Anda di halaman 1dari 17

MAKALAH

STUDI KASUS PERNIKAHAN BEDA AGAMA DI INDONESIA


SERTA KETERKAITAN DENGAN FATWA MUI NOMOR 4
TAHUN 2005 TENTANG PERNIKAHAN BEDA AGAMA
Makalah ini disusun untuk memenuhi tugas kelompok
Mata Kuliah: Fatwa dan Yurisprudensi
Dosen Pengampu: Ana Laela Fatikhul Choiriyah, S.H., M.H

Disusun Oleh
Kelompok 6
1. Putri Aisyah Novita Ayu 212102010035
2. Sofia Irhami Basri 212102010037
3. S. Asurotun Nisa’ 212102010067

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI KH. ACHMAD
SIDDIQ JEMBER
OKTOBER 2023
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan
hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas makalah yang
berjudul ”Studi Kasus Pernikahan Beda Agama Di Indonesia Serta
Keterkaitan Dengan Fatwa Mui Nomor 4 Tahun 2005 Tentang Pernikahan
Beda Agama” ini tepat pada waktunya.
Adapun tujuan dari penulisan makalah ini adalah untuk memenuhi tugas
kelompok mata kuliah fatwa dan Yurisprudensi. Selain itu, makalah ini
juga bertujuan untuk menambah wawasan bagi para pembaca dan juga
bagi penulis.
Kami mengucapkan terima kasih kepada Ibu Ana Laela Fatikhul
Choiriyah, S.H., M.H .selaku dosen mata kuliah Fatwa dan Yurisprudensi
yang telah memberikan tugas ini sehingga dapat menambah pengetahuan
dan wawasan sesuai dengan bidang studi yang kami tekuni.
Kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membagi sebagian pengetahuannya sehingga kami dapat menyelesaikan
makalah ini. Kami menyadari bahwa makalah yang kami tulis ini masih
jauh dari kata sempurna. Oleh karena itu, kritik dan saran yang
membangun akan kami nantikan dalam kesempatan ini, demi
kesempurnaan makalah kami.

Jember, 20 Oktober 2023

Tim penyusun
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR……………………………………………………………...

DAFTAR ISI……………………………………………………………………….

BAB I PENDAHULUAN………………………………………………………….

A. Latar Belakang…………………………………………………………

B. Rumusan Masalah………………………………………………………

C. Tujuan Penulisan………………………………………………………...

BAB II PEMBAHASAN.………………………………………………………….

A. Pengertian Pernikahan Beda Agama………………………..…………..

B. Pernikahan Beda Agama menurut Hukum Islam dan Hukum Positif di

Indonesia……………………………………………………………..

C. Pernikahan Beda Agama Menurut Fatwa MUI Nomor 4 tahun 2005…..

D. Implikasi Pernikahan Beda Agama…………………………………….

BAB III PENUTUP

A. Kesimpulan……………………………………………………………

B. Saran…………………………………………………………………..

DAFTAR PUSTAKA……………………..……………………………………….
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Al-Qur’an murni berasal dari Allah swt., baik secara lafadz maupun
makna. Diwahyukan oleh Allah swt. kepada Rasul dan Nabi-Nya Muhammad
saw. melalui wahyu al-jaliy (wahyu yang jelas). Yaitu dengan turunnya malaikat
utusan Allah swt. Jibril untuk menyampaikan wahyu-Nya kepada Rasulullah saw.
sebagai manusia, bukan melalui jalan wahyu yang lain seperti ilham, pemberian
inspirasi dalam jiwa, melalui mimpi yang benar atau cara lainnya. Didalam al-
Qur’an berisi tentang semua perintah dan larangan-larangan Allah swt,termasuk di
dalamnya ialah perintah untuk melakukan pernikahan bagi orang yang sudah
mampu, baik dari segi jasmani dan rohaninya. 1

