Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“LARANGAN MEMPOLIGAMI PUTRI RASULULLAH SAYYIDAH FATIMAH”


Dosen Pengampuh : Dr. Farida Ulvi Na’imah, M.H.I

Disusun Oleh :

HERMANTO

INSTITUT KH ABDUL CHALIM


MOJOKERTO
2023
KATA PENGANTAR

‫الرحِيم‬
َّ ‫ِالر ْح َم ِن‬
َّ ‫ــــــــــــــــم اﷲ‬
ِ ‫ِب ْس‬

Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT Tuhan


semesta alam yang senantiasa memberikan kemudahan kelancaran
beserta limpahan Rahmat dan Karunia-Nya yang tiada terhingga.
Shalawat serta salam semoga tetap tercurahkan kepada Rasulullah SAW
yang telah memberikan suri tauladan bagi kita semua.

Alhamdulillah berkat Rahmat dan ridha-Nya penulis dapat


menyelesaikan pembuatan makalah yang berjudul “LARANGAN
MEMPOLIGAMI PUTRI RASULULLAH SAYYIDAH FATIMAH”. makalah ini
disusun untuk memenuhi salah satu tugas kelompok tahun akademik
2023

Dalam penyusunan makalah ini Penulis mendapatkan bantuan


serta bimbingan dari berbagai pihak. Oleh karena itu pada kesempatan ini
penulis ucapkan terima kasih kepada rekan-rekan yang telah membantu.
Penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi kita
semua terutama bagi penulis. Begitu pula makalah ini tidak luput dari
kekurangan dan kesalahan, untuk itu penulis mengharapkan kritik dan
sarannya yang bersifat membangun.

Muara Bulian, September 2023

Penulis
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Emansipasi wanita dan hak asasi manusia mulai merebak di
tengah umat. Akibat adanya emansipasi wanita, para istri berhak
bersuara untuk menolak dipoligami oleh suaminya. Tak sedikit para istri
yang telah dipoligami merasa jengkel dan tersulut emosi. Ibarat api
dalam sekam. Baranya terus menjalar, perlahan namun pasti.
Luapan kemarahan akhirnya menjadi solusi. Para suami dihujat
dan digugat. Tak sedikit dari mereka yang tercemar nama baiknya
bahkan terempas dari kedudukannya. Seakan telah melakukan dosa
besar yang tak bisa diampuni lagi. Lain masalah ketika para suami itu
berbuat serong, punya wanita idaman lain (WIL) yang tak halal baginya
alias selingkuh. Reaksi sebagian istri justru tak sehebat ketika
dipoligami.
Bahkan, tak sedikit dari mereka yang diam seribu bahasa. Yang
penting tidak dimadu! Itulah sekira letupan hati mereka. Tak heran, bila
di antara para suami “bermasalah” itu lebih memilih berbuat selingkuh
daripada poligami. Bisa jadi karena pengalaman mereka bahwa
selingkuh itu “lebih aman” daripada poligami. Sampai-sampai ada
sebuah pelesetan, selingkuh itu “selingan indah keluarga utuh”.
Padahal selingkuh itu menjijikkan. Selingkuh adalah zina.
Selingkuh diharamkan dalam agama manapun dan tak selaras dengan
fitrah suci manusia. Demikianlah di antara ragam fakta unik yang terjadi
dalam ranah sosial kemasyarakatan kita. Memang aneh, tapi nyata.
Poligami sendiri telah dilakukan dari jaman dahulu kala di
berbagai agama manapun. Sekarang poligami yang dulu diperbolehkan
akhirnya ada beberapa agama yang melarang, dan ada pula agama
yang memperbolehkan asalkan memenuhi syarat – syarat yang sudah
ditentukan.
Dalam makalah ini akan mengupas sejarah poligami, pengertian
poligami, poligami menurut berbagai pandangan agama, dan dampak
dari poligami, semua itu tak lain demi kepentingan manusia dalam
keseimbangan sosial kemasyarakatan.

