Anda di halaman 1dari 15

MAKALAH FIKIH KONTEMPORER

PERKAWINAN BEDA AGAMA

Dosen Pengampu : Drs. Baehaqi, M.Pd

Disusun Oleh : Kelompok 5

1. Lale Annisa Janatin Sholeha (200101104)


2. Indri Noviasantika (200101113)
3. Muhammad Haris Nahadi (200101120)

Kelas : 5-D

JURUSAN PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

FAKULTAS TARBIYAH DAN KEGURUAN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI MATARAM

2022/2023
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah segala puji syukur atas kehadirat Allah SWT. yang telah memberikan
rahmat serta hidayah-Nya sehingga kami bisa menyelesaikan tugas makalah tepat waktu.
Shalawat serta salam tetap terlimpahkan kepada Nabi besar Muhammad SAW. yang telah
membawa kita zaman yang gelap menuju zaman yang terang benderang yakni agama islam.

Kami bersyukur atas kemudahan yang Allah telah berikan kepada kami sehingga
makalah ini dapat kami selesaikan. Selanjutnya kami ucapkkan terima kasih kepada Bapak Drs.
Baehaqi, M.Pd sebagai dosen mata kuliah Fikih Kontemporer yang telah memberikan kami
arahan dan petunjuk sehingga mempermudah kami dalam menyelesaikan tugas ini.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna oleh karna itu kami
sangat terbuka kepada kritik dan saran yang membangun sehingga makalah ini bisa lebih baik.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi teman-teman dan perkembangan ilmu pengetahuan
khususnya dalam Mata Kuliah Masailul iqih/Fikih Kontemporer.

Mataram, 13 Agustus 2022

Penulis

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................................................ i
DAFTAR ISI.......................................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................................................................... 1
A. Latar Belakang ............................................................................................................................ 1
B. Rumusan Masalah ....................................................................................................................... 1
C. Tujuan Penulisan ......................................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ....................................................................................................................... 3
A. Pengertian Perkawinan Beda Agama .......................................................................................... 3
B. Syarat menikah beda agama ........................................................................................................ 3
C. Beberapa pandangan atas perkawinan beda agama di Indonesia ................................................ 5
D. Perkawinan antara Muslim dengan non-muslim dalam Wacana Agama .................................... 7
BAB III PENUTUP ............................................................................................................................. 10
A. Kesimpulan ............................................................................................................................... 11
B. Saran ......................................................................................................................................... 11
DAFTAR PUSTAKA .......................................................................................................................... 11

ii
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Manusia adalah makhluk Allah yang berbeda dengan makluk-Nya lain, yang hidup
bebas mengikuti nalurinya dan bebas berhubungan antara laki-laki dan perempuan
secara semena-mena, tanpa adanya aturan. Allah adakan hukum sesuai dengan martabat
manusia demi menjaga kehormatan dan martabat kemuliaannya.
Oleh karena itu hubungan atara laki-laki dan perempuan di atur secara terhormat dan
berdasarkan saling ridho-meridhoi, dengan ucapan ijab qabul sebagai lambing dari
adanya rasa rodho-meridhoi, dan dengan di hadiri para saksi yang menyaksikan kalau
kedua pasangan laki-laki dan perempuan itu telah saling terikat.
Dengan adanya bentuk pernikahan semacam ini, memberikan jalan yang aman untuk
menjaga nalurinya, memelihara keturunan dengan baik dan menjaga kaum perempuan
agar tidak seperti layaknya rumput yang bisa di makan oleh binatang ternak dengan
seenaknya. Pergaulan suami istri di letakkan di bawah naungan keibuan dan kebapaan,
sehingga nantinya akan menumbuhkan tumbuh-tumbuhan yang baik dan membuahkan
buah yang bagus.
Peraturan pernikahan seperti inilah yang di ridhoi Allah dan di abadikan Islam untuk
selamanya, sedangkan yang lain di haramkan. Untuk itu dalam makalah ini akan kami
jelaskan tentang Nikah Beda Agama, agar kita tidak salah paham mengenai hukumnya.

