Anda di halaman 1dari 56

PEDOMAN

BAHTSUL MASAIL
NAHDLATUL ULAMA

Diterbitkan oleh:
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
PCNU BOJONEGORO
Masa Bakti 2019-2024
SUSUNAN PENGURUS PIMPINAN CABANG
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
NAHDLATUL ULAMA BOJONEGORO
MASA KHIDMAT 2019 - 2024

Pelindung : PCNU Bojonegoro

Penasehat : K. Soim
K. Shohib
K. Hanif Nur
K. Muhammad Harsono
KH. Asfiror Ridlwan

Pembimbing : K. Kholidin
K. Agus Sholahudin
K. Musthofa

Dewan Pakar : K. Sofa Robbani


K. Ishom
K. Lutfi Zamroni
K. Dodi Hasyim
A‟dho‟ : K. A. Syafiq
K. Nur Kholis
K. Lukman Hakim
K. Ahmadi Ilyas

Pedoman Bahtsul Masail NU | 1


Ketua : Ust. Fathur Rozi
Wakil Ketua : Ust. Najihul Amin

Sekretaris : Ust. Ahmad Siroj Munir


Wakil Sekretaris : Ust. Fauzi Murtadlo

Bendahara : Ust. Arif Zaky


Wakil Bendahara : Ust. Sulthon Husain

BIDANG-BIDANG
A. Identifikasi Masalah : Ust. Ahmad Alawi
Ust. Irsyadul Ibad
Ust. Arya Sabilla Hayat Afandi
B. Kodifikasi dan
dokumentasi : Ust. Abdur Rohman
Ust. Muhaimin
Ust. A. Arifin

Pedoman Bahtsul Masail NU | 2


Daftar Isi

Susunan Pengurus ........................................................................................ 1

Daftar Isi .......................................................................................................3

Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam Dalam Bahtsul Masail


Di Lingkungan Nahdlatul Ulama .............................................................. 4

Implementasi Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam .............10

Talfiq Antara Pendapat Empat Fiqih Madzhab .....................................13

Al-Kutub Al-Mu‟tabaroh ..........................................................................15

Format Penetapan Bahtsul Masail ...........................................................31

Metode Istinbath Al-Ahkam Dalam Nahdlatul Ulama .........................34

Pedoman Bahtsul Masail NU | 3


Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam
Dalam Bahtsul Masail
Di Lingkungan Nahdlatul Ulama 1
( Muktamar NU ke-31 di Boyolali, tahun 2004 )

A. Penjelasan Umum
1. Yang dimaksud dengan “kitab” adalah kutub al-madzahib al-arba‟ah,
yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah
Ahlussunah wal Jamaah
2. Yang dimaksud mazhab secara qauli adalah mengikuti pendapat-
pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup salah satu al-madzahib
al-arba‟ah.
3. Yang dimaksud dengan bermazhab secara manhaji adalah
bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan
hukum yang telah disusun oleh imam mazhab dari al-madzahib al-
arba‟ah.
4. Yang dimaksud dengan istinbath jama‟i adalah mengeluarkan
hukum syara‟ dari dalilnya dengan qawa‟id ushuliyyah secara kolektif.
5. Yang dimaksud dengan qaul dalam referensi madzhab Syafi‟i
adalah pendapat Imam Syafi‟i.
6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama mazhab
Syafi‟i.

1
Revisi hasil keputusan “Sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail
di lingkungan Nahdlatul Ulama” pada Munas Alim Ulama NU di Lampung pada tahun
1992.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 4


7. Yang dimaksud dengan taqrir jama‟i adalah upaya secara kolektif
untuk menetapkan pilihan terhadap satu di antara beberapa
qaul/wajah dalam madzhab Syafi‟i.
8. Yang dimaksud dengan ilhaq (ilhaq al-masail bi nazha‟iriha) adalah
menyamakan hukum suatu kasus/masalah yang belum dijawab
oleh kitab dengan kasus/masalah serupa yang telah dijawab oleh
kitab (menyamakan suatu kasus dengan pendapat yang sudah
“jadi”).
9. Yang dimaksud dengan usulan masalah adalah permintaan untuk
membahas suatu kasus/masalah, baik hanya berupa “judul”
masalah maupun telah disertai pokok-pokok pikiran atau pola hasil
pembahasan awal dengan maksud dimintakan tanggapan.
10. Yang dimaksud dengan pengesahan adalah pengesahan hasil suatu
Bahtsul Masail oleh PB Syuriah NU, Munas Alim Ulama NU atau
Muktamar NU.

B.Sistem Pengambilan Keputusan Hukum Islam

I. Kerangka Analisa Masalah


Dalam memecahkan dan merespon masalah, maka bahtsul masail
hendaknya mempergunakan kerangka pembahasan masalah antara lain
sebagai berikut:
1. Analisis Masalah, (sebab mengapa terjadi kasus) ditinjau dari
berbagai faktor:
a. Faktor ekonomi,
b. Faktor politik,
c. Faktor budaya,
d. Faktor sosial,

Pedoman Bahtsul Masail NU | 5


e. Faktor lainnya.
2. Analisis Dampak, (dampak positif dan negatif yang ditimbulkan
oleh suatu kasus yang dicari hukumnya) ditinjau dari berbagai aspek,
antara lain:
a. Aspek sosial ekonomi,
b. Aspek sosial budaya,
c. Aspek sosial politik,
d. Aspek lainnya.
3. Analisis Hukum, (dampak bahtsul masail tentang suatu kasus
setelah mempertimbangkan latar belakang dan dampaknya di segala
bidang) di samping mepertimbangkan hukum Islam, juga
mempertimbangan hukum yuridis formal.
a. Status hukum (al-Ahkam al-Khamsah),
b. Dasar dari ajaran/ Ahlussunnah wal Jamaah,
c. Hukum Positif.

II. Prosedur Penjawaban Masalah


Keputusan bahtsul masail di lingkungan NU dibuat dalam
kerangka bermazhab kepada salah satu mazhab empat yang disepakati
dan mengutamakan bermazhab secara qauli. Oleh karena itu, prosedur
penjawaban masalah disusun dalam urutan sebagai berikut:
1. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dari
kutub al-madzahib al-arba‟ah dan di sana terdapat hanya satu
pendapat dari kutub al-madzahib al-arba‟ah, maka dipakailah
pendapat tersebut.
2. Dalam kasus ketika jawaban bisa dicukupi oleh ibarat kitab dan di
sana terdapat lebih dari satu pendapat, maka dilakukan taqrir jama‟i

Pedoman Bahtsul Masail NU | 6


untuk memilih salah satu pendapat. Pemilihan itu dapat dilakukan
sebagai berikut:
a. Dengan mengambil pendapat yang lebih maslahat dan/ atau
yang lebih kuat.
b. Khusus dalam madzhab Syafi‟i sesuai dengan keputusan
Muktamar ke I (1926), perbedaan pendapat disesuaikan dengan
cara memilih:
1. Pendapat yang disepakati oleh al-Syaikhani (al-Nawawi dan
al-Rafi‟i),
2. Pendapat yang dipegang oleh al-Nawawi,
3. Pendapat yang dipegang oleh al-Rafi‟i,
4. Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama,
5. Pendapat ulama yang terpandai,
6. Pendapat ulama yang wara‟,
c. Untuk madzhab selain Syafi‟i berlaku ketentuan-ketentuan
menurut madzhab yang bersangkutan.
3. Dalam kasus tidak ada satu pendapat yang memberikan
penyelesaian, maka maka dilakukan prosedur ilhaqul-masail bi
nazha‟iriha secara jama‟i oleh para ahlinya. Ilhaq dilakukan dengan
memperhatikan mulhaq, mulhaq bih dan wajhu al-ilhaq oleh para
mulhiq yang ahli.
4. Dalam kasus tidak mungkin dilakukan ilhaq, maka bisa dilakukan
istinbath, jama‟i dengan prosedur bermazhab secara manhaji oleh
para ahlinya. Yaitu dengan mempraktekkan qowaid ushuliyah oleh
para ahlinya.

C. Hirarki Dan Sifat Keputusan Bahtsul Masail

Pedoman Bahtsul Masail NU | 7


1. Seluruh keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul Ulama
yang diambil dengan prosedur yang telah disepakati dalam
keputusan ini, baik diselenggarakan dalam struktur organisasi
maupun di luarnya mempunyai kedudukan yang sederajat dan
tidak saling membatalkan.
2. Suatu hasil keputusan bahtsul masail di lingkungan Nahdlatul
Ulama dianggap mempunyai kekuatan daya ikat lebih tinggi setelah
disahkan oleh Pengurus Besar Syuriah Nahdlatul Ulama tanpa
harus menunggu Munas Alim Ulama maupun Muktamar.
3. Sifat keputusan dalam bahtsul masail tingkat Munas dan
Muktamar adalah:
a. Mengesahkan rancangan keputusan yang telah dipersiapkan
sebelumnya dan/atau,
b. Diperuntukkan bagi keputusan yang dinilai akan mempunyai
dampak yang luas dalam segala bidang.
4. Muktamar sebagai forum tertinggi di Nahdlatul Ulama, maka
Muktamar dapat mengukuhkan atau menganulir hasil Munas.

D. Kerangka Analisa Tindakan


Kerangka analisa tindakan, peran dan pengawasan efektifitas hasil
bahtsul masail (apa yang harus dilakukan sebagai konsekuensi dari
bahtsul masail, siapa yang akan melakukan, bagaimana, kapan, dan di
mana hal itu hendak dilakukan, serta bagaimana cara sosialisasi
mekanisme pemantauan agar semua berjalan sesuai dengan keputusan)
maka perlu memperhatikam aspek-aspek berikut ini:
1. Aspek politik (berusaha agar hasil bahtsul masail dapat dijadikan
sebagai sarana mempengaruhi kebijakan pemerintah),

Pedoman Bahtsul Masail NU | 8


2. Aspek budaya (berusaha membangkitkan pengertian dan
kesadaran masyarakat terhadap hasil-hasil bahtsul masail melalui
berbagai media massa dan forum (seperti majlis ta‟lim dan
sebagainya).
3. Aspek ekonomi (meningkatkan kesejahteraan masyarakat).
4. Aspek sosial (upaya meningkatkan kesehatan masyarakat,
lingkungan hidup dan lain sebagainya).

Pedoman Bahtsul Masail NU | 9


Implementasi Sistem
Pengambilan Keputusan Hukum Islam
( Munas Alim Ulama & Konbes NU di Surabaya tahun 2006 )

A. Mukaddimah
Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama tahun 1412
H./1992 M di Bandar Lampung tentang “Sistem Pengambilan
keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail di Lingkungan
Nahdlatul Ulama” yang kemudian disempurnakan dan menjadi
keputusan Muktamar XXXI NU tahun 1425 H./2004 M di Boyolali,
Jawa Tengah, merupakan lompatan maju fiqh Nahdlatul Ulama dalam
rangka menjawab persoalan keagamaan yang terus berkembang,
sementara teks rujukan (maraji‟) tidak sepenuhnya dapat menjawab,
sehingga banyak permasalahan yang belum terjawab karena
terbatasnya qaul ulama.
Penggunaan taqrir jama‟i, ilhaq al-masail bi nazhairiha dan istinbath
jama‟i yang ada dalam keputusan tersebut adalah upaya untuk
menghindari adanya masalah yang tidak terjawab (mauquf). Sayangnya,
keputusan tentang sistem taqrir jama‟i, ilhaq al-masail bi nazhairiha dan
istinbath jama‟i belum ada petunjuk operasionalnya dalam
mengimplementasikan metode penetapan hukum Islam dalam Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, Musyawarah Nasional Alim
Ulama nahdlatul Ulama perlu merumuskan petunjuk teknisnya agar
keputusan tersebut dapat dioperasionalkan.

