Anda di halaman 1dari 12

RESUME

HUKUM PERBURUAN DAN KETENAGAKERJAAN

OLEH :

NAMA : TRITIUS M. D. FAR-FAR

NIM : 2016-21-187

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS PATTIMURA

2022
Pengertian Hukum Perburuan dan Ketenagakerjaan

Hukum Ketenagakerjaan dalam segi apapun dan bidang manapun hukum selalu ikut berperan
aktif. Selain hukum sebagai aturan, hukum juga berperan sebagai perlindungan.

Di dalam pemahaman hukum ketenagakerjaan yang ada dapat diketahui adanya unsur-unsur
hukum ketenagakerjaan, meliputi :

1. Serangkaian aturan yang berkembang kedalam bentuk lisan mauun tulisan

2. Mengatur hubungan antara pekerja dan pemilik perusahaan.

3. Adanya tingkatan pekerjaan, yang pada akhirnya akan diperolah balas jasa.

4. Mengatur perlindungan pekerja/ buruh, meliputi masalah keadaan sakit, haid, hamil,
melahirkan, keberadaan organisasi pekerja/ buruh dsb

Dari uraian di atas perlu diketahui bahwa beberapa ahli mengungkapkan pendapatnya mengenai
pengertian dari hukum ketenagakerjaan meliputi:

1. Menurut Molenaar, hukum perburuhan adalah bagian hukum yang berlaku, yang
pokoknya mengatur hubungan antara tenaga kerja dan pengusaha, antara tenaga kerja dan
tenaga kerja.

2. Menurut Mok, hukum perburuan adalah hukum yang berkenaan dengan pekerjaan yang
dilakukan oleh swapekerja yang melakukan pekerjaan atas tanggung jawab dan risiko
sendiri.

Ruang Lingkup Hukum Perburuan dan Ketenagakerjaan

Menurut Logemann, ruang lingkup suatu hukum perburuan ialah suatu keadaan dimana
berlakunya hukum itu sendiri. Menurut teori yang dijelaskan beliau ada empat ruang lingkup
yang dapat dijabarkan dibawah ini, meliputi :

1. Lingkup Laku Pribadi (Personengebied)

Dalam lingkup laku pribadi memiliki kaitannya dengan siapa atau dengan apa kaidah hukum
tersebut berlaku. Siapa-siapa saja yang dibatasi oleh hukum tersebut, meliputi :

I. Buruh/ Pekerja
II. Pengusaha/ Majikan
III. Penguasa (Pemerintah)

2. Lingkup Laku Menurut Waktu (Tijdsgebied)

Disini  ditunjukkan kapan sutu peristiwa tertentu diatur oleh suatu hukum yang berlaku.
3. Lingkup Laku Menurut Wilayah (Ruimtegebied)

Lingkup laku menurut wilayah berkaitan dengan terjadinya suatu peristiwa hukum yang di beri
batas – batas / dibatasi oleh kaedah hukum.

4. Lingkup Waktu Menurut Hal Ikhwal

Hakekat dan Sifat Hukum Perburuan dan KetenagaKerjaan

Secara yuridis buruh/tenaga kerja memang bebas memilih dan menentukan nasibnya, bebas
memilih dan menentukan pekerjaan yang disukainya. Hal ini dapat dipahami karena prinsip di
negara kita adalah : “tidak seorangpun boleh diperbudak, diperulur dan diperhamba”.
Perbudakan dan perhambaan merupakan perbuatan yang melanggar hak asasi manusia. Namun
secara sosiologis/kemasyarakatan buruh/tenaga kerja merupa-kan orang yang tidak bebas, karena
ia terpaksa bekerja dan mengikuti majikannya/pengusahanya di mana ia berada.

Sebagian besar tenaga kerja di Indonesia merupakan tenaga kerja yang tidak mempunyai bekal
hidup yang berupa keahlian dan ketrampilan, selain tenaganya. Majikan/pengusaha yang pada
dasarnya menentukan syarat-syarat kerja bahkan dapat dikatakan pengusahalah yang
menentukan hidup dan matinya tenaga kerja. Dalam prakteknya baik secara jasmaniah dan
rohaniah tenaga kerja merupakan pihak yang tidak bebas.

