BAHTSUL MASAIL
NAHDLATUL ULAMA
Diterbitkan oleh:
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
PCNU BOJONEGORO
Masa Bakti 2019-2024
SUSUNAN PENGURUS PIMPINAN CABANG
LEMBAGA BAHTSUL MASAIL
NAHDLATUL ULAMA BOJONEGORO
MASA KHIDMAT 2019 - 2024
Penasehat : K. Soim
K. Shohib
K. Hanif Nur
K. Muhammad Harsono
KH. Asfiror Ridlwan
Pembimbing : K. Kholidin
K. Agus Sholahudin
K. Musthofa
BIDANG-BIDANG
A. Identifikasi Masalah : Ust. Ahmad Alawi
Ust. Irsyadul Ibad
Ust. Arya Sabilla Hayat Afandi
B. Kodifikasi dan
dokumentasi : Ust. Abdur Rohman
Ust. Muhaimin
Ust. A. Arifin
A. Penjelasan Umum
1. Yang dimaksud dengan “kitab” adalah kutub al-madzahib al-arba‟ah,
yaitu kitab-kitab tentang ajaran Islam yang sesuai dengan aqidah
Ahlussunah wal Jamaah
2. Yang dimaksud mazhab secara qauli adalah mengikuti pendapat-
pendapat yang sudah “jadi” dalam lingkup salah satu al-madzahib
al-arba‟ah.
3. Yang dimaksud dengan bermazhab secara manhaji adalah
bermazhab dengan mengikuti jalan pikiran dan kaidah penetapan
hukum yang telah disusun oleh imam mazhab dari al-madzahib al-
arba‟ah.
4. Yang dimaksud dengan istinbath jama‟i adalah mengeluarkan
hukum syara‟ dari dalilnya dengan qawa‟id ushuliyyah secara kolektif.
5. Yang dimaksud dengan qaul dalam referensi madzhab Syafi‟i
adalah pendapat Imam Syafi‟i.
6. Yang dimaksud dengan wajah adalah pendapat ulama mazhab
Syafi‟i.
1
Revisi hasil keputusan “Sistem pengambilan keputusan hukum dalam bahtsul masail
di lingkungan Nahdlatul Ulama” pada Munas Alim Ulama NU di Lampung pada tahun
1992.
A. Mukaddimah
Keputusan Musyawarah Nasional Alim Ulama tahun 1412
H./1992 M di Bandar Lampung tentang “Sistem Pengambilan
keputusan Hukum Islam dalam Bahtsul Masail di Lingkungan
Nahdlatul Ulama” yang kemudian disempurnakan dan menjadi
keputusan Muktamar XXXI NU tahun 1425 H./2004 M di Boyolali,
Jawa Tengah, merupakan lompatan maju fiqh Nahdlatul Ulama dalam
rangka menjawab persoalan keagamaan yang terus berkembang,
sementara teks rujukan (maraji‟) tidak sepenuhnya dapat menjawab,
sehingga banyak permasalahan yang belum terjawab karena
terbatasnya qaul ulama.
Penggunaan taqrir jama‟i, ilhaq al-masail bi nazhairiha dan istinbath
jama‟i yang ada dalam keputusan tersebut adalah upaya untuk
menghindari adanya masalah yang tidak terjawab (mauquf). Sayangnya,
keputusan tentang sistem taqrir jama‟i, ilhaq al-masail bi nazhairiha dan
istinbath jama‟i belum ada petunjuk operasionalnya dalam
mengimplementasikan metode penetapan hukum Islam dalam Bahtsul
Masail Nahdlatul Ulama. Oleh karena itu, Musyawarah Nasional Alim
Ulama nahdlatul Ulama perlu merumuskan petunjuk teknisnya agar
keputusan tersebut dapat dioperasionalkan.
B. Taqrir Jama’i
1. Definisi
A. Mukaddimah
Perkembangan zaman dan tersebarnya Islam ke berbagai daerah
memunculkan persoalan-persoalan keagamaan, membutuhkan
jawaban yang tepat dan sesuai dengan situasi dan kondisi. Sementara
itu teks-teks (nushus) syar‟i terbatas, pendapat-pendapat ulama yang
integrated dalam suatu persoalan pun terbatas. Sedangkan persoalan-
persoalan keagamaan selalu muncu tidak ada batasnya. Terkadang talfiq
menjadi langkah yang sulit dihindari demi tercapainya kemaslahatan
dan kesesuaian hukum dengan situasi dan kondisi.