B. Taqrir Jama’i
1. Definisi

Pedoman Bahtsul Masail NU | 10


Taqrir Jama‟i adalah upaya kolektif untuk menetapkan pilihan
terhadap satu diantara beberapa pendapat.
2. Prosedur
a. Mengidentifikasi pendapat-pendapat ulama tentang suatu
masalah yang dibahas.
b. Memilih pendapat yang unggul dengan kriteria sebagai berikut:
1) Pendapat yang paling kuat dalilnya.
2) Pendapat yang paling mashlahat (ashlah).
3) Pendapat yang didukung oleh mayoritas ulama (jumhur).
4) Pendapat ulama yang paling alim.
5) Pendapat ulama yang paling wara‟.
c. Memperhatikan ketentuan dari masing-masing madzhab atas
pendapat yang diunggulkan dikalangan mereka dengan uraian
seperti berikut:
1) Madzhab Hanafi.
2) Madzhab Maliki.
3) Madzhab Syafi‟i.
a) Pendapat Syaikhani (al-nawawi dan al-Rafi‟i) menjadi suatu
keniscayaan yang harus diambil jika sesuai dengan konteks
permasalahannya. Tetapi jika tidak sesuai dengan
konteksnya, maka dapat dipakai ulama lain dalam lingkup
madzhab Syafi‟i yang lebih sesuai,
b) Untuk mengukur kepandaian seorang ulama selain
Syaikhani, bisa dilakukan dengan menggunakan persaksian
ulama-ulama yang hidup semasa atau sesudahnya (murid-
muridnya), dan atau bisa juga dilakukan dengan melihat
karya-karyanya dilihat dari segi metodologi dan pemikiran
yang tertuang didalamnya.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 11


4) Madzhab Hanbali.
C. Ilhaq
1. Definisi
Ilhaq adalah menyamakan hukum suatu kasus dengan kasus yang
telah ada jawabannya dalam kitab (menyamakan suatu kasus dengan
kasus lain yang sudah ada hukumnya dalam kitab).
2. Prosedur
a. Memahami secara benar tentang suatu kasus (tashawwur al-
masalah) yang akan di-mulhaq-kan (mulhaq).
b. Mencari padanannya yang ada didalam kitab yang akan di-ilhaq-i
(mulhaq bih) atas dasar persamaan diantara keduanya (wajih al-
ilhaq).
c. Menetapkan hukum mulhaq seperti hukum mulhaq bih.
D. Istinbath Jama’i
1. Definisi
Yang dimaksudkan istinbath jama‟i adalah upaya secara kolektif
untuk mengeluarkan hukum syara‟ dari dalilnya dengan menggunakan
qawa‟id ushuliyah.
2. Prosedur
a. Memahami secara benar tentang suatu kasus (tashawwur al-
masalah) yang akan ditetapkan hukumnya.
b. Mencari dalil yang akan dijadikan dasar penetapan hukum
(istidlal).
c. Menerapkan dalil terhadap masalah dengan kaifiyah al-istidlal
(metode pengambilan hukum).
d. Menetapkan hukum atas masalah yang dibahas.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 12


Talfiq Antara Pendapat
Empat Fiqih Madzhab
( Munas Alim Ulama & Konbes NU di Surabaya pada Tahun 2006 )

A. Mukaddimah
Perkembangan zaman dan tersebarnya Islam ke berbagai daerah
memunculkan persoalan-persoalan keagamaan, membutuhkan
jawaban yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi. Sementara
itu teks-teks (nushus) syar‟i terbatas, pendapat-pendapat ulama yang
integrated dalam suatu persoalan pun terbatas. Sedangkan persoalan-
persoalan keagamaan selalu muncu tidak ada batasnya. Terkadang talfiq
menjadi langkah yang sulit dihindari demi tercapainya kemaslahatan
dan kesesuaian hukum dengan situasi dan kondisi.
Namun demikian, sampai saat ini sungguh pun talfiq telah
dipraktikkan dalm sistem bermadzhab yang dianut NU, tetapi belum
ada ketentuan-ketentuan yang lebih rinci mengenai apa sebenarnya
talfiq, batasan-batasan diperbolehkannya dan dasar hukumnya. Oleh
karena itu, Musyawarah Nasiaonal Alim Ulama Nahdlatul Ulama perlu
merumuskan persoalan tersebut untuk menghilangkan keragu-raguan
dalam menggunakan talfiq dan menghindari penggunaan talfiq yang
menyesatkan.

B. Definisi
Talfiq adalah menggabungkan dua pendapat atau lebih dalam satu
qadhiyah (satu rangkaian masalah) sehingga melahirkan pendapat baru

Pedoman Bahtsul Masail NU | 13


yang tidak ada seorang Imam pun berpendapat seperti itu. Contoh,
seseorang ber-taqlid kepada madzhab Syafi‟i dalam keabsahan wudhu
dengan hanya mengusap sebagian kepala. Kemudian ber-taqlid pada
madzhab hanafi dalam hal ketidakbatalannya karena menyentuh kulit
perempuan yang bukan mahram.

C. Ketentuan Hukum
Talfiq pada dasarnya dilarang, Talfiq diperbolehkan jika ada
masyaqqah (kesulitan) dan tidak dalam rangka tatabu‟ al-rukhash
(semata-mata mencari keringanan).

Pedoman Bahtsul Masail NU | 14


Al-Kutub Al-Mu’tabaroh
( Munas Alim Ulama & Konbes NU di Surabaya Pada Tahun 2006 )

A. Mukaddimah
Sejak bahtsul masail tahun 1984 di Situbondo, kriteria al-kutub al-
mu‟tabaroh dipermasalahkan dan dibahas. Kemudian dimandatkan
kepada PBNU untuk ditetapkan kriterianya, sehingga kitab-kitab yang
menjadi rujukan bagi NU menjadi jelas. Pada Mu‟tamar NU ke-31 di
Boyolali, hal yang sama juga dimandatkan pada PBNU. Oleh karena
itu, Musyawaroh Nasional Alim Ulama Nahdlotul Ulama 2006
memandang perlu untuk membahas dan menetapkan kriteria al-kutub
al-mu‟tabaroh.

B. Definisi
Yang dimaksud dengan al-kutub al-mu‟tabaroh adalah kitab-kitab
dari al-madzhab al-arba‟ah (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hanbali) dan kitab-
kitab lain yang memenuhi kriteria fikrah nahdliyah.

C. Kriteria
Kemu‟tabaran suatu kitab didasarkan atas:
1. Penulis (mu‟alif)-nya yang antara lain memiliki sifat-sifat sebagai
berikut :
a. Sunni,
b. Wara‟,
c. „Alim,
2. Isi kitab, baik pendapat (qoul)-nya sendiri maupun kutipan
(manqulat):

Pedoman Bahtsul Masail NU | 15


a. Jika pendapatnya sendiri, tolok ukurnya adalah argumentasi
dan manhaj yang digunakan.
b. Jika berupa kutipan, maka tolok ukurnya adalah shihahun naql
(validasi kutipan)nya.
3. Pengakuan dari komunitas madzhabnya.

D. Kitab standar (Ummahat Al-Kutub) dalam masing-masing


madzhab empat adalah sebagai berikut :

I. Madzhab Hanafi
Para ulama madzhab hanafi pada era-era awalnya menjelaskan
peringatan kitab-kitab hanafiyah yang dianggap mu‟tamad menjadi
tiga thabaqat sebagai berikut :
Pertama, Masail Ushul atau Masail Zhahir al-Riwayah, yaitu semua
masalah yang diriwayatkan dari para arsitek madzhab (Abu Hanifah,
Abu Yusuf Dan Muhammad Bin Hasan), yang terdapat dalam enam kitab
yang masyur karya imam Muhammad bin Hasan, yaitu al-Jami‟ al-
Shaghir, al-Jami‟ al-Kabir, al-Siyar al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Mabsuth
Dan al-Ziyadat.
Kedua, Masail An-Nawadir. Yaitu masalah-masalah yang
diriwayatkan dari tiga ulama‟ madzhab tersebut, tetapi tidak terdapat
pada enam kitab yang telah disebutkan. Namun justru terdapat dala
kitab Muhammad yang lainnya, seperti al-Kaisaniyyat, al-Haruniyyat, al-
Juraniyyat, al-Raqiyyat dan lain-lain. Atau terdapat dalam kitab karya
selain Muhammad Bin Hasan, seperti kitab al-Mujarrat karya Imam Al-
Hasan Bin Ziyad, al-Amali karya Abu Yusuf , atau riwayat-riwayat
mufrodat mutafarriqah, yang dalam kajian hadits sama dengan hadits ahad.
Seperti riwayat Ibn Samma‟ah, al-Mualla Ibn Mansyur, Nawadir Ibn Hisyam
dan Nawadir Ibn Rustum. Kitab-kitab ini disebut Nawadir, artinya kitab

Pedoman Bahtsul Masail NU | 16


ini ghair zahir al-riwayah. Disebut demikian karena kredibilitas dan
akurasi riwayat dari Muhammad bin hasan dalam kitab-kitab tersebut
tidak selevel dengan kitab yang disebut pertama.
Ketiga, Masail Al-Waqi‟iyah atau Masail al-Fatwa. Yaitu masalah-
masalah yang merupakan hasil istinbath ulama-ulama muta‟akhirin, yang
tidak terdapat riwayatnya. Mereka itu adalah murid Abu Yusuf, dan
atau murid Imam Muhammad, atau murid dari murid keduanya.
Pada perkembangan selanjutnya, kitab-kitab yang dianggap
mu‟tamad adalah kitab yang tidak keluar dari ketentuan kitab zhahir al-
riwayah yang enam. Baik berupa ringkasan (mukhtashar), matn atau syarh.
Sehingga urutan kitab-kitab mu‟tamadah dalam fiqih hanafi sebagai
berikut :
a. Kitab-kitab zhahir al-riwayah. Yaitu karya imam Muhammad bin
hasan yang meliputi Al-Jami‟ Al-Shaghir, Al-Jami‟ Al-Kabir, Al-Siyar
Al-Shaghir, Al-Siyar Al-Kabir, Al-Mabsuth Dan Al-Ziyadat.
b. Kitab-kitab mukhtashar atau matn. Diantaranya adalah :
1. Mukhtashar Al-Thahawi, karya Abu Ja‟far Al-Tahahawi (w. 321
H)
2. Al-Kafi, karya Al-Hakim Muhammad Bin Muhammad (w. 334
H)
3. Al-Muntaqa, juga karya Al-Hakim Muhammad Bin Muhammad
4. Mukhtashar al-Karkhi, karya Abu Hasan Al-Karkhi (w. 340 H)
5. Mukhtashar al-Qaduri, karya Imam Ahmad Al-Qaduri (w. 428 H)
kitab ini yang dimaksud dengan al-Kitab dalam redaksi kitab-
kitab Fiqih Madzhab Hanafi.
6. Mandzumah al-Nasafi fi al-Khilaf, karya Najmuddin Al-Nasafi (w.
537 H)
7. Tuhfah al-Fuqoha‟, karya Alauddin Al-Samarqandi (w. 552 H)

Pedoman Bahtsul Masail NU | 17


8. Bidayah al-Mub‟tadi, karya al-Marghinani al-Farghani (w. 593 H)
9. Al-Mukhtar, karya Abu Al-Fadl Al-Muslihi (w. 683 H)
10. Majmu‟ al-Bahraini wa Multaq al-Nahraini, karya Al-Sa‟ati (w. 694
H)
11. Al-Wafi, karya Abu Al-Barakat Hafidudin Al-Nashafi (w. 710
H)
12. Kanz Al-Daqa‟iq (ringkasan al-Wafi), karya Al-Nashafi Pula.
13. Al-Wiqayah, karya Taj Al-Syari‟ah Al-Mahbubi.
14. Al-Niqayah (Mukhtasar Al-Niqayah), karya Shadr Al-Syari‟ah Al
Mahbubi (w. 747 H).
c. Kitab-kitab syarh. Diantaranya adalah :
1. Al-Mabsuth, Karya Syams al-Aimmah l-Sarkhasi (w. 490 H). Syarh
kitab Al-Kafi.
2. Badai‟ Al-Shanai‟, Karya Ala‟udin Al-Kasani (w. 587 H). Syarh
kitab Tuhfah Al-Fuqoha‟.
3. Al-Hidayah, Karya Al-Marginani, Syarh Kitab Bidayah Al-Mubtadi.
4. Al-Ikhtiyar li al-Ta‟lil al-Mukhtar, karya Abu Fadl Al-Muslihi.
Syarh kitab Al-Mukhtar.
5. Syarah Al-Wiqayah, Karya Ubaidillah Bin Mas‟ud Bin Taj As-
Syari‟ah.
6. Tabyin Al-Haqa‟iq, Syarh Kanz Al-Daqa‟iq, Karya Al-Zaila‟i (w. 743
H)
7. Fath Al-Qadir, Karya Ibn Al-Humam (w. 861 H)
8. Al-Tarjih wa al-Tashih, Syarh Mukhtashar al-Qaduri, Karya Qasim
Ibn Qathlubuha (w. 879 H)
9. Al-Bahr al-Ra‟iq, Syarh Kanz al-Daqa‟iq Karya Ibnu Nujaim (w.
969 H)