B. Rumusan Masalah
1. Apa pengertian perkawinan beda agama?
2. Bagaimana pengaturan perkawinan beda agama dalam perundang-undang
perkawinan di Indonesia?
3. Bagaimana pandangan atas perkawinan beda agama di Indonesia?
4. Bagaimana perkawinan antara muslim dengan non-muslim dalam wacana agama?

C. Tujuan Penulisan
1. Untuk mengetahui pengertian perkawinan beda agama.
2. Untuk mengetahui aturan perkawinan beda agama dalam perundang-undang
perkawinan di Indonesia.

1
3. Untuk mengetahui beberapa pandangan mengenai pernikahan beda agama di
Indonesia.
4. Untuk mengetahai perkawinan antara muslim dengan non-muslim dalam wacana
agama.

2
BAB II

PEMBAHASAN

A. Pengertian Perkawinan Beda Agama


Dalam Pasal 1 UU perkawinan terdapat pengertian dari perkawinan itu sendiri yaitu
“Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai suami
istri.” Menurut Wantjik Saleh, dengan ikatan lahir batin ‟artinya perkawinan itu tidak
hanya berhenti pada “ikatan lahir atau, ikatan batin saja‟ tapi harus kedua-duanya.
Suatu ikatan lahir ‟adalah ikatan yang dapat dilihat, yaitu adanya suatu hubungan
hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama, sebagai suami istri, yang
dapat disebut juga “ikatan formal‟. Hubungan formal ini bersifat mengikat semua orang
baik masyarakat, orang lain, maupun dirinya sendiri. Sebaliknya, hubungan tidak
formal yaitu “ikatan batin‟ merupakan suatu ikatan yang harus ada meskipun tidak
dapat dilihat tidak dapat dilihat, karena ikatan lahir akan menjadi rapuh tanpa adanya
ikatan batin.1
Dari pengertian diatas mengenai pengertian perkawinan, maka dapat dikatakan
bahwa perkawinan memiliki beberapa aspek seprti aspek yuridis, religius dan sosial.
Aspek yuridis dapat kita lihat dalam ikatan lahir atau formal yang merupkan suatu
hubungan hukum antara suami istri, sedangkan aspek sosial dari pernikahan yaitu
hubungan yang mengikat diri mereka maupun orang lain atau masyarakat. Aspek
religius yaitu dengan adanya ketentuan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Sebagai landasan untuk membenyuk keluaraga yang bahagia dan kekal. Hal ini
sebagaiamana dinyatakan dalaam penjelasan Pasal 1 UU Perkawinan bahwa : Sebagai
Negara yang berdasarkan Pancasila, di mana Sila yang pertama ialah ke-Tuhan Yang
Maha Esa, maka perkawinan mempunyai hubungan yang erat sekali dengan agama,
sehingga perkawinana bukan saja mempunyai unsur lahir/jasmani, tetapi unsur
batin/rohani juga mempunyai peranan yang penting. Aselain itu aspek religius ini juga
terdapat dalam pasal-pasal lain, seperti dalam syarat sahnya pekawinan, dan larangan-
larangan perkawinan.
B. Syarat menikah beda agama

1
K. Watjik Saleh, Hukum Perkawinan Indonesia (Jakarta: Ghalia, 1992), hlm. 14 – 15.

3
Sebagai salah satu perbuatan hukum, perkawinan juga mempunyai akibat hukum.
Adanya akibat hukum penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum
itu. Dalam Pasal 2 UU Perkawinan disebutkan bahwa:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Dari pasal ini dapat diketahui bahwa syarat sah perkawinan adalah dilaksanakan
menurut agama dan kepercayaan masing-masing, sebagaimana dalam penjelasan Pasal
2 UU Perkawinan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu. Hal ini sesuai dengan UUD 1945 Pasal 29 yang menyatakan
bahwa; (1) Negara berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa; (2) Negara menjamin
kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk
beribadah menurut agamanya dan kepercayaannya itu.

Hazairin menyatakan bahwa tentang tidak ada perkawinan di luar hukum masing-
masing agama dan kepercayaannya itu, bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk
kawin dengan melanggar hukum agamanya sendiri. Demikian juga bagi orang Kristen
dan bagi orang Hindu atau Buddha seperti yang dijumpai di Indonesia‟.