B. Rumusan Masalah
1. Apa Larangan poligami
BAB II PEMBAHASAN

A. LARANGAN MEMPOLIGAMI PUTRI RASULULLAH SAYYIDAH


FATIMAH
Ali bin Abi Thali berniat menikahi putri Abu Jahal. Ali bin Abi Thalib
meminta izin kepada istrinya. mendengar berita itu, Fatimah marah dan
melaporkannya kepada ayahanda, Muhammad. Seketika nabi
Muhammad marah besar. para sahabat bersaksi bahwa mereka tidak
pernah melihat muhammad semarah itu. Muhammad berkata kepada
putrinya, “engkau adalah putriku. siapa yang membuatmu marah,
berarti membuatku marah juga.”
Diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari hadist Almiswar bin
Makhromah berkata : “Ali melamar putri Abu Jahal, lalu Fatimah
mendengarnya lantas ia menemui Rasul Saw berkatalah Fatimah :
kaummu meyakini bahwa engkau tidak pernah marah karena putrimu;
Ali menikahi putri Abu Jahal, maka berdirilah Rasulullah Saw dan saya
mendengar ketika dia membaca dua kalimat syahadat lalu berkata : aku
menikahkan anakku dengan Abul As bin Robi’ dan diatidak
membohongiku, sesunggunhya Fatimah itu bagian dari saya, dan saya
sangat membenci orang yang membuatnya marah. Demi Allah putri
Rasulullah dan putri musuh Allah tidak pernah akan berkumpul dalam
naungan seorang laki-laki maka kemudian Ali membatalkan (lamaran
itu)”. diriwayatkan Bukhori dan Muslim.
Rasulullah saw bersabda:

‫فاطمة بضعة مني يريبني ما أرابها ويؤذيني ما آذاها‬

Artinya : “Fatimah adalah bagian dari diriku, menggoncangkan aku


apa saja yang menggoncangkan dia, dan menyakitiku apa saja yang
menyakitinya.”
Rasulullah berkhutbah di dalam mesjid di hadapan kaum
muslimin. di situ hadir Ali bin Abi Thalib. maka Rasulullah berkata,
“Demi Allah, selama Fatimah adalah putri Rasulullah, maka aku tidak
akan mengizinkan putriku serumah dengan putri musuh Allah.”
Ali bin Abi Thalib pulang dari mesjid dengan sedih, karena merasa
telah membuat rasulullah marah besar. sesampainya di rumah, Ali bin
Abi Thalib langsung berbicara kepada Fatimah. “Wahai istriku, aku
minta maaf, karena telah berniat menikahi putri Abu Jahal. hari ini,
dimesjid rasulullah berkhutbah dan dengan marah mengatakan bahwa
beliau tidak akan mengizinkan engkau serumah dengan putri abu jahal.
aku tidak ingin membuat rasulullah dan putrinya marah. sudikah engkau
memaafkanku?”
Fatimah menganggukan kepala dan menyatakan bersedia
memaafkan Ali Bin Abi Thalib.. yg akhirnya tidak melakukan poligami.
na loh kalian yg setujuh poligami !.. Fatimah aja nggak mau di madu !!
Mengenai Fathimah Azzahra ra tentulah tak mengingkari poligami, dan
ia tak akan mengingkari semua hukum Allah dan Sunnah Rasul saw.
Sebagaimana ketika Usamah bin Zeyd ra meminta keringanan
untuk seorang wanita muhajirin yg mencuri, maka Rasul saw naik
mimbar dan berwasiat, “sungguh ummat sebelum kalian bila oran orang
terhormat maka diringankan atas mereka, bila kaum dhuafa maka
didirikanlah hukum, Demi Allah bila Fathimah putri muhammad mencuri
maka Muhammad akan memotong tangannya” (shahih Bukhari hadits
no.6406). ini menunjukkan bahwa tak mungkin Rasul saw mengajarkan
sunnah poligami namun melarang khusus untuk putrinya, maka ini
adalah pemahaman yg keliru, dan tentunya Putri Rasulullah saw ini
sangat mulia dg mencintai sunnah Nabi saw, dan bisa dipastikan
bahwa wanita mulia ini adalah wanita yg paling mencintai sunnah,
karena Fathimah ra adalah didikan Rasulullah saw.
Mengenai Rasul saw melarang Ali bin Abu Tholib berpoligami, itu
karena Ali Bin Abu Tholib berencana menikah dengan putri Abu Jahal,
dan tentunya Ali bin Abu Tholib ingin menyelamatkan putri Abu Jahal
yang muslimah dari kekejian ayahnya, namun Rasul saw tak
menyetujui itu, karena mensejajarkan putri beliau saw dengan Putri Abu
Jahal akan membuat fitnah baru dengan mengatakan bahwa Rasul saw
memerangi kuffar namun berbesan dengan musuh Allah,
memerintahkan muslimin memerangi orang orang kafir namun
menyambung hubungan keluarga dengan pimpinan Musuh Allah.
Kalangan antipoligami juga sering mengetengahkan hadits
tentang larangan Rasulllah saw terhadap Ali berpoligami saat masih
beristeri dengan puteri beliau, Fatimah ra. Mereka mengutip Hadits:
Nabi saw marah besar ketika mendengar putri beliau, Fathimah binti
Muhammad saw, akan dipoligami Ali bin Abi Thalib ra. Ketika
mendengar rencana itu, Nabi pun langsung masuk ke masjid dan naik
mimbar, lalu berseru: “Beberapa keluarga Bani Hasyim bin al-Mughirah
(kerabat Abu Jahl) meminta izin kepadaku untuk mengawinkan putri
mereka (anak Abu Jahl) dengan Ali bin Abi Thalib. Ketahuilah, aku tidak
akan mengizinkan, sekali lagi tidak akan mengizinkan. Sungguh tidak
aku izinkan, kecuali Ali bin Abi Thalib menceraikan putriku terlebih
dahulu, Fatimah Bagian dari diriku, apa yang meragukan dirinya
meragukan diriku, dan apa yang menyakiti hatinya menyakiti hatiku,
aku sangat kwatir kalau-kalau hal itu mengganggu pikirannya (Jâmi’ al-
Ushûl, juz XII, 162, Hadits: 9026).
Penggunaan Hadits ini untuk melarang poligami ternyata tidak
sesuai dengan latar-belakang pelarangan tersebut. Nabi saw melarang