Pedoman Bahtsul Masail NU | 18


d. Al-Fatwa dan al-Waqi‟at. Yaitu karya hasil istinbath para mujtahid
Madzhab Muta‟akhir atas masalah-masalah yang tidak ada
2
jawabannya dalam Zhahir Al-Riwayah. Antara lain :
1. An-Nawazil fi al-Furu‟, karya Abu Al-Laits Al- Samarqandi (w.
372 H)
2. Fatawa Syams al-Aimmah al-Khulwani, karya Abdul Aziz Al-
Khulwani (w. 448 H/449 H)
3. Fatawa Khawahir Zadah, karya Abu Bakar Muhammad bin
Husain al-Bukhari, yang lebih dikenal dengan Khawahir Zadah
(w. 483 H)
4. Hawi al-Husyairi, karya Muhammad Ibrahim bin Anusy Al-
Husyairi (w. 505 H)
5. Al-Fatawa al-Kubra, karya al-Shadr al-Syahid (w. 536 H)
6. Al-Fatawa al-Nasafiyah, karya Najmuddin al-Nasafi (w. 537 H)
7. Al-Fatawa al-Walwaliyah, karya Abdurrasyid bin Abu Hanifah
bin Abdurrazak Al-Walwaliyah (w. 542 H)
8. Khulashah al-Fatawa, karya Thahir bin Ahmad bin Abdurrasyid
al-Bukhari (w. 542 H)
9. Al-Fatawa al-Sirajiyyah, karya Sirajuddin al-Ausyi al-Farghani (w.
575 H)
10. Al-Fatawa al-Khaniyyah, karya Fakhruddin Hasan bin Mansyur al-
Usjandi yang terkenal dengan sebutan Qadhi Khan (w. 592 H)
11. Al-Hawi al-Qudsi, karya Jamaluddin al-Qabisi (w. 593 H)
12. Al-Muhit al-Burhani, karya Tajuddin Ibn Mazah al-Bukhari (w.
616 H)

2
Pada prinsipnya, kitab-kitab Fatawa ini tidak dianggap mu’tamad, kecuali jika
merupakan kumpulan dari pendapat a’immah al-madzhab dan bukan pendapat
pribadi.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 19


13. Al-Dakhirah atau Dakhirat al-Fatawa atau Al-Dakhirah al-
Burhaniyah, istikhsar kitab al-Muhith al-Burhani dengan pengarang
yang sama.
14. Al-Fatawa al-Zahiriyah, karya Zhahiruddin Muhammad bin
Ahmad bin Umar (w. 619 H)
15. Al-Fatawa al-Hindiyah atau Fatawa Alim Kir (Sultan India), karya
lima ulama yang dipimpin Syaikh Nidzamuddin al-Burhan Buri.

II. Madzhab Maliki


Landasan utama bagi madzhab Maliki adalah kitab Al-Muwaththa‟
karya imam Malik bin Anas, dan pendapat –pendapat yang disebut
“sama‟at” Atau “riwayat” dari Imam Malik yang diriwayatkan oleh murid-
muridnya. Seperti Samma‟at ibn Qasim (w. 191 H), Samma‟at Ibu Wahb
(w. 197 H), Samma‟at Ashab (w. 204 H), Samma‟at ibn Majisyun (w. 212
H) dan Samma‟at ibn Abdil Ahkam (w. 214 H).
Kemudian berkembang karya-karya yang menjadi panutan ulama
Malikiyah, antara lain Al-Mudawwanah3 karya Sahnun (w. 204 H), al-
Wadihat karya Abdul Malik bin Habib (w. 255 H), al-Mawwaziyah Karya
Ibn Mawwaz (w. 269 H), al-Mukhtalathah, karya Sahnun, al-Majmu‟ah
karya Ibn „Abdus (W. 260 H), dan al-Mabsuth, karya Qadhi Abu Ishaq
(w. 282 H). Kitab-kitab tersebut -disamping kitab-kitab diatas- disebut
Ummahat al-Madzhab.
Sampai disini,ketentuan kitab-kitab mu‟tamadah pada era-era awal
adalah sebagai berikut :
1. Pendapat Imam Malik dalam al-Muwatha‟.
2. Pendapat Imam Malik di al-Mudawanah
3. Pendapat Ibn Qasim di al-Mudawanah
3
Kitab ini adalah kitab yang diriwayatkan dari ibn Qasim.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 20


4. Pendapat Ibn Qasim di selain al-Mudawanah
5. Pendapat selain Ibn Qasim al-Mudawanah 4
6. Pendapat selain ibn Qasim dari ulama madzhab yang terangkum di
dalam kitab-kitab al-Ummahat wa al-Dawawin, selain yang terdapat di
al-Mudawanah, yang terbagi menjadi dua kelompok5 :
Pertama, kitab mu‟tamad dalam fiqh nazhari, seperti :
a. Kitab-kitab Abu Bakar al-Abhuri (w. 375 H), yaitu Syarh Mukhtashar
Ibn Abdil Hakam al-Kabir dan Syarh Mukhtashar Ibn Abdil Hakam Al-
Shaghir.
b. Al-Tafri‟, Karya Ibn Jallab (w. 378 H)
c. Kitab-kitab Ibn Abi Zaid al-Qirawani (w. 386 H), yaitu Risalah al-
Nawadir wa al-Ziyadat Dan Mukhtasar al-Mudawanah.
d. „Uyun al-Adillah, Karya Ibn Qashshar (w. 397 H)
e. Kitab-Kitab Qadhi Abdul Wahab bin Nashr (w. 422 H)
f. Al-Tahdzib, karya Baradza‟i (w. 438 H)
g. Al-Jami‟, karya Ibn Yunus (w. 451 H)
h. Al-Muntaqa, karya Abu al-Walid al-Baji (w. 474 H)

4
Ketentuan ini direvisi oleh generasi-generasi berikutnya, sebagaimana disampaikan
oleh Abu al-Hasan al-Thanji, dengan urutan sebagai berikut :
1. Pendapat Imam Malik di al-Muwhattha’
2. Pendapat Imam Malik di al-Mudawannah
3. Pendapat Ibn Qasim di al-Mudawannah.
4. Pendapat selain Ibn Qasim di al-Mudawannah.
Perbedaannya terdapat pada pendapat Ibn Qasim di luar al-Mudawannah dan
pendapat selain Ibn Qasim yang ada di al-Mudawanah, menurut versi pertama,
pendapat Ibn Qasim lebih diprioritaskan walaupun tidak terdapat di al-Mudawanah,
sementara menurut versi kedua yang penting pendapat tersebut terdapat dalam
kitab al-Mudawanah, meskipun bukan pendapat Ibn Qasim.
5
Pada era-era ini kitab madzhab Maliki terbagi menjadi dua kelompok, kutub al-fiqh
al-nazhari (kajian-kajian fiqh secara menyeluruh baik berbicara tentang fiqih
madzhab maupun madzhab muqarin), dan kutub al-fiqh at-tathbiqi (kajian seputar
masalah-masalah qadha’, masalah-masalah wasa’iq/perjanjian dan syurut).

Pedoman Bahtsul Masail NU | 21


i. Al-Tabshirah, karya al-Lakhmi (w. 478 H)
j. Kitab-kitab karya Ibn Rusyd (w. 595 H), seperti al-Bayan wa al-
Tahshil, al-Muqaddimat, al-Mumahhadat, Fatawa Ibn Rusyd.
k. Kitab-kitab Karya al-Maziri, yaitu al-Ta‟liqat „ala al-Mudawanah, Syarh
al-Talqin dan Fatawa.
l. Al-Tanbihat, karya Al-Qadhi Iyadh.
m.„Akd Al-Jawahir Al-Tsaminah, karya Ibn Syas (w. 616 H)
n. Al-Jami‟ Baina al-Ummahat, karya Ibn Al-Hajib Utsman bin Umar
bin Abu Bakr (w. 646 H) yang dikenal dengan sebutan Mukhtashar
Ibn Hajib, Dan Syarah-Syarahnya seperti :
1. Al-Shihab al-Tsaqib bi Syarh Mukhtasar Ibn Hajib, karya
Muhammad Bin Abdullah Bin Rasyid al-Qafsyi (w. 736 H)
2. Tanbih al-Thalib bi Fahm Kalam Ibn Hajib, karya Muhammad Bin
Abdussalam Al-Hawari.
3. Al-Tanbih, karya Salil Bin Ishaq al-Jundi (W. 766 H)
o. Mukhtashar Syaikh Khalil Bin Ishaq, kitab ini adalah mukhtashar dari
Al-Jami‟ baina al-Ummahat, dan kitab-kitab syarhnya, seperti :
1. Al-Munazza‟ al-Nabil fi Syarh Mukhtashar Khalil, karya Muhammad
bin Ahmad bin Muhammad Bin Marzuq (w. 843 H)
2. Syarh Mukhtasar Khalil, karya Muhammad bin Muhammad bin
Syirath al-Gharnati (w. 848 H)
3. Syarh al-Mukhtasar, karya Ibnrahim bin Faidah al-Zawawi (w. 857
H)
4. Syarh Bahran „ala Khalil, Karya Imam Bahran Ibn Abdillah Al-
Dumairi (w. 805 H)
p. Al-Mukhtasar Al-Fiqh Ibn „Arafah.
q. Kitab-kitab Ibn Naji Qasim Ibn Ishaq (w. 838 H), antara lain Syarh
Al-Mudawanah karya Imam Sahnun.
r. Tahrir Al-Maqala fi Syarh al-Risalah Ibn Abi Zaid al-Qairawani, karya
Abu al-Abbas Ahmad Bin Muhammad Al-Qalsani (w. 863 H)

Pedoman Bahtsul Masail NU | 22


s. Syarh-Syarh Al-Mawwaq „ala Mukhtashar Khalil, karya Muhammad bin
Yusuf al-Abdari al-Gharnati al-Syahil al-Mawwaq (w. 897 H)
t. Syarh Mukhtasar Syaikh Halulu Ahmad Bin Abdurrahman (w. 898 H)
u. Syarh al-Risalah, karya Ahmad bin Ahmad bin Muhammad (w. 899
H)
v. Syifa‟ al-Ghalil fi Hill al-Muqaff al-Khalil, karya Muhammad bin
Ahmad al-Utsmani (w. 919 H)
w. Hasyiyah al-Thukhaikhi „ala al-Mukhtasar, karya Musa al-Thukhaikh
(w. 945 H)
x. Mawahib al-Jalil fi Syarh Muhtashar Khalil, Karya Al-Hatthab (w. 953
H)
y. Barnamaj Syawarid li Istikhraj Masa‟il al-Syamil, Karya Al-Qasim Bin
Muhammad, yang terkenal dengan Adzum (w. 1009 H)
z. Taysir Al-Malak al-Jalil li Jam‟i al-Syuruh aa Hawasyi Khalil, Karya
Salim bin Muhammad asy-Syanhuri (w. 1015 H)
aa. Hasyiyah Syaikh Ahmad Mabaa „Ala Al-Mukhtasar (w. 1032 H)
bb. Mursyid al-Mu‟in „ala Dharuri min Ulum al-Din, Karya Abdul Wahib
Bin Ahmad Bin Asyir (w. 1040 H)
Kedua, kitab-kitab mu‟tamad dalam fiqh tathbiqi :
a. Al-Watsa‟iq, karya Ibn Aththar
b. Al-Watsa‟iq Wa Al-Syuru‟, karya Ibn Al-Hindi.
c. Al-Muqni‟ Fi Ushul Al-Hakam, karya Sulaiman Al-Bathlayusi.
d. Al-I‟lam Bi Nawazil Al-Hukam, terkenal dengan Nawazil Ibn Sahl.
e. Al-Muthaitiyah, terkenal dengan al-Nihayah wa Al-Mamam fi Ma‟rifah
al-Watsa‟iq wa al-Ahkam, karya Abu Al-Hasan Ali Al-Mutahiti.
f. Tharar Ibn „Ad (W. 609 H).
Disamping penjelasan tentang kitab mu‟tamad, ternyata ulama
Malikiyah menyebut pula beberapa kitab yang tidak mu‟tamad dan tidak
boleh dijadikan pedoman, yaitu dengan kriteria :

