Anda di halaman 1dari 14

MAKALAH

PERNIKAHAN ONLINE SAH DAN TIDAKNYA DIMATA AGAMA DAN NEGARA


Makalah Ini Disusun untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Pengantar Hukum Indonesia

Dosen Pengampu : Dr. Ria Safitri, M.Hum.

Disusun Oleh :

M. Assiraj A.K Kunggua (11220440000037)

PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA


FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2023
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur kita ucapkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan
rahmat serta karunia-Nya, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini. Shalawat
serta salam tidak lupa kami ucapkan kepada Nabi Muhammad SAW., yang telah
membimbing kita dari masa kegelapan hingga masa yang terang-benderang ini. Tak
lupa kami mengucapkan terima kasih kepada dosen mata kuliah Logika dan
Penalaran Hukum, teman-teman mahasiswa yang telah membantu menyelesaikan
makalah ini.

Makalah ini di peruntukan untuk tugas kelompok mata kuliah pengantar ilmu
hukum yang berjudul “Pernikahan Online Sah dan Tidaknya Dimata Agama dan
Negara” dalam pembuatan makalah ini saya banyak mengalami kesulitan. Namun
berkat seizin Allah saya dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Kami selalu mengingat bahwa tiada gading yang tidak retak, oleh karena itu
kami senantiasa menerima saran dan kritik yang bersifat membangun demi perbaikan
makalah ini di masa yang akan mendatang, demikian semoga bermanfaat dan terima
kasih.

Ciputat, 22 juni 2023

M.Assiraj A.K K
2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.......................................................................................................................................2
BAB I............................................................................................................................................................3
PENDAHULUAN...........................................................................................................................................3
Latar Belakang..........................................................................................................................................................3
Rumusan Masalah....................................................................................................................................................4
Tujuan Penelitian..................................................................................................................................................... 4
BAB II...........................................................................................................................................................5
PEMBAHASAN.............................................................................................................................................5
Pernikahan Dalam Islam dan Negara.......................................................................................................................5
Pernikahan Online Menurut Agama Islam...............................................................................................................6
Pernikahan Secara Online Dalam Aturan Negara atau Undang-Undang..................................................................9
BAB III........................................................................................................................................................12
PENUTUP...................................................................................................................................................12
Kesimpulan............................................................................................................................................................ 12
Daftar Pustaka...........................................................................................................................................13

3
BAB I
PENDAHULUAN

Latar Belakang
Pernikahan ialah ikatan ialah ikatan lahir bathin antara seorang pria dengan seorang
wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang
bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Mahaesa.
Telah kita semua alami sebuah kejadian pada tahun 2020 yakni Covid-19 yang dimana
seluruh dunia sibuk untuk mengatasi virus ini bahkan di Indonesia pun berusaha untuk
melawan virus ini. Pada masa-masa ini seluruh warga indonesia dilarang untuk
melakukan kegiatan yang menimbulkan keramaian, oleh karena itu untuk menjalankan
aktivitas-aktivitas yang menimbulkan keramaian secara aman dan tidak bertemu satu
sama lain diadakanlah daring yaitu semua aktivitas yang menimbulkan keramaian
dilakukan secara online dengan device atau gadget melalui aplikasi-aplikasi tertentu
seperti zoom,google meet, dan lain-lain.
Dikarenakan semua aktivitas dilakukan secara online seperti sekolah, kuliah,
pekerjaan yang seharusnya di kantor, dan jual beli. Maka, kegiatan atau acara pernikah
seperti ijab qabul, lamaran, dan lain-lain tidak boleh dilakukan karena menimbulkan
sebuah perkumpulan yang bisa memicu keramaian, oleh karena itu diambillah jalan
tengah yaitu pernikahan secara online.

4
Rumusan Masalah
1. Apakah pernikahan secara online diperbolehkan dalam islam?
2. Apakah pernikahan secara online diatur dalam aturan negara atau Undang-
Undang?
3. Adakah kemungkinan pernikahan online disahkan dalam agama dan
aturan negara?