Manusia diciptakan berpasangan oleh Allah. Hidup bersama antara


seorang pria dan wanita tidaklah dapat dinamakan keluarga atau pasangan jika
keduanya tidak diikat oleh pernikahan. Keluarga itu terbentuk dari pernikahan,
tanpa nikah tidak ada keluarga. Oleh karena itu, Allah menganjurkan bagi yang
mampu untuk nikah dan kawin. Kesalahan terbesar yang kerap dilakukan para
laki-laki ketika memilih calon istri adalah mereka tidak mengikuti petunjuk dan
arahan agama . Sebagian lebih mengutamakan pada harta dan kecantikannya saja,
tanpa melihat standar agama dan akhlak. 2

Dalam konteks keIndonesiaan, Masyarakat Indonesia merupakan


masyarakat yang majemuk, khususnya bila dilihat dari segi etnis/suku bangsa dan
agama. Konsekuensinya, dalam menjalani kehidupannya masyarakat Indonesia
dihadapkan kepada perbedaan-perbedaan dalam berbagai hal, mulai dari
kebudayaan, cara pandang hidup dan interaksi antar individunya. Keadaan
masyarakat Indonesia yang majemuk menjadikan pergaulan di masyarakat
semakin luas dan beragam. Hal ini telah mengakibatkan pergeseran nilai agama

1
Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia, 1999), h. 2.
2
Adil Fathi Abdullah, Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah (Jakarta: Gema Insani, 2005), h.17
yang lebih dinamis daripada yang terjadi pada masa lampau. Seorang Muslim
sekarang ini lebih berani untuk memilih pendamping hidup non-Muslim. Hal ini
tentu saja dianggap oleh masyarakat kita yang mayoritas beragama Islam sebagai
penyalahan atau pergeseran nilai-nilai Islam yang ada. Tak jarang hal ini sering
menimbulkan gejolak dan reaksi keras di kalangan masyarakat kita. Masalah ini
menimbulkan perbedaan pendapat dari dua pihak pro dan kontra, masing-masing
pihak memiliki argumen yang berasal dari penafsiran mereka masing-masing
terhadap dalil-dalil Islam tentang pernikahan beda agama. Maka dari itu disini
penulis akan membahas secara detail bagaimana pandangan perspektif hukum
islam dan hukum postif di Indonesia memandang permasalah tentang beda agama.
Serta bagaimana pandangan beda agama menurut Fatwa MUI No. 4 tahun 2005.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas pokok permasalahan dirumuskan


sebagai berikut:

1. Bagaimana Pernikahan Beda Agama menurut Perspektif Hukum islam

dan Hukum Positif di Indonesia ?

2. Bagaimana Pernikahan Beda Agama menurut Fatwa Majelis Utama No.

4 Tahun 2005 ?

3. Apa saja Implikasi dari Pernikahan Beda agama ?

C. Tujuan Penulisan

Berdasarkan rumusan masalah yang diatas maka tujuan penulisan yaitu


sebagai berikut:
1. Untuk mengetahui tentang pandangan Pernikahan Beda Agama menurut