Sementara Pasal 2 (2) tentang pencatan sebagai syarat sah perkawinan hanya bersifat
administrative. Sebagaimana dinyatakan oleh Wantjik Saleh bahwa perbuatan
pencatatan itu tidaklah menentukan “sah‟ nya suatu perkawinan, tetapi menyatakan
bahwa peristiwa itu memang ada dan terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif.
Juga dinyatakan dalam Penjelasan Umum UU Perkawinan, bahwa pencatatan tiap-tiap
perkawinan adalah sama halnya dengan pencatatan peristiwa-peristiwa penting dalam
kehidupan seseorang, misalnya kelahiran, kematian yang dinyatakan surat-surat
keterangan, suatu akte resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Pencatatan
perkawinan ini dilaksanakan di Kantor Urusan Agama bagi yang beragama Islam dan
Kantor Catatan Sipil bagi yang tidak beragama Islam, sebagaimana dinyatakan dalam
Peraturan Pemerintah No 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Perkawinan.

Adapun syarat-syarat perkawinan diatur dalam Pasal 6 sampai Pasal 11 UU


Perkawinan, yaitu;

1. Adanya persetujuan kedua calon mempelai.

4
2. Adanya izin dari orang tua/wali bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun.

3. Umur calon mempelai pria sudah mencapai 19 tahun dan mempelai wanita sudah
mencapai umur 16 tahun.

4. Antara kedua calon mempelai tidak ada hubungan darah, hubungan keluarga, dan
hubungan yang dilarang kawin oleh agama dan peraturan lain yang berlaku.

5. Tidak terkait hubungan perkaewinan dengan orang lain.

6. Tidak bercerai untuk kedua kalinya dengan suami atau isteri yang sama, yang hendak
dikawini.

7. Bagi seorang wanita (janda) tidak dapat kawin lagi sebelum lewat waktu tunggu.2

C. Beberapa pandangan atas perkawinan beda agama di Indonesia


Sebelum adanya UU Perkawinan, keadaan hukum perkawinan di Indonesia
beragam. Setiap golongan penduduk berlaku hukum perkawinan yang berbeda dengan
golongan penduduk yang lain. Persoalan ini menimbulkan masalah hukum perkawinan
antar golongan, yaitu tentang hukum perkawinan manakah yang akan diberlakukan
untuk perkawinan antara dua orang dari golongan yang berbeda. Dalam rangka
memecahkan masalah tersebut, maka pemerintah Hindia Belanda mengeluarkan.
Penetapan Raja tanggal 29 Desember 1896 No. (Stb. 1898 No. 158) yang merupakan
peraturan tentang Perkawinan Campuran (Regeling op de Gemengde Huwelijken).
Perkawinan beda agama termasuk dalam pengertian perkawinan campuran. Hal ini
dapat dilihat pada Pasal 1 GHR itu yang menyatakan bahwa yang dimaksud dengan
perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang di Indonesia yang tunduk
kepada hukum-hukum yang berlainan. Berdasarkan Pasal GHR tersebut, para ahli
hukum berpendapat bahwa yang dimaksud perkawinan campuran adalah perkawinan
antara laki-laki dan perempuan yang masing-masing pada umumnya takluk pada
hukum yang berlainan. Dalam Pasal 7 ayat (2) GHR dinyatakan bahwa dalam
perkawinan campuran ini, perbedaan agama, bangsa, atau asal sama sekali tidak
menjadi halangan untuk melangsungkan perkawinan. Berdasarkan paparan tersebut,
maka perkawinan beda agama sebelum berlakunya UU perkawinan, termasuk dalam

2
Sri Wahyuni, Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia,(Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga Yogyakarta,2016).hal.135-137

