implementasi
memberikan kontribusi dalam bentuk pengawasan melalui aparat penegak hukum dan

melaksanakan penindakan terhadap pihak-pihak yang tidak mematuhi ketentuan


hukum.
Perangkat hukum yang diberikan kepada buruh sudah cukup melindungi buruh dalam
melaksanakan pekerjaannya, demikian pula seperangkat regulasi tentang
pembangunan yang banyak membahas masalah aturan main dalam melaksanakan
pembangunan di indonesia seperti jasa konstruksi, tatar ruang, permukiman, bangunan
gedung , dan lainnya. sebagai contoh pada undang-undang Nomor 28 Tahun 2002
tentang Bangunan Gedung, Undang-undang ini mengatur tentang Fungsi bangunan
gedung, Persyaratan bangunan gedung, Penyelenggaraan bangunan gedung, Hak dan
kewajiban pemilik dan pengguna gedung pada setiap tahap penyelenggaraan
bangunan gedung, ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh
pemerintah, sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup. Keseluruhan maksud
dan tujuan pengaturan tersebut dilandasi oleh asa kemanfaatan, keselamatan,
keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung dengan lingkungannya, bagi
kepentingan masyarakat yang berperikemanusiaan dan berkeadilan.
Lalu kemudian dimanakah posisi arsitek dalam sederet peraturan-peraturan tadi?
Adakah secera tersirat maupun tersurat arsitek termaksud dalam deretan peraturanperaturan dalam hukum perburuhan dan pembangunan?
2. Rumusan Masalah
Dari uraian diatas dapat ditarik beberapa rumusan masalah, yaitu :
Apakah hukum perburuhan dan pembangunan dapat menjadi payung hukum
ideal bagi profesi arsitek?
Bagaimana payung hukum yang paling ideal untuk arsitektur secara khusus?

3. Tujuan
Tujuan penyusunan peper ini adalah semata untuk memenuhi kewajiban penyelesain
tugas mata kuliah hukum pembangunan dan perburuhan sebagai salah satu syarat
kelulusan mata kuliah tersebut.
4. Metode Pembahasan
Metode yang digunakan dalam pembahasan paper ini adalah metode deskriptif
analisis, dimana akan membahas satu persatu dari rumusun masalah yang sudah
tertuang, dan memberikan thesis berdasarkan analisa yang telah dilakukan.
5. Manfaat
Dari hasil penyusunan paper ini diharapkan dapat ditarik manfaat berupa ilmu-ilmu
dan pengetahuan tentang segala macam regulasi dan peraturan yang berkaitan dengan
dunia pembangunan dan hubungannya dengan profesi arsitek itu sendiri. Sehingga
dikemudian hari dapat menjadi modal dalam melakoni praktek keprofesian arsitek
secara langsung.
2

BAB II
PEMBAHASAN
I.

Pengertian dan Ruang Lingkup Hukum Perburuhan

a. Pengertian
Hukum Perburuhan pada dasarnya adalah sebuah hukum yang mengatur tentang
perburuhan atau ketenaga-kerjaan. Sedangkan menurut Prof.Imam Supomo adalah :
Suatu himpunan peraturan, baik tertulis maupun tidak, yang berkenaan dengan suatu
kejadian di mana seseorang bekerja pada orang lain dengan meneripa upah.
b. Pengaturan Hukum Perburuhan
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan
c. Unsur-Unsur Dari Hukum Perburuhan
Unsur-Unsur dari hukum perburuhan diantaranya adalah :
Serangkaian peraturan
Peraturan mengenai suatu kejadian
Adanya orang yang bekerja pada orang lain
Adanya balas jasa yang berupa upah.
d. Upah
Hak pekerja/buruh yang diterima dan dinyatakan dalam bentuk uang sebagai imbalan
dari pengusaha/pemberi kerja kepada pekerja/buruh yang ditetapkan dengan perjanjian
kerja.
e. Hubungan Kerja
Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjian kerja antara majikan dengan
pekerja/buruhnya(biasanya dalam bentuk kontrak tertulis).
Dasar perjanjian kerja :
Kesepakatan
Kecakapan melakukan perbuatan hukum
Adanya pekerjaan yang diperjanjikan
Pekerjaan yang diberikan tidak bertentangan dengan UU, ketertiban umum &
kesusilaan.
f. Perjanjian Kerja
Adanya sebuah Perjanjian kerja yang ditanda-tangani oleh kedua belah pihak baik oleh
bos atau pemimpin perusahaan dan juga oleh buruh/karyawan.
Perjanjian kerja tersebut memuat :

