Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

Pendidikan Akhlak Islam

Tentang

AKHLAK TERHADAP NONMUSLIM

Disusun Oleh :

Nama : Sri Munawarah

No. BP / Nimko : 17.01.576 / S1.VI.04.17.010

Dosen Pengampu:

Taufik Rahman, M. A

PROGRAM S1

PENDIDIKAN AGAMA ISLAM (PAI)

SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH

DINIYYAH PUTRI RAHMAH EL-YUNUSIYAH

PADANG PANJANG

2018/2019
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim
Dengan memanjatkan rasa puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT atas rahmat
dan hidayah serta inayahNya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan
judul “Akhlak Terhadap Non Muslim”.

Selanjutnya, shalawat dan salam tak lupa kita panjatkan kepada Nabi Muhammad
SAW yang telah mengubah tata kehidupan kita dari kehidupan jahiliyah ke kehidupan
yang damai. Dalam penyusunan tugas ini penulis banyak mengucapkan terimakasih
kepada dosen pembimbing yang telah memberi kami pengetahuan dan juga kesempatan
untuk menyusun suatu makalah.
Demikian yang dapat kami sampaikan, semoga makalah ini dapat bermanfaat bagi
para pembaca. Dengan segala kerendahan hati penulis menyadari, bahwa penulis makalah
ini belum sempurna dan masih banyak kekurangan dari kemampuan penulis. Oleh karena
itu penulis sangat mengharapkan kritik dan saran yang bersifat membangun.

Padang Panjang, 11 Desember 2018

Sri Munawarah,
PENDAHULUAN

Diantara hal yang sudah kita ketahui, bahwa pemeluk agama-agama non-Islam
terbagi dua macam: Pemeluk agama watsaniyah (berhala) atau agama budaya, seperti
kaum musyrik peyembah berhala, kaum majusi penyembah api, dan kaum shabiah
(shabiin) penyambah bintang-bintang. Pemeluk agama samawi atau kitabiyah, yaitu
mereka yang mempunyai agama samawi pada asalnya dan mempuyai kitab yang
diturunkan dati Allah, seperti Yahudi dan Nashrani, yang oleh Al-Qur’an disebut “Ahlu
kitab” sebagai sikap lemah lembut kepada mereka dan utuk menyenagkan mereka.

Disini, penulis akan membahas tentang adab-adab umat muslim kepada orang
kafir atau non muslim, apa-apa saja yang boleh kita kalukan terhadap mereka, batasan
toleransi kita dan sampai batas mana pergaulan yang harus kita jaga dengan mereka.
PEMBAHASAN

AKHLAK TERHADAP NONMUSLIM

A. Bermuamalah dengan Non Muslim

Ahlus sunnah membolehkan bermuamalah dengan dengan orang kafir,


sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Diantara muamalah yang
dibolehkan menurut syariat adalah: 1

1. Boleh melakukan transaksi dengan mereka dalam perdagangan, sewa menyewa dan
jual beli barang, selama alat tukar dan berangnya dibenarkan menurut syariat Islam.
2. Wakaf mereka dibolehkan selama pada hal-hal di mana wakaf kaum muslimin
dibolehkan. Misalnya, derma terhadap fakir miskin, perbaikan jalan, derma terhadap
Ibnu Sabil dan semacamnya.
3. Boleh memberi pinjaman atau meminjam dari mereka walaupun dengan
caramenggadaikan barang. Sebab diriwayatkan oleh imam Bukhari bahwa Rasulullah
wafat sedangkan baju perangnya digadaikan kepada seorang Yahudi dengan 30 sha’
gandum.
4. Haram mengizinkan mereka untuk membangun rumah ibadah begi mereka di negeri
Muslim.
5. Orang Dzimmi (non-muslim yang berada di negeri muslim) dan Mu-ahad(non-
muslim yang memiliki perjanjian dama dengan negeri muslim) tidak boleh diganggu
selama mereka melaksanakan kewajiban mereka dan tetap mematuhi perjanjian.