Pedoman Bahtsul Masail NU | 23


1. Hasyiyah, kitab jenis ini haram hukumnya untuk dipakai berfatwa,
sebab tidak ada jaminan keabsahan dalam penukilannya dari ulama
madzhab. Tentu hal ini tidak berlaku secara mutlak, namun hanya
berlaku apabila hasyiyah itu tidak ada jelas manqul-nya. Seandainya
jelas tersebut di kitab al-ummahat, atau memang terdapat kejelasan
riwayat yang shahih, maka bisa diterima.
2. Al-Tharir, atau al-Thaqayid, atau al-Taqiydad. Secara umum kitab
jenis ini bisa dipakai sebagai petunjuk, tetapi tidak dianggap sebagai
kitab yang mu‟tamad (tuhda wa la tu‟tamad), karena biasanya kitab-
kitab ini berasal dari catatan para pelajar ketika mereka mengaji
kepada gurunya.
Diantara kitab-kitab Al-Taqyidad yang bisa dipakai petunjuk tapi
tidak bisa dijadikan pedoman adalaah :
1. Al-Taqyid, dinisbathkan kepada Abdurrahman Al-Jazuli, merupakan
penjelasan Matn Al-Risalah.
2. Al-Taqyid, dinisbathkan kepada Yusuf Bin Umar Al-Anfashi al-
Fashi, juga merupakan penjelasan Matn al-Risalah.
3. Ma infaradat bih min al-ahkam (pendapat yang menyendiri dan
berbeda dengan pendapat lain), diantaranya adalah :
a) Syarh Mukhtashar Khalil, karya Syaikh „Ali al-Ajhuri.
b) Syarh Mukhtashar Khalil, karya murid-murid al-Ajhuri, seperti
Syaikh Abdul Baqi al-Zarqani, Syaikh Ibrahim al-Syabarkhiti,
dan Muhammad al-Khurasyi. Inilah kitab-kitab yang tidak boleh
dijadikan pegangan ketika pendapatnya menyendiri.

III. Madzhab Syafi’i


Ulama sepakat, bahwa pendapat yang mu‟tamad adalah pendapat
yang di sepakati Syaikhani (al-Rafi‟i dan al-Nawawi). Bila pendapat
keduanya berbeda, maka pendapat Imam Al-Nawawi yang harus

Pedoman Bahtsul Masail NU | 24


didahulukan, baru kemudian pendapatnya Imam al-Rafi‟i6. Bahkan
kesepakatan al-Nawawi dan al-Rafi‟i lebih didahulukan dari pendapat
Imam Syafi‟i sendiri, padahal pendapat Imam Syafi‟i bagi ulama
madzhab ibaratnya seperti nash al-Qur‟an atau nash al-Hadits7. Hal ini
bisa diterima, mengingat ulama yang mengerti dan mendalami
madzhab tingkatannya adalah Mujhtahid Muqayyad. Orang yang sampai
pada level tersebut selalu membandingkan pendapat Imamnya dengan
qaidah dan dasar-dasar yang sudah diletakannya. Sehingga tidak jarang -
disaat terjadi benturan antara qaul dan qaidah- dia lebih
memprioritaskan keharusan qaidah dan meninggalkan qaul tersebut
dengan menta‟wilnya. Dalam kondisi seperti itu, sangat tidak tepat
mengatakan : “Mujhtahid muqoyad tidak tahu dan tidak mengerti
pendapat imamnya”. Yang benar “mujtahid muqayyad tersebut sangat
tahu bahkan mengkaji pendapat imamnya”. Namun kemudian
membelokkan dari arti dzahirnya dengan dalil-dalil. Yang demikian ini
tidak bisa dikatakan “Dia sudah keluar dari madzhab imamnya” 8
Kedudukan kitab-kitab al-Rafi‟i dan al-Nawawi menurut
mayoritas ulama adalah kitab mu‟tamad. Bahkan ulama generasi akhir
(al-Muta‟akhirun) melarang merujuk dan berpegangan pada kitab-kitab

6
Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi-Syarh al-Minhaj, Juz I, h. 39, Ibn Hajar al-
Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, juz IV, h. 324, Muhammad bin Sulaiman al-
Kurdi, al-Fawaid al-Madaniyah, h. 34, Muhammad Syathatha al-Dimyathi, I’anah al-
Thalibin, Juz I, h. 19, Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyah al-
Mustarsyiddin, h. 274, Alawi al-Saqqaf, Tarsyih al-mustafiddin, h. 5.
7
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, al-Fawaid al-Madaniyah, h. 20-21, menukil
pendapat ibn hajar.
8
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, al-Fawaid al-Madaniyah, h. 22, menukil
pendapat al-Ramli.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 25


sebelum al-Rafi‟i Dan al-Nawawi kecuali setelah dengan cermat
meneliti bahwa itu adalah pendapat madzhab.9
Kemudian, tidak jarang pendapat Imam al-Nawawi dalam satu
kitab berbeda dengan pendapatnya di kitab lainnya, untuk itu ulama
membuat satu ketentuan dalam menetapkan peringkat kitab-kitab
Imam al-Nawawi dan mentarjihnya sebagai berikut10 :
1. Al-Tahqiq, kitab yang paling shahih menurut ulama muta‟akhirin,
2. Al-Majmu‟,
3. Al-Tanqiq,
4. Al-Raudloh dan Minhaj al-Thalibin,
5. Al-Fatawa,
6. Syarh Shahih Muslim,
7. Tashih al-Tanbih wa Nukhatihi.
Ketentuan tersebut berlaku bagi mereka yang kurang mendalami
persoalan madzhab. Sedangkan bagi orang yang mengerti dan
mendalami madzhab maka cara mentarjih diantara al-Nawawi dalam
kitab-kitabnya adalah mendahulukan dan mengambil pendapat al-
Nawawi yang sesuai dengan pemikirannya sendiri berdasarkan dalil-
dalil yang diketahinya. Tetapi harus tidak keluar dari kaidah yang
sudah disepakati ulama. Yaitu harus masih berada dalam ruang lingkup
ikhtiar al-Nawawi dan al-Rafi‟i, artinya hak memilih bagi orang
tersebut adalah memilih diantara pendapat-pendapat hasil ij‟tihad al-
Nawawi, tanpa melihat mana yang terdahulu dan mana yang
kemudian.

9
Ibn hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Juz I, h. 39, Ibn Hajar al-
haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Juz IV 324 dan Alawi al-Saqqaf, Tarsyih al-
Mustafidin, h. 5.
10
Ketentuan tersebut adalah ketentuan umum, sebab kadang-kadang dalam suatu
masalah ketentuan tersebut tidak berbeda.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 26


Masa terus berjalan, sementara itu pendapat dan kitab-kitab
Syaikhani (al-Rafi‟i dan al-Nawawi) terus membayang-bayangi ijtihad
generasi berikutnya didalam menentukan pendapat madzhab. Sampai
akhirnya lahirlah ulama-ulama yang sangat teliti dan hati-hati didalam
menganalisa pendapat madzhab, Seperti Zakariya al-Anshari (w. 977
H), Syihab al-Ramli (w. 973 H), al-Khatib al-Syirbini (w. 977 H),
Syamsuddin al-Ramli (W. 1004 H), Ibn Hajr al-Haitami (w. 973 H)
dan lainnya. Mereka sangat perhatian terhadap kitab-kitab al-Rafi‟i dan
al-Nawawi, terutama kitab al-Minhaj Imam Al-Nawawi.
Syaikh Zakariya Al-Anshari meringkas kitab tersebut dalam
karyanya, Manhaj al-Thulab, sedangkan Ibn Hajar, al-Khattib Syirbini
dan Syamsuddin al-Ramli menganalisa atau mensyarahi kitab al-Minhaj
dan menamakannya Tuhfah al-Muhtaj, Mughni al-Muhtaj dan Nihayah al-
Muhtaj. Kadang kadang ijhtihad ketiga tersebut berbeda denegan
pendapat Imam al-Rafi‟i dan al-Nawawi tapi tidak bisa dikatakan
bahwa mereka keluar dari madzhab Syafi‟i seperti sudah dijelaskan
didepan.
Didepan sudah dijelaskan, bahwa bagi ulama dipersilahkan
memilih antara pendapat-pandapat Syaikhani (al-Nawawi dan al-Rafi‟i)
tanpa harus terikat dengan pendapat Ibn Hajar dan al-Ramli atau yang
selainnya. Ulama hanya membatasi pilihan pada pendapat-pendapat
imam al-Rafi‟i dan al-Nawawi, mengingat mayoritas ulama tidak
mengizinkan keluar dan berpaling dari pendapat dua tokoh tersebut.
Adapun yang masih belum sampai pada tingkatan ulama dengan
kriteria tersbut didepan –seperti umumnya orang-orang di zaman
sekarang- mereka bebas memilih pendapat Ibn Hajar atau al-Ramli.
Manakala pendapat keduanya berbeda, mana yang dianggap pendapat
madzhab dan harus didahulukan? Menurut ulama Hadramaut, Syam,

Pedoman Bahtsul Masail NU | 27


Akrad (Kurdi), Daghistan dan mayoritas ulama Yaman adalah
pendapat Ibn Hajar dalam kitab al-Tuhfah yang dianggap mu‟tamad dan
harus didahulukan. Sedang mayoritas ulama Mesir mengatakan bahwa
pendapat al-Ramli yang mu‟tamad, bahkan mereka berikrar tidak
berfatwa kecuali dengan pendapatnya al-Ramli. Sementara para ulama
Haramain (Makah dan Madinah) pada awalnya selalu berpegangan
pada pendapat Ibn Hajar, kemudian ketika banyak ulama mesir yang
datang, menetap, belajar dan mengajar di Haramain mulailah tersebar
pendapat al-Ramli hingga pendapat keduanya tersebar dan menjadi
pedoman bagi mereka (ulama-ulama Haramain).
Dalam perkembangannya, Syaikh Muhammad Sa‟id Sumbul al-
Makki (w. 1175 H) dan ulama-ulama yang segaris dengannya
menetapkan: “Tidak diperkenankan bagi mufti berfatwa dengan hukum yang
berbeda dengan pendapat Ibn Hajar dan al-Ramli dalam al-Tuhfah dan al-
Nihayah.”
Tetapi Syaikh Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi (w. 1194 H)
membolehkan berpaling dari kitab al-Tuhfah dan al-Nihayah dan
berpegangan pada kitab-kitab Ibn Hajar dan al-Ramli selain keduanya.
Sedangkan urutan kitab-kitab Ibn Hajar adalah sebgai berikut :
1. Al-Tuhfah,
2. Fath Al-Jawad,
3. Al-Imdad,
4. Al-Fatawa dan Syarh al-Ubab.
Manakala Ibn Hajar dan al-Ramli tidak berpendapat dalam suatu
masalah, maka generasi akhir (al-Muta‟akhirun) membuat urutan
pendapat yang dianggap mu‟tamad dalam madzhab Syafi‟i sebagai
berikut :

Pedoman Bahtsul Masail NU | 28


1. Syaikh Zakaria Al-Anshari dalam kitabnya al-Bahjah al-Shaghir, lalu al-
Manhaj dan Syarhnya.
2. Syiakh al-Khatib as-Syarbini.
3. Berikutnya pendapat Ashab al-Hawasyi (pengarang hasiyah). Ini pun
dengan syarat tidak bertolak belakang dengan dasar-dasar dan qaidah
madzhab dan umunya pendapat mereka sejalan dengan pendapat
Imam al-Ramli.
Adapun Ashab Al-Hawasyi urutannya adalah sebagai berikut :
1. Ali al-Zayyadi (w. 1024 H), pengarang Hasiyah „ala Syarh al-Manhaj,
2. Ahmad bin Qasim al-Ubbadi (w. 994 H) pengarang Hasyiyah „ala
Syarh Manhaj Dan Hashiyah „ala al-Tuhfah,
3. Ahmad Syihabuddin Amirah, pengarang Hasyiyah „ala Kanz al-
Raghibin,
4. Ali Sibramilisi bin Ali (w. 1087 H), pengarang Hasiyah „ala Syarh al-
Minhaj,
5. Ali Al-Halabi (w. 1044 H),
6. As-Syuwairi,
7. Al-„Inani.

