Diterjemahkan oleh:
Mukhlisin
1
PENDAHULUAN
2
BAB I
MENERANGKAN HUKUM-HUKUM NIKAH
BAB II
MENERANGKAN RUKUN-RUKUN NIKAH
DAN LAINNYA
12
Rukun yang ketiga adalah mempelai pria, dan disayaratkan
baginya empat perkara, keberadaannya halal(tidak dalam keadaan
ihram), maka tidak sah menikahi laki-laki yang sedang ihram
meskipun dengan perantara wakilnya, dan keberadaannya tidak
dipaksa, maka tidak sah menikahi orang yang dipaksa dengan tanpa
hak, berbeda halnya orang tersebut dipaksa karena adanya hak
sebagaimana orang yang dipaksa untuk menikahi wanita yang
ditalaknya dengan talak ba'in dengan tanpa melalui talak 3 kali.
Karena Wanita tersebut dianiaya dalam hak gilirnya maka hal
tersebut sah nikahnya, dan keberadaannya tertentu maka tidak sah
menikahi salah satu dari 2 laki-laki sebagaimana wali berkata:
zawwajtu binti ahadakuma, meskipun wali tersebut meniatkan
salahsatu dari keduanya atau tidak. Dan keberadaannya tahu atas
kehalalan calon istrinya daan tahu namanya, nasbnya, dan
keberadaannya. Maka tidak sah nikahnya seseorang yang tidak
mengetahui hal tersebut, meskipun setelah menikahinya terbukti
bahwa wanita tersebut halal baginya. Sebagaimana menikahi
perempuan apakah ia beriddah atau sepi dari iddah atau ia adalah
saudara perempuannya atau selainnya dari mahram-mahramnya
atau dari wanita lain kemudian menjadi jelas sesungguhnya ia itu
sepi dari iddah dan ia juga wanita lain. Keberadaannya adalah laki-
laki tulen maka tidak sah menikahi orang yang banci.
Rukun yang ke empat adalah wali, dan di syaratkan baginya
Sembilan syarat, Yang Pertama tidak dalam keadaan dipaksa maka
tidak sah suatu pernikahan dari wali yang dipaksa, Yang Kedua
baligh maka tidak ada perwalian bagi anak kecil berdasarkan ijma',
Yang Ketiga berakal maka tidak ada perwalian bagi orang yang gila
yang terus-menerus sifat kegilaannya berdasarkan ijma' karena
orang gila tersebut tidak memiliki sifat tamyiz, meskipun terputus
(tidak terus menerus) sifat gilanya berdasarkan qoul rajih karena
memenangkan waktu gilanya maka wali yang lebih jauh (ab'ad)
lebih berhak menikahkan daripada wali yang dekat (aqrob) hal itu
dalam masa gilanya wali aqrob bukan dalam masa sehatnya. Yang ke
empat, merdeka. Maka tidak ada perwalian bgi seorang budak
berdasarkan ijma. Yang Ke lima, laki-laki. Maka tidak ada perwalian
bagi seorang wanita, dan seorang wanita tidak bisa meng akadkan
nikah baik dengan ijab maupun qobul tidak bisa untuk dirinya dan
13
tidak bisa untuk selainnya. Yang keenam, adalah adil. Maka tidak
ada perwalian bagi orang fasik (lain halnya bagi seorang pemimpin).
Karena sesungguhnya fasik itu kurang dan menciderai persaksian
maka di cegah suatu perwalian karena fasik sebagaimana dalam
budak, dan ini adalah pendapat madzhab Syafii dan kebanyakan
ulama sahabat mutaakhirin itu berpendapat : sesungguhnya fasikitu
bisa menjadi wali, yang memilih atau berpendapat dengan ini adalah
Imam Nawawi, Ibnu Shalah, Subkhi sebagaimana apa yang telah
Imam Ghozali fatwakan tentang ketetapan perwalian bagi orang
yang fasik sekiranya wilayah perwalian itu berpindah bagi hakim
yang fasik. Yang ketujuh, adalah Islam. Maka tidak ada perwalian
bagi laki-laki kafir ter hadap muslimah dan tidak pula laki-laki
muskim terhadap wanita kafir, sebagaimana firman Allah (dan
orang-orang kafir sebagiannya menjadi wali sebagian yang lain).
Yang kedelapan,wali itu tidak boleh cacat pandangan atau angan-
angan sebab pikun, atau bodoh. Maka tidak ada perwalian bagi
seseorang yang cacat penglihatannya/ pemikirannya Karena
kebodohannya atau karena sakit atau aren sepuh/ tua disebabkan
lemahnya seseorang dari ketelitian terhadap keadaan dalam
pernikahan dan maknanya adalah seseorang yang kesibukan oleh
penyakit tersebut. Yang kesembilan, adanya wali tidak cacat hukum
(mahjur alaih) disebabkan bodohnya, maka seorang yang di mahjur
sebab bodohnya tidak dapat menjadi wali yaitu orang yang sudah
baligh tetapi tidak pintar (dalam mentasharrufkan hartanya) atau ia
menyia-nyiakan hartanya setelah ia menjadi pintar kemudian ia
dicegah tasharrufnya Karena sesungguhnya orang yang di mahjur
Karena sifat kekurangannya maka ia tidak dapat menguasai urusan
dirinya sendiri maka I tidak dapat menguasai urusannya orang lain.