5
perkawinan campuran yang diatur dalam GHR, dan pelaksanaannya dicatatkan di
Kantor Catatan Sipil.
Setelah Adanya UU Perkawinan, Status Hukum Perkawinan Beda Agama UU
Perkawinan memberikan peranan yang sangat menentukan sah/tidaknya suatu
perkawinan kepada hukum agama dan kepercayaan masing-masing calon mempelai.
Keadaan tersebut tampak jelas dalam Pasal 2 UU Perkawinan yaitu bahwa “Perkawinan
adalah sah apabila dilakukan menurut agama dan kepercayaannya masing-masing.”
Dalam penjelasan Pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar
hukum agamanya dan kepercayaannya itu. Hazairin, secara tegas dan jelas memberikan
penafsiran pasal 2 tersebut bahwa bagi orang Islam tidak ada kemungkinan untuk kawin
dengan melanggar „hukum agamanya sendiri‟. Demikian juga bagi orang Kristen, dan
bagi orang Hindu. Karena itu, maka berarti jalan buntu bagi para calon mempelai yang
berbeda agama unuk melaksanakan perkawinan antar agama. Karena, di samping
peraturan dalam Pasal 2 ini, mereka juga tidak mungkin menggunakan peraturan
perkawinan campuran dalam Bab XII pasal 57 UU Perkawinan, yang tidak mengatur
tentang perkawinan antara agama. Pasal 66 UU Perkawinan menyatakan bahwa dengan
perlakunya UU ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang
Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen
(Huwelijk Ordonantie Christen Indonesiers, S. 1933 No. 74), Peraturan Perkawinan
Campur (Regeling op de Gemengde Huwelijk S. 158 tahun 1898) dan peraturan-
peraturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-
undang ini, dinyatakan tidak berlaku. Dari ketentuan Pasal 66 tersebut, dapat
dinyatakan bahwa ketentuan perkawinan beda agama dalam GHR tidak berlaku lagi,
sedangkan perkawian campur dalam UU Perkawinan memiliki rumusan yang berbeda.

Namun, dari Pasal 66 tersebut, terdapat beberapa ahli hukum yang mengatakan
bahwa terdapat kekosongan hukum tentang perkawinan campuran beda agama. Karena
UU Perkawinan tidak mengatur tentang perkawinan campuran beda agama, sedangkan
bunyi Pasal 66 menyatakan bahwa peraturan perkawinan lama tidak berlaku selama
telah diatur oleh UU Perkawinan ini. Hal ini dinyatakan oleh beberapa sarjana di
antaranya Purwanto S. Ganda Subrata bahwa perkawinan campuran antara agama

6
selama belum diatur secara langsung dalam UU Perkawinan dapat dilangsungkan
menurut ketentuan GHR dengan disesuaikan dengan asas-asas dalam UU Perkawinan.3
Maria Ulfa Subadio juga menyatakan bahwa meskipun perkawinan warga Negara
Indonesia yang berlainan agama tidak diatur dalam UU Perkawinan, akan tetapi
berdasarkan Pasal 66, ketentuan dalam GHR masih dapat dipergunakan dalam
perkawinan antar agama.4
Tanpa adanya ketentuan tentang perkawinan beda agama dalam UU Perkawinan
juga menimbulkan ketidakpastian mengenai ketentuan hukum yang dijadikan pedoman
dalam pelaksanaannya.
D. Perkawinan antara Muslim dengan non-muslim dalam Wacana Agama
Dalam literatur klasik tidak dikenal kata Perkawinan Beda Agama secara literal dan
tidak ditemukan pembatasan pengertian secara jelas, namun pembahasan yang terkait
dengan masalah tersebut dimasukkan pada bagian pembahasan mengenai wanita yang
haram dinikahi atau pernikahan yang diharamkan, yang antara lain disebut sebagai az-
zawaj bi al-kitabiyat, az-zawaj bi al-musyrikat atau az-zawaj bi ghair al-
muslimah(perkawinan dengan wanita-wanita ahli Kitab yaitu perkawinan dengan
wanita-wanita Yahudi dan Nashrani), perkawinan dengan wanita-wanita musyrik
(orang-orang musyrik) dan perkawinan dengan non muslim.
Perkawinan beda agama adalah ikatan lahir dan batin antara seorang pria
denganseorang wanita yang karena berbeda agama menyebabkan tersangkutnya dua
peraturanyang mengenai syarat-syarat dan tata cara pelaksanaan perkawinan sesuai
dengan hukumagamanya masing-masing dengan tujuan membentuk keluarga yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.Dalam pembahasan hukum
Islam, khususnya dalam literatur fiqh klasik, PerkawinanBeda Agama dapat dibedakan
menjadi tiga kategori: pertama, Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang
wania musyrik; kedua, Perkawinan antara seorang priamuslim dengan wanita ahli
kitab; dan ketiga, Perkawinan antara seorang wanita muslimahdengan pria non muslim
(sama adanya musyrik atau ahli kitab).5
a. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan seorang wanita musyrik dan
sebaliknya.Para ulama sepakat bahwa seorang pria muslim diharamkan menikah