Nama, alamat perusahaan dan jenis usaha


Identitas pekerja
3

Jabatan dan jenis pekerjaan


Tempat pekerjaan
Besarnya upah
Tanda tangan para pihak.

g. Ruang Lingkup
Sedangkan menurut teori itu sendiri ada 4 lingkup Laku Hukum antara lain :
Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)
Yang termasuk dalam lingkup ini adalah Buruh, Pengusaha dan pengusaha
(pemerintah).
Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)
Didalam Hukum Perburuhan, ada peristiwa peristiwa tertentu yang timbul pada
waktu berbeda yaitu :
- Sebelum Hubungan Kerja terjadi
- Pada saat hubugnan kerja terjadi
- Sesudah hubungan kerja terjadi
Lingkup Laku menurut Wilayah (Ruimtegebied)
Pembatas wilayah berlakunya kaedah Hukum Perburuhan mencakup hal hal
sebagai berikut :
- Regional
Dalam hal ini dapat dibedakan dua wilayah, yaitu Non sektoral Regional dan
Sektoral Regional.
- Nasional
Dalam hal ini juga mencakup dua wilayah berlakunya hukum perburuhan, yaitu
Non Sektoral Nasional dan Sektor Nasional.
Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal
Dilihat dari materi muatan Hukum Perburuhan, maka dapat di golongkan kedalam
beberapa hal, diantaranya :
- Hal hal yang berkaitan dengan Hubungan Kerja atau Hubungan Perburuhan.
- Hal hal yang berkaitan dengan Perlindungan Jaminan Sosial dan Asuransi
Tenaga Kerja.
- Hal hal yang berkaitan dengan Keselamatan Kerja dan Kesehatan Kerja.
- Hal hal yang berkaitan dengan masalah penyelesaian perselisihan perburuhan
dan pemutusan hubungan kerja.
- Hal hal yang berkaitan dengan masalah pengerahan Tenaga Kerja dan
Rekrutmen.

II.

Hukum Pembangunan Nasional


Pembangunan yang terus dilakukan negara ini telah diatur oleh undang-undang
agar memiliki arah dan patokan yang jelas. Beberapa undang-undang tentang
pembangunan tersebut yaitu :
a. Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002 tentang Bangunan Gedung Lihat
Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2002
Undang-undang ini mengatur
Fungsi bangunan gedung,
Persyaratan bangunan gedung,
Penyelenggaraan bangunan gedung,
Hak dan kewajiban pemilik dan pengguna gedung pada setiap tahap
penyelenggaraan bangunan gedung,
Ketentuan tentang peran masyarakat dan pembinaan oleh pemerintah,
sanksi, ketentuan peralihan, dan ketentuan penutup.
Keseluruhan maksud dan tujuan pengaturan tersebut dilandasi oleh asa
kemanfaatan, keselamatan, keseimbangan, dan keserasian bangunan gedung
dengan
lingkungannya,
bagi
kepentingan
masyarakat
yang
berperikemanusiaan dan berkeadilan.
b. Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005 tentang Peraturan Pelaksanaan
UU No. 28 Tahun 2002 Lihat Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005
Peraturan Pemerintah ini merupakan aturan pelaksanaan dari UU No.28
Tahun 2002. yang mana mengatur pelaksanaan

Fungsi bangunan gedung,

Persyaratan bangunan gedung,

Penyelenggaraan bangunan gedung,

Peran masyarakat dalam penyelenggaraan bangunan gedung, dan

Pembinaan dalam penyelenggaraan bangunan gedung.


c. Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang Lihat
Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007
Undang-undang ini memuat hukum tata ruang yang berisi

sekumpulan asas,

pranata,

kaidah hukum, yang mengatur hal ikhwal yang berkenaan dengan

hak,

kewajiban,

tugas,

wewenang pemerintah serta hak dan kewajiban masyarakat


Dalam upaya mewujudkan tata ruang yang terencana dengan memperhatikan
keadaan lingkungan alam, lingkungan buatan, lingkungan sosial, interaksi
antar lingkungan, tahapan dan pengelolaan bangunan, serta pembinaan
5

kemampuan kelembagaan dan sumber daya manusia yang ada, berdasarkan


kesatuan wilayah nasional dan ditujukan bagi sebesar-besarnya kemakmuran
rakyat.
d. Peraturan Menteri Pekerjaan Umum Nomor 29/PRT/M/2006 tentang Pedoman
Persyaratan Teknis Bangunan Gedung. Lihat Peraturan Menteri Pekerjaan
Umum Nomor 29/PRT/M/2006

Peraturan Menteri ini adalah pedoman dan standar teknis yang dapat
dijadikan sebagai pedoman dalam penyelenggaraan bangunan gedung yang
tertera dalam Peraturan Pemerintah Nomor 36 Tahun 2005.

Pedoman teknis ini dimaksudkan sebagai acuan yang diperlukan dalam


mengatur dan mengendalikan penyelenggaraan bangunan gedung dalam
rangka proses perizinan pelaksanaan dan pemanfaatan bangunan, serta
pemeriksaan kelayakan fungsi bangunan gedung.

e. Undang-Undang Nomor 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun Lihat UndangUndang Nomor 16 Tahun 1985

Pembangunan rumah susun untuk BUMN atau Swasta yang bergerak pada
usaha itu atau swadaya masyarakat pada dasarnya diperbolehkan, asal sesuai
dengan ketentuan.

Undang-undang ini mewajibkan adanya Perhimpunan Penghuni, anggotanya


adalah seluruh penghuni.

Rumah susun dengan hak kepengolaan, harus diurus dulu hak tersebut
menjadi hak guna bangunan "sebelum" dijual persatuan unit.
f. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992 Tentang Perumahan Dan Pemukiman
Lihat Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1992
Setiap orang atau badan yang membangun rumah atau perumahan wajib
mengikuti persyaratan :

teknis,

ekologis, dan

administratif, melakukan pemantauan dan pengelolaan lingkungan.


Rumah dapat dijadikan jaminan hutang. Rumah juga bisa dialih tangankan,
diperjualbelikan, dihibahkan dan diwariskan.
g. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria
Lihat Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960
Pasal-pasal dalam undang-undang ini menjamin hak-hak atas tanah,
mengandung sifat-sifat dapat dipertahankan terhadap gangguan dari
siapapun.
Sifat-sifat yang demikian itu merupakan jaminan aspek tanah atas keamanan
bangunan yang dibangun atasnya.
6

Macam-macam hak atas tanah untuk bangunan bergantung pada subjek hak
dan jenis penggunaan tanahnya, jadi bukan karena memperhatikan luas
tanahnya.
Orang perorangan dapat memiliki hak milik atas tanah dan bangunan
sepanjang batasan luas yang wajar untuk bangunan atau sesuai dengan
peruntukan yang telah ditetapkan pemerintah setempat.
h. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999 tentang Jasa Konstruksi
Lihat Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1999

III.

