Anda di halaman 1dari 6

Belajar Ikhlas dari Sahabat

Rasulullah
December 30, 2016
Oleh: Rendy Setiawan*
Masa kehidupan umat Islam yang terbaik adalah pada tiga generasi paling awal,
yaitu masa nubuwwah dan sahabat, masa tabi’in, masa tabi’ut tabi’in. Yang
dimaksud dengan masa nubuwwah adalah masa di mana Muhammad putra
Abdullah diangkat menjadi nabi dan rasul oleh Allah ketika usia 40 tahun
hingga beliau wafat pada usia 63 tahun. Kemudian masa sahabat, adalah masa di
mana setiap orang yang hidup dan bertemu Rasulullah, kemudian mengimani
apa yang dibawanya hingga ajal menjemputnya, maka selain yang ini, tidak
masuk kategori sahabat.

Masa tabi’in, adalah masa di mana setiap yang hidup dan bertemu sahabat nabi,
kemudian mengimani apa yang disampaikan sahabat tentang ajaran Rasulullah
Shallallahu Alaihi Wasallam. Pun demikian dengan masa tabi’ut tabi’in. Inilah
tiga masa yang pernah disabdakan oleh Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
sebagai masa terbaik umat ini. Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam
bersabda, “Sebaik-baik generasi adalah generasiku, kemudian generasi setelah
itu, kemudian generasi setelah itu.” (Riwayat Bukhari)

Pernahkah terbetik dalam benak pikiran, ketika membandingkan manusia


modern sekarang dengan generasi dahulu dalam Islam? Generasi salafusshalih,
sebaik-baik generasi. Generasi yang langsung dibimbing dan dididik oleh
Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam. Generasi pertama yang langsung
menerima wahyu Al-Qur’an dari Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam.

Sampai-sampai generasi salafussalih diabadikan dalam Al-Qur’an. Mereka


memiliki karakter yang khas, karakter Qur’ani. Generasi salafussalih adalah
generasi yang menyambut seruan Allah Ta’ala dengan seluruh jiwa raganya,
tanpa ragu sedikitpun.

Mereka tidak ragu terhadap perintah-perintah-Nya. Mereka beriltizam dengan


perintah-perintah dan larangan-Nya. Mereka menerima Islam secara totalitas,
tak ada yang dikurangi sedikitpun, khususnya ketika menjalankan furu’
(cabang), terlebih yang bersifat ushul (pokok).

Allah Ta’ala, mengingatkan kepada manusia bahwa perhiasan dunia yang Allah
berikan, berupa harta dan anak, merupakan kekayaan yang dapat dinikmati
sepanjang kehidupan dunia. Sahabat nabi adalah kumpulan orang-orang kaya,
namun mereka ikhlas meninggalkan kekayaan mereka, mereka ikhlas
menyerahkan hartanya, seluruh yang mereka punya, mereka ikhlas untuk
berjuang di jalan Allah.

Salah satu generasi terbaik yang pernah ada di muka bumi. Sampai-sampai
Rasulullah sendiri melarang umatnya menghina sekecil apapun keburukan
sahabat, Rasulullah bersabda, “Jangan kalian hina sahabatku…” Hal ini karena
peranan sahabat yang ikhlas membantu dakwah Rasulullah.

Bisa jadi, di antara kita masih ada yang bertanya, Apa sebenarnya makna ikhlas
itu? Jika ditinjau dari sisi bahasa berasal dari kata “kholasho” yaitu kata kerja
intransitif yang artinya bersih, jernih, murni, suci, atau bisa juga diartikan tidak
ternoda tidak terkena campuran. Ikhlas menurut bahasa adalah sesuatu yang
murni yang tidak tercampur dengan hal-hal yang bisa mencampurinya.
Ikhlas juga mengandung arti meniadakan segala penyakit hati, seperti syirik,
riya, munafik, dan takabur dalam ibadah. Ibadah yang ikhlas adalah ibadah yang
dilakukan semata-mata karena Allah Ta’ala.

Ikhlas merupakan ilmu tertinggi yang diberikan Allah Ta’ala kepada umat
manusia, dan jika ilmu ini diterapkan dalam setiap langkah kehidupan, Allah
Ta’ala menjanjikan limpahan berkah kebaikan bagi kita. Seperti halnya rezeki,
jatah rezeki kita semua sama. Yang membedakan pendapatan rezeki kita adalah
kualitas hidup kita atau kesesuaian hidup kita dengan kehendak-Nya.

