Anda di halaman 1dari 19

“PERATURAN PERUNDANGAN DALAM KETENAGAKERJAAN

PENDIDIKAN”
Makalah Ini Dipresentasikan Pada Mata Kuliah Manajemen
Sumber Daya Manusia
Studi Manajemen Pendidikan Islam
Lokal : 4 MPI C

Dosen Pengampu :

Luqmanul Hakim Hawasyi, S.Pd.,M.Pd

Disusun Oleh : Kelompok II

1.PEPI ANGGRAYANI ( 2020.153.1382)

2.DUWI APRINA MAWADDAH (2020.153.1359)

3.NURUL ARDILA ( 2020.153.1381)

YAYASAN PENDIDIKAN ISLAM (YPI)


INSTITUT AGAMA ISLAM
NUSANTARA BATANG HARI
2022/2023
KATA PENGANTAR

‫ِبْس ــــــــــــــــِم اِﷲالَّر ْح َم ِن الَّر ِحيم‬

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan


semesta alam yang senantiasa memberikan kemudahan kelancaran
beserta limpahan Rahmat dan Karunia-Nya yang tiada terhingga.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW
yang telah memberikan suri tauladan bagi kita semua.

Alhamdulillah berkat Rahmat dan ridha-Nya penulis dapat


menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “PERATURAN
PERUNDANGAN DALAM KETENAGAKERJAAN PENDIDIKAN”. Jurnal ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok tahun akademik
2022

Dalam penyusunan makalah ini Penulis mendapatkan bantuan


serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu.

Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita


semua terutama bagi penulis. Begitu pula makalah ini tidak luput dari
kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
sarannya yang bersifat membangun.

Muara Bulian, Mei 2022

Penulis
ABSTRAK

Tujuan penulisan ini dimaksudkan untuk mengidentifikasi peran


Pemerintah terhadap ketenagakerjaan di Indonesia dan hubungannya
dengan organisasi ketenagakerjaan. Permasalahan tenaga kerjaan di
Indonesia sampai saat ini masih belum sirna dari permasalah yang
mendasar yaitu kurang memiliki keterampilan fungsional bagi calon
pencari kerja. Era globalisasi menuntut calon pencari kerja mampu
berkompetisi dan memiliki kompetensi yang memadai sesuai dengan
persyaratan tutututan kualifikasi pekerjaan. Dari aspek yuridis formal
tenaga kerja di Indonesia telah dilindungi oleh peraturan perundang-
undangan, antara lain: (a) UUD Republik Indonesia Tahun 1945
Amandemen, Pasal 27 ayat (2) yaitu Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaana (b) UU Nomor
39/1999 tentang Hak Asasi Manusia,Pasal 38 ayat (1); Ayat (2); Ayat (3);
Ayat (4); dan (c) UU Nomor 13/2003 tentang Ketenaga-kerjaan. Dalam
aspek pendidikan, Kemdiknas berkewajiban untuk meningkatkan mutu
dan relevansi hasil pendidikan, sedangkan Kemenakertrans
bertanggungjawab dalam pemberian hak melakukan sertifikasi
kompetensi melalui Badan Nasional Standar Profesi (BNSP) dan
Lembaga Sertifikat Profesi (LSP).
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Pasal 1 Undang-Undang tentang Ketenagakerjaan menyatakan
Ayat (2) Tenaga Kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan
pekerjaan guna menghasilkan barang dan jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat dan Ayat (3)
Pekerja/Buruh adalah setiap orang yang bekerja dengan menerima
upah atau imbalan dalam bentuk lain.1
Batas pengertian hukum ketenagakerjaan yang dulu disebut
dengan hukum perburuhan atau arbeidrechts sama juga dalam
pengertian hukum itu sendiri yakni masih beragam sesuai dengan
sudut pandang ahli hukum. Tidak satu pun batas pengertian itu dapat
memuaskan karena masing ahli hukum memiliki alasan tersendiri.
Mereka melihat hukum ketenagakerjaan dari berbagai sudut
pandang yang berbeda. Akibatnya, pengertiannya pun tentu berbeda
antara ahli hukum yang satu dan yang lainnya. Ketenagakerjaan
adalah segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum selama, dan sesudah masa kerja. Maka dari itu dalam
makalah ini kan di bahas mengenai pasal-pasal dan undang-undang
apasajakah yang mengatur tentang perburuhan dan ketenaga kerjaan.
Ketenagakerjaan pada awalnya merupakan bidang yang
berada dalam ruang lingkup hukum privat. Namun karena
ketenagakerjaan dianggap menjadi bidang yang penting untuk diatur
secara langsung oleh negara. Maka negara turun tangan langsung
dengan membuat regulasi yang mengatur mengenai ketenagakerjaan.
Sehingga, ketenagakerjaan tidak lagi bagian dari hukum privat tetapi
menjadi bagian dari hukum publik. Alasan lain mengapa langkah ini
dilakukan oleh negara adalah karena banyaknya kasus yang