Perspektif Hukum islam dan Hukum Positif di Indonesia

2. Untuk mengetahui pandangan Pernikahan Beda Agama menurut Fatwa

Majelis Utama No.4 Tahun 2005

3. Untuk mengetahui Implikasi dari Pernikahan Beda Agama


BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Pernikahan Beda Agama

Pernikahan beda agama atau bisa disebut juga pernikahan antar agama
adalah pernikahan yang dilakukan antara laki-laki dan perempuan yang masing-
masing berbeda agama. Pernikahan antara laki-laki atau perempuan muslim
dengan laki-laki atau perempuam non muslim. Permikahan antar agama ini
kadang disebut “pernikahan campuran”.3
Menurut para ahli Rusli, SH dan R. Tama, SH menyatakan bahwa
perkawinan antar agama merupakan ikatan lahir dan batin antara seorang pria dan
seorang wanita, karena berbeda agama, menyebabkan tersangkutya dua peraturan
yang berlainan mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan
sesuai dengan hukum agamanya masing- masing, dengan tujuan untuk
membentuk keluarga bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan Yang Maha Esa.
Menurut Abdurrahman, menyatakan bahwa perkawian antara agama yaitu
suatu perkawinan yang dilakukan oleh orang-orang yang memeluk agama dan
kepercayaan yang berbeda satu dengan yang lainnya.
Jadi dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud perkawinan beda agama
adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda agama dan masing-masing
tetap mempertahankan agama yang dianutnya. 4

B. Pernikahan Beda Agama Menurut Perspektif Hukum Islam dan Hukum


Positif di Indonesia

Pada realitasnya, pernikahan beda agama di Indonesia terjadi di kalangan


artis maupun masyarakat biasa. Ini menunjukkan bahwa pernikahan beda agama
tetap berjalan, walaupun kontroversial. Di satu sisi dihadapkan dengan hukum
Islam, dan di sisi lain ada regulasi sebagai hukum positif, yaitu Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan dan Kompilasi Hukum Islam.
3
Dewi Sukarti, Perkawinan Antar agma menurut Al-Qur’an dan Hadi, Vol. 15 (Jakarta: PBB UIN,
2003), h.26
4
O.S, Eoh, Perkawinan Antar Agama, h.36
Penegasan alquran surat al-Baqarah ayat 221 telah melarang pernikahan antara
seorang yang beragama Islam dengan seorang yang tidak beragama Islam dalam
katagori musyrik/musyrikah. Seorang pria muslim dibolehkan menikah dengan
seorang wanita ahlulkitab (Yahudi dan Kristen) berdasarkan QS al-Mā’idah ayat
5, disertai syarat jika kualitas keimanan dan keislaman pria muslim tersebut baik,
sebab pernikahan semacam ini mengandung risiko yang tinggi: “pindah agama
atau bercerai”.
Pernikahan pria muslim dengan wanita ahlulkitab hanyalah suatu
perbuatan yang dihukumi “mubah” (boleh dilakukan), tetapi bukan anjuran,
apalagi perintah. Sahabat Umar bin Khattab juga menunjukkan sikap tidak setuju
kepada sahabat Hudzaifah bin al-Yaman dan Thalhah yang menikahi wanita
Yahudi dan Kristen, karena khawatir diikuti kaum muslimin lainnya, sehingga
mereka akan menjauhi wanita-wanita muslimah.
Didasarkan pada pertimbangan kemaslahatan, yaitu tindakan preventif untuk
mencegah terjadinya kemurtadan dan kehancuran rumah tangga akibat pernikahan
beda agama, maka dapat ditegaskan bahwa pernikahan yang paling ideal sesuai
petunjuk QS al-Rūm ayat 21, dan yang dapat membawa kepada keselamatan di
dunia maupun akhirat serta keluarga yang bahagia: sakinah, mawaddah dan
rahmah adalah pernikahan dengan orang yang seagama.
Secara regulatif, pernikahan beda agama di Indonesia tidak memiliki
kekuatan hukum, sebab Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang
Perkawinan Bab 1 Pasal 2 ayat (1), Kompilasi Hukum Islam Pasal 40 ayat (c) dan
Pasal 44, Fatwa MUI, serta putusan Mahkamah Konstitusi Nomor:
68/PUU-XII/2014 telah melarang pernikahan beda agama. Karena itu, Kantor
Urusan Agama (KUA) maupun Catatan Sipil tidak akan melakukan pencatatan
administratif atas peristiwa pernikahan beda agama. Melakukan pernikahan beda
agama berarti tidak mengindahkan Undang-Undang dan peraturan yang berlaku di
negeri ini. Konsekuensi logisnya, pasti akan mengalami pelbagai permasalahan
dalam rumah tangganya, sehingga tidak mungkin dapat mewujudkan keluarga
yang sakinah.
Berdasarkan perspektif hukum Islam dan hukum positif, pernikahan beda
agama dipandang lebih besar madaratnya dari pada maslahatnya. Menurut hukum
Islam, pria muslim dibolehkan menikahi wanita ahlulkitab (Yahudi dan Kristen),
sedangkan hukum positif tidak memberi ruang membolehkan pernikahan beda
agama. Larangan tersebut didasarkan atas pertimbangan bahwa pernikahan beda
agama dampak negatifnya lebih besar, yang akan berpengaruh terhadap
kelangsungan rumah tangga. Multi keyakinan dalam sebuah keluarga dapat
menyebabkan banyak gesekan, apalagi jika sudah menyangkut praktik ibadah
yang tidak dapat dicampur adukan.

