Anda di halaman 1dari 22

MAKALAH MASAIL FIQIYYAH

Dosen: Dr. Ahmad Sudirman Abbas M.Ag


(Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Masail Fiqiyyah)

Disusun oleh:
Kelompok 2
Abdul Bais : 11180430000027
Muhammad Syurabil : 11180430000060
Muhammad alfi A.R : 11180430000040
M Afadil Al Anshory : 11190454000051
Dewi Mulya : 11180430000016

PROGRAM STUDI PERBANDINGAN MAZHAB


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2021
KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim,

Alhamdulilah puji dan syukur penulis ucapkan atas kehadirat Allah Swt, yang telah
memberikan rahmat dan juga karunianya, sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah
yang berjudul “ Perkawinan Beda Agama”. Makalah ini bertujuan untuk memenuhi tugas
mata kuliah Masail Fiqhiyyah.Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Dr. Ahmad
Sudirman Abbas, M.Ag. selaku dosen pengampu mata kuliah Masail fiqhiyyah yang telah
membimbing dalam penyelesaian makalah ini. Penulis menyadari sepenuhnya bahwa masih
banyak kekurangan yang terdapat pada makalah ini. Oleh karena itu penulis menerima
kritikan dari para pembaca agar kami dapat melakukan perbaikan pada makalah selanjutnya.

Jakarta , 26 Maret 2021

Penulis
DAFTAR ISI
BAB I
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Hubungan antar umat beragama telah lama menjadi isu yang populer di Indonesia.
Popularitas isu tersebut sebagai konsekuensi dari masyarakat Indonesia yang majemuk,
khususnya dari segi agama dan etnis. Karena itu, persoalan hubungan antar umat beragama
ini menjadi perhatian dari berbagai kalangan, Tidak hanya itu, bahkan hal ini sering
menimbulkan polemik dikalangan masyarakat maupun pemerintah.
Seringkali kita lihat di tengah masyarakat, apalagi di kalangan orang berkecukupan dan
entertainer, terjadi pernikahan beda agama. Entah si pria yang muslim menikah dengan
wanita non muslim (nashrani, yahudi, atau agama lainnya) atau barangkali si wanita yang
muslim menikah dengan pria non muslim. Hal ini sering menjadi pemicu munculnya trend
baru dikalangan masyarakat mulai dari berpindahnya keyakinan seseorang, hingga mereka
harus pindah kewarganegaraan demi tercapainya keinginan mereka.
Namun, kadang kita hanya mengikuti pemahaman sebagian orang yang sangat
mengagungkan pernikahan perbedaan agama (pemahaman yang bersifat liberal), atau kata
lainnya kita mem-bebek. Tanpa tahu bagaiamana itu semua terjadi dan bagaimana seharusnya
aturan dari hal tersebut. Khususnya menurut aturan Hukum Islam. Oleh karena itu, karya tulis
ilmiah ini kami buat guna mengetahui bagaimana perkawinan beda agama atau keyakinan ini,
menurut perspektif Hukum.

2. Rumusan Pembahasan
A. Seperti Apa Perkawinan Beda agama Menurut Islam?
B. Apa Pengertian Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Non Muslim ?
C. Apa Saja Dampak Negatif dan Positif Perkawinan Campuran ?
D. Apa Pandangan Islam tentang Perkawinan Campuran ?

3. Tujuan Penulisan
A. Supaya Mengetahui Perkawinan Beda agama Menurut Islam
B. Supaya Mengetahui Perkawinan Laki-laki Muslim dengan Non Muslim
C. Mengetahui Dampak dari Perkawinan Campuran
D. Mengetahui Apa Pandangan Islam terhadap Perkawinan Campuran
BAB II
PEMBAHASAN

A. Pengertian dan Hukum Nikah dalam Islam


Nikah dalam Bahasa Arab bermakna (al-wath’u) yakni bersetubuh/berhubungan intim 1 atau
juga bisa bermakna penyambungan atau penghubungan2 . Sementara menurut kamus
munawwir, arti lafaz nikah ialah berkumpul atau menindas, setubuh dan senggama. 3 Nikah
secara Terminologi di kalangan ulama ushul berkembang dua macam pendapat tentang arti
lafaz nikah,yaitu: Nikah menurut arti aslinya (arti hakiki) adalah setubuh dan menurut arti
majazi (metaforis) adalah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin antara
pria dan wanita; demikian menurut golongan Hanafi.
Nikah menurut arti aslinya ialah akad yang dengan akad ini menjadi halal hubungan kelamin
antara pria dan wanita, sedangkan menurut arti majazi ialah setubuh, demikian menurut ahli
ushul golongan Syafi’iyah4. Meski pendapat diatas mengemukakan bahwa pada dasarnya
pernikahan adalah akad yang diatur oleh agama untuk memberikan lakilaki hak memiliki
penggunaan faraj (kemaluan) wanita dan seluruh tubuhnya untuk berhubungan badan atau
merupakan sesuatu yang hanya berurusan dengan duniawi saja, akan tetapi perkawinan dalam
Islam memiliki pandangan bahwa pernikahan tidak hanya pengaturan aspek biologis semata,
melainkan persoalan psikologis, sosiologis, dan teologis5. Karena didalam pernikahan,
terdapat pertanggungjawaban kepada istri dan anak, masyarakat bahkan kepada Allah.
Hukum pernikahan menurut jumhur ulama’ adalah sunnah, sementara menurut pendapat
sebagian besar pengikut Maliki menyatakan bahwa hukum pernikahan sunnah, sementara
sebagian yang lain menyatakan wajib dan sebagian lain menyatakan mubah6. Perbedaan
pendapat tersebut dikarenakan adanya shighat amr (tanda perintah) dalam firman Allah swt,
QS an-Nisa:4 yang berbunyi: “…fankihuu maa thoobalakum mina annisaa…”.7 Selain itu
juga ada hadist nabi Muhammad SAW yang mengatakan: “ tanaakahuu fa inni mukatsirun
bikumul umam”8 Tanda perintah dua dasar hukum dalam Islam inilah yang menyebabkan
terjadinya perbedaan pendapat dalam hukum pernikahan menurut penganut mazhab Maliki.