Namun demikian, sampai saat ini sungguh pun talfiq telah
dipraktikkan dalm sistem bermadzhab yang dianut NU, tetapi belum
ada ketentuan-ketentuan yang lebih rinci mengenai apa sebenarnya
talfiq, batasan-batasan diperbolehkannya dan dasar hukumnya. Oleh
karena itu, Musyawarah Nasiaonal Alim Ulama Nahdlatul Ulama perlu
merumuskan persoalan tersebut untuk menghilangkan keragu-raguan
dalam menggunakan talfiq dan menghindari penggunaan talfiq yang
menyesatkan.
B. Definisi
Talfiq adalah menggabungkan dua pendapat atau lebih dalam satu
qadhiyah (satu rangkaian masalah) sehingga melahirkan pendapat baru
C. Ketentuan Hukum
Talfiq pada dasarnya dilarang, Talfiq diperbolehkan jika ada
masyaqqah (kesulitan) dan tidak dalam rangka tatabu‟ al-rukhash
(semata-mata mencari keringanan).
A. Mukaddimah
Sejak bahtsul masail tahun 1984 di Situbondo, kriteria al-kutub al-
mu‟tabaroh dipermasalahkan dan dibahas. Kemudian dimandatkan
kepada PBNU untuk ditetapkan kriterianya, sehingga kitab-kitab yang
menjadi rujukan bagi NU menjadi jelas. Pada Mu‟tamar NU ke-31 di
Boyolali, hal yang sama juga dimandatkan pada PBNU. Oleh karena
itu, Musyawaroh Nasional Alim Ulama Nahdlotul Ulama 2006
memandang perlu untuk membahas dan menetapkan kriteria al-kutub
al-mu‟tabaroh.
B. Definisi
Yang dimaksud dengan al-kutub al-mu‟tabaroh adalah kitab-kitab
dari al-madzhab al-arba‟ah (Hanafi, Maliki, Syafi‟i, Hanbali) dan kitab-
kitab lain yang memenuhi kriteria fikrah nahdliyah.
C. Kriteria
Kemu‟tabaran suatu kitab didasarkan atas:
1. Penulis (mu‟alif)-nya yang antara lain memiliki sifat-sifat sebagai
berikut :
a. Sunni,
b. Wara‟,
c. „Alim,
2. Isi kitab, baik pendapat (qoul)-nya sendiri maupun kutipan
(manqulat):
I. Madzhab Hanafi
Para ulama madzhab hanafi pada era-era awalnya menjelaskan
peringatan kitab-kitab hanafiyah yang dianggap mu‟tamad menjadi
tiga thabaqat sebagai berikut :
Pertama, Masail Ushul atau Masail Zhahir al-Riwayah, yaitu semua
masalah yang diriwayatkan dari para arsitek madzhab (Abu Hanifah,
Abu Yusuf Dan Muhammad Bin Hasan), yang terdapat dalam enam kitab
yang masyur karya imam Muhammad bin Hasan, yaitu al-Jami‟ al-
Shaghir, al-Jami‟ al-Kabir, al-Siyar al-Shaghir, al-Siyar al-Kabir, al-Mabsuth
Dan al-Ziyadat.
Kedua, Masail An-Nawadir. Yaitu masalah-masalah yang
diriwayatkan dari tiga ulama‟ madzhab tersebut, tetapi tidak terdapat
pada enam kitab yang telah disebutkan. Namun justru terdapat dala
kitab Muhammad yang lainnya, seperti al-Kaisaniyyat, al-Haruniyyat, al-
Juraniyyat, al-Raqiyyat dan lain-lain. Atau terdapat dalam kitab karya
selain Muhammad Bin Hasan, seperti kitab al-Mujarrat karya Imam Al-
Hasan Bin Ziyad, al-Amali karya Abu Yusuf , atau riwayat-riwayat
mufrodat mutafarriqah, yang dalam kajian hadits sama dengan hadits ahad.
Seperti riwayat Ibn Samma‟ah, al-Mualla Ibn Mansyur, Nawadir Ibn Hisyam
dan Nawadir Ibn Rustum. Kitab-kitab ini disebut Nawadir, artinya kitab
2
Pada prinsipnya, kitab-kitab Fatawa ini tidak dianggap mu’tamad, kecuali jika
merupakan kumpulan dari pendapat a’immah al-madzhab dan bukan pendapat
pribadi.