Ali ra menikah lagi karena hendak dinikahi Ali ra anak musuh Allah Swt,
Abu Jahl. Menurut Rasulullah saw tidak layak menyandi putri utusan
Allah dengan putri musuh Allah. Sehingga, letak pelarangan tersebut
bukan pada poligaminya, namun lebih kepada person yang hendak
dinikahi. Beliau sendiri juga menegaskan, tidak mengharamkan yang
halal dan menghalalkan yang haram. Hal ini dapat disimpulkan dari
Hadits yang sama dari riwayat lain.
Dalam riwayat al-Bukhari, Rasulullah saw bersabda:
“Sesungguhnya Fatimah adalah dari diriku dan aku khawatir agama
akan terganggu. “Kemudian beliau menyebutkan perkawinan Bani Abdi
Syams dan beliau menyanjung pergaulannya, “Dia bicara denganku
dan mempercayaiku, dia berjanji padaku dan dia penuhi. Dan sungguh
aku tidak mengharamkan yang halal dan tidak pula menghalalkan yang
haram, akan tetapi, demi Allah, jangan sekali-kali bersatu putri Utusan
Allah dengan putri musuh Allah.” (H.R. Bukhari)
Sebab yang paling mungkin adalah sesuai perkataan beliau
sendiri, bahwa mengguncang Fatimah sama saja dengan
mengguncang Rasul. Beliau mencintai putrinya dan tidak ingin
membiarkan keguncangan (apapun yg bisa beliau cegah, termasuk
poligami) menyusahkan putrinya itu. Rasulullah pastilah sangat
mengenal putrinya, tahu apa yg sanggup menguatkannya dan apa yg
mengguncangkannya. Kalau Abu Bakar melepaskan putrinya Aisya mjd
istri ke-sekian Nabi, maka itu adalah hak Abu Bakar karena ia
mengenal putrinya itu. Tapi kalau Rasulullah melarang putrinya di
poligami, hadis itu memberi pelajaran pada saya, bahwa seorang ayah
bisa saja melepas putrinya dipoligami tapi bisa juga ia mencegahnya.
Selain itu penolakan Fatimah untuk dipoligami adalah memang
karena Fatimah tidak siap dipoligami. Kesiapan setiap perempuan
berbeda-beda. Dan seorang laki-laki tidak bisa menyamaratakan
semua perempuan. Sebagaimana diisyaratkan dalam riwayat berikut
ini:
Ibn Sa‘ad (168 H/764 M–230 H/845 M) dalam kitabnya, Al-
Thabaqât Al-Kabîr, mencatat dialog menarik berikut ini: Amrah binti
Abdurrahman berkata, “Rasulullah ditanya, ‘Rasulullah, mengapa
engkau tidak menikahi perempuan dari kaum Anshar? Beberapa di
antara mereka cantik-cantik.’ Rasulullah menjawab, ‘Mereka
perempuan-perempuan yang mempunyai kecemburuan besar yang
tidak akan bersabar dengan madunya. Aku mempunyai beberapa istri,
dan aku tidak suka menyakiti kaum perempuan berkenaan dengan hal
itu.’”
Kesiapan mental setiap perempuan berbeda-beda. Karena itu,
suami bijak yang ingin meneladani Nabi tidak akan memaksakan
kehendaknya untuk berpoligami jika istrinya tidak siap dan sabar
dimadu serta sangat pencemburu. Sebab, Nabi pun tidak suka
menyakiti perasaan perempuan dalam hal ini. Memaksakan poligami
terhadap istri yang tidak sanggup dimadu hanya akan menimbulkan
gejolak yang tidak perlu dalam kehidupan berumah tangga. Ini tentunya
menyalahi tujuan perkawinan sebagaimana diajarkan Allah
Secara hukumnya, poligami itu dibolehkan. Seratus persen halal
dan langsung ditetapkan oleh Al-Quran sendiri. Tidak boleh ada
mengubah ayat tersebut selama-lamanya, kecuali dia kafir kepada
Allah SWT.
Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-
hak) perempuan yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah
wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga atau empat.
Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka
(kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang
demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (QS. An-
Nisa': 3)
Ayat di atas sangat tegas dan jelas menggambarkan kehalalan
dan kebolehan perpoligami, tentunya dengan syarat-syaratnya.
Namun tindakan Rasulullah SAW yang meminta kepada
