Anda di halaman 1dari 11

MAKALAH PERKAWINAN LELAKI MUSLIM

DENGAN NON MUSLIM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Pada Mata Kuliah
Pembelajaran FIQIH Kontemporer

Oleh:

Kelompok 2
Roy Sopiyan Tanjung

Dosen Pembimbing:

Drs. H.M. Yusril Fuad, MA

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM AL-HIKMAH

MEDAN

2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan hidayah-Nya, Kami
dapat menyelesaikan tugas makalah yang berjudul " Perkawinan Lelaki Muslim dengan Non
Muslim” dengan tepat waktu.

Makalah disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah “Fiqih Kontemporer”. Selain itu,
makalah ini bertujuan menambah wawasan bagi para pembaca dan juga bagi penulis.

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Bapak Drs. H.M. Yusril Fuad, MA , MA
selaku Dosen. Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada semua pihak yang telah
membantu diselesaikannya makalah ini. Penulis menyadari makalah ini masih jauh dari
sempurna. Oleh sebab itu, saran dan kritik yang membangun diharapkan demi kesempurnaan
makalah ini.

WAssalam

Pemakalah
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .............................................................................................................................2


BAB I .......................................................................................................................................................4
PENDAHULUAN ...................................................................................................................................4
A. LATAR BELAKANG MASALAH ................................................................................................4
B. RUMUSAN MASALAH ................................................................................................................4
C. TUJUAN .........................................................................................................................................4
a. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik dan sebaliknya........5
b. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab ............................................6
c. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim atau kafir ....................7
d. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Shabi’ah Majusi dan lainnya. ..........................................8
2. Hukum Positif di Indonesia .............................................................................................................8
BAB III ..................................................................................................................................................10
PENUTUP .............................................................................................................................................10
A. KESIMPULAN .............................................................................................................................10
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................................................11
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Perkawinan merupakan bagian dari dimensi kehidupan yang bernilai ibadah


sehingga menjadi sangat penting, Manusia yang telah dewasa, dan sehat jasmani serta
rohaninya pasti membutuhkan teman hidup untuk mewujudkan ketenteraman, kedamaian
dan kesejahteraan dalam hidup berumah tangga. Dengan perkawinan itu pula manusia
dapat membentuk keluarga, masyarakat dan bahkan bangsa. Karena begitu pentingnya
institusi perkawinan tersebut sehingga agama-agama yang ada di dunia ini ikut mengatur
masalah perkawinan itu, bahkan adat masyarakat serta institusi negara pun turut
mengambil bagian dalam pengaturan masalah perkawinan.

Perkawinan beda agama memang bukan merupakan hal yang baru bagi masyarakat
Indonesia yang multikultural. Perkawinan tersebut telah terjadi di kalangan masyarakat (di
berbagai dimensi sosialnya) dan sudah berlangsung sejak lama. Namun demikian, tidak
juga berarti bahwa persoalan perkawinan beda agama tidak dipermasalahkan, bahkan
cenderung selalu menuai kontroversi di kalangan masyarakat.

B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana nikah beda agama menurut Fikih Klasik?
2. Bagaimana hukum positif di Indonesia tentang nikah beda agama?
C. TUJUAN
1. Untuk mengetahui pendapat fikih klasik tentang nikah beda agama.

2. Untuk mengetahui hukum positif di Indonesia tentang nikah beda


agama.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Nikah beda Agama menurut Fikih Klasik

Dalam literatur klasik tidak dikenal kata Perkawinan Beda Agama secara
literal dan tidak ditemukan pembatasan pengertian secara jelas, namun pembahasan yang
terkait dengan masalah tersebut dimasukkan pada bagian pembahasan mengenai wanita
yang haram dinikahi atau pernikahan yang diharamkan, yang antara lain disebut sebagai az
zawaj bi al-kitabiyat, az-zawaj bi al-musyrikat atau az-zawaj bi ghair al-muslimah
(perkawinan dengan wanita-wanita ahli Kitab yaitu perkawinan dengan wanita-wanita
Yahudi dan Nashrani), perkawinan dengan wanita-wanita musyrik (orang-orang musyrik)
dan perkawinan dengan non muslim.

Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria
dengan seorang wanita yang karena berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua
peraturan yang mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai
dengan hukum agamanya masing-masing dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Dalam pembahasan hukum Islam, khususnya dalam literatur fiqh klasik,


Perkawinan Beda Agama dapat dibedakan menjadi tiga kategori: pertama, Perkawinan
antara seorang pria muslim dengan seorang wania musyrik; kedua, Perkawinan antara
seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab; dan ketiga, Perkawinan antara seorang
wanita muslimah dengan pria non muslim (sama adanya musyrik atau ahli kitab).

a. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik dan
sebaliknya.

Para ulama sepakat bahwa seorang pria muslim diharamkan menikah dengan
seorang wanita musyrikah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah (2), 221:

“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.


Sungguh hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik
meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki) musyrik
(dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka berima. Sungguh, hamba sahaya laki-
laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia menarik hatimu,
mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surge dan ampunandengan
izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil
pelajaran.”

Menurut Qatadah: Maksud dari ayat “dan janganlah kamu nikahi perempuan
musyrik, sebelum mereka beriman” adalah untuk wanita musyrik yang bukan termasuk
ahli kitab. Ayat ini umum secara zhahir dan khusus secara batin dan tidak ada nasakh
hukum dari ayat tersebut.

Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pria muslim dilarang


menikah dengan wanita musyrik, begitupun sebaliknya jika pria itu penyembah berhala,
tidak dibolehkan bagi wanita muslim menikah dengannya dan mempertahankan
pernikahannya. Dari semua tafsiran diatas, mereka para mufassir semuanya mempertegas
bahwa wanita kafir yang tidak boleh dinikahi itu adalah dia yang musyrik, sebagaimana
ayat ini turun disebabkan terjadinya perjanjian Hudaibiyah di antara Nabi SAW dan orang-
orang musyrik Quraisy Mekkah. Sehingga hal ini memicu perbedaan pendapat diantara
para ulama tentang menikahi wanita kafir selain musyrik.

b. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab

Di dalam literatur klasik didapatkan bahwa kebanyakan ulama cenderung


membolehkan perkawinan tersebut dan sebagian dari mereka hanya menganggap makruh,
mereka merujuk pada QS. Al-Maidah (5):

“Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang baik-baik, makanan
(sembelihan) ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal bagi mereka. Dan
(dihalalkan bagimu menikahi) perempuanperempuan yang menjaga kehormatan di antara
perempuan perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormtaman di antara yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu membayar
maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan berzina dan bkan untuk menjadikan
perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal
mereka dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi.”

Para ulama menafsirkan bahwa ayat ini menunjukkan halalnya menikahi para
wanita ahli kitab, yaitu wanita Yahudi atau Nashrani. Al-Maraghi dalam tafsirnya
mengatakan al muhshanat yang dimaksudkan disini yaitu wanitawanita merdeka, yaitu
dihalalkan bagi kalian wahai orang-orang beriman, menikahi wanita-wanita merdeka dari
kalangan wanita mukmin, ataupun wanita-wanita merdeka dari kalangan orang-orang yang
diberi kitab sebelum kamu, yaitu wanita-wanita Yahudi atau Nashrani, jika kalian
memberikan kepada mereka mahar ketika menikahi mereka. Al Qurthubi juga mengatakan
bahwa Ibnu Abbas mengatakan, wanita ahlul kitab disini yaitu mereka yang tinggal di
kawasan muslim (Darul ‘Ahd), bukan mereka yang tinggal di negara non muslim.