Untuk melindungi tenaga kerja yang demikian tadi ada perlindungan yang diterapkan dengan
cara :

a. Menetapkan peraturan dari penguasa/pemerintah yang bersifat heteronoom.

b. Menetapkan peraturan yang dibuat oleh pengusaha bersamasama dengan Serikat Pekerja yang
disebut Perjanjian Kerja Bersama/PKB.

c. Menetapkan peraturan yang dibuat oleh pengusaha yang disebut peraturan perusahaan yang
bersifat otonoom.

Dalam hal ini peraturan jenis kedua dan ketiga tidak boleh bertentangan dengan jenis pertama.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sifat hukum ketenaga-kerjaan adalah :

1. Melindungi pihak yang lemah dan menempatkan mereka pada kedudukan yang layak bagi
kemanusiaan.
2. Untuk mendapatkan keadaan sosial dalam lapangan perburuhan atau ketenagakerjaan yang
pelaksanaannya diselenggarakan dengan jalan melindungi tenaga kerja terhadap kekuasaan
pengusaha yang tidak terbatas.

Sumber-sumber Hukum Perburuan dan Ketenagakerjaan

Dalam hal pemaknaan sumber hukum maka ada beberapa sumber hukum perburuhan yang bisa
dijadikan rujukan dalam mengkaji persoalan perburuhan di Indonesia,yakni Undang-Undang dan
Peraturan lainnya, Kebiasaan, Yurisprudensi/Putusan hubungan industrial, Perjanjian, dan
Traktat.

1. Undang-Undang dan Peraturan – Peraturan 

Di atas sudah dijelaskan Indonesia menganut tradisi civil law, di mana keputusan legilsatif
menjadi produk hukum utamanya ketimbang yang lainn artinya Undang-undangmenjadi sumber
hukum utama dalam hukum perburuhan. Sedangkan makna peraturanlainnya adalah peraturan-
peraturan yang kedudukannya lebih rendah daripada undang-undang termasuk di dalamnya
adalah peraturan pemerintah, keputusan presiden, peraturanatau keputusan instansi lain dalam
bida perburuhan dan lain sebagainya sesuai dengan tingkatan herarki peraturan perundang-
undangan.

2. Kebiasaan 

Kebiasaan (customary law) merupakan perilaku terus menerus dan dilakukan secara berulang-
ulang, sehingga perilaku yang berulang-ulang itu bisa menjadi hukum bagi para pihak yang
terkait yang terikat untuk melaksanakannya. Satu kali dilakukan dan dijadikandasar pemberian
hak kepada buruh,akan dijadikan acuan untuk selanjutnya, kecuali adaalasan-alasan yang dapat
diajukan untuk tidak melaksanakannya asalkan dibuat perjanjian/persetujuan dari pihak
buruh/pekerja. Misalnya: Pemberian bonus diakhir tahun. Jellinek juga mengungkapkan bahwa
perbuatan yang diulang secara terus menerus itu bisamempunyai kekuatan normative (die
normatieve karft des factischen) tentu hal ini dilakukankarena adanya sebab yang patut dan tidak
bertentangan dengan hukum lainnya. Kebiasaan menjadi penting dalam hukum perburuhan
karena disebabkan oleh dua hal, yakni :

• Perekembangan masalah : masalah perburuhan jauh lebih cepat dari perundang-undangan yang
ada.

• Banyak peraturan yang dibuat zaman Hindia Belanda yang tidak sesuai lagi dengankeadaan
ketenagakerjaan setelah Indonesia merdeka.