B. Perkawinan Beda Agama Menurut Islam


Dalam pandangan Islam, deskripsi kehidupan suami-istri yang tentram akan dapat
terwujud, bila pasangan suami-istri tersebut memiliki keyakinan agama yang sama. Sebab
keduanya berpegang teguh untuk melaksanakan satu ajaran agama, yakni Islam. Tetapi
sebaliknya, jika suami istri berbeda agama, maka akan timbul berbagai kesulitan dalam

1
Zuhdi Muhdhor, Kamus Kontemporer (alAshri) Arab- Indonesia, (Yogyakarta : Multi Karya Grafika, 2003), hlm.
1943
2
Ibid, hlm: 1026
3
A. W. Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Surabaya: Pustaka Progressif,2002), hlm.
1461
4
Abdurrahman al-Jaziri, al-Fiqh ‘Ala alMadzahib al-Arba’ah, (Beirut: Dar al Fikr, t.th), Juz. IV, hlm. 3
5
Karsayuda, Perkawinan Beda Agama, (Yogyakarta :Total Media Yogyakarta, 2006), hlm.69.
6
Imam al-Qodhi, Bidayatul Mujtahid wa Nihayatul Muqtashid, (Beirut :Dar al Fikr,2008), juz II, hlm. 3
7
Al-Qur’an dan terjemahanya, QS. an-Nisa: 3
8
Imam Qodhi, Op. Cit, hlm. 3
lingkungan keluarga. Misalnya dalam hal pelaksanaan ibadah, pendidikan anak, pengaturan
tatakrama makan atau minum, pembinaan tradisi keagamaan dan lain sebagainya.
Oleh karena itu, dalam rangka memilih seorang calon suami atau istri, agama Islam
menganjurkan hendaknya didasari oleh norma agama atau moral. Dalam hal ini, seorang
calon suami atau istri tersebut haruslah dipilih bukan karena materi atau derajat semata-mata.
Sebagaimana yang telah disabdakan oleh Rasulullah SAW: “Janganlah kamu kawini
perempuan-perempuan itu karena kecantikannya, karena kecantikannya itu mungkin akan
menghinakan mereka. Dan janganlah kamu kawini mereka itu sebab harta bendanya,
mungkin karena harta bendanya itu mereka jadi sombong. Namun kawinilah mereka itu
karena dasar agama. Sesungguhnya budak wanita berkulit hitam yang mempunyai agama
lebih baik kamu kawini daripada mereka itu.”9
Hukum Islam melarang mutlak perkawinan beda agama bagi wanita Islam. Para ulama
sepakat mengatakan haram hukumnya seorang muslimah menikah dengan seorang lelaki
bukan muslim (baik musyrik atau ahli kitab). Hukum ini didasarkan pada dalil-dalil berikut:
1. Surat Al-Mumtahanah ayat (10):

ٍ ‫ت فَا ْمتَ ِحنُوه َُّن ۖ هَّللا ُ أَ ْعلَ ُم بِإِي َمانِ ِه َّن ۖ فَإِ ْن َعلِ ْمتُ ُموه َُّن ُم ْؤ ِمنَا‬
‫ت‬ ٍ ‫َات ُمهَا ِج َرا‬ ُ ‫يَا أَيُّهَا الَّ ِذينَ آ َمنُوا إِ َذا َجا َء ُك ُم ْال ُم ْؤ ِمن‬
‫َاح َعلَ ْي ُك ْم أَ ْن‬
َ ‫ار ۖ اَل ه َُّن ِح ٌّل لَهُ ْم َواَل هُ ْم يَ ِحلُّونَ لَه َُّن ۖ َوآتُوهُ ْم َما أَ ْنفَقُوا ۚ َواَل ُجن‬ ِ َّ‫فَاَل تَرْ ِجعُوه َُّن إِلَى ْال ُكف‬
‫ص ِم ْال َك َوافِ ِ•ر َواسْأَلُوا َما أَ ْنفَ ْقتُ ْم َو ْليَسْأَلُوا• َما أَ ْنفَقُوا ۚ ٰ َذلِ ُك ْم ُح ْك ُم‬َ ‫تَ ْن ِكحُوه َُّن إِ َذا آتَ ْيتُ ُموه َُّن أُجُو َره َُّن ۚ َواَل تُ ْم ِس ُكوا بِ ِع‬
‫علِي ٌم ح َح ِكيم‬ َ ُ ‫هَّللا ِ ۖ يَحْ ُك ُم بَ ْينَ ُك ْم ۚ َوهَّللا‬
“Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, Maka hendaklah kamu uji (keimanan) mereka. Allah lebih mengetahui tentang
keimanan mereka;maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka (benar-benar) beriman
Maka janganlah kamu kembalikan mereka kepada (suami-suami mereka) orang-orang kafir.
Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada halal pula bagi
mereka. Dan berikanlah kepada (suami suami) mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan
tiada dosa atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan
janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir;
dan hendaklah kamu minta mahar yang telah kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta
mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah yang ditetapkanNya di antara
kamu. Dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”.

2. Surat al-Baqarah ayat (221) yang artinya:


“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.
Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun Dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedang

9
Ghofar Abdul Asyhari, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam, Kristen Dan Undang-
undang Perkawinan, (Jakarta: CV. Gramada. 1992). 63
Allah mengajak ke syurga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-
ayatNya (perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”[3]
Firman Allah di atas menegaskan kepada kita untuk tidak menikahkan wanita Islam
dengan laki-laki bukan Islam. Keharamannya bersifat mutlak, baik laki-laki musyrik atau
ahli kitab.[4]
Sedangkan hukum pria muslim menikah dengan wanita non-muslim adalah; (1) menikah
dengan wanita musyrikah para ulamak sepakat hukumnya adalah haram. (2) menikah dengan
wanita ahli kitab para ulamak berbeda pendapat. Perbedaan pendapat tersebut dapat
digolongkan:[5]
a) Menghalalkan.
Golongan yang menghalalkan yang di dalamnya termasuk Jumhur Ulamak ialah didasarkan
pada; pertama surat Al-Maidah ayat (5), disitu dijelaskan bahwa seorang pria yang beragama
Islam boleh atau halal menikah dengan seorang wanita yang beriman dan yang menjaga
kehormatannya diantara orang-orang yang diberi al-Kitab oleh Allah sebelum kerasulan Nabi
Muhammad saw.
Dasar yang kedua ialah sejarah menunjukkan bahwa beberapa Sahabat Nabi saw pernah
menikahi wanita Ahli Kitab, salah satunya adalah Thalhah ibnu Ubaidillah.[6]
b) Melarang secara mutlak (mengharamkan)
Golongan kedua ini berpendirian bahwa haram hukumnya pria muslim menikah dengan
wanita Ahli Kitab. Yang terkemuka dari kalangan sahabat dalam golongan ini adalah
Abdullah ibnu Umar. Menurut beliau, “Sesungguhnya Allah mengharamkan wanita-wanita
musyrik bagi kaum muslimin. Aku tidak tahu, syirik manakah yang lebih besar daripada
seorang perempuan yang berkata bahwa Tuhannya adalah Isa, sedangkan Isa adalah seorang
diantara hamba Allah”. Dalil yang dipegang oleh golongan ini adalah sebagai berikut:
1) Firman Allah dalam penggalan ayat 221 surat Al-Baqarah:

ِ ‫ ۚ َواَل تَ ْن ِكحُوا• ْال ُم ْش ِر َكا‬..................


‫ت َحتَّ ٰى ي ُْؤ ِم َّن‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka
beriman……………………………” (Al-Baqarah:221)

2) Firman Allah dalam penggalan ayat 10 surat Al-Mumtahanah yang artinya:


“………… Dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir…………..” (Al-Mumtahanah:10)
Kedua ayat ini jelas melarang kita menikahi perempuan-perempuan kafir. Ahlul Kitab
termasuk golongan orang kafir musyrik—karena orang Yahudi menuhankan ‘Uzer, dan orang
Nashrani menuhankan ‘Isa ibnu Maryam. Dan perlu diketahui bahwa dosa syirik tidak
diampuni oleh Allah SWT bahkan sampai mereka mati, kecuali mereka bertaubat kepada
Allah.[7]
c) Membolehkan dengan syarat-syarat tertentu
Ini didasarkan pada pendapat Yusuf Al-Qardlawi yakni kebolehan menikah dengan wanita
kitabiyah tidaklah bersifat mutlak, tetapi terikat dengan ikatan-ikatan (quyud) yang wajib
untuk diperhatikan, yaitu : (1) Kitabiyah ini benar-benar berpegang pada agama samawi;
tidak ateis, tidak murtad dan tidak beragama selain agama samawi. (2) Wanita kitabiyah yang
muhshonah (memelihara kehormatan diri dari perbuatan zina). (3) Ia bukan wanita kitabiyah
yang kaumnya berada dalam setatus permusuhan dengan kaum muslimin. Untuk itu perlu
dibedakan antara kitabiyah dzimmiyah dan harbiyah. Dzimmiyah boleh sedangkan Harbiyah
dilarang dinikahi. (4) Di balik pernikahan dengan kitabiyah itu tidak akan terjadi ‘fitnah’,
yaitu mafsadah atau kemudaratan. Makin besar kemungkinan terjadinya kemudaratan, makin
besar pula tingkat larangan dan keharamannya. Nabi pernah berkata: La darara wala dirara
(tidak bahaya dan tidak membahayakan).[8] Atau seperti kaidah fiqih yang berbunyi:

‫ح‬ َ ‫ب ْال َم‬


ِ ِ‫صال‬ ِ ‫اس ِد أَوْ لَى ِم ْن َج ْل‬
ِ َ‫ َدرْ ُء ْال َمف‬.
“menolak keburukan (mafsadah) lebih diutamakan dari pada meraih kebaikan (maslahah)”.
[9]
Sedangkan, menurut kelompok penerjemah dan penafsir Departemen Agama Republik
Indonesia menyampaikan bahwa, dihalalkan bagi laki-laki mukmin mengawini perempuan
”Ahli al-Kitab” dan tidak dihalalkan mengawini perempuan kafir lainnya.

 Perkawian antara Muslim dan Nonn Muslim menurut Mazhab Empat

1). Mazhab Hanafi.


Iman Abu Hanifah berpendapat bahwa perkawinan antara pria muslim dengan
wanita musyrik hukumnya adalah mutlak haram, tetapi membolehkan mengawini wanita
ahlul kitab (Yahudi dan Nasrani), sekalipun ahlul kitab tersebut meyakini trinitas, karena
menurut mereka yang terpenting adalah ahlul kitab tersebut memiliki kitab samawi. Menurut
mazhab ini yang dimaksud dengan ahlul kitab adalah siapa saja yang mempercayai seorang
Nabi dan kitab yang pernah diturunkan Allah SWT, termasuk juga orang yang percaya
kepada Nabi Ibrahim As dan Suhufnya dan orang yang percaya kepada nabi Musa AS dan
kitab Zaburnya, maka wanitanya boleh dikawini.
Bahkan menurut mazhab ini mengawini wanita ahlul kitab zimmi atau wanita
kitabiyah yang ada di Darul Harbi adalah boleh, hanya saja menurut mazhab ini, perkawinan
dengan wanita kitabiyah yang ada didarul harbi hukumnya makruh tahrim, karena akan
membuka pintu fitnah, dan mengandung mafasid yang besar, sedangkan perkawinan dengan
wanita ahlul kitab zimmi hukumnya makruh tanzih, alasan mereka adalah karena wanita ahlul
kitab zimmi ini menghalalkan minuman arak dan menghalalkan daging babi.

2). Mazhab Maliki.