Ath-Thabari menyimpulkan, dari banyaknya tafsiran ulama tentang ayat ini, tafsir yang
benar adalah: dihalalkan menikahi wanita-wanita merdeka dari kalangan kaum muslimin
ataupun ahli kitab. Kata Al-Muhshanat bukanlah berarti wanita-wanita yang menjaga
kehormatannya, tapi wanita-wanita merdeka. Karena jika ditafsirkan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan, maka budak termasuk di dalamnya, sedangkan menikahi budak yang
non muslim itu dilarang. Dan beliau menyimpulkan bahwa menikahi wanita merdeka yang
mukmin ataupun ahli kitab itu halal secara mutlak, wanita dzimmiyah ataupun harbiyah,
dia yang merjaga kehormatannya ataupun tidak, selama yang menikahi tidak khawatir akan
anaknya kelak condong ataupun dipaksa kepada kekufuran, berdasarkan zhahir ayat.

c. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim atau kafir

Para ahli hukum Islam menganggap perkawinan tersebut dilarang oleh Islam,
sama adanya calon suami dari ahli kitab (Yahudi dan Kristen) atau pun pemeluk agama lain
yang mempunyai kitab suci seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk agama kepercayaan
yang tidak memiliki kitab suci. Maksud dari lafaz musyrik pada ayat “dan janganlah kamu
nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman” adalah semua orang kafir yang tidak
beragama Islam, yaitu watsani (penyembah berhala), majusi, yahudi, nasrani dan orang
yang murtad dari Islam. Semua yang disebutkan tadi haram bagi mereka menikahi wanita-
wanita muslimah. Seorang suami mempunyai kekuasaan atas istri, ada kemungkinan sang
suami memaksa istrinya untuk meninggalkan agamanya dan membawanya kepada yahudi
atau nasrani. Pada umumnya, anak akan mengikuti agama ayahnya, jika ayahnya yahudi
atau nasrani maka mereka akan mengikutinya. Sedangkan seorang pria muslim, ia akan
mengagungkan Nabi Musa dan Isa As. percaya dengan risalah mereka dan turunnya taurat
dan injil. Seorang muslim tidak akan menyakiti istrinya yang merupakan seorang yahudi
atau nasrani dengan alasan keimanan mereka yang berbeda. Berbeda jika suami yang tidak
mempercayai Al-Qur’an dan Nabi Muhammad Saw. dengan tiada keimanannya terhadap
Islam menyebabkannya menyakiti wanita muslimah dan meremehkan agamanya.
d. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Shabi’ah Majusi dan lainnya.

Selain menyebut Yahudi dan Nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali


menyebutkan pemeluk agama Shabi’ah (QS. Al-Baqarah: 26, QS. Al-Maidah: 69, QS. Al-
hajj: 17), Majusi (QS. Al-Hajj: 17) serta orang-orang yang berpegang pada suhuf
(lembaran kitab suci) Nabi Ibrahim yang bernama syit, dan suhuf Nabi Musa yang bernama
Taurat dan kitab Zabur yang diturunkan pada Nabi Dawud.

Mengenai perempuan Shabi’ah paa fuqaha Madzab Hanafi berpendapat bahwa


mereka sebenarnya termasuk ahli kitab, hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan
palsu. Mereka dipersamakan dengan pemeluk Yahudi dan Nasrani, sehingga laki-laki
mukmin boleh mengawininya. Sedangkan para fuqaha syafi’iyah dan Hanabilah
membedakan antara ahli kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka orang-orang
Yahudi dan Nasrani sependapat dengan Islam dalam hal-hal pokok agama membenarkan
Rasul-Rasul dan mengimani kitab-kitab.3

Adapun tentang mengawini perempuan Majusi, Abdurahman ibn Auf berkata:

“Saya pernah mendengar Rasulullah bersabda, perlakukanlah mereka (pemeluk majusi)


seperti memperlakukan ahli kitab.”