 
3. Yurisprudensi/Putusan pengadilan hubungan Industrial 

Sudikno memberikan arti yurisprudensi itu sebagai peradilan pada umumnya (juricature
rechtpraak) yang mempunyai makna yaitu pelaksanaan hukum dalam halkonkret terhadap
tuntutan hak yang dijalankan oleh suatu badan yang berdiri sendiri dandiadakan oleh suatu
negara, serta bebas dari pengaruh apa atau siapa pun dengan caramemberikan putusan yang
bersifat mengikat dan berwibawa. Walaupun demikian, Sudikno menerima bahwa yurisprudensi
dapat pula berarti ajaran hukum atau doktrin yang dimuatdalam putusan. Yurisprudensi juga
dapat berarti putusan pengadilan.Meskipun Sudikno mengatakan yang dimaksud dengan putusan
pengadilan tetapi tidaksecara teks dimaknai dengan lembaga peradilan (judikatif) tetapi juga bisa
dimaknailembaga yang diberikan kewenangan untuk membuat putusan terkait dengan sengketa
perburuhan. Seperti halnya putusan arbitrasi yang tertuang dalam pasal 49 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Indistrial. Perlu diketahui
arbitrasi bukanlah lembaga peradilan yang masuk dalam ranah judikatif namunmempunyai
kewenangan untuk menyelesaiakan perselisihan kepentingan, dan perselisihanantar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial
melalui kesepakatan tertulis dari para pihak yang berselisih untukmenyerahkan penyelesaian
perselisihan kepada arbiter yang putusannya mengikat para pihak dan bersifat final

4. Perjanjian/Traktat 

Bagi ahli hukum perburuhan Imam Soepomo mengaskan perjanjian perburuhan mempunyai
hukum seperti undang-undang. Dalam perjanjian ada asas pacta sunt servanda yakni perjanian
merupakan undang-undang bagi para pihak yang membuatnya.Pengaturan mengenai asas pacta
sunt servanda diatur dalam Pasal 1338 ayat (1) dan (2) KUPer yaitu : 

• Semua persetujuan yang dibuat sesuai dengan undang-undang berlaku sebagai undang-undang
bagi mereka yang membuatnya; 

• Persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak,atau
karena alasan-alasan yang ditentukan oleh undang-undang.

Di atas adalah perjanjian yang bersifat keperdataan (individu), dalam hal kaitannya perjanjian
antar negara itu ada konvensi atau Perjanjian internasional juga bisa dijadikansumber hukum
namun belum tentu perjanjian tersebut diiberlakukan di Indonesia kalau belum diratifikasi oleh
Indonesia sendiri. Jadi pengesahan suatu oerjanjian internasional oleh pemerintah Indonesia
dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut dilakukan melalui
Undang-undang. 

Untuk meratifikasi (pengesahan) perjanjian internasional dilakukan melalui UU apabila


berkenaan dengan :

a) masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;


b) perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;

c) kedaulatan atau hak berdaulat negara;

d) hak asasi manusia dan lingkungan hidup;

e) pembentukan kaidah hukum baru.

Sejarah Perkembangan Hukum Perburuan dan Ketenagakerjaan

Revolusi industri di Inggris yang kemudian berpuncak di Prancis merupakan suatu atau
perubahan yang besar bagaimana cara manusia berproduksi akibat dari ditemukannya mesin-
mesin produksi (terutama penemuan mesin uap) yang sangat efisien dalam proses produksi.
Mesin-mesin produksi secara signifikan menggeser peran tenaga manusia dalam proses produksi,
sehingga kehidupan pekerja/buruh sangat menyedihkan; upah murah, waktu kerja panjang,
belum adanya perlindungan keselamatan dan kesehatan kerja, tanpa jaminan sosial. Situasi ini
menumbuhkan kesenjangan sosial dan ekonomi antara pekerja/buruh dengan pemilik modal yang
semakin lebar. Timbul pemikiran dan gagasan untuk membangun hubungan industrial yang lebih
manusiawi dan berkeadilan melalui peraturan perundang-undangan ketenagakerjaan (Hukum
Perburuhan) Dari waktu ke waktu peraturan perundang-undangan berkembang menjadi lebih
baik sehingga menciptakan hubungan industrial yang berkeadilan Pemahaman suatu kontrak
(1890-an) tsb terus berlanjut dan menurun dalam pengaruhnya, karena para pekerja “tidak lagi
merasa dirinya secara moral terikat” untuk menghargai kontrak.

