Anda di halaman 1dari 5

POLIGAMI, WAHYU ILAHI YANG DITOLAK

Sebuah Dilema bagi Konsepsi yang Keliru


Oleh : H. Lalu Fahmi Husain, Lc. MA
Penyuluh Agama Islam Kemenag Lobar dan Pengasuh Ponpes Selaparang NW Kediri

Allah ta’ala menyebut wahyu-Nya dengan ruh. Apabila ruh tersebut hilang, maka
kehidupan juga akan hilang. Allah SWT berfirman : “Dan demikianlah Kami wahyukan
kepadamu ruh (wahyu) dengan perintah Kami. Sebelumnya kamu tidaklah mengetahui
apakah Al Kitab dan tidak pula mengetahui apakah iman itu, tetapi Kami menjadikan Al
Qur’an itu nur (cahaya), yang Kami tunjuki dengan dia siapa yang kami kehendaki di antara
hamba-hamba Kami.” (QS. Asy Syuro: 52). Dalam ayat ini disebutkan kata ‘ruh dan nur’. Di
mana ruh adalah kehidupan dan nur adalah cahaya. (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengatakan, “Kebutuhan hamba terhadap risalah
(wahyu) lebih besar daripada kebutuhan pasien kepada dokter. Apabila suatu penyakit yang
tidak dapat disembuhkan kecuali dengan dokter tersebut ditangguhkan, tentu seorang
pasien bisa kehilangan jiwanya. Adapun jika seorang hamba tidak memperoleh cahaya dan
pelita wahyu, maka hatinya pasti akan mati dan kehidupannya tidak akan kembali
selamanya. Atau dia akan mendapatkan penderitaan yang penuh dengan kesengsaraan dan
tidak merasakan kebahagiaan selamanya. Maka tidak ada keberuntungan kecuali dengan
mengikuti Rasul (wahyu yang beliau bawa dari al-Qur’an dan as-Sunnah, pen). Allah
menegaskan hanya orang yang mengikuti Rasul -yaitu orang mu’min dan orang yang
menolongnya- yang akan mendapatkan keberuntungan, sebagaimana firman-Nya yang
artinya : ”Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan
mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka itulah orang-
orang yang beruntung.” (QS. Al A’raf: 157) (Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah)
Wahyu Yang di Tolak
Saat ini, poligami telah menjadi polemik yang sangat sengit di tengah kaum muslimin
dan sampai terjadi penolakan terhadap hukum poligami itu sendiri. Dan yang menolaknya
bukanlah tokoh yang tidak mengerti agama, bahkan mereka adalah tokoh-tokoh yang
dikatakan sebagai cendekiawan muslim. Lalu bagaimana sebenarnya hukum poligami itu
sendiri ?! Marilah kita kembalikan perselisihan ini kepada al-Qur’an dan as-Sunnah.
Allah SWT telah menyebutkan hukum poligami ini melalui wahyu-Nya yang suci, yang
patut setiap orang yang mengaku muslim tunduk pada wahyu tersebut. Allah SWT
berfirman : ”Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak)
perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita
(lain) yang kamu senangi : dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki.
Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya.” (QS. An Nisa’: 3)
Poligami juga tersirat dari perkataan Anas bin Malik, beliau berkata : ”Sungguh Nabi
SAW pernah menggilir istri-istrinya dalam satu malam, dan ketika itu beliau memiliki
sembilan isteri.” (HR. Bukhari). Ibnu Katsir mengatakan, “Nikahilah wanita yang kalian suka
selain wanita yang yatim tersebut. Jika kalian ingin, maka nikahilah dua, atau tiga atau jika
kalian ingin lagi boleh menikahi empat wanita.” (Shohih Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh Nashir As
Sa’di mengatakan, “Poligami ini dibolehkan karena terkadang seorang pria kebutuhan
biologisnya belum terpenuhi bila dengan hanya satu istri (karena seringnya istri berhalangan
melayani suaminya seperti tatkala haidh, pen). Maka Allah membolehkan untuk memiliki
lebih dari satu istri dan dibatasi dengan empat istri. Dibatasi demikian karena biasanya
setiap orang sudah merasa cukup dengan empat istri, dan jarang sekali yang belum merasa