IV. Madzhab Hanbali


Kitab-kitab mu‟tamad dalam madzhab Hanbali sebagaimana
berikut:
1. Mukhtar al-Khiraqi, dan syarah-syarah-nya. Seperti Syarh al-Khiraqi,
karya Qadhi Abu Ya‟la Ibn al-Farra‟, dan al-Mughni karangan Ibn
Qudamah, Abdullah bin Muhammad,
2. Ru‟us al-Masa‟il, karya Abdul Khaliq bin Isa al-Hasyimi,
3. Al-Hidayah, karya Abu al-Khattab al-Kalwadzani,
4. Al-Tadzkirah, karya Abu al-Wafa‟ bin Aqil,
5. Al-Muharrar, karya Ibn Taimiyah, Majd al-Din Abu al-Barakat,

Pedoman Bahtsul Masail NU | 29


6. Al-Syafi, karya Ibn Qudamah, Abdurrahman bin Muhammad,
7. Al-Furu‟, karya Ibn Muflih,
8. Syarh Muntaha al-Iradat, karya Manshur bin Yunus al-Buhuti,
9. Kasysyaf al-Qina‟ „an Matn al-Iqna‟, karya manshur bin Yunus al-
Buhuti,
10. Al-Raudh al-Murbi‟, karya Manshur bin Yunus al-Buhuti.
Tiga kitab terakhir karangan al-Buhuti adalah kitab yang paling
mu‟tamad bagi ulama Hanabilah kontemporer (al-Muta‟akhkhirin min
al-Hanabilah).

Pedoman Bahtsul Masail NU | 30


Format Penetapan Bahtsul Masail
( Muktamar ke-32 NU di Makassar Pada Tahun 2010 )

Deskripsi Masalah
Itsbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai
aktifitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-
Qur‟ân dan al-Hadits, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama
yang masuk kategori mujtahid. Itsbatul ahkam dalam konteks ini
dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan
(mencocokkan / menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan
‟ibarah terutama dalam kutub mu‟tamadah di lingkungan madzhab
Imam Syafi‟i.
Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU
merumuskan perkembangan penting dari sistem itsbatul ahkam.
Ketika itu mulai diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum
sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam bahtsul masail. Dalam Munas
tersebut dirumuskan prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.
Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada
perkembangan baru, yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadits
dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahtsul masail.
Tradisi demikian, nyaris tidak pernah dilakukan dalam bahtsul masail
NU sebelumnya.
Di samping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun
2006, Ulama NU membuat pengelompokan kutub mu‟tamadah di
semua madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali).
Pertanyaan :

Pedoman Bahtsul Masail NU | 31


1. Apakah perlu mencantumkan ayat al-Quran, al-Hadits, dan
dalil-dalil syara‟ lainnya dalam jawaban bahtsul masail NU?
2. Jika memang diperlukan mencantumkan ayat al-Quran, al-
Hadits dan dalil-dalil syara‟ lainnya, bagaimana formatnya?
Apakah menggunakan urutan sesuai dengan tingkat
kekuataannya, yaitu al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara‟
lainnya kemudian aqwalul ulama, ataukah aqwalul ulama baru
kemudian ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara‟ lainnya?
3. Sejauh mana muqaranatul madzahib diperlukan dalam bahtsul
masail NU dengan menggunakan kutub mu‟tamadah yang telah
dirumuskan dalam Munas Alim Ulama NU di Surabaya?
Jawaban:
1. Pencantuman ayat al-Quran, al-Hadits, dan dalil-dalil syara‟
lainnya diperlukan dalam setiap jawaban, karena pada
hakikatnya setiap hukum pasti berdasarkan al-Qur‟an, al-Hadits
dan dalil-dalil syara‟ lainnya, dengan ketentuan bahwa ayat al-
Qur‟an, al-Hadits dan dalil-dalil syara‟ lainnya tersebut
merupakan bagian dari pendapat Ulama yang terdapat dalam
kutub mu‟tamadah.
2. Hal ini karena Ulama NU menyadari, bahwa yang mampu
berijtihad langsung dari al-Qur‟an, al-Hadits dan dalil-dalil syara‟
lainnya adalah para mujtahid, sebagaimana dijelaskan dalam
kitab-kitab, di antaranya Tarsyihul Mustafidin.
3. Aqwalul ulama didahulukan, baru kemudian dilengkapi dengan
ayat alQur‟an beserta tafsirnya, al-Hadits beserta syarahnya, dan
dalil-dalil syara‟ lainnya karena al-Qur‟an, al-Hadits dan dalil-
dalil syara‟ lainnya dalam pandangan Ulama NU tidak dijadikan

Pedoman Bahtsul Masail NU | 32


sebagai dalil yang mandiri, tetapi merupakan bagian dari ijtihad
ulama.
4. Muqaranatul madzahib dalam madzhab empat diperlukan untuk
memperoleh pendapat yang ansab (lebih sesuai) dengan tetap
berpegang pada prinsip ‫( ػذو تتثغ انشخص‬tidak ada maksud
mencari kemudahan) sejalan dengan AD NU tentang prinsip
bermadzhab.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 33


Metode Istinbath Al-Ahkam
Dalam Nahdlatul Ulama
( Muktamar NU ke-33 di Jombang Pada tahun 2015 )

Diskripsi
Tersedianya metode istinbath hukum dan yang siap pakai adalah
niscaya. Ini karena menurut NU dimungkinkan bermunculannya
kasus-kasus fikih baru yang tak ditemukan jawabannya melalui
`ibaratul kutub, baik dalam bentuk qaul maupun wajh. Untuk
menangani kasus-kasus fikih baru tersebut, melalui Munas Lampung
1992, NU sudah membuat prosedur demikian, “Dalam hal ketika
suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah
/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul-masail bi
nadha‟iriha secara jama‟i. Ilhaq dilakukan dengan mempertimbangkan
mulhaq, mulhaq bihi oleh mulhiq yang ahli. Dalam proses ilhaqul-masail bi
nadha‟iriha ini, qawa‟id fiqhiyyah bisa digunakan sebagai kerangka
metodologinya.
Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa dipecahkan dengan
prosedur ilhaq, maka NU memutuskan: “Dalam hal ketika tak
mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih sama sekali di
dalam kitab, maka dilakukan instinbath secara jama‟i. Pertanyaannya,
bagaimana istinbath jama‟i dengan mempraktekkan qawa‟id ushuliyyah
itu diselenggarakan di lingkungan Nahdhatul Ulama. Dengan tetap
mengacu pada kitab-kitab ushul fikih, maka dalam penyelengaraan
istinbath jama`i tersebut, NU membuat metode istinbath al-ahkam

Pedoman Bahtsul Masail NU | 34


sederhana, yaitu metode bayani, metode qiyasi, dan metode istishlahi
atau maqashidi.11
A. Metode Bayani
Yang dimaksud dengan metode bayani adalah metode
pengambilan hukum dari nash (al-Qur‟an dan al-Sunnah).12 Istilah lain
dari metode ini adalah manhaj istinbath al-ahkam min al-nushuush.
Nash dimaksud dapat berupa nash juz‟i-tafshili, nash kulli-ijmali, dan
nash yang berupa kaidah umum. Dalam rangka istinbath hukum dari
nash dengan metode bayani, ditempuh langkah-langkah sebagai
berikut.
Pertama, mengkaji sabab al-nuzul/wurud, baik yang makro atau
yang mikro. Yang dimaksud asbāb alnuzūl mikro adalah sebab khusus
(asbab al-nuzul al-khoshshoh) yang melatarbelakangi turunnya suatu ayat
atau hadits. Sedangkan yang dimaksud asbab al-nuzul makro adalah
sebab umum (asbāb al-nuzūl al-`ammah) yang menjadi konteks sosial-
politik, sosialbudaya, dan sosial-ekonomi dari proses tanzil al-Qur‟an
dan wurud al-hadits.
Kedua, mengkaji teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa
(al-qawa‟id al-ushuliyyah al-lughawiyah). Kajian teks dari perspektif
kaedah bahasa ini meliputi tiga kajian secara simultan, yaitu analisis
kata (al-tahlil al-lafdhi), analisis makna (al-tahlil alma‟na), dan analisis

11
‘Atha’ al-Rahman al-Nadawiy, “al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami”,
dalam Dirasat al-Jami’ah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah, Desember 2006, Jilid III, h. 82.
12
‘Atha’ al-Rahman al-Nadawi, “al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami”, Jilid
III, h. 82.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 35


dalalah (al-tahlil al-dalali), yang secara rinci akan dijelaskan pada
beberapa paragraf berikutnya.
Ketiga, mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan nash lain yang
berkaitan (rabth al-nushush ba‟dlu‟ha bi ba‟dlin). Nash yang sedang dikaji
harus dihubungkan dengan nash yang lain, karena nushush al-syari‟ah
(Al-Qur‟an dan Hadis) merupakan satu kesatuan yang tidak bisa
dipisahkan satu dengan yang lain, ayat yang satu terkait dengan ayat
yang lain, hadis yang satu terkait dengan hadis yang lain, ayat terkait
dengan hadis dan hadis terkait dengan ayat. Suatu nash terhadap nash
yang lain dapat berfungsi sebagai taukīd (penguat), bayān al-mujmal
(menjelaskan nash yang bersifat garis besar), taqyid al-muthlaq
(membatasi lafal muthlaq), takhshish al-`amm (membatasi keumuman lafal
`āmm), atau taudlīh al-musykil (menjelaskan lafal musykil/ambigu).
Keempat, mengaitkan nash yang sedang dikaji dengan maqashid al-
syari‟ah (rabth al-nushush bi al-maqaashid). Maqāshid alsyarī`ah (tujuan
umum syariat) yang sekaligus merupakan kulliyah al-syarī`ah (totalitas
syarī`ah) memiliki hubungan saling terkait dengan nushūsh al-syarī`ah.
Maqāshid al-syarī`ah lahir dan mengacu pada nushūsh al-syarī`ah,
sementara nushūsh al-syarī`ah dalam menafsirinya harus
mempertimbangkan maqāshid al-syarī`ah. Ini masuk dalam kategori
mengaitkan yang juz‟ī (partikular) dengan yang kullī (universal).13
Konkretnya, syariat Islam dimaksudkan untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia zhāhir-bāthin dan dunia-akhirat. Maka,
perumusan hukum dari nash hendaknya sejalan dengan kemaslahatan
manusia yang menjadi tujuan syariat itu, dengan syarat apa yang
13
Al-Jizani, Manhaj al-Salaf fi al-Jam’i bayn al-Nushush wa al-Maqashid wa
Tathbiqatuha al-Mua’ashirah, Riyadl: al-Mamlakah al-‘Arabiyyah al-Sa’udiyyah
Wizarah alTa’lim al-‘Ali, 2010, h. 42-43.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 36


diasumsikan sebagai maslahat tidak bertentangan dengan nash itu
sendiri.
Dengan mengaitkan nushūsh dengan maqāshid, maka
rumusanrumusan hukum yang ditarik dari nushūsh tidak sepenuhnya
tekstual, tapi juga kontekstual. Maka kita menjadi maklum, mengapa
fuqahā` membolehkan mengeluarkan qīmah (harga) pada zakat biji-
bijian, kambing dan unta,14 padahal instruksi Nabi pada sahabat
Mu`adż bin Jabal menjelang keberangkatannya ke daerah Yaman jelas
mengatakan:
ٍَِ‫ «خُزِ انْحَةَّ ي‬:َ‫ َفقَال‬،ًٍٍََِْ‫ أٌََّ سَسُىلَ انهَّ ِّ صَهَّى اهللُ ػَهٍَِ ِّ وَسَهَّىَ َتؼَثَُّ ِإنَى ان‬،ٍ‫ػٍَِ ُيؼَارِ تٍِِ جَثَم‬
15
.»ِ‫ وَانَْثقَشَجَ يِ ٍَ انْثَقَش‬،ِ‫ وَانَْثؼِريَ يِ ٍَ اْنئِتِم‬،ِ‫ وَانشَّاجَ يٍَِ اْنغََُى‬،ِّ‫اْنحَة‬
“Diriwayatkan dari Mu`adz bin Jabal bahwa Rasulullah mengutusnya ke
Yaman lalu beliau bersabda, Ambillah (zakat berupa) biji-bijian dari biji-bijian,
seekor kambing dari kambing, seeokor unta ba`īr dari unta, dan seekor sapi dari
sapi.”
Ini karena mereka (fuqahā`) paham bahwa tujuan dari sabda Nabi
tersebut adalah memberikan kemudahan kepada muzakkī (orang yang
mengeluarkan zakat) dan mustahiq (yang berhak menerima zakat).
Oleh sebab itu, bila suatu ketika zakat dengan mengeluarkan qīmah
lebih mudah, tidak ada alasan untuk tidak membolehkannya.
Dan tanpa memperhatikan maqāshid di dalam menafsirkan
nushūsh, kita tidak akan dapat memahami adanya larangan buang air
besar di atas air yang tidak mengalir, dari sabda Nabi:

14
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 165
15
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, Juz IV, h. 189.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 37


ِ‫نَا ٌَثُ ِىنٍََّ أَحَذُكُىِ فًِ انًَْاءِ انذَّائِى‬
“Janganlah salah satu dari kalian kencing di air yang diam”
Bahwa maksud dari hadits di atas tidak hanya melarang seseorang
buang air kencing di air yang menggenang sebagaimana pendapat Ahlu
al-Zhahir, tapi juga melarang orang itu mengotori (menajisi) air dengan
cara apapun.16
Kelima, mentakwil nash (ta‟wil al-nushush) bila diperlukan. Pada
prinsipnya, setiap lafal/nash yang multi makna atau interpretable harus
dibawa pada makna dasarnya, yaitu makna yang jelas, hakiki dan rājih.
Akan tetapi, kajian yang komprehensip terhadap nash bisa menggiring
kita untuk melakukan ta`wīl, yakni memalingkan lafal/nash dari makna
dasarnya yang jelas, hakiki dan rājih kepada makna lain yang
tersembunyi, majāzī atau marjūh.17 Ta`wīl tidak boleh dipahami sebagai
upaya menundukkan nash kepada kemauan hawa nafsu atau
menyesuaikan syariat dengan situasi, karena ta`wīl hanya bisa dilakukan
ketika ada dalil yang memicunya.
Ulama ushūl membagi ta`wīl kepada dua bagian:18
Pertama, ta`wīl qarīb (dekat/dangkal), seperti men-ta`wīl ِ‫ُشيَت‬
ِّ ‫ح‬
ِ‫ ػَهٍَِكُىِ أُيَّهَاتُكُى‬dengan ِ‫حُشِّ َو ػَهٍَِكُىِ َِكَاحُ أُيَّهَاتُكُى‬. Men-ta`wīl ayat ini dengan
menghadirkan semacam kata ُ‫ َِكَاح‬merupakan tuntutan (‫ )اقتضاء‬karena
status hukum seharusnya disandangkan kepada perbuatan mukallaf

16
Al-Jizani, Manhaj al-Salaf fi al-Jam’i, h. 41.
17
Al-Suyūthī, al-Kaukab al-Sāthi` Nazhm Jam’i al-Jawami’, Maktabah Ibn Taymiyyah,
1998, h. 212.
18
Zakariya al-Anshāri, Ghāyah al-Wushūl, h. 83.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 38


sebagai mahkūm fīh (obyek hukum), sedangkan ayat tersebut
menyandarkan hukum haram pada żat, yaitu ibu. Maka, tanpa ta`wīl,
ayat tersebut tidak bisa dipahami dengan benar. Termasuk bagian
ta`wīl ini adalah takshīsh al-`āmm, taqyīd al-muthlaq, dan mengartikan lafal
zhāhir dengan makna marjūh-nya.
Kedua, adalah ta`wīl ba‟īd (jauh/dalam). Ta`wīl macam ini tidak
sembarang orang dapat melakukannya. Inilah yang dimaksud dengan
pernyataan Ibnu Abbas ِ‫سخُىٌَِ فًِ اْنؼِهْى‬
ِ ‫( قِسِىْ َتؼِشِفُُّ اْنؼُهًََاءُ انشَّا‬ada bagian tafsir
yang hanya diketahui oleh para ulama yang dalam ilmunya). Ta`wīl
tidak bisa dipisahkan dari tafsir, karena ta`wīl terhadap suatu nash
harus dilakukan setelah mengetahui tafsiran nash itu. Jadi, ta`wīl
setelah tafsir (ِ‫انتفْسٍِِش‬
َّ َ‫) َّانتأْوٌِِمُ َتؼِذ‬.
Selanjutnya, sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa kajian
teks ayat/hadits dari perspektif kaedah bahasa (al-qawa‟id al-ushuliyyah
al-lughawiyyah) harus bertumpu pada kajian lafazh, makna, dan dalalah,
maka demikian penjelasannya.

1) Analisis Kata (ً‫)انتحهٍم انهفظ‬


Kajian lafal berkisar pada hal-hal sebagai berikut: (a). antara `āmm
dan khāshsh. (b). antara muthlaq dan muqayyad, (c). antara haqīqah dan
majāz, (d). antara muhkam, mujmal dan mutasyābih, (e). antara zhāhir dan
nash, (f). antara musytarak dan mutarādif, dan (g). antara amr dan nahy.
Setiap lafal dapat memiliki lebih dari satu kategori, misalnya lafal
‫حمًذ‬. Lafal ini dari satu sisi masuk katagori khāshsh karena tidak
memiliki cakupan makna yang luas, sementara dari sisi yang lain masuk
kategori nash sebab tidak ada kemungkinan untuk diartikan dengan

Pedoman Bahtsul Masail NU | 39


makna yang lain. Contoh lain yaitu lafal ‫أسذ كثري‬. Lafal ini dari satu sisi
masuk katagori muqayyad karena lafal ‫ أسذ كثري‬ber-qayyid (dibatasi)
dengan lafal ‫كثري‬, sedangkan dari sisi yang lain masuk kategori zhāhir
karena lafal ‫ أسذ‬tampak dalam makna singa dan ada kemungkinan
untuk bermakna seorang pemberani, dan lafal ini ketika dimaknai
singa, masuk kategori haqīqah, dan bila dimaknai pemberani masuk
kategori majāz.
Contoh konkrit dalam al-Qur‟an adalah firman Allah (bangunlah
pada waktu malam). Lafal ‫ قى‬dari satu sisi termasuk kategori khāshsh
karena cakupan maknanya terbatas, dan dari satu sisi disebut amr
sebab berisi tuntutan untuk melakukan sesuatu (bangun). Sementara
dari sisi yang lain, disebut zhāhir karena Shīghatul-amri tampak dalam
makna wujūb (kewajiban) dan mungkin untuk ditarik pada selain makna
wujūb. Yang pasti, lafal `āmm bukan khāshsh, muthlaq bukan muqayyad,
muhkam bukan mutasyābih, haqīqah bukan majāz, zhāhir bukan nash, amr
bukan nahy, dan musytarak bukan mutarādif.

2) Analisis Makna (‫)انتحهٍم املؼُىي‬


Kajian makna dimaksudkan untuk bisa memastikan, apakah: (a).
lafal dimaksud dimaknai secara haqīqī ataukah dipalingkan pada makna
majaznya? (b). Lafal zhāhir dimaksud tetap pada makna rājih-nya
ataukah dipalingkan kepada makna marjūh-nya (c). Makna dimaksud
adalah makna lughāwī, syar`ī ataukah `urfī (d). Yang manakah diantara
makna-makna lafal musytarak yang diambil, atau semuanya diambil? (e).
Lafal dimaksud, disamping memiliki makna lughāwī, apakah memiliki

Pedoman Bahtsul Masail NU | 40


makna syar`ī atau `urfī, dan makna yang manakah yang dipakai? (f).
Shīghatul-amri dimaksud tetap pada makna primernya (‫ )وجىب‬ataukah
dipalingkan pada makna sekundernya (selain ‫( ?)وجىب‬g). Shīghatun-
nahyi dimaksud tetap pada makna primernya (‫ )وجىب‬atau dipalingkan
pada makna sekundernya (selain ‫) حتشمي‬

3) Analisis Dalālah (‫)انتحهٍم انذاليل‬


Kajian ini menyangkut ketentuan hukum yang dapat ditarik dari
nash. Dalam hal ini ada dua metode: Pertama, metode jumhūr al-
ushuliyyun. Menurut jumhūr ushūliyyīn, makna (hukum) suatu nash,
disamping bisa diambil dari manthūq-nya, kadang bisa diambil dari
mafhūm-nya. Manthūq sendiri ada dua: (1) sharīh, dan (2) ghairu sharīh.
Sedangkan Manthūq ghairu sharīh itu sendiri ada tiga: (1) isyārah; (2)
iqtidlā`, dan (3) īmā`. Sementara mafhūm itu ada dua: (1) mafhūm
muwāfaqah, dan (2) mafhūm mukhālafah. Kedua, metode Hanafiyah.
Menurut Hanafiyah, makna (hukum) nash dapat diambil dari empat
pendekatan: (1) `ibārah al-nash; (2) isyārah al-nash; (3) iqtidlā` al-nash; dan
(4) dalālah al-nash (mafhūm muwāfaqah dalam istilah Jumhūr).19
Sesungguhnya tidak ada perbedaan substansial antara pendekatan
Jumhūr dan pendekatan Hanafiyyah, kecuali dalam soal mafhūm
mukhālafah. Menurut Jumhūr, mafhūm mukhālafah menjadi salah satu
jalan untuk mengambil makna dari nash, sedangkan menurut
Hanafiyyah tidak.
B. Metode Qiyasi
19
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 143-152.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 41


Yang dimaksud dengan metode qiyasi adalah ijtihad melalui
pendekatan qiyas.20 Dalam konteks ini, ada baiknya saya kemukakan
pernyataan Imam Syafi‟i yaitu:
21
ٍّ‫ٌَ اْنَأحِكَاوَ نَا تُ ِؤخَزُ إِنَّا يٍِِ ََصٍّ أَوِ حًَِمٍ ػَهَى ََص‬
َّ ‫أ‬
“Hukum (Islam) itu hanya bisa diambil dari nash atau dari
penggabungan pada nash.”
Salah satu isi surat Umar ibn al-Khatthab kepada Abu Musa al-
Asy‟ari adalah:
22
َ‫س اْنُأيُىِسَ ػُِِ َذ َرنِك‬
ِ ِ‫ وَق‬،َ‫ف اْنأَشِثَا َِ وَانَْأيِثَال‬
ِ ‫ِاػِ ِش‬
“Hendaklah kamu tahu tentang persoalan-persoalan yang serupa
dan persoalan-persoalan yang sama, dan ketika itu lakukan qiyas
menyangkut berbagai persoalan.”
Terkait pernyataan tersebut, ada dua hal yang perlu dikemukakan.
Pertama, dua pernyataan tersebut bukanlah dalil yang berposisi sebagai
hujjah atas keabsahan qiyas, karena dalil yang sesungguhnya adalah
nash kulli. Kedua, bahwa dua pernyataan tersebut mengandung makna
bahwa hukum-hukum yang diambil secara langsung dari nash bisa
diperluas jangkauannya pada kasuskasus lain yang tidak manshush, salah
satunya dengan cara qiyas.
Namun, perlu digarisbawahi bahwa hukum-hukum yang bisa
diperluas jangkauannya melalui qiyas hanyalah hukum-hukum yang
ma‟qul al-ma‟na yang ditandai dengan adanya „illat sebagai landasan
perluasan tersebut.