Dan ada pendapat yang mengatakan bahwa mahjur alaih dapat
menjadi wali Karena sempurna angan-angannya di dalam nikah,
hanya saja orang tersebut di mahjur (di cegah pentasharrufkannya)
karena untuk menjaga hartanya.
Rukun yang kelima adalah dua orang saksi. Dan di syaratkan
baginya Sembilan hal. Yang pertama, Islam maka tidak sah nikah
dengan adanya saksi dua orang wakil atau satu muslim atau satu
kafir entah wanita yandg dinikahkan itu wanita muslim atau kafir
dzimmi Karena orang kafir tidaklah memiliki hak untuk menjadi
14
saksi. Yang kedua, baligh. Yang ketiga, berakal. Yang keempat,
merdeka. Maka tidak sah adanya nikah dengan saksi berupa seorang
anak kecil, seorang gila, dan budak. Entah itu budak murni atau
budak mudabbar atau budak mukattab. Yang kelima, laki-laki maka
tidak sah adanya nikah yang disaksikan wanita, atau seorang laki-
laki dan dua orang wanita, atau dua orang khunsta (banci), tapi sah
jika dua orang khunsta tersebut jelas laki-laki. Yang Keenam, adalah
adil. Maka akad nikah tidak sah dengan hadirnya 2 orang yang fasik
atau hadirnya orang yang adil dan yang fasik. Yang ketujuh, adalah
mendengar. Maka tidak sah suatu akad nikah dengan kehadiran dua
orang yang tuli dan juga yang tidak bisa mendengar dan tuli. Yang
dimaksud Al-Asham yaitu orang yang sam sekali tidak bisa
mendengar. Yang kedelapan, adalah penglihatan, karena sebuah
perkataan tidak akan tetap kecuali dengan sebuah persaksian dan
pendengaran. Maka tidak sah sebuah akad dengan menghadirkan
dua orang yang buta dan tidak bisa melihat. A'ma menurut pendapat
yang sohih ada dua macam, dan macam yang kedua itulah yang sah.
Karena sesungguhnya A'ma itu mampu memberika persaksian
dalam perkataan. Yang kesembilan, adalah ucapan, tidak sah akad
nikah dengan mendatangkan saksi dua orang yang bisu. Dan
disyaratkan dalam persaksian tidak adanya larangan Karen
menambah sesuatu yang terlewatsebab bodoh/ lupa dan juga
mengerti bahasa dua orang yang berakad. Maka tidak sah bagi orang
yang tidak mengerti bahasa keduanya.
Dalam kitab Al Bujairomi 'alaa Syarkhil Manhaj: disyaratkan
bagi wanita yang bercadar untuk memperlihatkan wajahnya pada
kedua saksi sebelum akad. Karena hal demikian termasuk sahnya
sebuah akad nikah. Apabila wanita yang di akadkan dan ia dalam
keadaan bercadar lalu dua orang saksi tadi tidak mengenalinya
maka tidak sah. Karena pendngaran seorang saksi atas suatu akad
seperti hakim dalam mendengarkan sebuah persaksian.
Imam Zarkasyi berpendapat bahwa tempat yang disyaratkan
itu ketika adanya perempuan tidak diketahui. Dan jika tidak ada
maka sah akadnya. Dan pernasalahan tersebut merupakan
permasalahan yang indah. Banyak para qadhi sekarang yang tidak
mengetahui masalah tersebut. Mereka menikahkan wanita bercadar
15
yang datang tanpa diketahui oleh para saksi cukup dengan
kehadiran dan kabar beritanya.
Muhammad Romli mengibaratkan sebuah persaksian: para
ulama berpendapat bahwa nikah wanita yang bercadar tidak sah
kecuali para saksi mengetahuinya, entah itu nama, nasab, dan
wajahnya.
Ibnu Hajar Syihab Al Qolyubi berpendapat dalam kitab
Hasyiyah 'Ala Jalal Al-Mahalliy: tidak disyaratkan melihat wania
yang tidak diketahui, tapi cukup menyaksikan jalannya akad antara
wanita tersebut desngan suaminya.
PENUTUP
MENERANGKAN HAK-HAK SEORANG ISTERI TERHADAP
SUAMI SERTA HAK-HAKNYA SEORANG SUAMI ATAS
ISTERI
18