Arsitek dan Tanggung Jawabnya


Setelah arsitek ditetapkan untuk menjadi penyedia jasa (melalui penunjukan
langsung, sayembara maupun penilaian proposal) maka berbagai tugas pertama
akan segera dijalankan. Arsitek, dibantu oleh berbagai profesi lain terkait, akan
mengumpulkan data-data teknis antara lain: peta lokasi, kondisi tanah, iklim
setempat, infra struktur yang tersedia, pola lalu lintas sekitar dan peraturan
bangunan. Bila penetapannya tidak langsung dilakukan untuk merancang, maka ia
akan melakukan survey dan atau studi banding untuk menyiapkan feasibility study.
Selain data teknis, ia juga harus mengetahui peraturan membangun, ketersediaan
teknologi dan bahan bangunan, visi dan misi pengguna jasanya, kebiasaan
pengguna bangunan, sampai tujuan perancangan. Pengumpulan data-data ini tidak
linier tetapi berjalan berkesinambungan selama proses persiapan dilakukan.
Setelah dianggap cukup, proses perancangan dimulai dengan tahap conceptual
design. Tahap dimana arsitek mencoba menyampaikan gagasan dan apresiasinya
terhadap perancangan tersebut. Tahap ini umumnya berisi arah dan konsep
perancangan untuk memenuhi kebutuhan pengguna jasa. Setelah tahap ini
disetujui, dilanjutkan dengan tahap preliminary design. Arsitek mulai menawarkan
bentuk-bentuk nyata melalui sketsa-sketsa, gambar perspektif maupun maket
perancangan. Walaupun sifatnya preliminary, arsitek sudah mulai
mempertimbangkan sistim struktur, sistim mekanikal dan elektrikal yang akan
dipakai, pilihan teknologi dan bahan serta perkiraan biaya bangunan. Kembali
setelah memperoleh persetujuan dari pengguna jasa, tahap ini dilanjutkan dengan
tahap design development. Tahap dimana semua aspek perancangan disiapkan
dengan rinci dan digambar dengan lengkap. Banyak keputusan sudah dianggap
final dalam tahap ini, karena segera akan diteruskan dengan penyiapan construction
documents. Tahap dimana seluruh dokumen siap untuk digunakan dalam proses
konstruksi. Gambar-gambar dari seluruh disiplin, spesifikasi teknis dari bahan dan
teknologi yang digunakan, serta perkiraan biaya bangunan yang sangat rinci.
Mohon juga jangan dianggap seluruh tahap tersebut berjalan linier karena proses
perancangan selalu berjalan bolak-balik agar tercapai kualitas perancangan yang
konsisten. Bayangkan, misalnya denah lantai bangunan dirubah pada tahap design
7

development. Arsitek harus kembali sampai konsep awal apakah perubahan ini
masih menjawab masalah perancangan semula. Seandainya hal ini terjadi pada
rancangan bangunan delapan lantai, perubahan seperti ini akan merubah begitu
banyak rancangan dan bukan tidak mungkin menyia-nyiakan ribuan jam kerja dan
ratusan gambar.
Tahapan pekerjaan arsitek yang rumit! Ditambah peran mengkoordinasi berbagai
profesi lain seperti antara lain struktur, mekanikal, elektrikal, interior dan
landscape. Koordinasi ini wajib dilakukan agar perancangan dapat berjalan sesuai
jadual, menghasilkan rancangan yang berkualitas dan tidak bermasalah saat mulai
dibangun. Selain itu, pada masa konstruksi, arsitek wajib melakukan pengawasan
berkala untuk memastikan bahwa rancangannya dibangun dengan sempurna.
Pengawasan berkala ini diluar pengawasan sehari-hari yang sifatnya memeriksa
bahwa konstruksi dilakukan tepat seperti gambar dan spesifikasi teknis.
Demikian uraian singkat mengenai arsitek melakukan tahap-tahap pekerjaannya.
Secara ideal seluruh tahap tersebut diatas dilakukan untuk berbagai tipe bangunan,
sejak bangunan rumah tinggal sampai kompleks bangunan pecakar langit.
Melihat kompleksitas perancangan dan tanggung jawab berat yang dipikul, jelas
bahwa praktek arsitek tidak dapat dilakukan oleh sembarang ahli. Ahli itu haruslah
mempunyai latar belakang pendidikan arsitektur, pengalaman kerja (makin banyak
pengalaman makin tinggi keahliannya) dan kompetensi profesional. Hal-hal inilah
yang harus diakui secara legal-formal melalui Undang-Undang Arsitek. Pengakuan
terhadap profesi arsitek.

IV.