menantunya, Ali bin Abi Thalib ra. untuk tidak mempoligami anaknya,
sama sekali tidak bertentangan dengan ayat tentang poligami di atas.
Permintaan beliau bersifat sangat manusiawi.
Harus kita ingat bahwa selain sebagai pembawa risalah,
Muhammad SAW juga seorang manusia, yang punya isteri, anak,
menantu serta teman. Hubungan yang bersifat pribadi antara beliau
SAW dengan Ali bin Abu Thalib sangat dekat. Karena Ali ra. sejak kecil
diasuh dan tinggal di rumah beliau SAW. Sehingga posisinya sudah
seperti anak sendiri. Dan Rasulullah SAW sendiri sejak kecil tinggal dan
diasuh oleh ayahnya Ali ra, maka lengkaplah kedekatan dan
kemesraan antara keduanya.
Hubungan mereka melewati batas-batas hubungan formal antara
seorang nabi dan umatnya, mereka ibarat ayah dan anak, kakak dan
adik seppupu, teman dekat, bahkan sahabat.
Tidak jarang Rasulullah SAW ikut campur dalam urusan keluarga
Ali ra. dan Fatimah ra. Misalnya, suatu ketika Fatimah ra. meminta
kepada beliau SAW untuk diberikan pembantu rumah tangga, namun
beliau menolaknya. Bagi Ali ra, penolakan nabi SAW itu tidak pernah
membuatnya tersinggung, sebab baginya Rasulullah SAW terlalu dekat.
Namun secara manusiawi juga, terkadang Ali bin Abu Thalib ra.
merasa kikuk dengan posisi sebagai teman dan sekaligus mertua.
Sampai-sampai ketika bertanya dengan keadaaannya yang mudah
keluar mazi, justru beliau minta shahabat lain bertanya kepada
Rasulullah SAW.
Kedekatan Ali ra. dengan Rasulullah SAW ini sangat istimewa,
tidak dimiliki oleh para shahabat lainnya. Sebab selain hubungan
mertua menantu, mereka berdua adalah sepupu yang masing-masing
pernah tinggal dan dibesarkan dalam satu rumah. Saking dekatnya
ayah Ali, yaitu Abu Thalib dengan diri Muhammad SAW, sampai-
sampai dia punya kursi khusus yang tidak boleh seorang anaknya
untuk mendudukinya, kecuali Muhammad SAW. Sedemikian
istimewanya kedudukan beliau SAW di mata Abu Thalib dan anaknya.
Maka ketika Ali ra. menikahi puteri Rasululah SAW, Fatimah ra,
hubungan mereka sangat dekat dan mesra. Bagi Ali ra, mertuanya itu
sudah seperti ayahnya sendiri, teman sendiri dan tempat curhat.
Demikian juga dengan Rasulullah SAW, baginya Ali bin Abi Thalib ra.
lebih dari sekedar menantu, tetapi teman baik, shahabat, tempat curhat
serta seperti anak kandung sendiri. Maka amat wajar dan manusiawi
ketika Rasulullah SAW menginginkan agar Ali bin Thalib tidak
mengawini wanita lain selain puterinya, paling tidak selama beliau SAW
hidup. Permintaan ini berlaku sangat khusus hanya antara mereka
berdua saja. Tidak bisa dijadikan dasar hukum yang umum hingga
seolah poligami dilarang di dalam Islam.
Kalau memang benar poligami dilarang dalam Islam, seharusnya
permintaan untuk tidak menikahi dua wanita atau lebih bukan hanya
ditujukan kepada Ali ra. seorang, tetapi kepada semua shahabat nabi
SAW. Padahal begitu shahabat nabi SAW yang melakukan poligami.
Jumlahnya tidak terhitung. Bahkan diri beliau SAW melakukan poligami.
As-Sayyid bin Abdul Aziz As Sa'dani mengatakan bahwa
sesungguhnya hadits atau hukum larangan poligami ini khusus untuk
putri Rasulullah SAW. Dan bahwasannya ia tidak akan berkumpul
dengan putri musuh Allah. Oleh karena itu, putri Rasulullah tidak akan
bersatu bersama putri musuh Allah. Sebagaimana yang dikatakan oleh
Ibnul Munayyir Al-Iskandari, "Ini termasuk dalam wanita wanita yang
diharamkan. Oleh karena itu, Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam berkata,
"Sesungguhnya aku khawatir mereka akan menfitnah putriku." Kalau Ali
bin Abu Thalib menikah dengan selain putri Nabi Shallallahu'alaihi wa
sallam, niscaya Nabi tidak akan mengingkarinya.
Maka argumentasi haramnya poligami hanya berdasarkan karena