3
Djaya S. Melida, Masalah Perkawinan Antar Agamadan Kepercayaan di Indonesia dalam Perspektif
Hukum (Jakarta: Vrana Widya Darma, 1988), hlm. 79.
4
Maria Ulfa Subadio, Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan (Jakarta: Idaya, 1981), p. 23.

5
Masjfuk, Zuhdi. 1994. Masail Fiqhiyah. Jakarta: Gunung Agung. Hal. 4

7
dengan seorangwanita musyrikah. Pendapat ini didasarkan pada QS. Al-Baqarah
(2), 221:“Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka
beriman. Sungguhhamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada
perempuan musyrik meskipundia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan
orang (laki-laki) musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka
berima. Sungguh, hamba sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-
laki musyrik meskipun dia menarik hatimu, mereka mengajak ke neraka, sedangkan
Allah mengajak ke surge dan ampunandengan izin-Nya.(Allah) menerangkan ayat-
ayat-Nya kepada manusia agar mereka mengambil pelajaran.” Menurut Qatadah:
Maksud dari ayat “dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka
beriman” adalah untuk wanita musyrik yang bukan termasuk ahli kitab. Ayat ini
umum secara zhahir dan khusus secara batin dan tidak ada nasakh hukum dari ayat
tersebut.6 Dari pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa pria muslim dilarang
menikahdengan wanita musyrik, begitupun sebaliknya jika pria itu penyembah
berhala, tidak dibolehkan bagi wanita muslim menikah dengannya dan
mempertahankan pernikahannya.Dari semua tafsiran diatas, mereka para mufassir
semuanya mempertegas bahwa wanita kafir yang tidak boleh dinikahi itu adalah dia
yang musyrik, sebagaimana ayat ini turundisebabkan terjadinya perjanjian
Hudaibiyah di antara Nabi SAW dan orang-orangmusyrik Quraisy Mekkah.
Sehingga hal ini memicu perbedaan pendapat diantara paraulama tentang menikahi
wanita kafir selain musyrik.
b. Perkawinan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab. Di dalam literatur
klasik didapatkan bahwa kebanyakan ulama cenderung membolehkan perkawinan
tersebut dan sebagian dari mereka hanya menganggap makruh, merekamerujuk
pada QS. Al-Maidah (5): 5:“Pada hari ini dihalalkan kepada bagimu segala yang
baik-baik, makanan (sembelihan)ahli Kitab itu halal bagimu dan makananmu halal
bagi mereka. Dan (dihalalkan bagimumenikahi) perempuanperempuan yang
menjaga kehormatan di antara perempuan- perempuan yang beriman dan
perempuan-perempuan yang menjaga kehormtaman diantara yang diberi kitab
sebelum kamu, apabila kamu membayar maskawin mereka untuk menikahinya,
tidak dengan berzina dan bkan untuk menjadikan perempuan piaraan.Barangsiapa

6
at-Thabari, Ibn Jarir, 2000. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-Quran, t.tp: Muassah Ar-Risalah. Hal.
389