Suatu perjanjian itu sendiri sejauh ini tidak relevan karena hal itu berdampak pada pengaruh
ekonomi dari perkerja secara individu. Sebenarnya sejak tahun 1870-an terjadi kontrak/
bertikaian perburuhan, karena pengaruh ekonomi, para kaum buruh tidak pernah diikutkan dalam
perjanjian sedangkan kalangan majikan (pengusaha) mempunyai kekuasaan tidak terbatas untuk
menentukan putusan selebihnya berada di tangan Pemerintah. Setelah kaum buruh mempunyai
senjata ampuh yaitu mogok 37 karena memiliki organisasi kuat besar (banyak anggota) sehingga
pengusaha mengandalkan perlindungan peradilan selama tahun 1880-an. Pemahaman suatu
kontrak (1890-an) tsb terus berlanjut dan menurun dalam pengaruhnya, karena para pekerja
“tidak lagi merasa dirinya secara moral terikat” untuk menghargai kontrak. Suatu perjanjian itu
sendiri sejauh ini tidak relevan karena hal itu berdampak pada pengaruh ekonomi dari perkerja
secara individu. Dari perjuangan ketiga pemimpin buruh di USA pada tahun 1870-1890 yang
dihukum mati 1 Mei 1890 oleh pemerintah Amerika Serikat. Pada hari eksekuti (1 Mei 1890
tsb), kemudian perjuangan pemimpin buruh telah dilanjutkan oleh para isterinya, maka dijadikan
setiap tanggal; “1 Mei” sebagai Hari Buruh Dunia, atau “May Day”.
Umur ILO Sudah 94 tahun bila dihitungan pada tahun 2013, dan Indonesia masuk anggota ILO
sejak 1970, juga Indonesia negara pertama di Asia dan urut ke-5 di dunia yang telah merativikasi
konvensi ILO. Perayaan Hari Buruh pada 1 Mei 2013 di Jakarta, diharapkan kaum buruh tidak
anarkis dalam memperingati Hari Buruh. Antisipasi dari pihak Polisi disiagakan 7.000 personil
yang dibantu TNI dilakukan mulai titik kumpul buruh, tempat orasi hingga membubarkan diri
buruh. Pada perayaan Hari Buruh (1 Mei 2013), kalangan kaum buruh mengajukan tuntutan
(Kompas, 25 April 2013: 27) yaitu; 1. Penghapusan sistem kerja kontrak atau outsourcing. 2.
Pemberian upah buruh layak. 3. Pemerintah revisi Permenakertran No. 13 Tahun 2012 terutama
60 item KHL (Kebutuhan Hidup Layak) menjadi 82.

PERJANJIAN KERJA

Menurut Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Pasal 1 angka 14, Perjanjian Kerja adalah suatu
perjanjian antara pekerja dan pengusaha atau pemberi kerja yang memuat syarat-syarat kerja, hak
dan kewajiban kedua belah pihak.

Sedangkan menurut Subekti, perjanjian kerja memiliki definisi “Perjanjian antara seorang buruh
dan majikan, yang ditandai dengan ciri-ciri adanya upah atau gaji tertentu yang diperjanjikan dan
adanya suatu hubungan di peratas, yaitu hubungan berdasarkan pihak satu (majikan) yang berhak
memberikan perintah-perintah yang harus ditaati oleh pihak lain (buruh)”.