Mazhab Maliki tentang hukum perkawinan lintas agama ini mempunyai dua pendapat
yaitu : pertama, nikah dengan kitabiyah hukumnya makruh mutlak baik dzimmiyah ( Wanita-
wanita non muslim yang berada di wilayah atau negeri yang tunduk pada hukum Islam)
maupun harbiyah, namun makruh menikahi wanita harbiyah lebih besar. Aka tetapi jika
dikhawatirkan bahwa si isteri yang kitabiyah ini akan mempengaruhi anak-anaknya dan
meninggalkan agama ayahnya, maka hukumnya haram. Kedua, tidak makruh mutlak karena
ayat tersebut tidak melarang secara mutlak. Metodologi berpikir mazhab Maliki ini
menggunakan pendektan Sad al Zariah (menutup jalan yang mengarah kepada
kemafsadatan). Jika dikhawatirkan kemafsadatan yang akan muncul dalam perkawinan beda
agama, maka diharamkan.

3). Mazhab Syafi’i.


Demikian halnya dengan mazhab syafi’i, juga berpendapat bahwa boleh menikahi
wanita ahlul kitab, dan yang termasuk golongan wanita ahlul kitab menurut mazhab Syafi’i
adalah wanita-wanita Yahudi dan Nasrani keturunan orang-orang bangsa Israel dan tidak
termasuk bangsa lainnya, sekalipun termasuk penganut Yahudi dan Nasrani. Alasan yang
dikemukakan mazhab ini adalah :
(1). Karena Nabi Musa AS dan Nabi Isa AS hanya diutus untuk bangsa Israel, dan bukan
bangsa lainnya.
(2). Lafal min qoblikum (umat sebelum kamu) pada QS. Al-Maidah ayat 5 menunjukkan
kepada dua kelompok golongan Yahudi dan Nasrani bangsa Israel.
Menurut mazhab ini yang termasuk Yahudi dan Nasrani adalah wanita-wanita yang
menganut agama tersebut sejak semasa Nabi Muhammad selum diutus menjadi Rasul yaitu
semenjak sebelum Al-Qur’an diturunkan, tegasnya orang-orang yang menganut Yahudi dan
Nasrani sesudah Al-Qur’an diturunkan tidak termasuk Yahudi dan Nasrani kategori Ahlul
Kitab, karena tidak sesuai dengan bunyi ayat min qoblikum tersebut.

4. Mazhab Hambali.
Pada mazhab Hambali mengenai kajiannya tentang perkawinan beda agama ini,
mengemukakan bahwa haram menikahi wanita-wanita musyrik, dan bolek menikahi wanita
Yahudi dan Narani. Kelompok ini dalam kaitan masalah perkawinan beda agama tersebut
banyak mendukung pendapat gurunya yaitu Imam Syafi’i. Tetapi tidak membatasi bahwa
yang termasuk ahlul kitab adalah Yahudi dan Nasrani dari Bangsa Israel. Saja, tapi
menyatakan bahwa wanita-wanita yang menganut Yahudi dan Nasrani sejak saat Nabi
Muhammad belum diutus menjadi Rasul.10
 Nash Tentang Perkawinan Beda Agama

10
Muhammad Daud Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.,
Di dalam al-Qur’an dan Hadis perkawinan dengan beda keyakinan masih diperdebatkan,
meski terdapat pengecualian untuk Ahli Kitab. Hal ini disebutkan dalam beberapa ayat dalam
al-Qur’an, antara lain:
a. Surat Al-Baqarah ayat 221

َ‫ت َحتَّ ٰى ي ُْؤ ِم َّن ۚ َوأَل َ َمةٌ ُم ْؤ ِمنَةٌ خَ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر َك ٍة َولَوْ أَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۗ َواَل تُ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ِكين‬ ِ ‫َواَل تَ ْن ِكحُوا• ْال ُم ْش ِر َكا‬
‫ار ۖ َوهَّللا ُ يَ ْدعُو إِلَى ْال َجنَّ ِة‬
ِ َّ‫ك يَ ْد ُعونَ إِلَى الن‬ َ ِ‫ك َولَوْ أَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ أُو ٰلَئ‬ ٍ ‫َحتَّ ٰى ي ُْؤ ِمنُوا• ۚ َولَ َع ْب ٌد ُم ْؤ ِم ٌن َخ ْي ٌر ِم ْن ُم ْش ِر‬
ِ َّ‫َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِإِ ْذنِ ِه ۖ َويُبَيِّنُ آيَاتِ ِه لِلن‬
َ‫اس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُون‬
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman. Sungguh,
hamba sahaya wanita yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia menarik
hatimu. Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-wanita
mukmin) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba sahaya yang mukmin lebih baik dari
orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah
mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya. Dan Allah menerangkan ayat-ayat-Nya
(perintah-perintah-Nya) kepada manusia supaya mereka mengambil pelajaran.”

Ayat tersebut menjelaskan bahwa; orang musyrik dan kafir tidak boleh dinikahi oleh orang
Muslim, demikian pula Ahl Kitab pada zaman sekarang, karena dianggap melenceng dari
ayat tersebut. Pada zaman dulu mereka sudah mengakui bahwa Nabi Isa sebagai anak Allah
(untuk orang Nasrani) dan Uzair sebagai anak Allah (untuk orang Yahudi), artinya mereka
sudah kafir. Maka Ahl Kitab tidak diperkenankan menikahi wanita mukmin, demikian pula
sebaliknya pria mukmin tidak boleh menikahi Ahl Kitab.