C. Pernikahan Beda Agama Menurut Fatwa Majelis Ulama Indonesia No 4


Tahun 2005

Pernikahan beda agama dinilai haram dan tidak sah. Komisi Fatwa Majelis
Ulama Indonesia (MUI) menegaskan, hal tersebut didasarkan pada Fatwa MUI
Nomor 4 Tahun 2005 yang mengacu pada konteks kehidupan rumah tangga di
Indonesia dan sejumlah dalil, baik dari Alquran maupun hadis.

MUI dalam Fatwa Nomor 4 Tahun 2005 tentang perkawinan beda agama
memutuskan pertama, perkawinan beda agama adalah haram dan tidak sah.
Kedua, perkawinan laki-laki Muslim dengan wanita ahli kitab, menurut qaul
mu'tamad (pendapat yang diunggulkan), adalah haram dan tidak sah.5

Sekretaris Komisi Fatwa MUI KH Miftahul Huda menjelaskan, Fatwa


MUI Nomor 4 Tahun 2005 itu menjadi panduan bagi umat Islam bahwa nikah
beda agama secara syariat itu tidak sah. "Dengan munculnya hukum tidak sah di
sana tentu ada hal-hal yang negatif, yang berpengaruh pada efek pernikahan beda
agama itu. terdapat ayat Alquran (QS al-Maidah ayat 5) yang menunjukkan
bahwa menikah dengan ahli kitab itu sah dan yang diharamkan hanya dengan
orang musyrik. Namun, merujuk pada konteks budaya di Indonesia, fatwa MUI
tersebut lebih tajam dan tidak terbatas pada keharaman menikah dengan orang
musyrik, tetapi juga dengan yang berbeda agama. bahkan dalam fatwa itu lebih
5
Amri, Aulil. "Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam." Media
Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial 22.1 (2020): 48-64.
luas lagi, lebih tajam. Tidak terbatas pada menikah dengan orang musyrik saja.
Dengan beda agama itu juga diharamkan. Karena melihat konteks dari budaya
Indonesia, di mana anak lebih terikat pada ibu. Misal pendidikannya, mulai dari
kecil tarbiyahnya itu kan lebih dekat pada ibu

Karena itu, jika ibu berbeda agama, yakni agama Yahudi atau Nasrani,
misalnya, itu akan memengaruhi agama dan budaya anaknya. "Jadi, meski dalam
ayat itu orang Muslim dibolehkan menikah dengan wanita Yahudi dan Nasrani
yang ahli kitab tapi fatwa kita tetap mengharamkan dalam konteks budaya di
Indonesia, peran perempuan atau istri lebih dominan pada pendidikan anak.
"Maka diharamkanlah nikah beda agama. Ini menjadi panduan bagi masyarakat,
Mengenai kewenangan MUI untuk mencegah pernikahan beda agama MUI hanya
sebatas mengimbau melalui fatwa tersebut. Meski demikian, sebetulnya UU
Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang berlaku saat ini juga melarang
pernikahan beda agama.6