puas dengan yang demikian. Dan poligami ini diperbolehkan baginya jika dia yakin tidak
berbuat aniaya dan kezaliman (dalam hal pembagian giliran dan nafkah, pen) serta yakin
dapat menunaikan hak-hak istri. (Taisirul Karimir Rohman)
Imam Syafi’i mengatakan bahwa tidak boleh memperistri lebih dari empat wanita
sekaligus merupakan ijma’ (konsensus) para ulama dan yang menyelisihinya adalah
sekelompok orang Syi’ah. Memiliki istri lebih dari empat hanya merupakan kekhususan Nabi
shallallahu ‘alaihi wa sallam. (Lihat Shohih Tafsir Ibnu Katsir). Syaikh Muqbil bin Hadi al
Wadi’i ketika ditanya mengenai hukum berpoligami, apakah dianjurkan atau tidak? Beliau
menjawab: “Tidak disunnahkan, tetapi hanya dibolehkan.” (Lihat ‘Inilah hakmu wahai
muslimah’, hal 123, Media Hidayah).
Maka dari penjelasan ini, jelaslah bahwa poligami memiliki ketetapan hukum dalam
al-Qur’an dan as-Sunnah yang seharusnya setiap orang tunduk pada wahyu tersebut.
Tidak Mau Poligami, Janganlah Menolak Wahyu Ilahi
Jadi sebenarnya poligami sifatnya tidaklah memaksa, kalau pun seorang wanita tidak
mau di madu atau seorang lelaki tidak mau berpoligami tidak ada masalah. Dan hal ini tidak
perlu diikuti dengan menolak hukum poligami (menggugat hukum poligami). Seakan-akan
ingin menjadi pahlawan bagi wanita, kemudian mati-matian untuk menolak konsep
poligami. Di antara mereka mengatakan bahwa poligami adalah sumber kesengsaraan dan
kehinaan wanita. Poligami juga dianggap sebagai biang keladi rumah tangga yang
berantakan. Dan berbagai alasan lainnya yang muncul di tengah masyarakat saat ini
sehingga dianggap cukup jadi alasan agar poligami di negeri ini dilarang.
Sungguh disayangkan para aktivis perempuan yang tergabung dalam Koalisi
Perempuan Anti Kekerasan Poligami (KPAKP) melihat masalah secara parsial dan tidak
obyektif tentang poligami, sehingga sebuah kasus kekerasan yang kebetulan terjadi dalam
keluarga yang berpoligami dijadikan sebagai tolak ukur untuk mengeneralisasikan bahwa
poligami sebagai “biang keladi kekerasan bagi istri dan anak”. Konsekwensinya mereka
menggugat wahyu ilahi dan orang yang melaksanakan poligami sendiri. Mereka lupa bahwa
kekerasan dalam rumah tangga dapat terjadi pada keluarga berpoligami maupun yang tidak
berpoligami.
Menepis Kekeliruan Pandangan Terhadap Poligami
Saat ini terdapat berbagai macam penolakan terhadap hukum Allah yang satu ini,
dikomandoi oleh tokoh-tokoh Islam itu sendiri. Di antara pernyataan penolak wahyu
tersebut adalah : “Tidak mungkin para suami mampu berbuat adil di antara para isteri
tatkala berpoligami, dengan dalih firman Allah yang artinya,”Jika kamu takut tidak akan
dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja.” (An Nisaa’: 3). Dan firman Allah : ”Dan
kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu
sangat ingin berbuat demikian.” (QS. An Nisaa’: 129).
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah mengomentari keadilan dalam ayat di atas adalah
kamu sekali-kali tidak dapat berlaku adil dalam rasa cinta, kecondongan hati dan
berhubungan intim. Karena konsensus kaum muslimin telah sepakat, bahwa menyamakan
yang demikian kepada para istri sangatlah tidak mungkin dan ini di luar kemampuan
manusia, kecuali jika Allah menghendakinya. Adapun hal-hal yang bersifat lahiriah seperti
tempat tinggal, uang belanja dan waktu bermalam, maka wajib bagi seorang suami yang
mempunyai istri lebih dari satu untuk berbuat adil.
Senada dengan hal itu, Prof. Dr. Syeikh Mahmoud Syaltout mengatakan ; “Keadilan
yang dijadikan syarat diperbolehkan poligami berdasarkan kedua ayat tersebut di atas ialah
keadilan yang dikehendaki itu bukanlah keadilan yang menyempitkan dada kamu sehingga