4
Ketentuan ini direvisi oleh generasi-generasi berikutnya, sebagaimana disampaikan
oleh Abu al-Hasan al-Thanji, dengan urutan sebagai berikut :
1. Pendapat Imam Malik di al-Muwhattha’
2. Pendapat Imam Malik di al-Mudawannah
3. Pendapat Ibn Qasim di al-Mudawannah.
4. Pendapat selain Ibn Qasim di al-Mudawannah.
Perbedaannya terdapat pada pendapat Ibn Qasim di luar al-Mudawannah dan
pendapat selain Ibn Qasim yang ada di al-Mudawanah, menurut versi pertama,
pendapat Ibn Qasim lebih diprioritaskan walaupun tidak terdapat di al-Mudawanah,
sementara menurut versi kedua yang penting pendapat tersebut terdapat dalam
kitab al-Mudawanah, meskipun bukan pendapat Ibn Qasim.
5
Pada era-era ini kitab madzhab Maliki terbagi menjadi dua kelompok, kutub al-fiqh
al-nazhari (kajian-kajian fiqh secara menyeluruh baik berbicara tentang fiqih
madzhab maupun madzhab muqarin), dan kutub al-fiqh at-tathbiqi (kajian seputar
masalah-masalah qadha’, masalah-masalah wasa’iq/perjanjian dan syurut).
6
Ibn Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi-Syarh al-Minhaj, Juz I, h. 39, Ibn Hajar al-
Haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, juz IV, h. 324, Muhammad bin Sulaiman al-
Kurdi, al-Fawaid al-Madaniyah, h. 34, Muhammad Syathatha al-Dimyathi, I’anah al-
Thalibin, Juz I, h. 19, Abdurrahman bin Muhammad Ba’alawi, Bughyah al-
Mustarsyiddin, h. 274, Alawi al-Saqqaf, Tarsyih al-mustafiddin, h. 5.
7
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, al-Fawaid al-Madaniyah, h. 20-21, menukil
pendapat ibn hajar.
8
Muhammad bin Sulaiman al-Kurdi, al-Fawaid al-Madaniyah, h. 22, menukil
pendapat al-Ramli.
9
Ibn hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj fi Syarh al-Minhaj, Juz I, h. 39, Ibn Hajar al-
haitami, al-Fatawa al-Fiqhiyah al-Kubra, Juz IV 324 dan Alawi al-Saqqaf, Tarsyih al-
Mustafidin, h. 5.
10
Ketentuan tersebut adalah ketentuan umum, sebab kadang-kadang dalam suatu
masalah ketentuan tersebut tidak berbeda.
Deskripsi Masalah
Itsbatul ahkam dalam NU selama ini tidak dimaksudkan sebagai
aktifitas menetapkan hukum yang secara langsung bersumber dari al-
Qur‟ân dan al-Hadits, karena yang bisa melakukan hal ini adalah ulama
yang masuk kategori mujtahid. Itsbatul ahkam dalam konteks ini
dimaksudkan sebagai penetapan hukum dengan cara men-tathbiq-kan
(mencocokkan / menerapkan) secara tepat dan dinamis dari qaul dan
‟ibarah terutama dalam kutub mu‟tamadah di lingkungan madzhab
Imam Syafi‟i.
Dalam Munas Alim Ulama di Lampung tahun 1992, Ulama NU
merumuskan perkembangan penting dari sistem itsbatul ahkam.
Ketika itu mulai diintrodusir ijtihad manhaji meskipun belum
sepenuhnya mampu diaplikasikan dalam bahtsul masail. Dalam Munas
tersebut dirumuskan prosedur dan langkah-langkah penetapan hukum.
Dalam Muktamar NU ke-31 di Donohudan Solo ada
perkembangan baru, yaitu sejumlah ayat al-Quran dan al-Hadits
dicantumkan dalam setiap jawaban persoalan hasil bahtsul masail.
Tradisi demikian, nyaris tidak pernah dilakukan dalam bahtsul masail
NU sebelumnya.
Di samping itu, dalam Munas Alim Ulama di Surabaya tahun
2006, Ulama NU membuat pengelompokan kutub mu‟tamadah di
semua madzhab empat (Hanafi, Maliki, Syafi‟i dan Hanbali).