Contoh studi kasus pernikahan beda agama

Pada masyarakat Kabupaten Gunung Kidul cukup banyak kasus yang


melangsungkan perkawinan beda agama dikarenakan daerah tersebut memiliki
pluralitas agama yang relatif tinggi. Pada 35 Tahun yang lalu di Gunung Kidul
belum terdapat sekolah dasar seperti sekarang, disana hanya ada sekolah-sekolah
nasrani. Dan perkawinan beda agama di Gunung Kidul dianggap biasa karena
kedua pasangan itu sama-sama lemah dalam agama. Dan belum ada cara yang
ampuh untuk meminimalisir terjadinya perkawinan beda agama tersebut.

Pernikahan yang terjadi di Kecamatan Wonosari, Kabupaten Gunung


Kidul antara pasangan dengan latar belakang agama yang berbeda, yaitu Islam
(SA) dan Kristen (MS), yang digelar di Gereja Kristen Jawa Wonosari dianggap
tidak sah secara hukum di wilayah Indonesia. Hal ini disebabkan oleh
ketidakpatuhan terhadap aturan pernikahan beda agama yang diakui oleh negara.
dianggap tidak sah karena melakukan perkawinan beda agama di wilayah
6
Sunandar, Wahyu. "Fatwa majelis ulama Indonesia (MUI) tentang nikah beda Agama dan respon
para pemuka Agama terhadapnya." (2011).
Indonesia dan tidak menggunakan cara yang dianggap akan diakui oleh
negara,seperti harus menikah di luar negeri terlebih dahulu.

Meskipun pencatatan pernikahan dilakukan di Kantor Catatan Sipil Kecamatan


Wonosari, Kabupaten Gunung Kidul, tindakan ini dianggap melanggar hukum dan
dianggap sebagai pelanggaran hukum yang tidak ditegakkan oleh pihak Kantor
Catatan Sipil. karena sejatinya Kantor Catatan Sipil hanya mencatatkan
perkawinan diluar Agama Islam bukan perkawinan beda agama. Walaupun Kantor
Catatan Sipil mencatatkan perkawinan beda agama harus ada putusan pengadilan
yang sah, tetapi dalam kasus ini tidak ada putusan pengadilannya.

Untuk mencatatkan pernikahan beda agama, seharusnya ada proses


pengesahan oleh pengadilan. Namun, dalam kasus ini, tidak ada putusan
pengadilan yang mengesahkan pernikahan tersebut. Sehingga, keseluruhan situasi
ini menciptakan keraguan hukum mengenai sahnya pernikahan tersebut
berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku di Indonesia. Jika kita menganalisis
kasus perkawinan beda agama ini dari perspektif Fikih munakahat, pernikahan
antara seorang pria Muslim dengan seorang wanita non-Muslim dianggap tidak
sah. Selain itu, tindakan hubungan suami-istri yang terjadi dalam pernikahan
semacam ini dianggap sebagai perbuatan yang haram. Akibatnya, hak nasab anak
tidak dapat diberikan kepada ayahnya, dan perbedaan agama dianggap sebagai
salah satu hal yang menghalangi seseorang untuk menerima warisan.

Jika kita merujuk pada analisis Fatwa MUI Nomor 4 Tahun 2005,
perkawinan beda agama dianggap haram dan tidak sah, meskipun fatwa ini
bersifat tidak mengikat. Pernikahan semacam ini dianggap dapat merusak tujuan-
tujuan syari'ah Islam dan tujuan asal dari pernikahan, yang seharusnya
membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, dan warahmah. Lama kelamaan,
perbedaan dalam praktik beribadah bisa mengaburkan hubungan ini dan merusak
tujuan pernikahan.7

7
Yahya, Syarifah Sofwah, and Ramdan Fawzi. "Tinjauan Fatwa Mui Nomor 4 Tahun 2005 dan
Fikih Munakahat terhadap Praktik Perkawinan Beda Agama di Kecamatan Wonosari Kabupaten
Gunung Kidul." Jurnal Riset Hukum Keluarga Islam (2021): 43-46.
D. Implikasi Pernikahan Beda Agama

1. Status Anak dari Pernikahan Beda Agama

Salah satu tujuan dari pernikahan ialah untuk mendapatkan keturunan.