Tujuan Penelitian
1. Mengetahui hukum pernikahan secara online
2. Mengetahui adakah aturan negara yang mengatur pernikahan online
3. Mengetahui kemungkinan diperbolehkannya pernikahan online oleh
agama dan negara?

5
BAB II
PEMBAHASAN

Pernikahan Dalam Islam dan Negara


Pernikahan dalam Islam dan aturan negara memiliki beberapa perbedaan dalam hal
persyaratan dan dasar hukumnya. Berikut adalah penjelasan mengenai pernikahan
menurut Islam dan aturan negara:
1. Pernikahan menurut Islam: Pernikahan dalam Islam dianggap sebagai salah satu ibadah
dan sunnah yang dianjurkan. Dasar hukum menikah dalam agama Islam terdapat dalam
Al-Quran dan hadis. Menikah memiliki keutamaan dan dianggap sebagai cara untuk
menyempurnakan setengah agama. Syarat dan rukun pernikahan dalam Islam mencakup
persetujuan kedua belah pihak, wali yang sah, saksi, mahar, dan ijab qabul. Pernikahan
dalam Islam juga mengakui adanya pernikahan turun ranjang (menikahi adik atau kakak
ipar setelah suami/istri sah meninggal dunia).
2. Aturan negara:Aturan pernikahan dalam negara, seperti di Indonesia, diatur oleh hukum
yang berlaku secara umum. Pernikahan menurut aturan negara Indonesia juga memiliki
persyaratan yang harus dipenuhi agar dianggap sah secara hukum. Syarat-syarat nikah
yang berlaku di Indonesia terdiri dari syarat regulatif dan syarat administratif. Syarat
regulatif merujuk pada persyaratan yang diatur oleh hukum dan perundang-undangan,
sementara syarat administratif berkaitan dengan persyaratan administrasi seperti surat
nikah, persetujuan wali, dan sebagainya. Jika semua persyaratan terpenuhi, pasangan
dapat dinikahkan secara resmi berdasarkan aturan hukum di Indonesia.1

Terdapat beberapa persamaan antara pernikahan menurut Islam dan aturan negara, seperti
persyaratan persetujuan kedua belah pihak, adanya wali yang sah, dan keberadaan saksi.
Namun, terdapat juga perbedaan dalam hal persyaratan dan prosedur administratif yang
mungkin berbeda antara negara-negara yang memiliki aturan pernikahan yang berbeda.

1
https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/13/080500365/syarat-nikah-yang-berlaku-sesuai-hukum-di-
indonesia
6
Pernikahan Online Menurut Agama Islam
Alquran dan As-Sunnah kita yakini sebagai sebuah produk yang mengayomi dan
menjamin adanya rasa aman dan percaya bagi hambanya. Alquran yang terdiri dari ayat-
ayat sebagai nash atau dasar hukum yang diturunkan langsung oleh Allah SWT kepada
Rasulullah SAW ialah sebagai petunjuk dan berita gembira serta panduan umat Islam
agar tidak tersesat dan dapat menjalankan kehidupannya sesuai pada penerapan fiqih
dengan tanpa keragu-raguan. Dengan berpegang teguh kepada al-Quran dan as-Sunnah,
manusia dapat memperoleh jaminan hukum langsung dari Allah dan juga RasulNya.
Namun dalam konteks sekarang terkait dengan adanya nikah online yang tak pernah
terjadi sebelumnya dan tidak pernah disinggung dan dijelaskan seara rinci dalam kitab-
kitab fiqih klasik atau bahkan di dalam Alquran, maka harus secepatnya ada suatu
ketetapan atau sebuah fatwa yang mensahkannya ataupun juga melarangnya.Hal ini
menjadi sangat urgen pada zaman sekarang ini, karena pernikahan ataupun masalah-
masalah lainnya yang berhubungan dengan fiqih yang cenderung tidak ada ketetapannya
maka dapat menimbulkan keabsoutan atau bahkan kekosongan hukum.
Berkenaan dengan masalah yang belum dijelaskan secara rinci oleh Alquran dan Hadis
dapat dilakukan oleh umat dan berlaku padanya kreasi manusia untuk mengatur apa-apa
yang dibutuhkan dan dianggap baik olehnyha, tentu hal ini bersandar dan berdasarkan
prinsip maşhlāhat, dengan menggunkan kaidah fikih.
"Pada dasarnya dalam hal yang berkenaan dengan muamalah, hukumnya adalah boleh
dilaksanakan sampai ada dalil yang menyatakan keharamannya."2
Dalam kaidah yang lain:
"Pada dasarnya segala sesuatu halal (boleh) dilaksanakan, kecuali ada madharat
(bahaya) dalam pelaksanaannya".