Dari ayat tersebut dapat ditarik benang merah bahwa janganlah kalian menikahi wanita-
wanita musyrik, selama mereka masih berada dalam kemusyrikatannya.
Dalam perspektif historisnya, asbab al-nuzul surat Al-Baqarah 221 tersebut menjadi polemik
di kalangan ahli tafsir al-Qur’an dari generasi ke genarasi. Hal ini dipicu oleh adanya dua
periwayatan yang berbeda mengenai sebab turunnya ayat tersebut.
Pertama, Ibnu al-Munzhir, Ibnu Abi Hatim, dan al-Wahidi dari Muqatil meriwayatkan
bahwa ayat ini diturunkan berkaitan dengan kasus Abu Martsad alGhanawi atau Martsad bin
Abi Martsad, seorang laki-laki anggota persekutuan Bani Hasyim yang diutus Rasulullah ke
Makkah untuk membantu mengevakuasi orangorang Muslim secara rahasia. Dahulu, ketika
masih jahiliyah (di Makkah), ia memeliki seorang kekasih bernama Inaq. Tapi, setelah masuk
Islam Martsad meninggalkan kekasihnya tersebut. Pada suatu saat, kekasihnya mendatangi
Martsad dan menanyakan alasan mengapa ia meninggalkannya. Martsad menjawabnya
dengan mengatakan bahwa Islam melarang hubungan kita sambil menegaskan bahwa ia akan
meminta izin pada Rasulullah untuk mengawininya. Mendengar jawaban itu, Inaq kecewa,
menjerit, dan datanglah orang-orang memukuli Martsad dengan pukulan keras lalu
membiarkannya pergi. Setelah menyelesaikan tugasnya di Makkah dia menghadap Rasulullah
saw. Dan meminta izin untuk mengawini Inaq. Lalu turunlah ayat ini.
Kedua, al-Wahidi meriwayatkan dari jalur al-Suddi dari Malik dari Ibnu Abbas, dia berkata,
“Ayat ini berkaitan dengan seorang sahabat Abdilah bin Rawahah yang datang kepada
Rasulullah menceritakan perbuatannya yang telah memukul hamba perempuannya yang
berkulit hitam kelam dan jelek karena marah. Dia merasa menyesal dan meminta petunjuk
Rasulullah.” Rasulullah bertanya, “Bagaimana keadaan hamba sahaya tersebut?” Abdillah
menjawab bahwa budaknya itu seorang muslimah yang taat. Rasulullah kembali berkata,
“Wahai Abdillah, dia itu adalah seorang yang beriman”. Maka Abdilah menimpali, “Demi
Zat yang mengutusmu dengan hak, aku akan memerdekakannya dan menikahinya”. Peristiwa
tersebut memancing penghinaan dan rasa sinis dari masyarakat, karena menganggap Abdillah
menikahi budaknya yang hina dan jelek. Sehubungan dengan hal tersebut turunlah wahyu
Allah tersebut.

 Adapun hukum pernikahan beda agama, yaitu:

a. Muslimah menikah dengan laki-laki lain

Permpuan muslimah tidak boleh nikah dengan laki-laki lain, baik dia itu ahli kitab ataupun
lainnya dalam situasi dan keadaan apapun. Seperti firman Allah:
“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.” (Q.S.
al-Baqarah: 221)11

Selain hukum pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat mengenai
hukum nikah beda agama, antara lain:

1. Menurut Sayid Sabiq, mengatakan bahwa ulama’ fiqih sepakat mengharamkan


perkawinan perempuan muslim dengan pria non muslim dari golongan manapun.

2. Menurut Ali ash-Shabuni dalam Q.S. al-Mumthahanah ayat 10, mengandung


kemutlakan yang mencakup juga ahli kitab dan non muslim lainnya termasuk murtad
dari Islam.

3. Menurut Maulana Muhammad Ali, mengatakan bahwa al-Qur’an sebenarnya tidak


menyebutkan secara tegas larangan perkawinan wanita muslim dengan pria non
muslim.

4. Menurut Mahmoud Muhammad Toha, berpendapat bahwa larangan pengharaman


perkawinan model ini karena dependensi wanita kepada pria terutama dalam bidang
ekonomi dan keamanan.

11
Syekh Muhammad Yusuf Qardlawi, Halal dan Haram dalam Islam (Bangil: PT. Bina Ilmu, 1976), hlm.252.
5. Menurut Zainun Kamal, berpendapat bahwa wanita muslim boleh menikah dengan
pria non muslim manapun selain pria kafir musyrik quraisy.12

b. Lelaki muslim menikah dengan perempuan non muslim

Pernikahan seorang lelaki muslim dengan perempuan non muslim terbagi atas 2 macam:

1. Lelaki muslim menikah dengan perempuan ahli kitab.

Jika wanita haram menikah dengan laki-laki non muslim termasuk laki-laki ahli
kitab, tidak demikian halnya dengan laki-laki muslim. Para lelaki muslim hukumnya
mubah menikahi perempuan dari komunitas ahli kitab, yaitu komunitas yahudi dan
nasrani. Diluar dua komunitas ini laki-laki muslim pun haram menikahinya. Firman
Allah
“Makanan (sembelihan) orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan
makanan kamu halal (pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum kamu, bila
kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya gundik-gundik.” (Q.S. al-Maidah : 5)13

Menurut Yusuf al-Qardlawi berpendapat tentang bolehnya seorang lelaki muslim


menikah dengan perempuan kitabiyah, sifatnya tidak mutlak, tetapi dengan beberapa
syarat yang wajib diperhatikan, yaitu:

1. Kitabiyah itu benar-benar berpegang pada ajaran Samawi. Tidak ateis, tidak murtad
dan tidak beragama yang bukan agama Samawi.

2. Wanita kitabiyah yang muhshanah.

3. Ia bukan kitabiyah yang kaumnya berada pada status permusuhan atau peperangan
dengan kaum muslimin.

4. Dibalik perkawinan dengan kitabiyah itu tiak akan terjadi fitnah, yaitu mafsadat atau
kemurtadan (keluar dari agama Islam). Makin besar kemungkinan terjadinya

12
Raja 1987.blogspot.com/…/kajian-perkawinan-beda-agama-menurut.html
13
Isson Khairul, Menikah dengan Ahli Kitab (Anggun, 2008), hlm. 82.
kemurtadan makin besar tingkat larangan dan keharamannya. Nabi Muhammad SAW
pernah menyatakan “tidak bahaya dan tidak membahayakan”.

Walaupun hukumnya mubah, mesti diperhatikan bahwa ada beberapa keburukan


yang akan terjadi manakala seorang lelaki muslim menikah dengan wanita non muslim,
antara lain:

1. Akan berpengaruh kepada perimbangan antara wanita Islam dengan laki-laki muslim.
Akan lebih banyak wanita Islam yang tidak kawin dengan laki-laki muslim yang
belum kawin. Sementara itu poligami diperketat yang malah laki-laki yang kawin
dengan wanita nasrani sesuai dengan ajaran agamanya serta tidak mungkin
menyetujuinya suaminya berpoligami.