8
kafir setelah setelah beriman maka sungguh, sia-sia amal mereka dan diakhirat dia
termasuk orang-orang yang rugi.”Para ulama menafsirkan bahwa ayat ini
menunjukkan halalnya menikahi para wanitaahli kitab, yaitu wanita Yahudi atau
Nashrani. Al-Maraghi dalam tafsirnya mengatakan al-muhshanat yang
dimaksudkan disini yaitu wanita-wanita merdeka, yaitu dihalalkan bagi kalian
wahai orang-orang beriman, menikahi wanita-wanita merdeka dari kalangan wanita
mukmin, ataupun wanita-wanita merdeka dari kalangan orang-orang yang diberi
kitabsebelum kamu, yaitu wanita-wanita Yahudi atau Nashrani, jika kalian
memberikan kepadamereka mahar ketika menikahi mereka. Al Qurthubi juga
mengatakan bahwa Ibnu Abbasmengatakan, wanita ahlul kitab disini yaitu mereka
yang tinggal di kawasan muslim (Darul‘Ahd), bukan mereka yang tinggal di negara
non muslim.Ath-Thabari menyimpulkan, dari banyaknya tafsiran ulama tentang
ayat ini, tafsir yang benar adalah: dihalalkan menikahi wanita-wanita merdeka dari
kalangan kaum musliminataupun ahli kitab. Kata Al-Muhshanat bukanlah berarti
wanita-wanita yang menjagakehormatannya, tapi wanita-wanita merdeka. Karena
jika ditafsirkan wanita-wanita yangmenjaga kehormatan, maka budak termasuk di
dalamnya, sedangkan menikahi budak yangnon muslim itu dilarang. Dan beliau
menyimpulkan bahwa menikahi wanita merdeka yangmukmin ataupun ahli kitab
itu halal secara mutlak, wanita dzimmiyah ataupun harbiyah,dia yang merjaga
kehormatannya ataupun tidak, selama yang menikahi tidak khawatir akan anaknya
kelak condong ataupun dipaksa kepada kekufuran, berdasarkan zhahir ayat.
c. Perkawinan antara seorang wanita muslimah dengan pria non muslim atau kafir Para
ahli hukum Islam menganggap perkawinan tersebut dilarang oleh Islam,
samaadanya calon suami dari ahli kitab (Yahudi dan Kristen) atau pun pemeluk
agama lainyang mempunyai kitab suci seperti Hindu dan Budha atau pun pemeluk
agamakepercayaan yang tidak memiliki kitab suci. Maksud dari lafaz musyrik pada
ayat “dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman”
adalah semua orangkafir yang tidak beragama Islam, yaitu watsani (penyembah
berhala), majusi, yahudi,nasrani dan orang yang murtad dari Islam. Semua yang
disebutkan tadi haram bagi merekamenikahi wanita-wanita muslimah. Seorang
suami mempunyai kekuasaan atas istri, ada kemungkinan sang suami memaksa
istrinya untuk meninggalkan agamanya danmembawanya kepada yahudi atau
nasrani. Pada umumnya, anak akan mengikuti agamaayahnya, jika ayahnya yahudi
atau nasrani maka mereka akan mengikutinya. Sedangkan seorang pria muslim, ia

9
akan mengagungkan Nabi Musa dan Isa As. percaya denganrisalah mereka dan
turunnya taurat dan injil. Seorang muslim tidak akan menyakiti istrinyayang
merupakan seorang yahudi atau nasrani dengan alasan keimanan mereka yang
berbeda. Berbeda jika suami yang tidak mempercayai Al-Qur’an dan Nabi
MuhammadSaw. dengan tiada keimanannya terhadap Islam menyebabkannya
menyakiti wanita muslimah dan meremehkan agamanya.
d. Laki-laki Muslim dengan Perempuan Shabi’ah Majusi dan lainnya.Selain menyebut
Yahudi dan Nasrani, Al-Qur’an juga beberapa kali menyebutkan pemeluk agama
Shabi’ah (QS. Al-Baqarah: 26, QS. Al-Maidah: 69, QS. Al-hajj: 17),Majusi (QS.
Al-Hajj: 17) serta orang-orang yang berpegang pada suhuf (lembaran kitab suci)
Nabi Ibrahim yang bernama syit, dan suhuf Nabi Musa yang bernama Taurat
dankitab Zabur yang diturunkan pada Nabi Dawud.Mengenai perempuan Shabi’ah
paa fuqaha Madzab Hanafi berpendapat bahwa merekasebenarnya termasuk ahli
kitab, hanya saja kitabnya sudah disimpangkan dan palsu.Mereka dipersamakan
dengan pemeluk Yahudi dan Nasrani, sehingga laki-laki mukmin boleh
mengawininya. Sedangkan para fuqaha syafi’iyah dan Hanabilah
membedakanantara ahli kitab dan penganut agama Shabi’ah. Menurut mereka
orang-orang Yahudi dan Nasrani sependapat dengan Islam dalam hal-hal pokok
agama membenarkan Rasul-Rasuldan mengimani kitab-kitab.7 Adapun tentang
mengawini perempuan Majusi, Abdurahman ibn Auf berkata:“Saya pernah
mendengar Rasulullah bersabda, perlakukanlah mereka (pemeluk majusi)seperti
memperlakukan ahli kitab.”Logikanya mereka bukan termasuk ahli kitab dan haram
mengawininya. Tetapi AbuTsur berpendapat lain. Ia menghalalkan mengawini
perempuan Majusi karena agama mereka juga diakui dengan berlakunya membayar
jizyah (pajak) sebagaimana yang diberlakukan kepada orang Yahudi dan Nasrani.