1
R. Soeroso, 2004, Pengantar Ilmu Hukum, Jakarta, PT. RajaGrafindo Persada, hal. 269
menjadikan Tenaga Kerja Indonesia dalam maupun luar negeri
menjadi korban dan kurang mendapat perlindungan. Pembuatan
regulasi yang mengatur secara khusus ketenagakerjaan dituangkan
dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Masalah yang sering terangkat ke permukaan dan menjadi berita
utama serta buah bibir dimasyarakat adalah perlakuan diskriminasi.
Perlakuan tidak adil antara sesama pekerja/buruh maupun antara
pekerja/buruh dengan pengusaha. Dalam Pasal 5 dan 6 UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan hal ini telah diatur agar tidak
adanya diskriminasi. Masalah lain yang saat ini juga sedang menjadi
bahan pembicaraan dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah
outsourcing. Dimana praktek outsourcing ini menyengsarakan pekerja
atau buruh dan menyebabkan kaburnya hubungan kerja serta industrial
antara pekerja dengan pengusaha.2
Sebelum terjalinnya hubungan kerja antara pekerja dan orang
yang akan mempekerjakannya terdapat proses dalam ketenagakerjaan
yang harus dijalani. Mulai dari prakerja hubungan kerja, menjalankan
pekerjaan dan pascakerja. Dalam menjalani proses tersebut tidak
akan selalu berjalan dengan mulus. Tentu akan dijalani berbagai
rintangan demi peningkatan kerja yang lebih baik. Dalam proses
tersebut juga akan lahir berbagai masalah.
Dengan berbagai masalah yang timbul dalam ketenagakerjaan
baik sebelum dan sesudah regulasi ketenagakerjaan lahir. Perlu
diketahui bagaimana tingkat penerimaan masyarakat serta
pemahaman masyarakat atas lahirnya UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Selain itu juga masih perlu dipertanyakan
bagaimana tingkat perlindungan yang diberikan oleh UU
Ketenagakerjaan kepada pekerja ataupun pengusaha. Tujuan dari

2
Sudikno Mertokusumo, 2003, Mengenal Hukum; Suatu Pengantar, Yogyakarta, Liberty
Yogyakarta, hal. 19.
regulasi tersebut juga perlu di identifikasi untuk meningkatkan
pemahaman masyarakat.3

3
Purnadi Purbacaraka dan Soerjono Soekanto, 1993, Perihal Kaedah Hukum, Bandung,
PT. Citra Aditya Bakti, hal. 36.
PEMBAHASAN