Perjanjian kerja dapat dilakukan dengan dua cara, yakni secara lisan antara pekerja dan
pengusaha, dan secara tertulis yaitu melalui surat perjanjian yang ditandatangani kedua belah
pihak. Sebagai bagian dari perjanjian pada umumnya, perjanjian kerja harus memenuhi syarat
sahnya perjanjian sebagaimana diatur dalam pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
(KUHPer). Ketentuan ini juga tertuang dalam pasal 52 ayat 1 Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan yang menyebutkan bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar :

1. Kesepakatan kedua belah pihak

2. Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan hukum

3. Adanya pekerjaan yang dijanjikan

4. Pekerjaan yang dijanjikan tidak boleh bertentangan dengan ketertiban umum, kesusilaan, dan
ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Unsur-unsur yang ada dalam suatu perjanjian kerja :

1. Adanya unsur pekerjaan


2. Adanya unsur perintah
3. Adanya upah
4. Waktu tertentu
Perlindungan Hukum Bagi Tenaga Kerja
(SPN News) Tenaga kerja sebagai sumber daya manusia, mempunyai peranan yang sangat besar
dalam pembangunan nasional. Tenaga kerja merupakan pelaksana pembangunan untuk mencapai
kesejahteraan umum dan kualitas kehidupan yang semakin baik. Oleh karenanya, upaya
perlindungan tenaga kerja terhadap bahaya yang dapat timbul selama bekerja merupakan suatu
kebutuhan yang sangat mendasar. Dengan adanya perlindungan tersebut diharapkan agar tenaga
kerja dapat bekerja dengan aman dan nyaman sehingga dapat meningkatkan produktivitas kerja.
Tidak kalah pentingnya, perlindungan tenaga kerja dimaksudkan untuk menjamin hak-hak dasar
para pekerja/buruh dan menjamin kesempatan, serta menghindarkan dari perlakuan diskriminasi
atas dasar apapun untuk mewujudkan kesejahteraan pekerja dan keluarganya dengan tetap
memperhatikan perkembangan kemajuan dunia usaha dan kepentingan pengusaha. Hal ini
merupakan esensi dari disusunnya Undang-undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
Di antara perundang-undangan yang berkenaan dengan perlindungan tenaga kerja ialah:
1. Pasal 27 ayat (2) UUD 1945, “Tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang
layak bagi kemanusiaan.”
2. Pasal 28 D ayat (1) UUD 1945, “Setiap orang berhak atas jaminan, perlindungan dan
kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.”
3. Pasal 28 D ayat (2) UUD 1945, “setiap orang berhak untuk bekerja serta mendapat imbalan
dan perlakuan yang adil dan layak dalam hubungan kerja”.
4. Undang-undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan.
5. Undang-undang No 2/2004 tentang Penyelesaian Perselisihan hubungan Industrial.
Sebab-sebab diperlukannya perlindungan untuk tenaga kerja, secara yuridis Pasal 5 Undang-
undang No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan memberikan perlindungan bahwa setiap tenaga
kerja berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk memperoleh pekerjaan dan
penghidupan yang layak tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras, agama, dan aliran politik
sesuai dengan minat dan kemampuan tenaga kerja yang bersangkutan, termasuk perlakuan yang
sama terhadap para penyandang cacat. Sedangkan Pasal 6 mewajibkan kepada pengusaha untuk
memberikan hak dan kewajiban pekerja/buruh tanpa membedakan jenis kelamin, suku, ras,
agama, warna kulit, dan aliran politik. Kedua kandungan pasal ini merupakan wujud
perlindungan hukum bagi para tenaga kerja.
Di antara sebab-sebab mutlak diperlukannya perlindungan bagi tenaga kerja adalah:
1. Upah/Imbalan tidak sesuai
2. Posisi tawar Pekerja yang rendah, Lemahnya kedudukan tenaga kerja dari segi ekonomi dan
pendidikan, menyebabkan rendahnya kualitas si pekerja. Tenaga kerja dengan pendidikan yang
tidak memadai akan cenderung mendominasi pekerjaan kasar. Hal ini juga disebabkan adanya
kualifikasi dari pihak penyedia lapangan kerja dalam mempersyaratkan calon tenaga kerja yang
direkrutnya.
3. Hubungan kerja yang tidak seimbang antara pengusaha dan pekerja/buruh dalam pembuatan
perjanjian. Pembebanan hak dan kewajiban yang tidak seimbang antara penyedia lapangan kerja
dengan pekerja/buruh ini menyebabkan suatu ketimpangan. Secara tidak langsung pekerja/buruh
hanya akan diberi pilihan-pilihan yang cenderung merugikan dirinya, sedang di sisi lain memberi
banyak keuntungan pada pengusaha.
4. Pekerja/buruh diperlakukan sebagai obyek
5. Tidak berserikat