Pertanyaan :
Diskripsi
Tersedianya metode istinbath hukum dan yang siap pakai adalah
niscaya. Ini karena menurut NU dimungkinkan bermunculannya
kasus-kasus fikih baru yang tak ditemukan jawabannya melalui
`ibaratul kutub, baik dalam bentuk qaul maupun wajh. Untuk
menangani kasus-kasus fikih baru tersebut, melalui Munas Lampung
1992, NU sudah membuat prosedur demikian, “Dalam hal ketika
suatu masalah/kasus belum dipecahkan dalam kitab, maka masalah
/kasus tersebut diselesaikan dengan prosedur ilhaqul-masail bi
nadha‟iriha secara jama‟i. Ilhaq dilakukan dengan mempertimbangkan
mulhaq, mulhaq bihi oleh mulhiq yang ahli. Dalam proses ilhaqul-masail bi
nadha‟iriha ini, qawa‟id fiqhiyyah bisa digunakan sebagai kerangka
metodologinya.
Namun, jika kasus fikih tersebut tak bisa dipecahkan dengan
prosedur ilhaq, maka NU memutuskan: “Dalam hal ketika tak
mungkin dilakukan ilhaq karena tidak adanya mulhaq bih sama sekali di
dalam kitab, maka dilakukan instinbath secara jama‟i. Pertanyaannya,
bagaimana istinbath jama‟i dengan mempraktekkan qawa‟id ushuliyyah
itu diselenggarakan di lingkungan Nahdhatul Ulama. Dengan tetap
mengacu pada kitab-kitab ushul fikih, maka dalam penyelengaraan
istinbath jama`i tersebut, NU membuat metode istinbath al-ahkam
11
‘Atha’ al-Rahman al-Nadawiy, “al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami”,
dalam Dirasat al-Jami’ah al-Islamiyyah al-‘Alamiyyah, Desember 2006, Jilid III, h. 82.
12
‘Atha’ al-Rahman al-Nadawi, “al-Ijtihad wa Dauruhu fi Tajdid al-Fiqh al-Islami”, Jilid
III, h. 82.
14
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 165
15
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyyah, 2003, Juz IV, h. 189.
16
Al-Jizani, Manhaj al-Salaf fi al-Jam’i, h. 41.
17
Al-Suyūthī, al-Kaukab al-Sāthi` Nazhm Jam’i al-Jawami’, Maktabah Ibn Taymiyyah,
1998, h. 212.
18
Zakariya al-Anshāri, Ghāyah al-Wushūl, h. 83.
20
Al-Baihaqi, Sunan al-Baihaqi, Juz IV, h. 189.
21
Sayyid Mubarak, Mashadir al-Fiqh al-Islami, (16 Maret 2012).
22
Khudlariy Bik, Thaarikh al-Tasyri’ al-Islaamiy, h. 116.
23
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 52.
4. Illat
Illat adalah sifat yang menjadi titik persamaan (al-jāmi`) antara al-
ashl dan al-far`u. Tidak semua sifat yang melekat pada al-ashl dapat
dijadikan illat hukum, melainkan harus memenuhi syarat-syarat
tertentu. Pertama, harus berupa sifat yang zhāhir seperti ījāb dan qabūl
yang menjadi indikasi adanya kerelaan kedua belah pihak (mazhinnah al-
tarādlī) merupakan illat bagi keabsahan transaksi. Sedangkan al-tarādlī
sendiri sebagai hikmah al-hukmi tidak dapat dijadikan illat karena tidak
zhāhir.
Kedua, harus berupa sifat yang mundlabith (terukur), seperti al-safar
yang menjadi indikasi adanya masyaqqah merupakan illat bagi bolehnya
24
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60.
25
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 60-61.
5. Macam-macam Qiyās
Illat sebagai unsur terpenting dalam mekanisme qiyās ada dua,
yaitu manshūshah (diketahui melalui nash) dan mustanbathah (diketahui
melalui upaya penggalian). Illat manshūshah lebih jelas daripada illat
yang mustanbathah. Qiyās dilihat dari segi illat ini dibagai kepada jalī
dan khafī. Qiyās jalī adalah qiyās yang didasarkan atas illat yang
manshūshah (jelas karena ada nash-nya) seperti meng-qiyās-kan nifās
kepada haid dalam hal tidak bolehnya seorang wanita digauli oleh
suaminya, dengan illat ażā; atau didasarkan atas illat mustanbathah, tetapi
antara al-ashl dan alfar`u dipastikan tidak adanya fāriq (hal yang
membedakan), atau ada fāriq tapi tidak signifikan.27
Contoh qiyās jalī pertama yaitu meng-qiyās-kan memukul orang
tua kepada berkata “uff” dengan illat al-īżā` (meyakiti). Dengan illat ini
diyakini tidak ada perbedaan antara perkataan “uff” dan memukul
karena keduanya sama-sama menyakitkan orang tua. Contoh qiyās jalī
26
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, h. 68-70.