A. Ketenagakerjaan
Ketenagakerjaan berasal dari kata tenaga kerja yang dalam
Pasal 1 angka 2 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu
“Tenaga kerja adalah setiap orang yang mampu melakukan pekerjaan
guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk memenuhi
kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat. Sedangkan pengertian
dari ketenagakerjaan sesuai dengan Pasal 1 angka 1 UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah Ketenagakerjaan adalah
segala hal yang berhubungan dengan tenaga kerja pada waktu
sebelum, selama, dan sesudah masa kerja.4
Demi meningkatkan taraf hidup maka perlu dilakukan
pembangunan diberbagai aspek. Tidak terkecuali dengan
pembangunan ketenagakerjaan yang dilakukan atas asas keterpaduan
melalui koordinasi fungsional lintas sektoral pusat dan daerah.
Dalam hal ini maksudnya adalah asas pembangunan ketanagakerjaan
berlandaskan asas pembangunan nasional terkhusus asas demokrasi
pancasila, asas adil, dan merata.
Dalam pelaksanaan proses hubungan kerja terdapat bagian-
bagian yang harus dijalani. Ruang lingkup dari ketenagakerjaan itu
senditi adalah pra kerja, masa dalam hubungan kerja, masa purna
kerja (post employment). Cakupan dari ketenagakerjaan terbilang luas,
jangkauan hukum ketenagakerjaan lebih luas bila dibandingkan
dengan hukum perdata yang diatur dalam buku III title 7A.
Terdapat ketentuan yang mengatur penitikberatan pada aktivitas
tenaga kerja dalam hubungan kerja Berbicara mengenai hubungan
kerja Pasal 1 angka 15 UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan disebutkan bahwa : Hubungan kerja adalah
hubungan antara pengusaha dengan pekerja atau buruh
berdasarkan perjanjian kerja yang mempunyai unsur pekerjaan upah
4
Lihat Penjelasan Pasal 51 ayat (1) UUK.
dan perintah dan Hubungan kerja adalah suatu hubungan pengusaha
dan pekerja yang timbul dari perjanjian kerja yang diadakan untuk
waktu tertentu namun waktu yang tidak tertentu.5
B. Kajian Undang-undang No.13 tahun 2003 Tentang
Ketenagakerjaan
Jika diidentifikasi tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan maka dalam regulasi itu sendiri terdapat 4 (empat)
tujuan yang disebutkan pada Pasal 4 bahwa pembangunan
ketenagakerjaan bertujuan :
a. Memberdayakan dan mendayagunakan tenaga kerja secara optimal
dan manusiawi
b. Mewujudkan pemerataan kesempatan kerja dan penyediaan
tenaga kerja yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan nasional
dan daerah
c. Memberikan perlindungan kepada tenaga kerja dalam mewujudkan
kesejahteraan
d. Meningkatkan kesejahteraan tenaga kerja dan keluarganya.

Bagian penting dalam ketenagakerjaan yang banyak


mendapat sorotan adalah hubungan kerja antara pekerja dengan
pengusaha. Hubungan kerja ini termasuk sebagai Perjanjian. Sesuai
dengan Pasal 1313 KUHPerdata yang berbunyi Perjanjian adalah
suatu perbuatan dengan mana satu orang atau lebih mengikatkan
dirinya terhadap satu orang atau lebih lainnya.Dalam Pasal 1320
KUHPerdata terdapat syarat-syarat terjadinya suatu perjanjian yang
sah adalah

Dari ketentuan pasal tersebut terlihat jelas bahwa perjanjian kerja


yang dilakukan antara pekerja/buruh dengan pengusaha semuanya
tergantung kesepakatan kedua belah pihak. Namun dengan batasan

5
Josef Mario Monteiro, 2017, Konsep Dasar Ilmu Hukum, Malang, Setara Press
Kelompok Intrans Publishing, hal. 3.
yang disebutkan dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Perjanjian kerja yang dilakukan harus menunjukkan
adanya kejelasan atas pekerjaan antara pekerja dengan pengusaha.
Sesuai dengan ketentuan yang tercantum dalam perjanjian yang telah
disepakati dan ketentuan yang tercantum dalam UU no.13 thn. 2003
maka terdapat unsur dari hubungan kerja yaitu : Adanya unsure service
(pelayanan), Adanya unsure time (waktu ), Adanya unsure pay (upah )