2. Suami mungkin terpengaruh oleh agama istrinya. Demikian pula anak-anaknya. Bila
hal ini terjadi maka benar-benar menjadi kenyataan.

3. Perkawinan dengan non muslimah akan menimbulkan kesulitan hubungan suami istri
dan kelangsungan pendidikan anak-anaknya. Lebih-lebih jika lelaki muslim dan
wanita kitabiyah berbeda tanah air, bahasa, dan budaya.

Para ulama’ berbeda pendapat mengenai hukum perkawinan pria muslim dengan
wanita ahli kitab:

1. Menurut pendapat jumhur ulama’ baik hanafi, maliki, syafi’i, maupun


hambali, seorang pria muslim diperbolehkan kawin dengan wanita ahli kitab
yang berada dalam lindungan (kekuasaan) Negara Islam (ahli dzimmah).
Pendapat ini berdasarkan firman Allah SWT yang berbunyi:

“Pada hari Ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. makanan (sembelihan)


orang-orang yang diberi Al Kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal
(pula) bagi mereka. (dan dihalalkan mangawini) wanita yang menjaga
kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi Al Kitab sebelum
kamu, bila kamu Telah membayar mas kawin mereka dengan maksud
menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan tidak (pula) menjadikannya
gundik-gundik. barangsiapa yang kafir sesudah beriman (Tidak menerima
hukum-hukum Islam) Maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat
termasuk orang-orang merugi.”(Al-Maidah: 5)
2. Golongan syiah imamiyah dan syiah zaidiyah berpendapat bahwa pria muslim
tidak boleh kawin dengan wanita ahli kitab. Golongan ini melandaskan
pendapatnya pada dalil:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka


beriman”. (al-Baqarah: 221)

Golongan ini berpendapat bahwa wanita-wanita ahli kitab itu termasuk kafir, karena wanita-
wanita ahli kitab itu telah musyrik (menyekutukan Allah). Firman Allah:

“...dan janganlah kamu tetap berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-
perempuan kafir; ...”(al-Mumtahanah: 10)

Kemudian dikalangan jumhur ulama’ yang memperbolehkan kawin dengan ahli kitab, juga
berpendapat:

 Sebagian mazhab hanafi, maliki, syafi’i dan hambali mengatakan bahwa hukum
perkawinan itu makruh.

 Menurut pendapat sebagian mazhab maliki, ibnu qasim, khalil, mengatakan bahwa
perkawinan itu diperbolehkan secara mutlak dan ini merupakan pendapat.
 Az-Zarkasyi (mazhab syafi’i) mengatakan bahwa pernikahan itu disunnahkan, apabila
wanita ahli kitab itu diharapkan dapat masuk Islam. Sebagai contohnya adalah
perkawinan Usman bin Affan dengan Nailah, sebagaimana telah dikemukakan
sebelum ini. Sebagian mazhab syafi’i pun ada yang berpendapat demikian. 14

c. Lelaki muslim menikah dengan perempuan non ahli kitab.

Dalam hal ini banyak ulama’ yang melarang dengan dasar Q.S. al-Baqarah ayat 221:

“Dan janganlah kamu menikahi wanita-wanita musyrik, sebelum mereka beriman.


Sesungguhnya wanita budak yang mukmin lebih baik dari wanita musyrik, walaupun dia
menarik hatimu. dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik (dengan wanita-
wanita mukmin) sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mukmin lebih baik
dari orang musyrik, walaupun dia menarik hatimu. mereka mengajak ke neraka, sedang
Allah mengajak ke surga dan ampunan dengan izin-Nya.” (Q.S. al-Baqarah: 221)

14
M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm. 11-13.
Ayat tersebut secara tegas menunjukkan keharaman menikah dengan kaum
musyrik.15

Selain hukum pernikahan beda agama di atas, para tokoh Islam juga berpendapat
mengenai hukum nikah beda agama, antara lain:

1. Menurut Ibnu Umar, berpendapat bahwa hukum perkawinan pria muslim dengan
wanita ahli kitab adalah haram.

2. Menurut Imam Abu Hanifah dan Imam Ahmad bin Hambal, melarang perkawinan
pria muslim dengan wanita musyrik dan membolehkan dengan wanita yahudi dan
nasrani. Sekalipun ahli kitab tersebut meyakini trinitas tidak menjadi persoalan karena
yang terpenting mereka mempunyai kitab samawi dan tetap berstatus sebagai ahli
kitab.

3. Menurut Rasyid Ridha, berpandangan bahwa maksud dari Q.S. al-Baqarah: 221 dan
al-Mumtahanah: 10, adalah untuk melarang perkawinan pria muslim dengan wanita
musyrik Arab. Dengan demikian kebolehannya bukan hanya menikah dengan
perempuan yahudi dan nasrani saja, melainkan juga dengan wanita-wanita manapun,
baik majusi, shabiah, hindu, budha, orang-orang china dan jepang sekalipun. Karena
menurutnya mereka itu termasuk ahli kitab yang berisi tauhid sampai sekarang.

 Perkawinan pria muslim dengan wanita bukan ahli kitab terbagi kepada:

1. Perkawinan dengan wanita musyrik

Agama Islam tidak memperkenankan pri muslim kawin dengan wanita musyrik,
sebagaimana dijelaskan dalam firman Allah Q.S. Al-Baqarah: 221. Ayat tersebut
dengan jelas melarang mengawini wanita musyrik. Demikian pendapat para ulama’
menegaskan demikian.

2. Perkawinan dengan wanita majusi

15
Ibnu Katsir, Tafsir al-Qur’an al-Azhim. 1/582 (Riyadh : Dar Thayyibah, 1997).
Pria muslim juga tidak diperbolehkan mengawini wanita majusi (penyembah
api), sebab mereka tidak termasuk ahli kitab. Demikian pendapat jumhur ulama dan
yang dimaksud ahli kitab adalah yahudi dan nashara.

