Anda di halaman 1dari 2

Pertama kali khatib ingin berwasiat kepada diri khatib pribadi dan segenap kaum Muslimin yang hadir

agar kita senantiasa meningkatkan rasa iman dan takwa kita kepada Allah SWT. Takwa dalam artian yang
sebenar-benarnya, yaitu takwa yang menjadi spirit dari segala perkataan yang kita ucapkan dan
perbuatan yang kita lakukan, sehingga diri ini terjaga dari setiap perkataan yang menyayat dan
perbuatan yang menyinggung orang lain. Begitu juga, takwa yang mendorong kita untuk selalu
merasakan kehadiran Tuhan dekat dengan kita, sehingga tidak sedetikpun diri ini lalai dari mengingat-
Nya. Semoga kita semua dikaruniai sifat takwa yang seperti ini. Amin,! Tidak diragukan lagi bahwa Islam
sangat menganjurkan sikap toleransi, tolong-menolong, hidup yang harmonis dan dinamis di antara
umat manusia tanpa memandang agama, bahasa, dan ras mereka. Ayat (Q.S. al-Mumtahanah: 8-9) di
atas menjadi bukti nyata akan hal itu. Allah SWT berfirman “Allah tidak melarang kamu untuk berbuat
baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu dalam urusan agama dan tidak
(pula) mengusirmu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Allah
hanya melarang kamu menjadikan mereka sebagai kawanmu, (yaitu) orang-orang yang memerangimu
dalam urusan agama dan mengusirmu dari kampung halamanmu, serta membantu (orang lain) untuk
mengusirmu. Barangsiapa yang menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang
yang zalim.” ADVERTISEMENT Imam al-Syaukani menjelaskan bahwa ayat tersebut mengandung makna
bahwa Allah tidak melarang umat Islam untuk berbuat baik kepada kafir dhimmi yaitu orang-orang non
Muslim yang mengadakan perjanjian dengan umat Islam dalam menghindari perperangan dan tidak
membantu non-Muslim lainnya dalam memerangi umat Islam. Di samping itu, ayat di atas juga
menunjukkan bahwa Allah tidak melarang kita untuk bersikap adil dalam bermuamalah dengan mereka.
Hal senada juga diungkapkan oleh Imam Ibn Katsir dalam tafsirnya, bahwa Allah tidak melarang umatnya
untuk berbuat baik kepada orang-orang kafir yang tidak memerangi mereka dalam masalah agama,
seperti berbuat baik dalam persoalan perempuan dan orang lemah. Berdasarkan hal itu, Ali Mustafa
Yaqub dalam sebuah bukunya menegaskan bahwa ayat ini merupakan dalil yang mewajibkan umat Islam
untuk berbuat baik kepada non Muslim, selama mereka tidak memerangi dan mengusir umat Islam dari
negeri mereka serta tidak membantu orang lain untuk mengusir umat Islam dari negeri mereka. Bahkan
Nabi Muhammad SAW mengancam umat Islam yang memerangi non Muslim yang seperti ini dengan
peringatan keras dan tegas untuk tidak memasukkan mereka ke dalam sorga. Dalam sebuah hadis
َ ‫َم ْن قَت ََل ُم َعاهَدًا لَ ْم يَ ِرحْ َراِئ َحةَ ْال َجنَّ ِة َوِإ َّن ِر‬
riwayat Bukhari, Rasulullah bersabda: ADVERTISEMENT ‫يحهَا تُو َج ُد ِم ْن َم ِسي َر ِة‬
‫“ َأرْ بَ ِعينَ عَا ًما‬Barangsiapa yang membunuh non-Muslim yang terikat perjanjian dengan umat Islam, maka
ia tidak akan mencium keharuman sorga. Sesungguhnya keharuman sorga itu bisa dicium dari jarak 40
tahun perjalanan di dunia.” (H.R. Bukhari) Kaum Muslimin yang berbahagia! Dalam catatan sejarah
diceritakan juga bagaimana santunnya Nabi ketika bergaul dengan orang-orang Yahudi dan kaum
munafik ketika berada di Kota Madinah pascahijrah. Rasulullah tetap menerima sikap lahiriah mereka
dan membiarkan para ahli kitab untuk memeluk agamanya dengan bebas. Bahkan beliau melarang para
sahabatnya untuk memerangi dan menyakiti mereka. Banyak hadis-hadis sahih yang menjelaskan sikap
toleransi yang dipegang teguh oleh Nabi ketika berinteraksi dengan orang-orang non Muslim di
sekitarnya. Misalnya saja kisah Nabi yang pernah menggadaikan baju perangnya kepada Abu Syahm,