Kalau kita ingin meyimpulkan ajaran-ajaran Islam di dalam menyingkapi orang-


orang non muslim mengenai apa yang halal dan yang haram cukuplah kita kemukakan
ayat dibawah ini saja:2

1
https://almanhaj.or.id, Rabu 05-12-2018, jam 20:36:40
2
Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram, (Darul Ma’rifah Ad-Darul Baidha’: Jakarta, 2008). Hal 389
‫اَل َيْنَهُك ُم ُهَّللا َع ِن الِذ ْيَن َلْم ُيَقاِتُلْو ُك ْم ِفي الِّدْيِن َو َلْم ُيْخ ِر ُجْو ُك ْم ِم ْن ِدَي اِر ُك ْم َأْن َتَب ُّر ْو ُهْم َو ُتْقِس ُطْو ا ِاَلْيِهْم ِإَّن‬
‫ِإَّنَم ا َيْنَهُك ُم ُهللا َع ِن اَّلِذ ْيَن َقَتاُلْو ُك ْم ِفى الِّدْيِن َو َأْخ َر ُجْو ُك ْم ِم ْن ِدَياِر ُك ْم َو َظ اَهُرْو ا‬ ‫َهَّللا ُيِح ُّب اْلُم ْقِس ِط ْيَن‬
‫َع َلى ِإْخ َر اِج ُك ْم َأْن َتَو َّلْو ُهْم َو َم ْن َيَتَو َلُهْم َفُأوَلِئَك ُهُم الَّظِلُم ْو َن‬

Artinya: “Allah tidak melarag kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil
terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula)
mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku
adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-
orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan
membantu (orang lain) untuk mengusirmu. Dan barang siapa menjadikan mereka
sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang zalim. (QS. Al-Mumtahanah: 8-9)
Ayat ini tidak hanya menyukai berbuat adil dan jujur terhadap non muslim yang
tidak memerangi kaum muslimin karena agama dan tidak mengusir mereka dari
negerinya, yakni orang yang tidak melakukan peperangan dan permusuhan terhadap
kaum muslimin, bahkan ayat ini menyukain kaum muslimin berbuat kebajikan dan
kebaikan kepada mereka.3

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil. Karena ungkapan
ini dimaksudkan menghilangkan pemikiran pemikiran bahwa orang yang berbeda agama
tidak berhak mendapatkan kebaikan dan keadilan, kasih saying dan pergaulan yang baik.4

Dengan berpijak pada beberapa hakikat yang tidak boleh dilupakan ini, akan
dijelaskan tentang pandangan islam terhadap orang yang berbeda dengan merreka atau
terhadap golongan non muslim.5

Diantara hal yang sudah kita ketahui, bahwa pemeluk agama-agama non-Islam
terbagi dua macam:6

1. Pemeluk agama watsaniyah (berhala) atau agama budaya, seperti kaum musyrik
peyembah berhala, kaum majusi penyembah api, dan kaum shabiah (shabiin)
penyambah bintang-bintang.

3
Ibid. hal 390
4
Ibid. hal 390
5
Yusuf Qardhawi, Fatwa-fatwa Kontemporer, (Darul Ma’rifah: Beirut-Lebanon, 1988). Hal 965
6
Ibid. hal 965-966
2. Pemeluk agama samawi atau kitabiyah, yaitu mereka yang mempunyai agama
samawi pada asalnya dan mempuyai kitab yang diturunkan dati Allah, seperti
Yahudi dan Nashrani, yang oleh Al-Qur’an disebut “Ahlu kitab” sebagai sikap
lemah lembut kepada mereka dan utuk menyenagkan mereka.

Ahlu kitab diperlakukan secara istimewa oleh Islam. Islam boleh memakan
makanan (sembilihan) mereka da menganggap makanan mereka halal dan baik. Selain
itu, Islam juga memperbolehkan bersemenda dan mengawini waita-waita mereka,
sebagaimana difirmankan Allah:7

‫َو َطَع ُام اَّلِذ ْيَن ُأوُتوا اْلِكَتاَب ِح ٌل َّلُك ْم َو َطَع اُم ُك ْم ِح ٌّل َّلُهْم َو اْلُم ْح َص َناُت ِم َن اْلُم ْؤ ِم َن اِت َو اْلُم ْح َص َناُت ِم َن‬
‫اَّلِذ ْيَن ُأْو ُتْو ا اْلِكَتاَب ِم ْن َقْبِلُك ْم‬

"makanlah (sembilihan) orang-orang yang diberi alkitab itu halal bagi mu, dan
maka mereka halal pula bagi mereka. (dan dihalalkan mengawini) wanita-wanita
yang menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi alkitab sebelum
kamu.” (Q.S Alamidah: 5)