Rasulullah SAW melarang Ali bin Abi Thalib menikahi Juwairiyah
setelah beristrikan Fatimah ra. adalah argumentasi yang kurang tepat.
Mungkin mereka yang mengatakannya terbawa nafsu dan kurang
memahami hakikat dan realita sirah nabawiyah yang sesungguhnya.
Juga kurang mengenal metode istimbath hukum fiqih yang baku.
Pernikahan dan Keluarganya
Ketika usianya beranjak dewasa, Fatimah Az-Zahra dipersunting
oleh salah satu sepupuh, sahabat sekaligus orang kepercayaan
Rasulullah, Ali bin Thalib. Ali bin Abi Thalib datang kepada Rasulullah
untuk melamar, lalu ketika Nabi bertanya “apakah mempunyai
sesuatu?”. Tidak ada ya Rasulullah”. Jawabku.”. dimana pakaian
perangmu yang hitam, yang saya berikan kepadamu”. Tanya beliau.”
Masih ada wahai Rasulullah”. Kata beliau.
Lalu bergegas pulang dan membawa baju besinya, lalu Nabi
menyuruh menjualnya dan baju besi itu dijual kepada Utsman bin Affan
seharga 470 dirham, kemudian diberikan kepada Rasulullah dan
diserahkan kepada bilal untuk membeli perlengkapan pengantin. Sejak
pertama kali menginjakkan kaki dirumah suaminya, Fatimah
mengetahui bahwa dia memiliki kewajiban yang besar terhadap
suaminya. Dia mengetahui kondisi ekonimi suaminya, mengetahui
bagian dalamnya, serta mengetahui beban dan tugas yang dituntut oleh
kehidupan.
Masa-masa awal pernikahannya dengan Imam Ali as saat berada
di Madina. Dimasa itu, Sayyidah Fatimah juga melewati masa-masa
sulit peperangan dengan kaum musyrikin. Ia pun selalu menjadi
tumpuan hati Imam Ali di masa-masa yang kritis saat itu. Saat
suaminya pergi ke medan laga, ia menangani seluruh urusan rumah
tangganya, merawat dan mendidik putra-putrinya sebaik mungkin.
Dengan penuh kesabaran dan kasih sayang, ia senantiasa berusaha
menjadi pendamping yang selalu tulus mendukung perjuangan
Rasulullah, dan suaminya, Imam Ali as dalam menegakan ajaran Islam.
Dari penikahannya dengan Ali bin Abi Thalib, Fatimah Az-Zahra
memiliki 4 anak, 2 putra dan 2 putri yaitu Hasan dan Husain.
Sedangkan yang putri yaitu bernama Muhsin, tetapi Muhsin meninggal
dunia saat masih kecil. Pernikahannya mengatur rumah tangganya, dan
pendidikan anak-anaknya berada didalam rumah seorang pribadi
terbesar dalam kedua dalam Islam, yaitu imam Ali bin Abi Thalib. Dan
dalam masa hidupnya yang singkat itu, Dia mempersembahkan kepada
masyarakat dua orang Imam yang maksum, Imam Hasan dan Imam
Husain, serta dua orang wanita pemberani yang rela berkorban, Zainab
dan Ummu Kaltsum.
Keutamaan dan Keistimewaan nya
1) Dia adalah seorang isteri yang berkelayakan dalam urusan
rumahtangga, memadai dengan hidup sederhana, tidak meminta-
minta dari suaminya, bersama-sama dalam segala hal dan sentiasa
berada disisi Imam Ali (as) di dalam kesusahan dan kesedihan.
2) Dia adalah model kesetiaan dan ketabahan serta amat bijak dalam
mendidik anak-anak, beliau adalah seorang Ibu Mithali.
3) Dia sentiasa menghormati ayahandanya, suami dan orang lain serta
sentiasa bekerjasama dengan pembantu rumah dalam membuat
kerja-kerja rumah.
4) Tidak berpaut pada dunia dan merupakan ahli infaq yang senantiasa
bersedekah dan sanggup berkorban apa sahaja.sebagai contoh,
Baju perkahwinannya sendiri juga telah diberikan kepada orang yang
telah datang didepan pintu rumahnya.
5) Beliau tidak pernah menolak untuk membantu dari segi harta orang-
orang yang memerlukan dan telah menjadi kebiasaan untuk hidup.
6) Sederhana jauh dari kesenangan dan kekayaan serta menjalani
hidup dengan keindahan akhlak, kasih sayang dan kerjasama
7) Berhijab, sifat malu dan kesucian Sayyidah Zahra (sa) menjadi buah
mulut semua orang.walaupun apabila berhadapan dengan orang
buta dia tetap memelihara hijabnya.