Payung Hukum Profesi Arsitek


Undang-undang Arsitek (UU-Ars) diperlukan untuk melindungi kepentingan
masyarakat luas dengan cara mengatur arsitek dan praktek arsitek.
Arsitek bekerja dengan keahliannya memenuhi permintaan pengguna jasa baik itu
orang perorangan, sekelompok orang maupun badan tertentu, atau masyarakat luas.
Dalam hal apapun arsitek lazimnya bekerja dalam tatacara praktek yang memegang
teguh etika arsitek, kaidah tatalaku yang baik, bekerja secara mandiri dan
menyuguhkan layanan jasanya secara profesional. Dengan demikian arsitek
diharapkan akan menghasilkan karya yang mempunyai nilai seni arsitektur yang
tinggi, memenuhi kebutuhan fungsional pengguna bangunannya dan dengan tetap
mengutamakan masyarakat luas sebagai kepentingan yang utama. Agar arsitek
tidak lalai atau sengaja menyalahgunakan keahlian dan kesempatan yang
dipunyainya, maka arsitek perlu diingatkan dan diatur melalui UU-Ars. UU-Ars ini
merupakan pranata untuk membantu terwujudnya praktek arsitek yang sehat
sekaligus pada gilirannya membantu pencapaian arsitektur Indonesia ke taraf yang
baik dan bernilai tinggi. Hal ini sangat penting bukan untuk kepentingan arsitek
8

melainkan lebih kepada memberikan jaminan dan garansi kepada masyarakat luas
bahwa mereka akan memperoleh bangunan yang sehat, aman, nyaman dan juga
indah. UU-Ars akan melengkapi berbagai hukum dan peraturan lain yang selama
ini dianggap kurang tepat untuk dikenakan kepada profesi arsitek. Lebih daripada
itu, selain diperlukan oleh arsitek, UU-Ars ini amat bernilai untuk dilihat sebagai
pengakuan masyarakat terhadap tenaga ahli bangsa sendiri. Pada umumnya
pengakuan bersifat mengenali hak-hak serta sekaligus meminta tanggung jawab
atas hak yang dimiliki oleh arsitek. Dengan demikian pengakuan masyarakat
terhadap arsitek akan memaksa arsitek Indonesia bekerja sekuat tenaga untuk
menghasilkan karya arsitektur yang terbaik, yang kemudian pada gilirannya akan
membuat iklim berprofesi menjadi sehat dan kompetitif.
Arsitek dan karyanya bukan sekedar komoditas niaga. Arsitektur berakar pada seni
budaya yang tinggi dan hal ini membutuhkan pengaturan yang khas untuk dapat
berkembang dengan baik. Perkembangan arsitektur di Indonesia akan menjadi
cermin budaya masyarakat Indonesia secara keseluruhan.
UUJK dan PP yang ada lebih bersifat teknis-administratif. Secara rinci diatur
dalam PP 28, PP 29 dan PP 30/2000 tentang peran masyarakat jasa konstruksi,
tentang penyelenggaraan jasa konstruksi, serta tentang pembinaan jasa konstruksi.
Dalam PP 28/2000, yang dianggap paling terkait dengan profesi arsitek, berisikan
aturan rinci tentang hak dan tanggung jawab penyedia dan pengguna jasa dalam
hubungan kerjasama kedua pihak. Tetapi tidak ada uraian dan pengaturan tentang,
misalnya, ahli apa yang kompeten melakukan pekerjaan bidang arsitektural,
kompetensi seperti apa yang dibutuhkan, asosiasi mana yang boleh diharapkan
menjadi tempat berkumpul dan menempa diri, dan yang lebih substansial adalah
tidak adanya pengertian mendasar tentang arsitektur itu sendiri. Arsitektur telah
dilihat hanya dari produknya saja. Produk yang dihasilkan melalui pemilihan
perencana, meyediakan jaminan bagi diri sendiri bahwa ia akan bekerja, dan
hasilnya diukur sebagai komoditi yang harus dijaga sampai sepuluh tahun. Seperti
halnya produk biasa yang dapat dijual-belikan begitu saja. Padahal, arsitek bekerja
bukan hanya untuk kepentingan client-nya saja, melainkan terutama untuk ultimate
client yaitu masyarakat luas. Setiap rancangan yang dibuat selalu
mempertimbangkan apakah rancangan tersebut tidak merugikan kepentingan
masyarakat luas. Dengan semangat sosial seperti itu dapat diduga bahwa proses
merancang tidak sekedar menggambar untuk menghasilkan bangunan yang kuat
dan indah. Dalam mengujudkan gagasannya arsitek harus belajar bagaimana iklim
setempat, bagaimana lalu lintas sekitar, apakah bangunannya menyediakan sarana
sosial bagi seluruh pemakai, dan banyak hal lain yang harus diperoleh dari
kebiasaan hidup setempat. Sungguh sukar luar biasa pekerjaan arsitek! Lebih
celaka lagi, tanpa maksud berlebihan, proses ideal ini merupakan standard
penciptaan karya arsitektur. Dengan demikian harus ada pengaturan dan peraturan
agar arsitek (Indonesia) bekerja sesuai dengan etika dan kaidah profesi seperti itu.