Keinginan untuk mempunyai keturunan merupakan naluri insani yang terdapat
pada setiap manusia, khususnya pada pasangan suami-istri. Keturunan disini tidak
lain adalah seorang anak. Anak merupakan kebahagiaan yang paling berharga
dalam hidup, sehingga banyak setiap pasangan yang mengharapkan kehadiran
seorang anak dalam kehidupannya. Setiap pasangan pasti menginginkan
keturunan yang baik, karena anak di sini sebagai penerus dari kedua orang tuanya.
Selain itu juga diharapkan bisa mewarisi apa yang diberikan oleh orang tuanya.
Kehadiran seorang anak dalam suatu keluarga merupakan hasil dari proses
pernikahan. Proses tersebut merupakan salah satu jalan untuk menentukan status
seorang anak. Dengan demikian seorang anak sangat bergantung pada pernikahan
atau hubungan antara ibu dan bapaknya.

Di dalam Islam terdapat berbagai macam status anak. Status tersebut


disesuaikan dengan sumber asal itu sendiri dan sumber itulah yang menentukan
status seorang anak. Pernikahan yang dilaksanakan berdasarkan aturan-aturan
dalam Islam akan memberikan nilai positif dalam kehidupan selanjutnya. Selain
itu juga akan memperjelas status anak yang dilahirkan. Begitu juga dengan
pernikahan beda agama. Jumhur ulama membedakan antara golongan ahl al-
Kitab dengan golongan musyrik. Dalil yang dikemukakan adalah ayat al-Qur’an
yang memang membedakan antara ahl al-Kitab dan musyrik. Ayat tersebut ialah
QS. al-Bayyinah /98: 1.

“Orang-orang kafir Yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan


bahwa mereka) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada
mereka bukti yang nyata”8

Berdasarkan ayat tersebut, Imam Ibnu Taimiyah menjelaskan perbedaan


musyrik dengan ahl al-Kitab. 2 Menurut beliau agama ahl al-Kitab tidak termasuk

8
Departemen agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 1084
agama syirik meskipun Allah mensifati mereka dengan musyrik. Pada hakikatnya
asal muasal agama Nasrani dan Yahudi bukan termasuk yang mengajarkan syirik,
karena agama mereka dibawa oleh Nabi Allah yaitu Musa dan Isa. Kedua Nabi
tersebut adalah utusan Allah yang mengajarkan Tauhid kepada umatnya9.

Akan tetapi, jika melihat fatwa yang dikeluarkan oleh Majelis Ulama
Indonesia bahwa pernikahan laki-laki/wanita Muslim dengan laki-laki/wanita
non-Muslim baik musyrik maupun ahl al-Kitab adalah haram hukumnya. Maka
menurut penulis, status anak yang dilahirkan dari pernikahan tersebut tidak sah
menurut agama, atau status anak tersebut adalah anak haram.

2. Hukum Waris Anak dari Pernikahan Beda Agama

Perbedaan agama merupakan salah satu penghalang dalam memperoleh


warisan. Landasan hukum dari halangan tersebut ialah QS. al-Nisa’/4: 141.

Artinya:” ..... Dan Allah sekali-kali tidak akan memberi jalan kepada orang-orang
kafir untuk memusnahkan orang-orang yang beriman”10

Dan ditegaskan pula oleh Rasulullah dlam sabdanya:

Artinya: Seorang muslim tidak mewarisi kepada orang-orang kafir, begitu pula
orang kafir tidak bisa mewarisi kepada orang muslim. (HR. Bukhari dan Muslim).