Keutamaan Fatimah bukanlah hanya karena beliau adalah putri


dari Rasulullah SAW semata, akan tetapi keutamaan dan kemuliaan
beliau memang ditunjang beberapa hal penting seperti keutamaan
Akhlaq yang mulia, ilmu pengetahuan yang tinggi, kefasihan yang
mengungguli kaum pria sekalipun, kesabaran, ketabahan,
kesederhanaan, kezuhudan, ketegaran hati dan lainya. Selain sifat-sifat
yang dimiliki Sayyidah Fatimah as tersebut, terdapat keunikan lain akan
keutamaan beliau, yaitu beliau adalah putri dari Rasulullah SAW, Putri
dari Khadijah al-Kubra (Pemuka wanita Islam pertama), Istri dari
Sayyidina Ali bin abi thalib (yang merupakan sahabat terdekat Nabi
SAW dan orang pertama kali masuk Islam), beliau adalah Ibu dari
Sayyidain al-Hasan wal-Husain, dan beliau merupakan salah satu
anggota khusus keluarga Nabi SAW yang disebut sebagai Ahlul Bait
Yang Suci.

Fatimah Ra adalah salah satu putri kesayangan Nabi Muhammad


Saw. Fatimah begitu dicintai Nabi sehingga saat Ali hendak menikahi
perempuan lain dari salah satu Bani Mughirah, Nabi menentangnya.
Bahkan Nabi mengatakan agar menceraikan Fatimah jika tetap
meneruskan pinangan tersebut. Mari kita telusuri apa tujuan Rasulullah
menolak putrinya dipoligami oleh Ali.

‫عن المسور بن مخرمة حدثه أنه سمع رسول هللا صلى هللا عليه و سلم على المنبر يقول إن بني هشام بن‬
‫المغيرة استأذنوني أن ينكحوا ابنتهم من علي بن أبي طالب فال آذن ثم ال آذن ثم ال آذن إال أن يريد ابن أبي‬
‫طالب أن يطلق ابنتي وينكح ابنتهم فإنما ابنتي بضعة مني يريبني ما أرابها ويؤذيني ما آذاها (أخرجه‬
)‫البخاري ومسلم‬

Artinya: Dari Miswar bin Makhramah menceritakan kepadanya


bahwa sesungguhnya ia mendengar Rasulullah Saw bersabda saat
berada di atas minbar “sesungguhnya Bani Hisyam bin Mughirah
meminta izin kepadaku untuk menikahkan anak mereka dengan Ali bin
Abi Thalib maka tidak aku izin, tidak aku izinkan, tidak aku izinkan
kecuali Ali mau menceraikan anakku (Fatimah) lalu menikahi anak
mereka (Hisyam bin Abi Mughirah . Karena sesungguhnya anakku
merupakan bagian dari diriku. Apa yang menggangguku adalah apa
yang mengganggunya, apa yang menyakitiku adalah apa yang
menyakitinya (HR. Bukhari & Muslim) Hadis ini berstatus Shahih.
Dalam hadis tersebut Rasulullah sampai tiga kali mengatakan
untuk tidak mengizinkan Ali meminang perempuan lain saat masih
berstatus suami dari Fatimah. Hal tersebut mengindikasikan penegasan
agar Ali tak melakukan itu selamanya. Rasulullah juga menegaskan
bahwa hal apapun yang menyakiti Fatimah dan meresahkannya akan
menyakiti hati Rasulullah juga. Karena itu Rasulullah menolak putrinya
dipoligami. Tapi apakah berarti Rasulullah mengharamkan poligami?
Dalam Shahih Ibnu Hibban dijelaskan bahwa hadis ini tidak berarti
mengharamkan poligami, hadis ini diperuntukan untuk memuliakan
putrinya, Fatimah. Bahkan seorang Rasul saja memuliakan putrinya
dengan cara tidak mengizinkan Ali untuk mempoligaminya

‫وفي الرواية األخرى إني لست أحرم حالال وال أحل حراما ولكن وهللا ال تجتمع بنت رسول هللا وبنت عدو‬
‫هللا مكانا واحدا أبدا‬