UU-Ars setidaknya dibuat dengan menguraikan tiga hal utama bagi arsitek, yaitu:
1) pendidikan yang diperoleh, 2) pengalaman praktek dan 3) mempunyai
kompetensi profesional (termasuk didalamnya pengertian terhadap kode etik dan
kaidah tata laku profesi). Melalui keutamaan ini kelak dapat diharapkan bahwa
arsitek akan lebih mampu meningkatkan kualitas lingkungan binaan secara
komprehensif. Suatu jawaban yang sangat terkait pada aspek kebudayaan, jauh
lebih rumit daripada sekedar kalkulasi dagang dan jual-beli gambar.

10

BAB III
KESIMPULAN
Hukum Pembangunan dan Perburuhan memang memiliki kaitannya dengan dunia arsitektur,
tetapi tidak bisa dijadikan payung hukum yang ideal bagi profesi arsitek. Arsitek harus
memiliki payung hukum sendiri untuk menaungi praktek keprofesiannya, agar diakui
keberadaan arsitek sebagai ahli dalam bidang pekerjaan lingkungan binaan sesuai dengan
pendidikan yang diterimanya, dan memenuhi hak masyarakat untuk hidup dalam lingkungan
binaan yang baik dan nyaman.
UU-Ars bersama dengan Undang-undang Jasa Konstruksi akan menegaskan kembali bahwa
hanya orang yang ahli pada bidangnya yang dapat mengerjakan bidang pekerjaan tertentu.
Arsitektur berhubungan dengan bangunan gedung atau kelompok bangunan gedung. Arsitek
mempelajari hal tersebut sejak tingkat pertama di perguruan tinggi selama sekurangkurangnya 8 (delapan) semester. Arsitek mempelajari bagaimana menghasilkan lingkungan
binaan yang baik, termasuk bangunan gedung, yang akan berfungsi baik bagi penggunanya
sekaligus mempunyai nilai seni arsitektur yang tinggi. Setelah selesai sekolah, arsitek masih
diwajibkan magang sekurang-kurangnya 2 (dua) tahun dibawah bimbingan arsitek senior,
sebelum dirinya dinyatakan kompeten sebagai arsitek profesional. Tidak ada disiplin ilmu
lain selain arsitektur yang mempelajari khusus tentang bangunan dan kelompok bangunan. Ini
meliputi tidak hanya masalah ilmu teknik membangun tetapi pengetahuan pada
pengorganisasian ruang, hubungan antar ruang secara tiga dimensi, hubungan antar bangunan
serta sikap bangunan terhadap lingkungannya. Tidak dapat dikesampingkan pula bahwa
perancangan arsitektur seperti hal diatas juga mengangkat nilai-nilai estetika yang abstrak
menjadi wujud kongkrit yang bisa dinikmati oleh banyak orang seperti bangunan yang indah,
warna yang menawan dan gaya bangunan yang menyenangkan.

11

Anda mungkin juga menyukai