3. Perkawinan dengan wanita shabi’ah

Shabi’ah adalah satu golongan dalam agama nasrani: shabi’ah dinisbatkan


kepada Shab paman Nabi Nuh as. Ada pula yang berpendapat, dinamakan Shabi’ah,
karena berpindah dari satu agama kepada agama lain.

4. Perkawinan dengan wanita penyembah berhala


Para ulama’ telah sepakat, bahwa pria muslim tidak boleh kawin dengan wanita
penyembah berhala dan penyembah benda-benda lainnya, karena mereka termasuk
orang-orang kafir.16

Perkawinan campuran terdiri dari dua kata yaitu perkawinan dan Campuran,
perkawinan secara bahasa yaitu menghimpun atau mengumpulkan sesuatu yang tercampur,
gabungan atau Kombinasi, peranakan ( Bukan keturunan asli ).Menurut istilah perkawinan
Campuran yaitu sebagaimana yang disebutkan dalam UU No. 1 Tahun 1974 pasal 57
perkawinan campuran ialah “Perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada
hukum yang berlainan karena perbedaan kewarganegaraan dan Salah satu pihak
berkewarganegaraan Indonesia”.

Menurut pasal 58 UU No. 1 Tahun 1974 dikatakan bahwa “ Bagi orang Yang
berlainan kewarganegaraan yang melakukan perkawinan campuran dapat Memperoleh
kewarganegaraan dari suami atau isterinya dan dapat pula Kehilangan kewarganegaraan,
menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam UU kewarganegaraan RI yang berlaku. Pasal
57 hanya membatasi makna Perkawinan campuran pada perkawinan antara seorang warga
negara RI dengan Seorang yang bukan warga negara RI. Ketentuan lebih lanjut mengenai
Perkawinan campuran ini terdapat dalam pasal 59 sampai pasal 62 Undangundang
Perkawinan.

Jadi Perkawinan campuran yang dijelaskan di dalam Undang-undang Nomor 1 Tahun


1974 adalah perkawinan karena perbedaan kewarganegaraan atau Berbeda paham hukumnya,
bukanlah campuran yang disebabkan perbedaan Agama. Mengenai perkawinan campuran
terdapat beberapa pengertian. Khusus di Dalam perundangan terdapat perbedaan pengertian
antara yang dinyatakan dalam„ Peraturan tentang Perkawinan Campuran‟ atau Regeling Op
de Gemengde Huwelijken‟ (RGH) KB. 29 Mei 1896 nr.23 S. 1898 nr. 158 dan yang
dinyatakan Dalam UU no.1-1974 yang sekarang berlaku. Perkawinan yang dimaksud dalam
16
M. Ali Hasan, Loc.Cit., hlm 7-10
UU no.1-1974 adalah : “Perkawinan campuran antar warga Negara yang berbeda, misalnya
Antara warga Negara Indonesia keturunan Cina dengan orang Cina Berkewarganegaraan
Republik Rakyat Cina,atau perkawinan antara warga Negara Indonesia dengan warga Negara
Belanda. Jadi ada tiga pengertian Perkawinan campuran,yaitu perkawinan antara
kewarganegaraan, perkawinan Antar adat, dan perkawinan antar agama”. Menurut G.H.R.
pasal 1, arti Perkawinan campuran adalah: “perkawinan antara orang-orang yang di Indonesia
tunduk kepada hukum-hukum yang berlainan”.

Definisi ini sangat luas jangkauannya, tidak membatasi arti perkawinan Campuran
pada perkawinan-perkawinan antar warga negara Indonesia atau antar Penduduk Indonesia
dan dilaksanakan di Indonesia, asalkan pihak yang Melaksanakan perkawinan di Indonesia
tunduk pada hukum yang berlainan Adalah perkawinan campuran

C. Dampak Positif dan Negatif Dari Pernikahan Percampuran.

Jika ditinjau dalam kerangka sosial, pernikahan campuran ini memiliki dampak-
dampak yang akan timbul setelah melaksanakan pernikahan tersebut, hal ini dikarenakan
Negara Indonesia telah mengatur terkait Peraturan dalam pernikahan campuran ini, meski
tidak diatur secara eksplisit. Oleh karena Negara Indonesia telah mengatur terkait hal ini,
maka WNI / WNA harus mematuhi, tunduk dan patuh demi kemaslahatan bersama. Adapun
dampak – dampak yang bisa saja terjadi adalah, sbb ;

1. Dampak Dalam Hukum Positif

Banyak warga Negara Indonesia yang menikah dengan orang asing, begitupun
sebaliknya, sehingga mempengaruhi aspek hukum yang berjalan di kehidupan mereka,
adapun dampak yang terjadi adalah, sbb :

a. Negatif

- Salah satu dari suami istri kehilangan kewarganegaraannya


- Anak yang lahir dari pernikahan ini diharuskan memilih salah satu
dari kewarganegaraan yang ditempati, setelah umur 18 Thn. 17

b. Positif
- Sebelum umur 18 Thn, anak yang lahir dari pernikahan campuran
memperoleh hak pelayanan sebagai WN dari masing-masing Negara

17
UU No. 12, Thn. 2006, Pasal 58 UU perkawinan.
yang ditempati, misalnya memperoleh akta kelahiran dari masing-
masing Negara ( UU. No. 12, Thn. 2006 ) 18

2. Dampak Dalam Hukum Islam.

Hal ini ditinjau dari Hukum islam ( perdata ) yang berlaku di Indonesia, Meskipun
Negara Indonesia sudah memperbolehkan terhadap pernikahan campuran ini, pastilah ada
dampak yang harus ditanggung ketika melakukan perbuatan yang secara kontekstual
diperbolehkan dalam UU perkawinan, adapun dampaknya adakah sbb:

a. Negatif
- Orang Islam banyak yang murtad demi terlaksananya pernikahan ini,
meski ada yang kembali lagi ke agama islam setelah pernikahan
selesai dilaksanakan. 19