Dalam QS. al-Nisa’/4: 11 Allah menggunakan kata al-walad, arti kata


tersebut dalam istilah hukum berlaku untuk anak laki-laki dan perempuan. Dalam
keadaan apapun, anak tersebut tidak bisa terhijab oleh ahli waris yang lain.
Dengan demikian anak sebagai ahli waris utama dalam suatu keluarga. Sebagai
ahli waris utama, anak tidak mempunyai halangan apapun dalam memperoleh
warisan. Akan tetapi berbeda dengan anak dari pernikahan beda agama, anak dari
pernikahan tersebut tidak mewarisi harta orang tuanya, karena berdasarkan hadis

9
Budi Handrianto, Pernikahan Beda Agama (Jakarta: Khairul Bayan, 2003), h.66-67
10
Departemen agama RI, al-Qur’an dan Terjemahnya, h. 146.
sebelumnya, perbedaan agama tidak bisa untuk saling mewarisi. Dengan demikian
dalam keadaan seperti ini, anak tidak lagi sebagai ahli waris utama karena
terhalang perbedaan agama. Dalam hukum kewarisan, kerabat yang tidak
mendapat pusaka karena ada suatu penghalang bisa mendapatkan harta orang
yang meninggal melalui wasiat wajibah.11

Berdasarkan beberapa faktor diatas, maka orang yang berbeda keyakinan


bisa menerima warisan melalui wasiat wajibah begitu juga dengan anak dari
pernikahan beda agama. Memang dalam hadis dijelaskan bahwa tidak boleh saling
mewarisi antar beda agama. Sedangkan disisi lain anak tersebut bisa menerima
harta dari orang yang meninggal melalui wasiat wajibah yang berdasarkan ayat
wasiat. Anak memang sebagai ahli waris dan juga berhak menerima warisan serta
tidak berhak menerima wasiat. Akan tetapi dari pernikahan beda agama, anak
tersebut menjadi terhalang dalam memperoleh warisan dan bahkan tidak
menerima warisan sama sekali. Dengan adanya wasiat wajibah, anak bisa
mendapatkan warisan meskipun terhalang karena perbedaan agama. Perbedaan
tersebut tidak menjadi penghalang dalam wasiat.

3. Dampak Pernikahan Beda Agama

 Dampak Psikologis

Pernikahan bukan hanya untuk memenuhi kebutuhan biologis semata,


tetapi juga untuk memenuhi kebutuhan afeksional. Kebutuhan afeksional adalah
kebutuhan manusia untuk mencintai dan dicintai, rasa kasih sayang, rasa aman
dan terlindung, dihargai, diperhatikan, dan lain-lain. Secara psikologis, pernikahan
yang didasarkan pada pemenuhan biologis dan materi semata tidak akan
mendapatkan kebahagiaan. Ada beberapa problem yang terkait dengan dampak
psikologis dari pernikahan beda agama diantaranya:

a. Pernikahan beda agama lebih mengundang persoalan-persoalan yang dapat


mengguncangkan kestabilan kehidupan rumah tangga yang berakhir pada
hancurnya sendi-sendi kehidupan pernikahan atau pemutusan pernikahan

11
Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997), h.301
b. Pasangan beda agama biasanya bukannya semakin bertambah keimanan mereka
terhadap agamanya. Tapi sebaliknya, semakin melemahkan iman mereka. Dan
demi toleransi dan kerukunan masing-masing meraka melepaskan prinsip-prinsip
aqidah agamanya sendiri tanpa disadari telah terjadi ‘erosi iman’.

c. Pernikahan berbeda agama menimbulkan terjadinya konflik-konflik yang


berlarutlarut tanpa adanya suatu penyelesaian baik itu karena salah satu pasangan
tidak mau cerai, karena ingin mempertahankan keutuhan keluarganya sehingga
hancurlah sendi-sendi kehidupan rumah tangga.