Logikanya mereka bukan termasuk ahli kitab dan haram mengawininya. Tetapi
Abu Tsur berpendapat lain. Ia menghalalkan mengawini perempuan Majusi karena agama
mereka juga diakui dengan berlakunya membayar jizyah (pajak) sebagaimana yang
diberlakukan kepada orang Yahudi dan Nasrani.

2. Hukum Positif di Indonesia

Terdapat kesulitan tersendiri dalam merumuskan secara pasti peraturan


masalah kawin beda agama bagi umat islam di Indonesia. Peradilan Agama sebagai
peradilan bagi orang orang yang beragama islam yang diantaranya mempunyai sumber
hukum dari Undang Undang nomor 1 tahun 1974 tentang perkawinan dan Inpres nomor 1
tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) diantaranya tidak mengatur tentang
perkawinan beda agama.
Berkaitan dengan pendapat yang sering dianut oleh para Hakim Pengadilan
Agama yang menganggap tidak boleh dilakukannya kawin beda agama, baik antara laki-
laki muslim dengan perempuan non-muslim. Pendapat demikian disandarkan pada KHI
pada pasal 40 butir c, yang berbunyi:
Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena
keadaan tertentu:

(c) seorang wanita yang tidak beragama Islam Dan KHI pada pasal 44 yaitu:

- Seorang wanita islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang
tidak beragama islam. Larangan tersebut menjadi lebih kuat karena Undang-Undang
Perkawinan (UUP) No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:

Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing


agamanya dan kepercayaannya itu. Disamping itu juga merujuk UUP pasal 8(f), yakni :
Perkawinan dilarang antara dua orang yang: (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya
atau peraturan lain berlaku, dilarang kawin.5

Pertimbangan pelarangan kawin beda agama dalam KHI antara lain:

1) Pandangan bahwa kawin beda agama lebih banyak menimbulkan persoalan karena
terdapat beberapa hal prinsip yang berbeda antara kedua mempelai. Dalam hal ini
memang terdapat pasangan perkawinan yang berbeda agama dapat hidup rukun dan
mempertahankan ikatan perkawinannya, namun yang sedikit ini dalam pembinaan
hukum islam belum dijadikan acuan. Karena hanya merupakan eksepsi (pengecualian).
2) KHI mengambil pendapat-pendapat Ulama di Indonesia dan termasuk juga didalamnya
adalah pendapat Majelis Ulama Indonesia.
BAB III

PENUTUP

A. KESIMPULAN

Nikah beda agama menurut fikih klasik, Perkawinan Beda Agama dapat
dibedakan menjadi beberapa kategori:

1. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wania musyrik;

2. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab;

3. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim (sama
adanya musyrik atau ahli kitab);

4. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Shabi’ah Majusi dan lainnya.

Sedangkan, nikah beda agama menurut hukum indonesia dijelaskan dalam


Undang-Undang Perkawinan (UUP) No. 1 tahun 1974 pasal 2 ayat 1 yang berbunyi:
“Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan
kepercayaannya itu. Disamping itu juga merujuk UUP pasal 8(f), yakni : Perkawinan dilarang
antara dua orang yang: (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain
berlaku, dilarang kawin”
DAFTAR PUSTAKA

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1998. Kitab al-Fiqh a ‘Ala-al-Madzahib al-Arba’ah. Libanon: dar


al-Fiqr
at-Thabari, Ibn Jarir, 2000. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Quran, t.tp: Muassah Ar-Risalah
Eoh, O.S. 1996. Kawin Campur Dalam Teori dan Praktek. Jakarta: Srigunting.

Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 1 tahun 1974 tentang Undang-Undang.


Perkawinan. Jogjakarta: Pustaka Widyatama.

Rafiq, Ahmad. 1995. Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Rajawali Press.

Zuhdi, Masjfuk, 1994. Masail Fiqhiyah, Jakarta: Gunung Agung.

Anda mungkin juga menyukai