Maka arti perkawinan dengan wanita kitabiyah adalah besannya, kakek dan nenek
dan anak-anaknya, paman dan bibi anak-anak itu, dan mereka adalah orang-orang ahli
kitab dan mereka mempunyai hak silaturrahmi dari dzawil qurba (kekerabatan) yang
difardhukan islam.8

Di seluruh dunia kini telah timbul suatu kesadaran yang semakin mendalam
bahwa manusia-manusia dari tradisi keagamaan yang berbeda harus bersatu dalam
kerukunan dan persaudaraan dari pada dalam pemusuhan. Cita-cita diatas pada dasarnya
memang merupakan ajaran fundamental dari setiap agama. Hal itu bukanlah hanya
sekedar cita-citat tetapi tugas kewajiban yang harus di wujudkan dalam kenyataan dalam
setiap agama.9

7
Ibid. hal 966
8
Ibid. hal 966
9
Said Agil Husin Al-Munawar, Fikih Hubungan Antar Agama, (Ciputat Press: Jakarta. 2004). Hal 38
B. Larangan Megucap Salam Kepada Non Muslim
a. Larangan mengucap salam kepada non muslim

Rasulullah SAW melarang kita untuk memulai mengucap salam kepada ahli kitab
(orang Yahudi dan Nasrani). Beliau bersabda:10

‫َال َتْبَدُء وا اْلَيُهْو َد َو َال الَّنَص اَر ىى ِبالَّس َالِم َفِاَذ ا َلِقْيُتْم َاَح َد ُهْم ِفي َطِر ْيٍق َفاْض َطُّر ْو ُه ِإَلى َأْض َيِقِه‬

Artinya: “Jangan memulai mengucap salam kepada orang-orang Yahudi dan


Nasrani. Apabila kalian bertemu dengan salah seorang dari mereka di jalan, maka
desaklah ia kejalan yang paling sempit. (HR. Muslim, no. 2167)

Penjelasan dari hadist diatas adalah seorang muslim dilarang mengucap salam
kepada selain muslim, dan juga untuk menunjukkan izzah (harga diri) seorang muslim
dan rendahnya orang selain mereka.11

Setelah ada larangan yang jelas seperti ini, maka tidak ada yang dapat
menentangnya. Meskipun kita ada keperluan kepada mereka maka hendaklah kita untuk
tidak mengucap salam, melainkan dengan ucapan lain seperti, apa kabar pagi ini?, atau
apa kabar sore ini?, dan lain sebagainya.12

Ibnu Muflih mengatakan, Syeikh Taqiyuddin berkata, mengucap sesuatu yang


bukan salam untuk menciptakan suasana akrab dengan non muslim tidak ada masalah.13

An-Nawawi mengabarkan perkataan Abu Sa’ad “apabila ingi mengucap salam


kepada orang non muslim, maka bisa dilakukan dengan selain ucapan salam. Misalnya
dengan mengatakan, semoga Allah memberimu petunjuk, atau semoga Allah membuat
pagimu menyenangkan.14
10
Fuad Abdul Aziz Asy-Syalhub dan Harist bin Zaidan Al-Muzaidi, Panduan Etika Muslim, (Pustaka eLBA:
Surabaya) Hal 349
11
Ali Abdul Halim Mahmud, Syarah dan Terjemahan Riyadhus Shalihin, (Gema Insani Press: Jakarta). Hal 115
12
Op.cit. Fuad Abdul Aziz Asy-Syalhub dan Harist bin Zaidan Al-Muzaidi. Hal 350
13
Ibid. hal 350
14
Ibid. hal 350
Dalam hal ini, An-Nawawi menjelaskan bahwa perkataan Abu Sa’ad itu tidak
masalah apabila ada keperluan dengannya. Sehingga boleh mengatakan semoga pagi
anda baik, dan sebagainya. Namun jika tidak ada keperluan dengannya, maka sebaiknya
tidak mengatakan sesuatu kepadanya. Karena hal itu memberikan ruang yang lapang
baginya dan menampakkan rasa simpati. Padahal, kita diperintahkan untuk bersikap tegas
kepada mereka dan dilarang untuk menjalin cinta kasih dengan mereka.15

b. Cara menjawab salam orang non muslim

Annas Malik meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW bersabda:

‫ِإَذ ا َس َّلَم َع لْيُك ْم َأْهُل اْلِكَتاِب َفُقْو ُلْو ا َو َع َلْيُك ْم‬

‘Apabila orang ahli kitab mengucapkan salam kepada kamu, maka ucaplah, waalaikum.”
(HR. Bukhari, no. 6258)