Sengketa dan Penyelesaian Sengketa Hubungan Kerja


Perselisihan Hubungan Industrial, yaitu suatu kondisi dimana terdapatnya perbedaan pendapat
yang mengakibatkan pertentangan kepentingan antara Pengusaha dengan Karyawan karena
adanya perselisihan mengenai hak, kepentingan, Pemutusan Hubungan Kerja (“PHK”) atau
perjanjian kerjasama.
 
1. Penyelesaian Melalui Bipartite.
Bipartit adalah perundingan antara pekerja/ buruh atau serikat pekerja/serikat buruh dengan
pengusaha untuk menyelesaikan perselisihan hubungan industrial.Pada prinsipnya, dalam Pasal
3 (1) UU no. 2 tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (UU
PHI). Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu
melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat.
 
Tahap dan tatacara penyelesaian Bipartite adalah sebagai berikut:
I. Tenggang waktu penyelesaian bipartite harus diselesaikan paling lama 30 (tiga puluh)
hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 (tiga
puluh) hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan
tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal.
Menurut Pasal 4 Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi
yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa
upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartite telah dilakukan. Apabila bukti-bukti
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab
di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7
(tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.

2. Format Penyelesaian Melalui Bipartit


Dalam Pasal 6 dinyatakan: “Setiap perundingan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3
harus dibuat risalah yang ditandatangani oleh para pihak. Risalah perundingan
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) sekurang-kurangnya memuat :
- nama lengkap dan alamat para pihak;
- tanggal dan tempat perundingan;
- pokok masalah atau alasan perselisihan;
- pendapat para pihak;
- kesimpulan atau hasil perundingan; dan
- tanggal serta tanda tangan para pihak yang melakukan perundingan
Kesepakatan musyawarah dituangkan dalam Perjanjian Besama (PB) yang ditanda
tangani selanjutnya wajib didaftarkan para pihak kepada Pengadilan Hubungan Industrial
oleh para pihak pada Pengadilan Negeri di wilayah para pihak mengadakan Perjanjian
Bersama. Atas pendaftaran mana diberikan akta bukti pendaftaran Perjanjian Bersama
dan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari Perjanjian Bersama.
Bila PB tidak dilaksanakan oleh salah satu pihak, maka pihak yang dirugikan dapat
mengajukan permohonan eksekusi kepada Pengadilan Hubungan Industrial pada
Pengadilan Negeri di wilayah Perjanjian Bersama didaftar untuk mendapat Penetapan
eksekusi. Dalam hal pemohon eksekusi berdomisili di luar Pengadilan Negeri tempat
pendaftaran Perjanjian Bersama sebagaimana dimaksud dalam ayat (3), maka pemohon
eksekusi dapat mengajukan permohonan eksekusi melalui Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri di wilayah domisili pemohon eksekusi.
3. Penyelesaian Melalui Mediasi.
Mediasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut mediasi adalah penyelesaian
perselisihan hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui
musyawarah yang ditengahi oleh seorang atau lebih mediator yang netral.
Tata Penyelesaian Melalui Mediasi sebagai berikut:
Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah
satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya
penyelesaian melalui perundingan bipartite telah dilakukan. Apabila bukti-bukti sebagaimana
dimaksud dalam ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh)
hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas.
1. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung
jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk
menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui
2. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau
arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di
bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator.
4. Penyelesaian Melalui Konsiliasi.
Konsiliasi Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut konsiliasi adalah penyelesaian
perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja atau perselisihan antar serikat
pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan melalui musyawarah yang ditengahi
oleh seorang atau lebih konsiliator yang netral.
Jenis sengketa yang diselesaikan dengan Konsiliasi:
1. Penyelesaian perselisihan kepentingan
2. Perselisihan PHK atau
3. Perselisihan antar Serikat pekerja/ serikat buruh