- Keimanan bisa terkikis jika menikah dengan non muslim dan tidak
dijamin masuk surga.

b. Positif

- Bisa menjadikan seseorang Non muslim untuk memeluk agama


islam.
- Mengajak sanak saudaranya non muslim supaya meyakini agama
Islam20

3. Dampak Dalam Kehidupan Bermasyarakat.

Manusia merupakan mahluk sosial, maksudnya adalah butuh interaksi terhadap orang lain,
dalam konteks ini, pernikahan campuran juga mempengaruhi interaksi-interaksi dan
pergaulan dalam kehidupan yang dijalani setelah menikah secara campuran. Meski dampak
yang terjadi setelah menikah berbeda-beda, oleh karena itu dampak-dampak yang bisa saja
terjadi adalah sbb :

a. Negatif
18
UU No. 12, Thn. 2006, Pasal 6 UU Perkawinan.
19
Rahmat Fauzi, Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Anak Menurut Hukum
Positif Indonesia, Sumatra Law Review, Vol. 1 No. 1, Thn 2018, Hal. 167
20
UU perkawinan, Pasal 2 Ayat 1.
- Tidak akrab dengan masyarakat lokal, karena perbedaan bahasa dan
budaya

- Sulit berinteraksi ketika bagi salah satu pihak ( suami / istri )

b. Positif
- Mengenal dunia luar, sehingga memiliki wawasan yang lebih luas21

Jadi, dapat disimpulkan bahwa pernikahan campuran merupakan pernikahan yang


mempunyai dampak Negatif dan Positif, akan tetapi, bagi kita yang memeluk agama Islam,
sebaiknya menghindari hal tersebut, karena mempunyai dampak Negatif lebih dominan
daripada yang Positif dan bisa berakibat fatal bagi pemeluk agama Islam jika terpengaruh
oleh agama yang lain, yakni berbuat dosa Kepada Allah yang dosa tersebut tidak akan bisa
diampuni kecuali dia benar-benar tobat ( taubatan nasuha ). Sebagaimana Firman Allah
SWT :

ِ ‫ى إِ ْث ًما ع‬
‫َظي ًما‬ َ ِ‫إِ َّن هَّللا َ اَل يَ ْغفِ ُر أَ ْن يُ ْش َركَ بِِۦه َويَ ْغفِ ُر َما ُدونَ ٰذل‬
ٓ ‫ك لِ َم ْن يَ َشٓا ُء ۚ َو َم ْن يُ ْش ِر ْك بِاهَّلل ِ فَقَ ِد ا ْفت َٰر‬

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni (dosa) karena mempersekutukan-Nya (syirik),


dan Dia mengampuni apa (dosa) yang selain (syirik) itu bagi siapa yang Dia kehendaki.
Barang siapa mempersekutukan Allah, maka sungguh, dia telah berbuat dosa yang
besar.”(QS. An-Nisa’ 4: Ayat 48)

21
Nurzakia, Praktek Perkawinan Campuran di Kota Sabang, Skripsi UIN Ar-Raniry Darussalam, Banda Aceh,
Thn. 2018, Hal. 58.
KESIMPULAN

Sebagaimana ajaran yang paripurna, Islam telah memberikan aturan yang jelas
mengenai pernikahan. Karena pernikahan merupakan ritual penting yang tidak hanya
menyangkut masalah fiqih. Pernikahan ternyata juga menyangkut masalah sosial, budaya dan
politik yang lebih kompleks. Seorang muslim harus memandang perkawinan dari perspektif
yang komprehensif. Apalagi jika menyangkut perkawinan dengan non muslim.

Adapun hukum pernikahan beda agama jika disimpulkan yaitu:

 Suami Islam, istri ahli kitab = boleh.

 Suami Islam, istri kafir bukan ahli kitab = haram.

 Suami ahli kitab, istri Islam = haram.

 Suami kafir bukan ahli kitab, istri Islam = haram.

Meskipun seorang laki-laki muslim boleh menikahi dengan ahli kitab tetapi bukan
berarti dia bebas memilih perempuan ahli kitab yang diinginkannya. Ada beberapa ketentuan
yang wajib diperhatikan atau dijaga ketika seorang lelaki muslim mengawini seorang wanita
ahli kitab. Meskipun menikahi wanita-wanita ahli kitab diperbolehkan agama tetapi karena
banyak madhorot yang ditimbulkannya maka sudah seharusnya seorang laki-laki muslim
lebih memilih perempuan muslimah ketimbang wanita ahli kitab.
DAFTAR PUSTAKA

Abdul Ghofar Asyhari, Hukum Perkawinan Antar Agama Menurut Agama Islam,
Kristen Dan Undang-undang Perkawinan, (Jakarta: CV. Gramada. 1992). 63

Baso, Ahmad & Ahmad Nurcholis (editors). 2005. Pernikahan Beda Agama; Kesaksian,
Argumen Keagamaan & Analisis Kebijakan. Jakarta: Komnas HAM.
Fauzi, Rahmat, Dampak Perkawinan Campuran Terhadap Status Kewarganegaraan Anak
Menurut Hukum Positif Indonesia, Jurnal - Sumatra Law Review, Vol. 1 No. 1, Thn 2018.

Hasan, M. Ali. Masail Fiqhiyah al-Haditsah: Masalah-masalah Kontemporer Hukum Islam.


Jakarta: PT RajaGrafindo Persada.
Katsir, Ibnu. 1997. Tafsir al-Qur’an al-Azhim, 1/582. Riyadh: Dar Thayyibah.
Daud Muhammad Ali, 2005. Hukum Islam, Jakarta: PT. Raja Grapindo Persada.,
Nurzakia, Praktek Perkawinan Campuran di Kota Sabang, Skripsi UIN Ar-Raniry
Darussalam, Banda Aceh, Thn. 2018.
UU Perkawinan, Nomor 12, Tahun 2006
Yusuf Qardlawi, Syekh Muhammad. 1976. Halal dan Haram dalam Islam. Bangil: PT. Bina
Ilmu.

Anda mungkin juga menyukai