Maka dari itu, penulis mengajak pembaca yang dirahmati Allah untuk melihat
kembali, merenungi kisah-kisah sahabat, kisah Abu Bakar, kisah Umar, kisah
Utsman bin Affan, kisah Abdurahman bin Auf, dan seluruh sahabat ridwanullah
ta’ala lainnya bagaimana cara mereka ikhlas dalam meninggikan kalimat-
kalimat Allah.

Sebagai contoh, bagaimana Abu Bakar menginfaqkan seluruh hartanya untuk


dakwah Islam. Ini tidak akan pernah terjadi apabila tidak memiliki iman yang
kuat, iman yang menusuk ke dalam hati.

Semua digunakan fi sabilillah. Harta yang dimiliki oleh Abu Bakar hampir
seluruhnya di-infaqkan. Sampai-sampai Rasulullah Shallahu Alaihi Wassalam
menegur Abu Bakar, “Apa yang engkau gunakan membiayai hidupanmu dan
keluargamu, wahai Abu Bakar, sesudah seluruh hartamu engkau sedekahkan?”
Abu Bakar dengan tegas mengatakan, “Aku masih mempunyai Allah dan Rasul-
Nya.”

Sikap Abu Bakar mendapatkan cemooh sebagian kalangan masyarakat


Madinah, atas sikapnya yang menyedekahkan dan menginfaqkan hartanya itu.
Abu Bakar sudah tidak lagi hatinya tertambat dengan harta dan segala hal yang
terkait dengan dunia.

Abu Bakar rela melepaskan harta dan seluruh kekayaan yang dimiliki demi
agama Allah, yang diyakininya. Tak ada ragu lagi. Karena, seluruh jiwa dan
raganya hanya diarahkan dalam mencari ridha dan kemuliaan dari Allah Ta’ala.
Atas sikapnya itu, kemudian diabadikan dalam Al-Qur’an:

٣٦ َ‫ى لِلَّ ِذينَ َءا َمنُو ْا َو َعلَ ٰى َربِّ ِہمۡ يَتَ َو َّكلُون‬-ٰ َ‫فَ َمٓا أُوتِيتُم ِّمن ش َۡى ۬ ٍء فَ َمتَ ٰـ ُع ۡٱل َحيَ ٰو ِة ٱلد ُّۡنيَ ۖا‌ َو َما ِعن َد ٱهَّلل ِ َخ ۡي ۬ ٌر َوأَ ۡبق‬
Artinya: “Maka sesuatu apapun yang diberikan kepadamu, itu adalah
keni’matan hidup di dunia; dan yang ada pada sisi Allah lebih baik dan lebih
kekal bagi orang-orang yang beriman, dan hanya kepada Tuhan mereka,
mereka bertawakkal.” (Qs. Asy-Syura [42]: 36)
Para sahabat, tidak sedikitpun memiliki keinginan menyelisihi. Ini karena
ketaatan dan keikhlasan secara total dalam menjalani perintah-perintah Allah
Ta’ala. Karena itu, seorang mukmin akan selalu mentaati batasan-batasan yang
diberikan oleh Allah Ta’ala dalam menjalani hidup ini.

Kesabaran dan keikhlasan orang-orang mukmin yang begitu luar biasa, dan
terus memegang iman dan aqidahnya sesuai dengan Al-Qur’an dan As-Sunnah,
membuat mukmin, mengungguli semua jenis manusia. Inilah yang
diisyarakatkan oleh Allah Ta’ala.
Ibnu Al-Qayyim Al-Jauziyah pernah mengatakan, “Amal tanpa keikhlasan
seperti musafir yang mengisi penuh kantongnya dengan kerikil kecil.
Memberatkannya tetapi tidak bermanfaat sama sekali.”

Marilah kita berusaha meningkatkan ketaqwaan kepada Allah, menguatkan


ketaatan kepada ulil amri yang berpegang teguh kepada Allah dan Rasul-Nya,
menebalkan keikhlasan untuk berjuang dan berkorban dalam menegakkan serta
menyiarkan dakwah Islam hingga Allah Ta’ala menurunkan karunia-Nya berupa
kemenangan yang hakiki. Aamiin. (R06/P1)

Anda mungkin juga menyukai