Masyarakat pada umumnya tahu bahwa tidak boleh adanya


pemberlakuan tidak adil (diskrimimasi) antara sesama pekerja atau
antara pekerja dengan pengusaha. Sebagaimana disebutkan dalam
Pasal 5 UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yaitu “Setiap
tenaga kerja memiliki kesempatan yang sama tanpa diskriminasi untuk
memperoleh pekerjaan.” dan Pasal 6 UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan yaitu “Setiap pekerja/buruh berhak memperoleh
perlakuan yang sama tanpa diskriminasi dari pengusaha.6

Masyarakat menerima dan memahami ketentuan-ketentuan yang


terdapat dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Dengan berbagai masalah yang telah terjadi sebelum lahirnya UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan sebagian bisa teratasi
setelah lahirnya regulasi tersebut. Namun setelah lahirnya UU
tersebut tidak menutup kemungkinan lahirnya masalah baru terkait
dengan ketenagakerjaan. Salah satu yang menjadi masalah adalah
masih kurangnya tingkat perlindungan terhadap pekerja dalam
hubungan kerjanya dengan pengusaha yang
memperkerjakannya. Masalah tersebut adalah outsourcing yang
dalam UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan tidak diatur
secara khusus dalam penyelesaiannya.

6
Muntoha, 2013, Negara Hukum Indonesia Pasca Perubahan UUD 1945, Yogyakarta,
Penerbit Kaukaba, hal. 1.
Pemahaman masyarakat atas kurangnya perlindungan hukum
terhadap pekerja/buruh serta masih adanya celah untuk lahirnya
masalah baru atas UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Melahirkan niat dari masyarakat untuk dilakukannya revisi atas UU No.
13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Adanya niat dari pemerintah
untuk melakukan revisi atas UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Membuka pintu solusi kepada masyarakat untuk
mengatasi berbagai permasalahan telah terjadi serta sebagai langkah
preventif untuk masalah baru. Pemerintah memberikan kesempatan
kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) untuk melakukan
kajian independen dan penyempurnaan revisi UU Ketenagakerjaan
tersebut.7

Hal ini sebagaimana disampaikan oleh Menakertrans Muhaimin


Iskandar setelah melakukan pertemuan konsolidasi Lembaga Kerja
Sama Tripartit (LKS) Tripartit Nasional, di Jakarta, tepatnya Senin
tanggal 8 November 2010 lalu. Dalam pertemuan tersebut dibahas
pasal-pasal yang terkait dengan outsourcing (alih daya), pengupahan,
jaminan sosial dan pesangon serta dan pelaksanan perjanjian kerja
waktu tertentu. Disebutkan bahwa dalam pertemuan tersebut adanya
kesepakatan pengkajian mendalam menghenai penyempurnaa dan
revisi UU No. 13/2003 yang dilakukan secara komprehensif, baik itu
revisi UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan itu sendiri,
ataupun terkait dengan revisi UU No. 3 tahun 1992 tentang Jaminan
Sosial Tenaga Kerja dan UU No. 40 tahun 2004 tentang Sistem
Jaminan Sosial Tenaga Kerja.