20
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Juz IV, h. 189.
21
Sayyid Mubarak, Mashadir al-Fiqh al-Islami, (16 Maret 2012).
22
Khudlariy Bik, Thaarikh al-Tasyri’ al-Islaamiy, h. 116.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 42


1. Pengertian Qiyās
Qiyās bisa dijelaskan dengan definisi sebagai berikut:
menyamakan kasus yang tidak memiliki acuan nash dengan kasus lain
yang memiliki acuan nash dalam hal ketentuan hukumnya, ketika
keduanya memiliki „illat yang sama.23Sebagai contoh, minum khamr
adalah kasus yang memiliki acuan nash tentang hukumnya yaitu
haram. Sedangkan minum bir adalah kasus lain yang tidak memiliki
acuan nash tentang hukumnya. Berhubung khamr dan bir memiliki illat
yang sama yaitu memabukkan, maka minum bir disamakan dengan
minum khamr dalam hukumnya, yaitu haram.
2. Rukun Qiyās
Qiyās terdiri dari empat unsur (rukun) sebagai berikut, yaitu:
Pertama, adalah al-ashlu, yaitu kasus yang memiliki ketentuan hukum
berdasar nash. Al-Ashlu disebut al-maqīs `alaih (yang di-qiyās-i) atau al-
musyabbah bih (yang diserupai) seperti khamr dalam contoh di atas.
Kedua, adalah al-far`u, yaitu kasus yang tidak memiliki ketentuan hukum
berdasar nash. Al-Far`u disebut dengan al-maqīs (yang di-qiyās-kan) atau
al-musyabbah (yang diserupakan), semisal masalah minuman keras (bir
dalam contoh di atas). Ketiga, adalah hukm al-ashli, yaitu hukum yang
terdapat pada ashl yang ditetapkan berdasarkan nash, misalnya hukum
haramnya khamr dalam contoh di atas. Keempat, adalah Illat (al-`illah),
yaitu sifat yang menjadi titik persamaan (al-jāmi`) antara al-ashlu dan
alfar`u, seperti sifat memabukkan (al-iskār) dalam contoh di atas.
Rukun ini merupakan unsur paling mendasar dalam qiyās. Sebab,

23
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 52.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 43


dengan illat inilah hukum-hukum yang terdapat dalam nash dapat
ditularkan pada kasus baru yang muncul kemudian.24
3. Syarat-syarat Qiyās
Tiap-tiap rukun qiyās memiliki syarat. Syarat-syarat tersebut
adalah sebagai berikut: Pertama, adalah al-ashlu harus memiliki
ketentuan hukum berdasarkan nash. Kedua, al-far`u harus tidak
memiliki ketentuan hukum berdasarkan nash. Ketiga, hukm al-ashl harus
memenuhi syarat: (a). berupa hukum syar‟ī `amalī yang ditetapkan
berdasar nash. (b). Berupa hukum yang ma`qūl al-ma`nā atau ta`aqqulī.
(c). Berupa hukum yang tidak hanya berlaku pada ashl. Sebab itulah,
tidak boleh meng-qiyās-kan umat Muhammad dengan kanjeng Nabi
Muhammad dalam soal bolehnya mengawini perempuan lebih dari
empat.25

4. Illat
Illat adalah sifat yang menjadi titik persamaan (al-jāmi`) antara al-
ashl dan al-far`u. Tidak semua sifat yang melekat pada al-ashl dapat
dijadikan illat hukum, melainkan harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Pertama, harus berupa sifat yang zhāhir seperti ījāb dan qabūl
yang menjadi indikasi adanya kerelaan kedua belah pihak (mazhinnah al-
tarādlī) merupakan illat bagi keabsahan transaksi. Sedangkan al-tarādlī
sendiri sebagai hikmah al-hukmi tidak dapat dijadikan illat karena tidak
zhāhir.
Kedua, harus berupa sifat yang mundlabith (terukur), seperti al-safar
yang menjadi indikasi adanya masyaqqah merupakan illat bagi bolehnya

24
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60.
25
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60-61.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 44


meng-qashar salat. Sedangkan masyaqqah sendiri tidak dapat dijadikan
illat karena tidak mundlabith. Masyaqqah disini tidak mundlabith karena
dapat berbeda-beda intensitasnya dan berat-ringannya tergantung pada
kondisi alam dan setiap individu yang menjalaninya.
Ketiga, harus berupa sifat munāsib (memiliki relevansi dengan
hukum). Artinya menyandarkan hukum terhadap illat itu pada
umumnya dapat mewujudkan maslahat. Misalnya, diharamkannya
khamr, karena illat memabukkan dapat melahirkan kemaslahatan, yaitu
hifzh al-`aql. Dengan demikian, al-iskār adalah sifat munāsib.26

5. Macam-macam Qiyās
Illat sebagai unsur terpenting dalam mekanisme qiyās ada dua,
yaitu manshūshah (diketahui melalui nash) dan mustanbathah (diketahui
melalui upaya penggalian). Illat manshūshah lebih jelas daripada illat
yang mustanbathah. Qiyās dilihat dari segi illat ini dibagai kepada jalī
dan khafī. Qiyās jalī adalah qiyās yang didasarkan atas illat yang
manshūshah (jelas karena ada nash-nya) seperti meng-qiyās-kan nifās
kepada haid dalam hal tidak bolehnya seorang wanita digauli oleh
suaminya, dengan illat ażā; atau didasarkan atas illat mustanbathah, tetapi
antara al-ashl dan alfar`u dipastikan tidak adanya fāriq (hal yang
membedakan), atau ada fāriq tapi tidak signifikan.27
Contoh qiyās jalī pertama yaitu meng-qiyās-kan memukul orang
tua kepada berkata “uff” dengan illat al-īżā` (meyakiti). Dengan illat ini
diyakini tidak ada perbedaan antara perkataan “uff” dan memukul
karena keduanya sama-sama menyakitkan orang tua. Contoh qiyās jalī

26
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 68-70.
27
Wahbah al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islamiy, Dimisyqa: Dar al-Fikr, 1986, Juz I, h.
703.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 45


yang kedua ialah meng-qiyās-kan budak perempuan kepada budak laki-
laki dalam hal al-sirāyah (menjalarnya kemerdekaan sebagian kepada
seluruhnya). Perbedaan jenis kelamin, secara syar‟ī tidak memiliki
pengaruh dalam ahkām al-`itqi (pemerdekaan). Qiyās jalī mencakup qiyās
awlawī dan qiyās musāwī.
Sedangkan qiyās khafī adalah qiyās yang didasarkan pada illat yang
mustanbathah (illat yang digali dari al-ashl) ketika antara al-ashl dan al-
far`u terdapat fāriq yang signifikan.28 Seperti men-qiyās-kan
pembunuhan dengan menggunakan benda tumpul kepada
pembunuhan yang menggunakan benda tajam dalam kewajiban adanya
qishāsh dengan illat al-qatl al-`amdu al-`udwān (pembunuhan sengaja dan
melanggar hukum). Dan sangat mungkin perbedaan antara al-ashl dan
al-far‟u memiliki pengaruh. Sebab itu, menurut Abu Hanifah,
pembunuhan dengan benda tumpul tidak dikenakan qishāsh. Qiyās khafī
semakna dengan al-qiyās al-adnā.
6. Mekanisme Qiyās
Qiyās merupakan salah satu sumber hukum yang paling subur
untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang ketentuan hukumnya
tidak termaktub secara eksplisit dalam al-Qur‟an dan al-Sunnah, tetapi
memiliki al-ashl (induk) di dalam nash dan atau ijmā` ulama. Contohnya
yaitu pemberian kepada pejabat adalah kasus yang sudah ada
ketentuan hukumnya yaitu haram berdasarkan nash hadis,
29
‫َْذَاٌَا انْؼًَُّالِ حَشَاوْ كُهُّهَا‬
“Seluruh hadiah atau pemberian terhadap pejabat adalah haram.”

28
Wahbah al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islami, h. 704.
29
Al-Munawi, Faidl al-Qadir, Beirut: Dar al-Ma’rifah, Tanpa Tahun, Juz VI, h. 353.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 46


Keharaman ini didasarkan pada illat (alasan hukum), yaitu khauf
al-mail (tidak fair) (pemberian tersebut dapat memengaruhi penerima
untuk memberikan perlakuan khusus terhadap pemberi, mengikuti
keinginan pemberi, dan memberikan kebijakan yang tidak adil). Illat
khauf al-mail itu tentu tak hanya ada pada hadaya al-`ummal melainkan
juga pada kasus-kasus lain. Dengan demikian, membawa illat khauf al-
mail pada kasus baru, maka banyak hal yang bisa ditangani.
Money Politic adalah kasus baru (al-far`u) yang tidak ditemukan
ketentuan hukumnya secara eksplisit dalam nash atau ijmā`. Akan
tetapi, kasus ini dapat disamakan dengan hadāyā al-`ummāl karena
keduanya memiliki illat yang sama, yaitu khauf al-mail (dikhawatirkan
terjadi kecenderungan pada salah satu pihak). Dengan demikian,
hukum money politic adalah haram. Terlebih dalam negara demokrasi
yang menerapkan sistem pemilihan pemimpin secara langsung, setiap
warga negara yang punya hak pilih memiliki kedudukan yang sangat
strategis (al-siyādah fī yadi al-sya`bi), tidak kalah strategis dengan pejabat
negara atau hakim dalam menentukan putusan hukum.
Qiyās dinilai benar secara metodologis bila memenuhi
rukunrukun dan syarat-syarat sebagaimana tersebut di atas. Qiyās yang
tidak memenuhi rukun-rukun dan syarat-syarat tersebut adalah sebuah
kekeliruan. Mekanisme inilah yang membedakan antara qiyās dengan
dalil-dalil sekunder lainnya.
C. Metode Istishlahi
Ijtihad dengan metode istishlahi ialah ijtihad yang mengacu pada
maqashid al-syariah, yaitu tujuan umum dari pensyariatan hukum Islam.
Karena itu ia juga bisa disebut ijtihad maqashidi. Para fuqaha‟
menyimpulkan bahwa syariat Islam dimaksudkan untuk mewujudkan

Pedoman Bahtsul Masail NU | 47


kemaslahatan (mashlahah) manusia lahir dan batin, dunia dan akhirat.
Kesimpulan ini mereka peroleh dari hasil penelitian (istiqra‟) yang
mereka lakukan terhadap nash-nash tasyri‟ (al-Quran dan al-Sunnah),
hukum-hukum syar‟iy, illatillatnya dan hikmah-hikmahnya.30 Dengan
demikian maqashid al-syariah tidak bisa dipisahkan dari nushush al-syariah,
bahkan maqashid al-syariah tidak terwujud tanpa nushush al-syariah. Di
pihak lain, nushush al-syariah dalam penafsiran dan penjelasan maknanya
perlu/harus memperhatikan maqashid al-syariah sehingga ketentuan
hukum yang digali daripadanya tidak hanya bersifat tekstual, tetapi juga
kontekstual.
Maqashid al-syariah tidak hanya penting diperhatikan dalam
menafsirkan nash, tetapi juga sangat dibutuhkan untuk menggali
hukum syar‟i yang tidak memiliki acuan nash secara langsung. Dalil-
dalil sekunder semacam istihsan, mashlahah mursalah, dan „urf pada
hakikatnya merujuk pada maqashid al-syariah.
1) Istihsān
Istihsan dalam pengertian sederhana ialah kebijakan mujtahid
yang menyimpang dari ketentuan al-qiyas yang lebih jelas atau dari
ketentuan hukum umum. Secara lebih bagus, syeikh Abdul Wahhab al-
Khallaf mengatakan: istihsan ialah kebijakan mujtahid dengan
berpegang kepada qiyās khafī dengan meninggalkan qiyās jali; atau
meninggalkan hukum kulli dengan berpegang pada hukum juz‟ī-
istitsnā‟ī (hukum pengecualian) karena ada dalil yang menghendaki
demikian.31

30
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, h. 173.
31
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 79-80.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 48


Jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua dalil qiyās yang satu
jalī dan yang lain khafī, maka pada dasarnya mujtahid harus berpegang
pada dalil yang rājih, yaitu qiyās jalī. Namun, atas pertimbangan-
pertimbangan (dalil) tertentu, mujtahid bisa meninggalkan qiyās jalī
yang rājih dengan mengambil qiyās khafī yang marjūh. Cara kerja inilah
yang dikenal dengan istihsān.
Begitu juga, jika seorang mujtahid dihadapkan pada dua
ketentuan hukum, yang satu hukum kullī dan yang lain hukum juz‟ī-
istitsnā‟ī, kemudian mujtahid mengambil hukum yang juz‟ī-istitsnā`ī dan
meninggalkan hukum kullī atas dasar pertimbangan kebutuhan
(dlarūrah atau hājah), ini juga disebut istihsān. Contoh, dalam hukum
(ketentuan) umum ditetapkan bahwa obyek transaksi (ma`qūd `alaih)
harus berupa sesuatu yang telah nyata ada. Akan tetapi, dari ketentuan
hukum ini ada beberapa transaksi yang dikecualikan atas dasar
kebutuhan masyarakat, seperti ijārah, salam, istishnā‟ (mirip akad salam),
dan lain-lain.
Kedudukan istihsān sebagai salah satu pertimbangan penetapan
hukum adalah masalah khilāfiyyah (kontroversial), sebagian menerima
dan sebagian lain menolak. Imam Syafi‟i merupakan salah seorang
yang menolak istihsān, dengan ungkapannya yang sangat terkenal ٍَِ‫ي‬
َ‫( اسَِتحِسٍََ َفقَذِ شَشَّع‬barang siapa menggunakan istihsān sebagai dalil,
berarti ia telah membuat-buat syariat baru). Walau demikian, istihsān
dengan pengertian di atas sesungguhnya secara de facto diamalkan oleh
hampir semua fuqahā`, termasuk Imam Syafi‟i sendiri. Sedangkan
istihsān yang ditolak al-Syāfi‟ī bukan istihsān dengan pengertian di atas

Pedoman Bahtsul Masail NU | 49


melainkan istihsān yang didasarkan atas keinginan subjektif seseorang
tanpa pijakan dalil yang dapat dipertanggungjawabkan.32
Istihsān sesungguhnya bukanlah keinginan nafsu seseorang dalam
proses penetapan hukum. Sebaliknya, istihsān mempunyai pijakan dalil
yang muaranya tak lain untuk memelihara kepentingan dan
kemaslahatan umat manusia. Pada kenyataannya, dalam berbagai kasus
hukum, penggunaan istihsān tidak dapat dihindari.