 Dampak Sosiologis

Setiap agama menghendaki pemeluknya melakukan pernikahan yang


seagama atau seiman. Karena setelah memasuki dunia keluarga/berumah tangga
diharapkan dalam kehidupan sehari-hari ajaran agama yang dianut turut mewarnai
dan berperan dalam membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah,
sesuai dengan tujuan pokok pernikahan tersebut. Pernikahan beda agama tidak
akan pernah memuaskan kedua pihak. Kedua agama tidak merelakan terjadinya
pernikahan beda agama. Maka apabila pernikahan tersebut terjadi, kedua pihak
akan terkucilkan di komunitas agama kedua belah pihak, terutama sekali pihak
masingmasing keluarga.

 Dampak Teologis

Problem akibat perbedaan keyakinan dalam pernikahan cukup memberi


dampak negatif terhadap anak. Tidak jarang akibat perbedaan agama, rumah
tangga yang telah dibina selama belasan tahun semakin hari akan terasa semakin
kering. Ketika seorang suami (yang beragama Islam) pergi umrah atau haji, adalah
suatu kebahagiaan jika istri dan anak-anaknya bisa ikut bersamanya. Tetapi
alangkah sedihnya ketika istri dan anak-anaknya lebih memilih pergi ke gereja.
Salah satu kebahagiaan seorang ayah Muslim adalan menjadi imam salat
berjamaah bersama anak istri.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Perkawinan beda agama adalah perkawinan antara dua orang yang berbeda
agama dan masing-masing tetap mempertahankan agama yang dianutnya. Semua
ulama sepakat bahwa pernikahan dengan wanita musyrik adalah haram hukumnya,
sedangkan pernikahan dengan ahl al-Kita>b ada yang membolehkan dan ada juga yang
mengharamkan. Dampak pernikahan beda agama a. Perbedaan agama dalam pernikahan
dapat menimbulkan tekanan psikologis, berupa konflik kejiwaan yang pada gilirannya
mengakibatkan disfungsi pernikahan itu sendiri. b. Perbedaan agama antara ayah dan ibu
dapat membingungkan anak dalam hal memilih agama, apakah ia memilih agama
ayahnya atau memilih agama ibunya.

B. Saran

Makalah ini masih jauh dari kata kesempurnaan, oleh karena itu kami
butuh kritik dan saran yang membangun dari pembaca agar makalah ini dapat
berguna bagi kami dan pihak lainnya yang berkepentingan pada umumnya

DAFTAR PUSTAKA

Slamet Abidin dan H. Aminuddin, Fiqih Munakahat I (Bandung: Pustaka Setia,


1999).
Adil Fathi Abdullah, Ketika Suami Istri Hidup Bermasalah, (Jakarta: Gema
Insani, 2005).
Dewi Sukarti, Perkawinan Antar agma menurut Al-Qur’an dan Hadi, Vol. 15
(Jakarta: PBB UIN, 2003).
O.S, Eoh, Perkawinan Antar Agama.
Amri, Aulil. Perkawinan Beda Agama Menurut Hukum Positif dan Hukum Islam,
Media Syari'ah: Wahana Kajian Hukum Islam dan Pranata Sosial 22.1
(2020)
Sunandar, Wahyu. Fatwa majelis ulama Indonesia (MUI) tentang nikah beda
Agama dan respon para pemuka Agama terhadapnya. (2011).
Yahya, Syarifah Sofwah, and Ramdan Fawzi. Tinjauan Fatwa Mui Nomor 4
Tahun 2005 dan Fikih Munakahat terhadap Praktik Perkawinan Beda
Agama di Kecamatan Wonosari Kabupaten Gunung Kidul."Jurnal Riset
Hukum Keluarga Islam (2021).
Budi Handrianto, Pernikahan Beda Agama (Jakarta: Khairul Bayan, 2003).
Ash Shiddieqy, Fiqh Mawaris (Semarang: PT. Pustaka Rizki Putra, 1997).

Anda mungkin juga menyukai