Adanya wacana bahwa pada tahun 2010 lalu telah beredarnya


beberapa draft yang disebut revisi UU No.13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan. Pada saat itu pula Muhaimin selaku Menakertrans
7
Khudzaifah Dimyati dan Kelik Wardiono, 2014, Paradigma Rasional Dalam Ilmu
Hukum; Basis Epistemologis Pure Theory of Law Hans Kelsen, Yogyakarta, Genta
Publishing, halaman 101.
menegaskan bahwa draft tersebut bukan berasal dari Kemenakertans.
Maka semua pihak diharapkan tidak percaya begitu saja dengan isi
draf-draft tersebut karena akan memunculkan kekhawatiran dan sikap
saling curiga terutama diantara pekerja dan buruh. Menakertrans juga
menyebutkan bahwa pada tahun 2010 lalu pada tepatnya pada bulan
November proses penyempurnaan UU Ketenagakerjaan masih dibahas
di lingkungan internal Kemenakertrans kemudian akan dibahas lintas
kementerian dan pihak lainnya. Pada tahun 2011 ini akan dilakukan
tahap pematangan. Jika materi atas revisi UU Ketenagakerjaan
tersebut sudah matang maka akan diajukan ke DPR hingga
akhirnya akan diratifikasi. Meski sampai saat ini belum terlihat adanya
tanda akan di undangkannya hasil revisi dari UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Namun langkah revisi atas UU
Ketenagakerjaan adalah problem solving atas masalah yang timbul
sebelum dan setelah lahirnya regulasi tersebut. Hal ini juga menjawab
permasalahan mengapa masalah terkait ketenagakerjaan tetap ada
meski UU Ketenagakerjaan tersebut sudah lahir.8

Masyarakat sudah memahami dengan jelas setiap ketentuan


dari UU No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Pernyataan
tersebut bisa dikeluarkan karena Menakertrans yang menyebutkan
setiap kalangan masyarakat terutama kalangan pengusaha serikat
pekerja/serikat bisa memberikan sebanyak mungkin saran masukan
dan kajian terhadap penyempurnaan dan revisi UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan melalui tiga pihak yaitu, Menakertrans, LIPI
dan LKS Tripartit. Tanggapan masyarakat menunjukkan bahwa
menerima dengan baik UU tersebut ditunjukkan dengan adanya niat
untuk perbaikan regulasi tersebut. LKS Tripartit masih terbilang jarang

8
Romli Atmasasmita, 2012, Teori Hukum Integratif; Rekonstruksi Terhadap Teori
Hukum Pembangunan dan Teori Hukum Progresif, Yogyakarta, Genta Publishing,
halaman 68.
terdengar ditelinga masyarakat yang merupakan forum komunikasi
konsultasi dan musyawarah tentang masalah ketenagakerjaan yang
anggotanya terdiri dari unsur pemerintah organisasi pengusaha dan
serikat pekerja/serikat buruh. Konsolidasi tersebut dilakukan dengan
LKS Tripartit demi memperkuat peranannya dalam upaya
meningkatkan kesejahteraan pekerja/buruh menarik investasi dan
penciptaan industri yang lebih bagus.

Banyak pendapat yang menyatakan bahwa UU No. 13


Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan melanggar konstitusi dan ada
pula yang berpendapat sebaliknya. Dewasa ini masih menjadi
perdebatan mengenai hal tersebut mungkin tak akan ada jawaban
seragam mengenai pernyataan. Tapi yang pasti fakta menunjukkan
banyak pasal dari undang-undang itu yang “dirontokkan” Mahkamah
Konstitusi (MK) karena dianggap bertentangan dengan UUD 1945.
Tercatat sampai saat ini ada tujuh kali pengujian UU Ketenagakerjaan
yang semuanya diajukan oleh buruh atau serikat buruh. Hanya satu
pengujian yang ditolak MK. Selebihnya diterima MK dengan
menyatakan pasal tertentu tak mempunyai kekuatan hukum mengikat.
Atau ada juga pasal yang tetap dinyatakan konstitusional sepanjang
memenuhi syarat-syarat tertentu yang ditetapkan MK.

Sedangkan dari segi aturan hukum, UU Ketengakerjaan pun


menimbulkan pro dan kontra dalam penerapannya. Berikut pasal demi
pasal yang menjadi pro dan kontra dalam penerapannya :9

a. Pasal 52-54 Perjanjian Kerja/Kontrak Kerja. Memiliki kontrak kerja


sangat penting dalam hubungan profesional. Tanpa kontrak kerja
kejelasan tentang hak dan kewajiban menjadi tak terjamin. Oleh
karena itu ada hal-hal yang perlu dicermati dalam kontrak kerja
yaitu : 1) Mengikat pengusaha dan pegawai. 2) Dibuat dengan