2) Al-Mashlahah al-Mursalah
Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat. Mashlahah
dan manfaat adalah dua kata yang se-wazan dan semakna. Mashlahah
juga diartikan sebagai tindakan yang membawa manfaat. Seperti
menuntut ilmu adalah mashlahah karena dapat mendatangkan manfaat,
berdagang adalah mashlahah karena membawa manfaat, dan seterusnya.
Sedangkan dalam terminologi ushūl fiqh, mashlahah adalah setiap hal
yang menjamin terwujud dan terpeliharanya maksud tujuan syāri`
(maqāshid alsyarī`ah), yaitu hifzh al-dīn, hifzh al-nafs, hifzh al-`aql, hifzh al-
nasl/hifzh al-`irdl, dan hifzh al-māl. 33
Para ulama membagi mashlahah ke dalam tiga bagian, yaitu 34:
Pertama, adalah mashlahah mu`tabarah, yaitu mashlahah yang diapresiasi
syāri` melalui nash al-Qur‟an atau Sunah, seperti diharamkannya setiap
minuman yang memabukkan. Kedua, adalah mashlahah Mulghā, yaitu
mashlahah yang dinafikan oleh syāri` melalu nash Alqur‟an atau Sunah,
seperti penyamaan pembagian harta waris antara anak laki-laki dan
32
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 83.
33
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 197-205.
34
Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, Mu’assasah Qurthubiyyah, Tanpa
Tahun, h. 236-237.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 50


anak perempuan yang dianggap sebagai mashlahah. Ketiga, adalah
mashlahah Mursalah, yaitu mashlahah yang tidak memiliki acuan nash,
baik nash yang mengakui (i`tibār) ataupun yang menafikannya (ilghā`),
seperti merayakan maulid Nabi Muhammad saw., penulisan dan
penyatuan al-Qur‟an dalam satu mushhaf, pencatatan pernikahan, dan
lain-lain.
Namun, para ulama berbeda pendapat tentang kebolehan
berhujjah dengan mashlahah mursalah. Walau begitu, sebagaimana
dikemukakan sebelumnya, syariat Islam terdiri dari dua dimensi, yaitu
dimensi `ibādah dan dimensi mu`āmalah. Ulama sepakat bahwa
mashlahah mursalah tidak dapat dijadikan acuan hukum dalam wilayah
`ibādah. Sebab, `ibādah berbasis pada ketundukan dan kepasrahan
secara total, karena nilai mashlahah-nya tidak dapat dinalar akal pikiran
manusia.35
Sedangkan dalam wilayah mu`āmalah, ulama berbeda pendapat
tentang kehujjahan mashlahah mursalah. Ulama yang menerima
mashlahah mursalah sebagai acuan hukum menetapkan syarat-syarat
sebagai berikut: (a). harus berupa mashlahah haqīqiyyah qath`iyyah
(faktual), bukan mashlahah wahmiyyah (semu). (b). harus berupa
mashlahah `āmmah-kulliyah (kemaslahatan umum), bukan mashlahah
fardiyyah-khāshshah (personal-subjektif). (c). harus tidak berlawanan
dengan hukum atau prinsip-prinsip yang ditetapkan berdasar nash atau

35
Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, h. 238.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 51


ijmā`.36 (d). Al-Ghazālī menambahkan satu syarat, yaitu: mashlahah
dimaksud bersifat dlarūriyyah (keharusan).37
3) `Urf
`Urf adalah sesuatu yang sudah dikenal bersama dan dijalani oleh
masyarakat, baik berupa perbuatan (`amalī) ataupun perkataan (qawlī).38
`Urf dan `ādah adalah dua kata yang mafhūm-nya berbeda tetapi mā
shadaq-nya sama. Artinya, dua kata tersebut memiliki akar yang
berbeda. Akan tetapi sesuatu yang disebut `urf sekaligus juga disebut
`ādah dan sesuatu yang bisa disebut `ādah sekaligus juga bisa disebut
`urf. Dengan demikian, `urf dan `ādah merupakan kata yang sinonim
yang dalam bahasa Indonesia disebut tradisi.39
Para ulama membagi `urf dari segi wilayah berlakunya ke dalam
dua bagian. Pertama, adalah `urf `āmm, yaitu `urf yang berlaku pada
seluruh atau mayoritas umat manusia pada masa tertentu. Kedua,
adalah `urf khāshsh, yaitu `urf yang berlaku pada masyarakat, komunitas
atau daerah tertentu pada masa tertentu.40 Sementara dari segi
kesesuaiannya dengan nash dan prinsip-prinsip syariat, `urf dibagi
menjadi dua macam, yaitu: Pertama, `urf shahīh, yaitu `urf yang tidak
bertentangan dengan nash al-Qur‟an atau Sunah dan tidak
menghalalkan sesuatu yang haram atau mengharamkan yang halal.
Kedua, adalah `urf fāsid, yaitu `urf yang bertentangan dengan nash sharīh

36
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 86-87.
37
Abd al-Hayy al-Farmawi, “Syuruth al-‘Amal bi al-Mashlahah al-Mursalah” dalam
Hadyu al-Islam, (Selasa, 6 Juli 2010).
38
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 89.
39
Abd al-Jalil Mabrur, Mabahits fi al-‘Urf, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun, h. 86-87.
40
Muhammad Gharayibah, “Takhshihs ‘Aamm al-Nash al-Syar’iy bi al-‘Urf”, dalam al-
Majallah al-Urduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah, (2005), ke-1.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 52


al-Qur‟an atau Sunah, menghalalkan yang haram, atau mengharamkan
yang halal.41
Namun, ada pandangan tunggal tentang kebolehan berhujjah
dengan `urf. Walau demikian, para ulama sepakat bahwa `urf fāsid tidak
dapat dijadikan acuan dalam penetapan hukum. Sedangkan `urf shahīh
diperselisihkan di kalangan mereka. Aimmah al-mażāhib al-arba`ah
menjadikan `urf shahīh sebagai acuan penetapan hukum, tapi dengan
kadar berbeda. Imam Mazhab yang dikenal paling banyak
menggunakan `urf adalah Imam Abu Hanifah, Imam Malik, Imam
Ahmad bin Hanbal dan Imam Syafi‟i.42
Contoh-contoh `urf. (a). Perempuan yang haid dengan teratur,
dalam menentukan kadar haid dapat berpedoman pada `urf-nya. (b).
Pemberian pranikah terhadap calon istri tidak dipandang sebagai
bagian dari maskawin berdasarkan `urf yang berlaku disebagian daerah
di Indonesia. (c). kata “al-marhūm” dalam `urf Indonesia hanya
digunakan untuk orang yang meninggal dunia. Padahal arti asalnya
(yang dirahmati Allah) bisa digunakan untuk orang hidup atau orang
mati.
Ada beberapa kaidah terkait dengan peranan `urf sebagai acuan
hukum, di antaranya :
43
‫انْ ًَؼِشُوِفُ ػُشِفًا كَانًَْشِشُوِطِ شَشِعًا‬

41
Muhammad Gharayibah, “Takhshihs ‘Aamm al-Nash al-Syar’iy bi al-‘Urf”, dalam al-
Majallah al-Urduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah. Lihat juga Mahmud ‘Abud
Harmusy, al-‘Urf, Beirut: Jami’ah al-Jinan, Tanpa Tahun., h. 5.
42
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 90. Lihat juga: Mahmud ‘Abud
Harmusy, al-‘Urf, h. 5.
43
Ahmad bin Muhammad al-Zarqā, Syarh al-Qawāid al-Fiqhiyyah, Dimisyqa: Dar
alQalam, 1989, h. 237.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 53


“Sesuatu yang telah dikenal sebagai suatu kebiasaan, sama halnya
dengan sesuatu yang dianggap sebagai syarat”
44
ِّ‫انثَّاِتتُ تِاْنؼُ ِشفِ كَانثَّاِتتِ تِانَُّص‬
“Sesuatu yang telah ditetapkan oleh `urf sama halnya dengan
sesuatu yang telah ditetapkan oleh nash”
Di samping sebagai acuan hukum, sesungguhnya `urf dapat
dijadikan sebagai pertimbangan dalam menjabarkan (tafsīr) ketentuan-
ketentuan hukum yang bersifat ijmālī dan tidak memiliki standar
praktis. Dalam kitab al-Asybāh Wa al-Nazhā„ir dikatakan:
45
ِ‫ ٌُ ِشجَغُ فٍِِِّ ِإنَى اْنؼُ ِشف‬،ِ‫ وَنَا فًِ انهُّغَح‬،ٍِِِّ‫ َونَا ضَاِتظَ نَُّ ف‬،‫كُمُّ يَا َوسَدَ تِِّ انشَّشِعُ يُغَْهقًا‬
“Setiap sesuatu yang datang dari syāri` secara muthlak dan tidak
ada batasan baginya, baik dalam syari‟at maupun dalam kebahasaan,
maka sesuatu tersebut dikembalikan pada `urf (kebiasaan)”.
Dengan menjadikan `urf sebagai salah satu acuan hukum maka
hukum Islam menjadi sangat dinamis. Sebab, hukum dapat berubah
karena berubahnya `urf. Dalam kaidah ushūl fiqh dikatakan
46
‫اْنَأحِكَا ُو انًَْثٍَُِِّحُ ػَهَى اْنؼُشِفِ تََتغٍََّشُ تَِتغٍَُّ ِش ِ َصيَاَّا َويَكَاَّا‬
“Hukum-hukum yang didasarkan pada tradisi bisa berubah sebab
perubahan waktu dan tempat keberadaan tradisi tersebut.”
Istinbath hukum berdasarkan „urf masuk dalam lingkup ijtihad
istishlahi. Ini artinya, menjadikan maslahah sebagai tujuan syariat

44
Abdul Aziz Muhammad Azzām, al-Qawāid al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Hadits, 2005,
h. 196.
45
Al-Suyūthi, al-Asybāh wa al-Nadlāir fi al-Furū`, Semarang: Toha Putra, Tanpa
Tahun, h. 69.
46
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 91.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 54


berkonsekuensi logis pada keharusan memperhatikan „urf manusia,
selama tidak bertentangan dengan syariat.
Penutup
Akhirnya, penting dinyatakan sekali lagi bahwa metode istinbath
ini harus dilakukan oleh orang yang ahli yang telah memenuhi
persyaratan untuk melakukan istinbath. Istinbath pun harus dilakukan
secara jama`i (kolektif) bukan secara fardi (individual). Ini dilakukan
untuk menghindari kemungkinan terjadinya kesewenang-wenangan
dalam pelaksanaan istinbath al-ahkam.
Sekiranya disebutkan bahwa metode istinbath ini terdiri dari
metode bayani, metode qiyasi, dan metode istishlahi-maqashidi yang
mencakup istihsan, mashlahah mursalah, dan „urf, maka tak menutup
kemungkinan metode maqashidi ini untuk diperlebar cakupannya pada
istishhab dan sadd al-dzari‟ah seperti telah diuraikan di dalam kitab-kitab
ushul fikih.

Pedoman Bahtsul Masail NU | 55

Anda mungkin juga menyukai