Hadist ini menjelaskan bagaimana cara kita menjawab salam kepada ahli kitab.
Yaitu dengan mengucap waalaikum.16

Sebagian ulama berpendapat bahwa apabila kita mengetahui secara nyata dan
tanpa ragu tentang ucapan salam yag disampaikannya, maka sebaikya kita menjawabnya
dengan ucapan yang setimpal. Mereka beralasan bahwa hal itu merupakan keadilan.
Sementara Allah menyuruh kita untuk berbuat adil dan memberi kebaikan.17

Sementara ulama yang lain berpendapat dan ini adalah pendapat yang rajah (kuat)
bahwa kita harus menjawabnya seperti yang diajarkan oleh hadist yang sangat jelas dan
tegas di atas, yakni dengan mengucap waalaikum.18

c. Boleh mengucap salam kepada forum yang bercampur (Muslim dan non Muslim)

Hal ini didasarkan pada tindakan nabi SAW. Imam Bukhari, Muslim dan lain-lain
meriwayatkan bahwa Nabi pernah mengendarai seekor keledai dengan pelana yang
dilapisi kain keluaran fadak. Sementara Usamah bin Zaid membonceng di belakang
15
Ibid. hal 350-351
16
Ibid. hal 351
17
Ibid. hal 351
18
Ibid. hal 351-352
beliau. Beliau bermaksud ingin menjenguk Sa’ad bin Ubadah di dalam keluarga Harist
bin Khazraj. Peristiwa itu terjadi sebelum perang badar. Kemudian beliau bertemu
dengan sebuah kelompok yang di dalamnya terdapat campuran antara orang Islam,
Musyrik-penyembah berhala, dan Yahudi. Di antara mereka terdapat Abdullah bin Ubay
bin Salul, dan juga Abdullah bin Rawahah, kemudian ketika jamaah itu diselimuti oleh
debu kendaraan, maka Abdullah bin Ubay menutup hidungnya dengan jubahnya, lalu
berujar jangan hamburkan debu pada kami! Nabi SAW kemudian mengucap salam
kepada mereka, lalu berhenti dan turun. Kemudian beliau berdoa kepada Allah dan
membaca Al-Qur’an di hadapan mereka. (HR. Al-Bukhari, no. 6254)19

Menurut Imam Nawawi, memulai mengucap salam kepada sekumpulan orang


yang campuran antara orang muslim dan non muslim diperbolehkan menurut ijma’. Dan
beliau juga berkata apabila seseorang bertemu dengan sekumpulan orang yang disitu
terdapat beberapa orang Islam, atau seorang muslim dan beberapa orang non muslim
maka disunnahkan mengucap salam kepada mereka dengan niat ditujukan kepada orang
muslim saja.20

C. Larangan Mengikuti Peribadahan Non Muslim

Terhadap pemeluk agama lain, kaum muslimin diperintahkan agar bersikap


toleransi. Sikap toleran terhadap non-muslim itu hanya terbatas pada urusan yang bersifat
duniawi, tidak menyangkut masalah aqidah, syariah, dan ibadah.21

Firman Allah:

‫َو اَل َاَن ا َعاِب ٌد َّم ا َع َب ْد ُّتْم َو اَل‬ ‫َو اَل َاْنُتْم َعاِبُد ْو َن َم ا َاْع ُب ْد‬ ‫اَل َأْع ُبُد َم ا َتْعُبُد ْو َن‬ ‫ُقْل َيَأ ُّيَها اْلَك اِفُرْو َن‬
‫َلُك ْم ِد ْيُنُك ْم َو ِلَى ِد ْيِن‬ ‫َاْنُتْم َعاِبُد ْو َن َم ا َاْع ُبْد‬

Artinya: Katakanlah hai orang-orang kafir, aku tidak akan menyembah apa yang
kamu sembah, dan kamu bukan penyembah tuhan yang aku sembah, dan aku tidak

19
Ibid. hal 352
20
Ibid. hal 352-353
21
Repository.uinjkt.ac.id>dspace>bitstream. Senin, 26 November 2018, jam 13.43
pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, dan kamu tidak pernah (pula) jadi
penyembah tuhan yang aku sembah. Untukmu agamamu, dan untukkulah agamaku. (Al-
Kafirun 1-6)