9
Satjipto Rahardjo, 2000, Ilmu Hukum, Bandung, PT. Citra Aditya Bakti, halaman 189.
Selanjutnya, disebut: Literatur 2.
Jelas. 3) Tambahan yang perlu diperhatikan: tunjangan dan fasilitas,
masalah pengangkatan, kontrak khusus, jadwal kerja, pemutusan
hubungan kerja, kontrak kerja masa percobaan. Kebanyakan para
pengusaha membuat perjanjian kerja yang merugikan buruh
dikemudian hari, hal itu disebabkan masih rendahnya tingkat
pendidikan buruh di Indonesia
b. Pasal 64; 65; 66 Outsourcing. Outsourcing tidak dapat dipandang
secara jangka pendek saja dengan menggunakan outsourcing
perusahaan pasti akan mengeluarkan dana lebih sebagai
management fee perusahaan outsourcing. Outsourcing harus
dipandang secara jangka panjang, mulai dari pengembangan karir
karyawan, efisiensi dalam bidang tenaga kerja, organisasi, benefit
dan lainnya. Perusahaan dapat fokus pada kompetensi utamanya
dalam bisnis sehingga dapat berkompetisi dalam pasar, dimana hal-
hal intern perusahaan yang bersifat penunjang (supporting) dialihkan
kepada pihak lain yang lebih profesional. Pada pelaksanaannya,
pengalihan ini juga menimbulkan beberapa permasalahan terutama
masalah ketenagakerjaan.
c. Pasal 35 dan 37. Masalah pada Pasal 35 ayat (1), “Pemberi kerja
yang memerlukan tenaga kerja dapat merekrut sendiri tenaga kerja
yang dibutuhkan atau melalui pelaksana penempatan tenaga kerja.”
Dan ditambah dengan Pasal 37 ayat (1), “Pelaksana penempatan
tenaga kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 35 ayat (1) terdiri
dari: (a) instansi pemerintah yang bertanggung jawab di bidang
ketenagakerjaan; dan (b) lembaga swasta berbadan hukum.” Dan
dilengkapi dengan Pasal 56 ayat (1), “Perjanjian kerja dibuat
untuk waktu tertentu atau untuk waktu tidak tertentu.”
Kesengsaraan yang ditimbulkan akibat pasal tersebut : Pertama,
sulit mendapatkan jenjang karir, atau mungkin tidak sama sekali.
Kedua, Pemotongan upah yang besar. Kesengsaraan ketiga,
jaminan sosial tenaga kerja tidak diurus.
d. Pasal 78. Lembur. Upah Kerja Lembur adalah upah yang diterima
pekerja atas pekerjaannya sesuai dengan jumlah waktu kerja lembur
yang dilakukannya. Perhitungan Upah Lembur didasarkan upah
bulanan dengan cara menghitung upah sejam adalah 1/173
upah sebulan. Berdasarkan ketentuan yang tertuang dalam
Kepmenakertrans No. 102/MEN/VI/2004.
e. Pasal 88-98. Struktur dan skala upah. Pada prakteknya, sering
kali jumlah tunjangan menjadi lebih besar dari gaji pokok yang
diterima oleh seorang pekerja. Hal ini tentu saja dapat menimbulkan
salah pengertian di dalam hubungan kerja yang akhirnya akan dapat
mengganggu hubungan antara pengusaha dengan pekerja. Karena
tunjangan yang diberikan besar maka jumlah gaji keseluruhan (take
home pay) dirasa telah melebihi Upah Minimum, padahal Upah
Minimum hanya terdiri dari Gaji pokok + tunjangan tetap saja. Setiap
tahun terjadi demo yang dilakukan buruh untuk meminta kenaikan
UMP. Pemerintah hendaknya mengkaji ulang struktur dan skala
pengupahan yang adil bagi pengusahan maupun buruh. Jangan
hanya karena demo buruh maka UMP naik. Perlu diperhatikan
bahwa demo buruh dan mengganggu produksi dan membuat
investor enggan berinvestasi. Kepentingan buruh dan pengusaha
hendaknya diakomodir dengan baik agar tidak saling merugikan.
f. Pasal 108-115. Peraturan Perusahaan. Peraturan perusahaan
merupakan salah satu unsur penting bagi stabilitas usaha dan
pembianaa karyawan. Peraturan perusahaan merupakan sebuah
kebutuhan dasar ketika usaha mulai berkembang dan menggaji
orang sebagai karyawan. Pada pasal 108-155 Undang-undang
Tenaga Kerja No 13 Tahun 2003 mengatur mengenai hal ini.
Pengusaha yang mempekerjakan pekerja/buruh kurangnya 10
(sepuluh) orang wajib membuat peraturan perusahaan yang mulai
berlaku setelah disahkan oleh Menteri atau pejabat yang ditunjuk.
Peraturan perusahaan disusun oleh dan menjadi tanggung jawab
dari pengusaha yang bersangkutan. Setelah kita lihat bahwa
maksud dan fungsinya peraturan perusahaan adalah baik
seharusnya perusahaan tidak menunda untuk membuat dan
mengesahkan peraturan perusahaannya. Akan tetapi masih banyak
perusahaan yang tidak memiliki, menunda untuk mengesahkannya
dan bahkan membuatnya tapi tidak mengesahkan dan tidak
mensosialisasikan ke karyawan. Akhirnya banyak masalah datang,
keharmonisan terganggu dan kinerja menurun.
C. Analisis Isu Aktual Ketenagakerjaan
Penulis hanya akan menganalisis secara mendalam dua
permasalahan ketenagakerjaan yang menimbulkan pro kontra di
masyarakat yaitu PHK karena kesalahan berat dan Outsourcing.
Berikut analisis mengenai Undang-Undang No. 13 Tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan terkait berbagai permasalahan yang menjadi
isu aktual dan menimbulkan berbagai pro dan Kontra dalam
penerapannya :10
 PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karena kesalahan berat.
Selanjutnya, putusan MK pertama kali yang dibahas adalah putusan
No.012/PUU-I/2003 yang salah satunya membatalkan Pasal 158
tentang PHK karena kesalahan berat. Praktiknya, masih banyak
pekerja yang dipecat dengan alasan atau dasar Pasal 158 UU
Ketenagakerjaan. Pada awal diundangkanya UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan (UU Ketenagakerjaan), salah satu
alasan Pemutusan Hubungan Kerja adalah, karena “kesalahan
berat”, yang diatur dalam ketentuan Pasal 158. Berdasarkan fakta
yang terjadi dalam penerapan pemutusan hubungan kerja karena
kesalahan berat maka sudah saatnya untuk menyamakan persepsi
bahwa melakukan proses pidana terhadap pekerja yang