27
Wahbah al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islamiy, Dimisyqa: Dar al-Fikr, 1986, Juz I, h.
703.
28
Wahbah al-Zuhaili, Ushūl al-Fiqh al-Islami, h. 704.
29
Al-Munawi, Faidl al-Qadir, Beirut: Dar al-Ma’rifah, Tanpa Tahun, Juz VI, h. 353.
30
Abdul Wahhab Khallaf, ‘Ilm Ushul al-Fiqh, h. 173.
31
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 79-80.
2) Al-Mashlahah al-Mursalah
Mashlahah berarti setiap hal yang baik dan bermanfaat. Mashlahah
dan manfaat adalah dua kata yang se-wazan dan semakna. Mashlahah
juga diartikan sebagai tindakan yang membawa manfaat. Seperti
menuntut ilmu adalah mashlahah karena dapat mendatangkan manfaat,
berdagang adalah mashlahah karena membawa manfaat, dan seterusnya.
Sedangkan dalam terminologi ushūl fiqh, mashlahah adalah setiap hal
yang menjamin terwujud dan terpeliharanya maksud tujuan syāri`
(maqāshid alsyarī`ah), yaitu hifzh al-dīn, hifzh al-nafs, hifzh al-`aql, hifzh al-
nasl/hifzh al-`irdl, dan hifzh al-māl. 33
Para ulama membagi mashlahah ke dalam tiga bagian, yaitu 34:
Pertama, adalah mashlahah mu`tabarah, yaitu mashlahah yang diapresiasi
syāri` melalui nash al-Qur‟an atau Sunah, seperti diharamkannya setiap
minuman yang memabukkan. Kedua, adalah mashlahah Mulghā, yaitu
mashlahah yang dinafikan oleh syāri` melalu nash Alqur‟an atau Sunah,
seperti penyamaan pembagian harta waris antara anak laki-laki dan
32
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 83.
33
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 197-205.
34
Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, Mu’assasah Qurthubiyyah, Tanpa
Tahun, h. 236-237.
35
Abdul Karīm Zaidan, al-Wajīz fī Ushūl al-Fiqh, h. 238.
36
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 86-87.
37
Abd al-Hayy al-Farmawi, “Syuruth al-‘Amal bi al-Mashlahah al-Mursalah” dalam
Hadyu al-Islam, (Selasa, 6 Juli 2010).
38
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 89.
39
Abd al-Jalil Mabrur, Mabahits fi al-‘Urf, Tanpa Penerbit, Tanpa Tahun, h. 86-87.
40
Muhammad Gharayibah, “Takhshihs ‘Aamm al-Nash al-Syar’iy bi al-‘Urf”, dalam al-
Majallah al-Urduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah, (2005), ke-1.
41
Muhammad Gharayibah, “Takhshihs ‘Aamm al-Nash al-Syar’iy bi al-‘Urf”, dalam al-
Majallah al-Urduniyyah fi al-Dirasat al-Islamiyyah. Lihat juga Mahmud ‘Abud
Harmusy, al-‘Urf, Beirut: Jami’ah al-Jinan, Tanpa Tahun., h. 5.
42
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 90. Lihat juga: Mahmud ‘Abud
Harmusy, al-‘Urf, h. 5.
43
Ahmad bin Muhammad al-Zarqā, Syarh al-Qawāid al-Fiqhiyyah, Dimisyqa: Dar
alQalam, 1989, h. 237.
44
Abdul Aziz Muhammad Azzām, al-Qawāid al-Fiqhiyyah, Kairo: Dar al-Hadits, 2005,
h. 196.
45
Al-Suyūthi, al-Asybāh wa al-Nadlāir fi al-Furū`, Semarang: Toha Putra, Tanpa
Tahun, h. 69.
46
Abdul Wahhāb Khallāf, `Ilmu Ushūl al-Fiqh, h. 91.