Syaikh Muhammad Abduh menjelaskan perbedaan ayat ini di dalam tafsirnya,


dua jumlah kata yang pertama(ayat 2 dan 3) adalah perbedaan yang disembah. Dan dua
ayat berikutnya (ayat 4 dan 5) adalah menjelaskan perbedaan cara beribadah. Tegasnya
yang disembah lain dan cara menyembah juga lain. Tidak satu dan tidak sama. Yang aku
sembah ialah Tuhan Yang Maha Esa, yang bersih dari segala macam persekutuan dan
perkonsian.”untuk kamulah agama kamu: maka pakailah agama itu sendiri, janganlah
kamu mengajak aku menyembah yang bukan tuhan itu. Dan untuk akulah agama ku.
Jangan sampai kamu campur adukkan dengan apa yang kamu sebut agama itu.22

Menurut penulis, mengikuti peribadahan non muslim itu adalah sesuatu yang
dilarang agama. Jika kita mengatas namakan toleransi beragama, itu tidak dapat dicampur
adukkan dengan ketauhidan dan akidah kita kepada Allah. Karena sudah jelas bahwa
kepercayaan kita dengan mereka jauh berbeda dan juga cara peribadahan kita dengan
mereka berbeda.

Soal akidah, di antara tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat


dikompromikan atau dicampur adukkan dengan syirik. Karena, tauhid jika telah
didamaikan dengan syirik, maka artinya ialah kemenangan syirik.23

Ketika sedang ada peribadatan, maka para ulama sepakat mengharamkan seorang
muslim masuk ke dalam rumah ibadah agama lain. Alas an pengharaman ini sudah jelas
disebutkan di dalam ayat diatas srah Al-Kafirun 1-6. Sedangkan hukum memasuki tempat
ibadah orang kafir pada saat mereka sedang mereyakan hari agama mereka adalah haram.
Keharaman ini berangkat dari perkataan sahabat umar bin Al-Khattab ra. “janganlah
kalian memasuki tempat ibadah orang kafir pada saat mereka sedang merayakan hari
agama mereka, karena kemarahan Allah akan turun kepada mereka.”

D. Besikap Tegas Terhadap Non Muslim


22
Buya Hamka, Tafsir Al-Azhar, (Pustaka Panjimas: Jakarta. 1982). Hal.284

23
Ibid. hal 284
Umat Islam bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yaitu kaum kuffar (yang
memerangi, yang membenci, dan memerangi umat Islam).24 Seperti firman Allah:

“Perangilah di jalan Allah setiap orang yang memusuhi kamu dan janganlah
kamu melampaui batas (berbuat zalim), karena Allah tidak suka kepada orang yang
melampaui batas” (QS. Al-Baqarah: 190)

Berperang di jalan Allah, antara lain, berupa berperang melawan orang kafir yang
memerangi umat Islam, disebut jihad fi sabilillah. Asal makna jihad adalah
mengeluarkan segala kesungguhan, kekuatan, dan kesanggupan pada jalan yang diyakini
(diiktikadkan) bahwa jalan itu yang benar.25

Yang menjadi latar belakang atau motif jihad didasarkan pada antara lain Q.S At-
taubah:13-14, dan An-nisa: 75-76, yakni:26

1. Mempertahankan diri, kehormatan, dan harta dari tindakan sewenang-wenang


musuh.
2. Memberantas kezaliman yang ditujukan kepada umat Islam.
3. Membantu orang-orang yang lemah (kaum dhuafa)
4. Mewujudkan keadlian.

Imam Syafi’I mengatakn, jihad adalah memerangi kaum kafir untuk menegakkan
Islam, dan juga sebagaimana dikemukakan oleh Ibnu Atsir, jihad berarti memerangi
orang kafir degan bersungguh-sungguh, menghabiskan daya dan tenaga dalam
menghadipi mereka baik dalam perkataan maupun dalam perbuatan.27

Kewajiban jihad (berperang) tiba bagi umat islam, denga syarat:28

1. Jika agama dan umat Islam mendapat ancaman atau diperangi dulu (QS Al-
Baqarah: 190)
2. Jika umat dan agama Islam mendapat gangguan yang akan mengancam
eksistensinya, serta untuk menegakkan kebebasan beragama (Al-Anfal: 39)
24
https://inilahrisalahislam.blogspot.com, Jum’at 07-12-2018, jam21.09
25
Ibid.
26
Ibid.
27
Ibid.
28
Ibid.
3. Jika hendak membela orang-orang yang tertindas (An-Nisa: 75)