5. Penyelesaian Melalui Arbitrase.


Arbitrase Hubungan Industrial yang selanjutnya disebut arbitrase adalah penyelesaian suatu
perselisihan kepentingan, dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu
perusahaan, di luar Pengadilan Hubungan Industrial melalui kesepakatan tertulis dari para
pihak yang berselisih untuk menyerahkan penyelesaian perselisihan kepada arbiter yang
putusannya mengikat para pihak dan bersifat final.

6. Penyelesaian Melalui Pengadilan Hubungan Industrial.


Pengadilan Hubungan Industrial adalah pengadilan khusus yang dibentuk di lingkungan
Pengadilan Negeri yang berwenang memeriksa, mengadili dan memberi putusan terhadap
perselisihan hubungan industrial.
 
Konvensi Internasional tentang Perburuhan (ILO)
Konvensi adalah ketentuan Internasional di bidang Hukum dalam hal ini perburuhan yang
diterapkan dalam Konvensi ILO (Internasional Labour Organisation). Ketentuan – ketentuan
dalam konvensi ini harus diartifikasi terlebih dahulu oleh Negara - Negara peserta supaya dapat
mengikat. 
Berikut ini adalah Daftar Konvensi Internasional tentang Perburuhan versi ILO antara lain: 
 1) Konvensi ILO Nomor 19 tentang perlakuan yang sama bagi buruh warga Negara dan
asing dalam hal pemberian ganti rugi pada kecelakaan ; 
 2) Konvensi ILO Nomor 27 tentang beratnya barang besar, beratnya pada pengangkutan
dalam kapal ; 
 3) Konenci ILO Nomor 29 tentang kerja paksa atau kerja wajib ; 
 4) Konvensi ILO Nomor 45 tentang pekerjaan dibawah tanah bagi tenaga wanita ; 
Keempat konvensi ILO ini berasal dari Pemerintah Hindia Belanda yang diambil alih oleh
pemerintah kita pada tahun 1950 (per surat Pemerintah Republik Indonesia kepada Dirjen ILO
13 Juni 1951) ; 
 5) Konvensi ILO Nomor 98 tentang berlakunya dasar – dasar hak untuk berorganisasi
dan untuk bermusyawarah (Undang – undang 1956 Nomor 18, Lembaran Negara Nomor
42 ) ; 
 6) Konvensi ILO Nomor 100 tentang Pengupahan yang sama antara Buruh Wanita
dengan Pria bagi jenis pekerjaan yang sama (Undang – undang 1957 Nomor 80, Lembara
Negara Nomor 14) ; 
 7) Konvensi ILO Nomor 120 tentang Kesehatan dan Peniagaan dan Kantor – kantor
(Undang – undang Nomor 3, Lembaran Negara 1969 Nomor 14) ; 
 8) Konvensi ILO Nomor 87 tentang Kebebasan Berserikat dan Perlindungan Hal untuk
berorganisasi (Kepres No. 83/1998) ; 
 9) Konvensi ILO Nomor 144 tentang Konsultasi Tripartit untuk Meningkatkan
Pelaksanaan Standar Perburuhan Internasional (Kepres Nomor 26/1990) ; 
 10) Konvensi ILO Nomor 138 tentang Usia Minimum untuk diperbolehkan Bekerja (UU
No. 20/1999) ; 
 11) Konvensi ILO Nomor 105 tentang Penghapusan Kerja Paksa (UU Nomor 19/1999) ; 
 12) Konvensi ILO Nomor 111 tentang Diskriminasi dalam pekerjaan dan jabatan (UU
Nomor 21/1999) ; 
 13) Konvensi ILO Nomor 182 mengenai pelanggaran dan tindakan segera penghapusan
bentuk – bentuk pekerjaan terburuk untuk anak (UU Nomor 1/2000)

Anda mungkin juga menyukai