10
Asri Wijayanti, 2010, Hukum Ketenagakerjaan Pasca Reformasi, Jakarta, PT.
Sinar Grafika, halaman 158.
melakukan kesalahan berat harus ditafsirkan sebagai hak
pengusaha sehingga mediator dan hakim tidak lagi mewajibkan
kesalahan berat harus diproses secara pidana terlebih dahulu.
 Outsourcing. Undang-Undang 13/2003 sebenarnya turut mengatur
masalah para tenaga kerja outsourcing (alih daya), akan tetapi
pada pelaksanaannya, sampai kini, masih banyak permasalahan
yang berkaitan dengan para tenaga kerja tersebut. Kata outsourcing
memang tidak ada di dalam istilah yang digunakan pada Undang-
undang ketenagakerjaan karena outsourcing adalah istilah dalam
bahasa asing namun makna dari istilah outsourcing lebih kurang
sama seperti yang tercantum dalam undang-undang no.13 tahun
2003 pada pasal 64 yaitu: Perusahaan dapat menyerahkan
sebagian pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya
melalui perjanjian pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa
pekerja/buruh yang dibuat secara tertulis. Dalam Undang-undang
makna dari outsourcing adalah menyerahkan sebagian dari
pelaksanaan pekerjaan kepada perusahaan lainnya melalui
pemborongan pekerjaan atau penyediaan jasa pekerja/buruh. Dalam
kenyataan di lapangan, praktek outsourcing lebih dikenal dengan
istilah penggunaan yayasan sebagai penyalur tenaga kerja
PENUTUP