E. Larangan Memilih Pemimpin Non Muslim

Banyak pendapat yang menjelasakan tentang hukum memilih pemimpin non


muslim dalam duia islam dan sini akan dijelaskan satu persatu. Sebagai landasannya, ada
ayat Al-Qur’an yang menerangkan tentang masalah ini:

Artinya: ”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengambil orang-


orang Yahudi dan Nasrani menjadi pemimpin-pemimpin(mu), sebagian mereka adalah
pemimpin bagi sebagian yang lain. Barang siap diantara kamu mengambil mereka
sebagai pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka.
Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang zalim. Maka
kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (orang-orang
munafik) bersegera mendekati mereka……” (QS. Al-Maidah 51-52)

Didalam buku karangan Farid Abdul Khaliq dikatakan bahwa selama sistem
dalam negara Islam adalah musyawarah dan syariat Islam sebagai sumber undang-undang
di dalamnya, yakni tidak ada satu undang-undang negara pun yang menyalahi satu dasar
dari dasar-dasar Islam yang baku, juga terwujud didalamnya keadilan politik dan keadila
social bagi seluruh rakyat, maka sistem hukum itu adalah sistem hukum islam, sekalipun
berbeda struktur dan nama. Adapun yang dilihat itu intinya bukan luarnya.29

Menurut Dr. Abdul Hamid Mutawalli dalam perkataannya tentang hal-hak politik,
yaitu yang berhubungan dengan urusan-urusan hukum dan administratif Negara: “
Sesungguhnya orang-orang kafir dzimmi tidak boleh menjadi majelis permusyawaratan.
Dari itu dapat kita pahami menurut pendapat beliau tidak boleh memberikan “hak dipilih”
untuk non muslim di Negara Islam, dan ia tidak memberikan pendapat apa-apa tentang
“hak memilih”, juga tidak memberikan alasan atas sikap itu.30

Adapun menurut sudut pandang Al-Maududi seorang pakar fiqih berkebangsaan


fakistan, tentang tema dua hak politik ini dan tentang dalil-dalil apa yang dia ucapkan,
tersimpul:”Bahwa orang-orang yang tidak beriman dengan asas-asas Islam tidak berhak
29
Farid Abdul Khaliq, Fikih Politik Islam, (Amzah: Jakarta). Hal 179
30
Ibid. hal 182
menjadi anggota majelis permusyawaratan, sebagaimana mereka tidak berhak memilih
anggota majelis itu. Tetapi boleh memberikan mereka hak menjadi anggota dan hak
memberi suara pada majelis permusyawaratan daerah, sebab tugas dewan ii tidak
mencakup dengan sistem kehidupa, tetapi hanya mengatur urusan-urusan untuk
mewujudkan kebutuhan-kebutuhan primer religional. Mereka juga boleh membentuk
dewa parlemen sendiri untuk memudahkan mereka dalam urusan-urusan administrasi
Negara. Keanggotaan dewan tersendiri ini dan hak memberi suara di dalamnya murni
untuk non muslim saja.31 Dan dikarenakansalah satu syarat yang harus dilengkapi bagi
seorang pemimpin di Negara muslim adalah beragama Islam, maka orag kafir tidak boleh
memangku jabatan kepemimpinan atas kaum muslimin. Karena ayat Al-Qur’an
menegaskan:32

‫َيَأ ُّيَها اَّلِذ ْيَن َاَم ُنْو ا َأِط ْيُعوا َهَللا َو َأِط ْيُعْو ا الَّر ُسْو َل َو ُأْو ِلى اَاْلْم ِر ِم ْنُك ْم‬

“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil
amri diatara kamu….. (An-Nisa; 59)

Kata “diantara kamu”sambil ditujukkan atas kaum beriman menunjukkan bahwa


seorang pemimpin atas orang muslimin harus juga seorang muslim. Terutama baiatnya
mewajibkan dia untuk mengaplikasikan syariat Allah kepada hamba-hambaNya.33

PENUTUP

Kesimpulan dan saran:

Ahlus sunnah membolehkan bermuamalah dengan dengan orang kafir,


sebagaimana dilakukan oleh Rasulullah SAW dan para sahabat. Diantara muamalah yang
dibolehkan menurut syariat adalah:
31
Ibid. hal 182-183
32
Ali Abdul Halim Mahmud, Fiqhul Mas’uliyyah Fil-Islami, (Gema Insani: Jakarta). Hal 180
33
Ibid. hal 180
1. Boleh melakukan transaksi dengan mereka dalam perdagangan, sewa menyewa
dan jual beli barang,
2. Wakaf mereka dibolehkan selama pada hal-hal di mana wakaf kaum muslimin
dibolehkan.
3. Boleh memberi pinjaman atau meminjam dari mereka
4. Haram mengizinkan mereka untuk membangun rumah ibadah begi mereka di
negeri Muslim.
5. Orang Dzimmi (non-muslim yang berada di negeri muslim) dan Mu-ahad(non-
muslim yang memiliki perjanjian dama dengan negeri muslim) tidak boleh
diganggu selama mereka melaksanakan kewajiban mereka dan tetap mematuhi
perjanjian.

seorang muslim dilarang mengucap salam kepada selain muslim, dan juga untuk
menunjukkan izzah (harga diri) seorang muslim dan rendahnya orang selain mereka.
apabila ingi mengucap salam kepada orang non muslim, maka bisa dilakukan dengan
selain ucapan salam. Misalnya dengan mengatakan, semoga Allah memberimu petunjuk,
atau semoga Allah membuat pagimu menyenangkan.

Terhadap pemeluk agama lain, kaum muslimin diperintahkan agar bersikap


toleransi. Sikap toleran terhadap non-muslim itu hanya terbatas pada urusan yang bersifat
duniawi, tidak menyangkut masalah aqidah, syariah, dan ibadah

Soal akidah, di antara tauhid mengesakan Allah, sekali-kali tidaklah dapat


dikompromikan atau dicampur adukkan dengan syirik. Karena, tauhid jika telah
didamaikan dengan syirik, maka artinya ialah kemenangan syirik.

Umat Islam harus bersikap tegas terhadap orang-orang kafir, yaitu kaum kuffar
(yang memerangi, yang membenci, dan memerangi umat Islam).

Sudah dikatakan di dalam surat An-Nisa “Hai orang-orang yang beriman,


taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri diatara kamu.”

Kata “diantara kamu”sambil ditujukkan atas kaum beriman menunjukkan bahwa


seorang pemimpin atas orang muslimin harus juga seorang muslim. Terutama baiatnya
mewajibkan dia untuk mengaplikasikan syariat Allah kepada hamba-hambaNya. Di sini
jelas bahwa kita diperintahkan untuk mematuhi para pemimpin di antara kita, yaitu para
pemimpin-pemimpin dari kalangan orang-orang muslim.

Saran: kita umat muslim diajarkan untuk saling tolong menolong dan hidup
toleransi. Jadi, kita bisa untuk hidup saling tolong menolong, bermuamalah dan
bertolerangsi dengan orang-orang non muslim selama mereka masih tidak mengganggu
kehidupan kita, dan tidak menghina agama kita. Tapi, walau bagaimana pun kita tetap
tidak bisa bertoleransi dalam hal akidah, syaria’ah dan ibadah. Karena walau pun
dilandaskankan kata bertoleransi, tetap saja bagimu agamamu dan bagiku agamaku.

DAFTAR PUSTAKA

Al-Munawar, Said Agil Husin. Fikih Hubungan Antar Agama. Ciputat Press: Jakarta.
2004.
Asy-Syalhub, Fuad Abdul Aziz dan Harist bin Zaidan Al-Muzaidi. Panduan Etika
Muslim. Pustaka eLBA: Lebanon. 2011
https://almanhaj.or.id, Rabu 05-12-2018, jam 20:36:40
https://inilahrisalahislam.blogspot.com, Jum’at 07-12-2018, jam21.09
Khaliq, Farid Abdul. Fikih Politik Islam. Amzah: Jakarta.

Mahmud, Ali Abdul Halim. Fiqhul Mas’uliyyah Fil-Islami. Gema Insani: Jakarta. 2000
Nawawi, Imam. Syarah dan Terjemahan Riyadhus Shalihin. Gema Insani
Press: Jakarta. 2008
Qardhawi, Yusuf. Fatwa-fatwa Kontemporer. Darul Ma’rifah: Beirut-Lebanon. 1988.

Qardhawi, Yusuf. Halal dan Haram. Darul Ma’rifah Ad-Darul Baidha’: Jakarta. 2008.
Repository.uinjkt.ac.id>dspace>bitstream. Senin, 26 November 2018, jam 13.43

Anda mungkin juga menyukai