kamu merasakan keberatan yang sangat terhadap poligami yang dihalalkan oleh Allah.
Hanya saja yang dikehendaki ialah jangan sampai kamu cenderung sepenuh-penuhnya
kepada salah seorang saja di antara para isteri kamu itu, lalu kamu tinggalkan yang lain
seperti tergantung-gantung.”
Perselisihan yang muncul di antara para istri merupakan sesuatu yang wajar, karena
rasa cemburu adalah tabiat mereka. Untuk mengatasi hal ini, tergantung dari para suami
untuk mengatur urusan rumah tangganya, keadilan terhadap istri-istrinya, dan rasa
tanggung jawabnya terhadap keluarga, juga tawakkal kepada Allah. Dan kenyataannya
dalam kehidupan rumah tangga dengan satu istri (monogami) juga sering terjadi
pertengkaran/percekcokan dan bahkan lebih. Jadi, ini bukanlah alasan untuk menolak
poligami.
Renungkanlah perkataan Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah berikut ini, apa yang terjadi
jika wahyu ilahi yang suci itu ditentang. Allah telah banyak mengisahkan di dalam al-Qur’an
kepada kita tentang umat-umat yang mendustakan para rasul. Mereka ditimpa berbagai
macam bencana dan masih nampak bekas-bekas dari negeri-negeri mereka sebagai
pelajaran bagi umat-umat sesudahnya. Mereka di rubah bentuknya menjadi kera dan babi
disebabkan menyelisihi rasul mereka. Ada juga yang terbenam dalam tanah, dihujani batu
dari langit, ditenggelamkan di laut, ditimpa petir dan disiksa dengan berbagai siksaan
lainnya. Semua ini disebabkan karena mereka menyelisihi para rasul, menentang wahyu
yang mereka bawa, dan mengambil penolong-penolong selain Allah.
Allah menyebutkan seperti ini dalam surat Asy Syu’ara mulai dari kisah Musa,
Ibrahim, Nuh, kaum ‘Aad, Tsamud, Luth, dan Syu’aib. Allah menyebut pada setiap Nabi
tentang kebinasaan orang yang menyelisihi mereka dan keselamatan bagi para rasul dan
pengikut mereka. Kemudian Allah menutup kisah tersebut dengan firman-Nya yang
artinya,”Maka mereka ditimpa azab. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar
terdapat bukti yang nyata, dan adalah kebanyakan mereka tidak beriman. Dan
Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar dialah yang Maha Perkasa lagi Maha Penyayang.”
(QS. Asy Syu’ara: 158-159).
Allah mengakhiri kisah tersebut dengan dua asma’ (nama) -Nya yang agung dan dari
kedua nama itu akan menunjukkan sifat-Nya. Kedua nama tersebut adalah Al ‘Aziz dan Ar
Rohim (Maha Perkasa dan Maha Penyayang). Yaitu Allah akan membinasakan musuh-Nya
dengan ‘izzah/keperkasaan-Nya. Dan Allah akan menyelamatkan rasul dan pengikutnya
dengan rahmat/kasih sayang-Nya. (Diringkas dari Majmu’ Fatawa Ibnu Taimiyah).
Maka penulis sependapat dengan seorang ahli Fiqh lulusan Universitas al-Azhar
Mesir, Prof. Dr. Huzaemah Tahido Yanggo : “Bahwa poligami sesuai dengan syariat islam dan
hak poligami bagi suami telah dikompensasi dengan hak istri untuk menuntut pembatalan
akad nikah dengan jalan khulu’, yaitu ketika sang suami berbuat semena-mena terhadap
istrinya. Bila tidak dipenuhi akan mengakibatkan dosa. Kalau suami tidak berlaku adil kepada
istri-istrinya, berarti dia tidak mu’asyarah bil ma’ruf (bergaul dengan baik) kepada mereka.”
Maka sebaiknya masyarakat tidak selalu beranggapan negatif terhadap seseorang
yang melakukan poligami karena ia pasti memiliki alasan-alasan serta faktor-faktor yang
jelas untuk melakukan poligami. Selain itu, sebaiknya para suami jangan melakukan poligami
apabila tidak dapat berlaku adil bagi istri-istrinya karena hukuman bagi suami yang tidak
bisa berlaku adil sangatlah pedih. Nabi bersabda, “Barang siapa beristri dua dan tidak
berlaku adil pada keduanya maka ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan
tubuhnya.” (HR Tirmidzi dan Al Hakim). Wallahu’alam

Anda mungkin juga menyukai