A. Kesimpulan
Masyarakat memahami dengan jelas UU No. 13 tahun 2003
tentang Ketenagakerjaan yang terlihat jelas dengan cara masyarakat
menanggapi berbagai ketentuan dan kekurangan dari UU
Ketenagakerjaan tersebut. Masyarakat memahami dengan baik
kurangnya perlindungan yang diberikan terhadap pekerja/buruh dari
regulasi tersebut dan masih adanya celah untuk lahirnya masalah
baru dalam ketenagakerjaan. Masyarakat menerima dengan baik
terhadap UU No. 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan yang
ditunjukkan dengan adanya niat masyarakat untuk melakukan
perbaikan melalui revisi UU Ketenagakerjaan tersebut.
Akibat lahirnya berbagai masalah di Indonesia terkait
ketenagakerjaan. Maka ketenagakerjaan yang pada awalnya berada
dalam ruang lingkup hukum privat maka pemerintah memandang
hukum ketenagakerjaan itu bagian penting untuk diatur langsung oleh
pemerintah sehingga dialihkan menjadi bagian dari hukum publik.
Sedangkan tujuan dari UU No. 13 tahun 2003 tentang
Ketenagakerjaan itu sendiri dituangkan dalam Pasal 4 UU No. 13
tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan.
Meski awalnya berbagai permasalahan sebelum lahirnnya UU
No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dapat diselesaikan.
Namun ternyata setelah lahir UU tersebut malah melahirkan masalah
baru dalam hal kurangnya perlindungan terhadap pekerja/buruh dan
masih adanya celah lain untuk lahirnya masalah baru dalam
ketenagakerjaan. UU Ketengakerjaan tersebut belum mengatur
dengan jelas perlindungan terhadap pekerja/buruh yang selalu berada
dipihak yang lemah dalam sebuah hubungan kerja.
Problem solving untuk menyelesaikan masalah dalam bidang
ketenagakerjaan saat ini adalah perlunya dilakukan revisi atas UU
No.13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan. Karena masih kurangnya
perlindungan yang diberikan pada pekerja/buruh yang menjadi pihak
yang lemah dalam sebuah hubungan kerja dan masih adanya
celah yang bisa memberikan masalah baru dalam ketenagakerjaan
terutama dalam hubungan kerja.
B. Saran
Penulis dapat memberikan saran bahwa, UU No. 13 Tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan hendaknya direvisi. Hal itu dikarenakan
dalam pasal-pasalnya banyak merugikan kepentingan buruh dan
dalam judicial review di MK banyak pasal yang dibatalkan. Revisi
tersebut bertujuan untuk memberi keadilan, kemanfaatan dan
kepastian hukum bagi pihak yang terkait dalam hubungan industrial
yaitu, pekerja, pengusaha dan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA

Sutedi, Andrian, 2009. Hukum Perburuhan. Sinar Grafika. Jakarta

Husni, Lalu. 2010. Pengantar Hukum Ketenagakerjaan Indonesia Edisi


Revisi. Jakarta : PT Raja Grafindo Persada.

Pangaribuan, Juanda. 2012. Aneka Putusan Mahkamah Konstitusi Bidang


Hukum Ketenagakerjaan. Jakarta: Muara Ilmu Sejahtera Indonesia.

Hukum Perburuhan, Tersedia (online), http://hukumonline.com/ diakses


pada hari Jumat pukul 12:38 WIB tanggal 10 Oktober 2014

Anda mungkin juga menyukai