BAB III

PENUTUP

7
Abdurrahman al-Jaziri, Kitab al-Fiqh a ‘Ala-al-Madzahib al-Arba’ah. (Libanon: dar al-
Fiqr,1998)Hal.76-77

10
A. Kesimpulan
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan wanita sebagai
suami istri. Menurut Wantjik Saleh, dengan ikatan lahir batin ‟dimaksudkan bahwa
perkawinan itu tidak hanya cukup dengan adanya „ikatan lahir‟ atau ,ikatan batin saja‟
tapi harus kedua-duanya. Suatu ikatan lahir ‟adalah ikatan yang dapat dilihat, yaitu
adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk hidup bersama,
sebagai suami istri, yang dapat disebut juga „ikatan formal‟. Hubungan formal ini
mengikat bagi dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat.
Adanya akibat hukum penting sekali hubungannya dengan sahnya perbuatan hukum
itu. Dalam Pasal 2 UU Perkawinan disebutkan bahwa:
1. Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Dari pasal ini dapat diketahui bahwa syarat sah perkawinan adalah dilaksanakan
menurut agama dan kepercayaan masing-masing, sebagaimana dalam penjelasan Pasal
2 UU Perkawinan, bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum masing-masing agama
dan kepercayaannya itu.
B. Saran
Demikianlah makalah yang berhasil kami susun. Penyusunan makalah ini
tidaklah luput dari kesalahan dan kekeliruan. Pasti masih banyak kekurangan dalam
makalah ini. Untuk itu kami mengharapkan saran dan masukan dari para pembaca atas
kekurangan tersebut. Saran dari para pembaca semoga bisa membantu kami dalam
menyusun tugas makalah selanjutnya.

DAFTAR PUSTAKA

K. Saleh Watjik, 1992. Hukum Perkawinan Indonesia. Jakarta: Ghalia.

11
Wahyuni Sri, 2016, Perkawinan Beda Agama di Indonesia dan Hak Asasi Manusia
,Yogyakarta: UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta.

S. Melida Djaya, 1988. Masalah Perkawinan Antar Agamadan Kepercayaan di Indonesia


dalam Perspektif Hukum, Jakarta: Vrana Widya Darma.

Subadio Maria Ulfa ,1981. Perjuangan Untuk Mencapai UU Perkawinan.Jakarta: Idaya.

Al-Jaziri, Abdurrahman. 1998. Kitab al-Fiqh a ‘Ala-al-Madzahib al-Arba’ah. Libanon:dar al-


Fiqrat-Thabari, Ibn Jarir, 2000. Jami’ al-Bayan fi Ta’wil Al-
Quran, t.tp:

Muassah Ar-RisalahEoh, O.S. 1996. Kawin Campur Dalam Teori dan Praktek. Jakarta:
Srigunting.

Zuhdi, Masjfuk, 1994. Masail Fiqhiyah, Jakarta: Gunung Agung.

12

Anda mungkin juga menyukai