seorang Yahudi. Begitu pula dengan sikap beliau dalam bergaul dengan sebagian tamu-tamu perempuan
Yahudi serta keramahan beliau ketika menyambut orang-orang Nasrani Najran di Masjid Nabawi
sebagaimana tersebut dalam riwayat Ibn Ishak dan Ibn Sa’ad. Namun Ali Mustafa menegaskan bahwa
sikap toleransi yang dimaksud di sini hanyalah dalam masalah keduniaan yang tidak berhubungan
dengan permasalahan akidah dan ibadah. Adapun toleransi dalam masalah-masalah ini, yang
menyebabkan seorang Muslim melaksanakan sebagian dari ritual non Muslim seperti Yahudi, Kristen,
dan orang-orang musyrik lainnya, baik dalam perkataan, perbuatan, dan akidah adalah terlarang.
Kendati demikian, sebagian ulama kontemporer ada yang membolehkan hal-hal seperti mengucapkan
selamat hari raya kepada non Muslim selama sang Muslim yang bersangkutan tidak meyakini kebenaran
dari ajaran agama mereka. Kaum Muslimin yang berbahagia! Konsep toleransi dalam Islam berbeda
dengan paham pluralisme yang digembar-gemborkan oleh sebagian pemikir Muslim belakangan.
Mereka menganggap bahwa semua ajaran agama bermuara kepada tujuan dan maksud yang sama,
bahkan mereka menganggap benar semua agama-agama yang ada dan pemeluknya akan masuk surga
bersama-sama dengan umat Islam kelak. Padahal sebenarnya tidak demikian, kita harus jeli dalam
memahami persoalan ini. Memang benar Islam mengakui adanya pluralitas agama dengan dalil firman
Allah SWT dalam surat al-Kafirun ayat ke-6 yang berbunyi: ‫“ لَ ُك ْم ِدينُ ُك ْم َولِ َي ِدي ِن‬Untukmu agamamu dan
untukku agamaku”. Ayat ini turun ketika sekelompok kafir Quraisy datang menghadap Nabi SAW, lalu
mengajak Nabi untuk menyembah tuhan mereka selama satu tahun dan mereka pun akan menyembah
sesembahan Nabi yaitu Allah SWT juga dalam waktu satu tahun. Lalu Allah menurunkan ayat ini, sebagai
penegasan bahwa Islam tidak mengakui kebenaran ajaran agama-agama selain ajaran Islam sendiri,
walaupun Islam mengakui keberadaan agama-agama tersebut. Sehingga dapat disimpulkan di sini
bahwa pengakuan Islam terhadap keberadaan agama lain telah ada semenjak masa Nabi Muhammad
SAW sampai saat sekarang. Namun yang perlu digarisbawahi di sini adalah bahwa Islam tidak pernah
mengakui kebenaran agama lain. Andaikata Islam mengakui kebenaran agama lain dan para pemeluknya
akan masuk sorga bersama umat Islam, maka pelaksanaan dakwah kepada umat manusia tidak
diperlukan lagi, karena mereka kelak akan masuk sorga bersama umat Islam. Padahal Nabi pada masa
hidupnya senantiasa mendakwahkan Islam kepada setiap orang-orang musyrik yang berada di sekitar
beliau, baik dari kalangan raja-raja, bangsawan, rakyat jelata, dan pemimpin-pemimpin non Muslim yang
ada pada saat itu. Rasulullah pernah bersabda dalam sebuah hadis riwayat Muslim: َ‫َوالَّ ِذى نَ ْفسُ ُم َح َّم ٍد بِيَ ِد ِه ال‬
ُ ‫وت َولَ ْم يُْؤ ِم ْن بِالَّ ِذى ُأرْ ِس ْل‬
ِ ‫ت بِ ِه ِإالَّ َكانَ ِم ْن َأصْ َحا‬
‫ب النَّار‬ ُ ‫ يَ ْس َم ُع بِى َأ َح ٌد ِم ْن هَ ِذ ِه اُأل َّم ِة يَهُو ِدىٌّ َوالَ نَصْ َرانِ ٌّى ثُ َّم يَ ُم‬Demi Allah yang
menguasai jiwaku, tidak seorang pun yang mendengar diriku dari umat ini, baik Yahudi maupun Nasrani
kemudian ia mati tanpa beriman kepada risalah yang kubawa melainkan ia menjadi penghuni neraka.
(H.R. Muslim) Dengan demikian, letak perbedaan antara toleransi dengan paham pluralisme agama
dalam Islam sangat jelas. Islam mengakui dan sangat menganjurkan toleransi antar umat beragama.
Namun sebaliknya Islam sangat menentang keras ajaran pluralisme yang membawa kepada keyakinan
bahwa semua agama adalah benar. Karena satu-satunya agama di sisi Allah itu hanyalah Islam semata.
(Ali ‘Imran: 19)

Anda mungkin juga menyukai