Artinya: Dalam riwayat lain Nabi bersabda, “sesungguhnya aku


tidak mengharamkan hal yang halal dan menghalalkan hal yang haram.
Akan tetapi Allah tidak hendak mengumpulkan putri Rasulullah dan
putri dari musuh Allah menjadi satu selama-lamanya.( Syarh Nawawi
‘ala Shahih Muslim)
Imam Nawawi dalam Syarh Nawawi ‘ala Shahih
Muslim menjelaskan bahwa hadis ini berkenaan dengan lamaran Ali
kepada putrinya Abu Jahal. Rasulpun bereaksi dan tak rido jika Fatimah
bersatu dengan musuh Allah. Syekh Nawawi pun menjelaskan ketidak
ridoannya juga disebabkan takutnya terjadi kerusakan jika Fatimah dan
putri Abu Jahal bersatu dan berdampak akan melukai Fatimah yang itu
berarti melukai Rasulullah. Wallahu a’lam bisshawaab.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan
Poligami Adalah sebuah sistem sosial yang berbeda-beda
interpretasi dan implementasinya antara beberapa masyarakat,
disesuaikan dengan Budaya dan Agama dari masing Masyarakat, dan
berkembang sejarahnya dari masa ke masa, seperti halnya di Agama
Kristen yang awalnya Boleh menjadi tidak diperbolehkan. Dalam islam
dibolehkan, tetapi setelah melihat realitas Poligami ada juga sebagian
ulama mengharamkannya. Dalam agama hindu, tidak melarang juga
tidak menyarankan poligami. Kalau dalam agama budha poligami
dianggap sebagai keserakahan (tidak dianjurkan). Sedangkan agama
yahudi hampir sama sejarahnya dengan kristen, awalnya diperbolehkan
namun kini dilarang.
Dinamika Pro kontra Poligami ini akan selalu berjalan seiring
dengan perkembangan sistem sosial masyarakat.. Karena bila dikaji
lebih teliti lagi, dampak dan realitas sejarah Poligami dari dulu hingga
sekarang tidak selamanya menuai kontroversi.
B. Saran
Jika Anak Manusia itu datang, adakah Ia mendapati iman di
bumi?” (Lukas 18:8). Pertanyaan ini memperlihatkan keprihatinan
penuh kasih Pengantin Lelaki terhadap PengaJntin PerempuanNya.
Manusia diciptakan serupa dan segambar dengan Tuhan. Tuhan
itu ESA. Mari kita tunjukkan kasih kepada isteri kita dengan kesetiaan
kita kepada isteri, dan begitu juga isteri harus menunjukkan kesetiaan
kepada suaminya.
DAFTAR PUSTAKA

Abdurrahman, Fuad, Fatimah Pemimpin Wanita di Surga,


Jakarta: Republika Penerbit, 2019

Amin Muhammad, Fatimah Az-Zahra The mother Family of Heaven,


Jakarta Selatan, ZAHIRA, 2015

Arifin, Yanuar, Amazing Stories Khadijah, Yogyakarta : Pustaka Al-


Uswah

Assari, Melinda Skripsi Kepribandian Fatimah dan Relevansinya


dengan Pendidikan Muslimah, Lampung: UIN Raden Intan Lampung,
2019

Ayatullahi, S Mahdi, Siti Fatimah Az-Zahra As. Penghulu Kaum


Wanita, Indonesia: Majma Jahani Ahlul Bait, 2004

Budiati Indah, dkk , Profil Generasi Milenial Indonesia, Indonesia


: Kementerian Pemerdaya Perempuan dan Perlindungan Anak, 2018

Daryati, Euis, Muslimah Idol : Napak Tilas Kehidupan Para


Perempuan Teladan, Jakarta : Citra, 2015

Depertemen Agama RI, Al-Qur’an Terjemahan Al-Muhaimin,


Jakarta; Al-Huda,2015

Husein, Manakib dan Keutamaan Khadijah binti


Khuwalid, Yogyakarta: RausyanFikr, 2018

Imron Mustofa, Perempuan-Perempuan Surga, Yogyakarta, Laksana


: 2017

Munawir Husni, Perempuan Madinah, DIVA Press, Yogyakarta,


2015

Nur, Jannah Zakiah, Amazing Stories Fatimah, Yogyakarta: Pustaka


Al Uswah, 2012
Priyatna, Haris dan Lisdy Rahayu, Perempuan yang
Menggtarkan Surga, Yogyakarta: Mizan, 2015

Rizem Aizid, The Great Sahaba, Laksana, Jakarta Selatan: 2018

Soekanto S.A, Wahai Kekasih Allah, Biografi Nabi Muhammad


Saw untuk Anak- anak Bandung: PT Dunia Pustaka Jaya, 2000

Tary, Mulasih dan Devi Ardiyanti, Indahnya Kisah Cinta Fatimah Az-
Zahra dan Ali bin Abi Thalib, Yogyakarta: Checklist, 2021

Yulian Purnama, S.kom, Benarkah Rasulullah Melarang Ali bin Abi


Thalib Poligami, diakses dari https://muslim.or.id/27264-benarkah-
rasulullah-melarang-ali-bin- abi-thalib-poligami, diakses 14 Februari 2021,
pukul 16.15.

Z, Hikmawati, Skripsi, Peranan Fatimah Az-Zahra Terhadap


Perkembangan Islam, Makassar: UINAM, 2016

Zayadi, Teladan Abadi Fatimah Zahra, Jakarta: Al-Huda, 2009

Anda mungkin juga menyukai