Berdasarkan kaidah-kaidah tersebut dapat kita ambil hikmah dan kesimpulan bahwa hal ini tentu
suatu pembuktian kepada semua ummat, baik Islam atau bahkan non Islam, bahwa agama Islam
atau hukum Islam itu Universal, iabersifat statis, ia dapat diterima dimasa apapun dan dalam
konteks apapun. Hal ini juga sebagai bukti bahwa Islam itu agama yang modern sekaligus
rahmatan lil 'ālamin. Ini menjelaskan bahwa ia bukan hanya agama yang dapat hidup di zaman
Rasulullah SAW dan zaman sahabat, melainkan ia adalah agama atau aturan yang dapat bertahan
2
Syarif Hidayatullah, Qawa'id Fiqiyyah Dan Penerapannya Dalam Transaksi Keuangan Syari'ah kontemporer
(mu'amalat, Maliyyah, Muashirah). (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), h. 7.
7
dan untuk semua zaman. Konteks semua zaman yang penulis maksud, ia bukan saja terkait
masalah waktu dan tempat, ia juga merupakan tafsiran bahwa semua zaman meliputi keadaan,
dan ini erat kaitannya dengan perkembangan zaman dan teknologi, karena suatu keadaan
tentunya akan selalu berubah menyesuaikan perkembangan waktu dan zaman. Dalam konteks
nikah online, menurut penulis ia dapat dianalogikan sebagai sebuah representatif dari suatu
kemajuan zaman, dan suatu kemajuan zaman meliputi perkembangan peradaban dan juga ilmu
pengetahuan, dan ilmu pengetahuan pada implementasinya yakni sebuah teknologi, yang
diterapkan dan menjadi sebuah kebiasaan.
Tetapi pernikahan secara online masih menjadi perdebatan diantara ulama, perbedaan pendapat
tentang perkawinan online terjadi perbedaan pandangan tentang syarat-syarat dan dalil-dalil
tentang pernikahan. Perbedaan karena tersebut juga terjadi dikarenakan teknis pelaksanaan
pernikahan online tidak diatur secara jelas. Berhubungan dengan Undang-undang perkawinan
dalam pasal 2 ayat (1) dikatakan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut
masing-masing agama dan kepercayaannya, maka bagi umat islam ketentuan mengenai
terlaksananya akad nikah dengan baik tetap mempunyai kedudukan yang menentukan untuk sah
atau tidak sahnya suatu pernikahan. Akad menurut Pasal 1 huruf c Kompilasi Hukum Islam
adalah: “Akad nikah ialah rangkaian ijab yang diucapkan oleh wali dan kabul yang diucapkan
olehmempelai pria atau wakilnya disaksikan oleh dua orang saksi;” Abdurrahman al-Jaziri
menjelaskan bahwa para ulama bersepakat mensyaratkan satu majelis dalam melaksanakan ijab
qabul. Dengan demikian apabila ijab qabul tidak dilaksanakan dalam satu mejelis, maka akad
nikah dianggap tidak sah. Para ulama terbagi dalam dua kelompok dalam menafsirkan ittihad
majlis (satu majelis)3.
Yang dimaksud dengan ittihad al-majelis ialah bahwa ijab dan kabul harus dilakukan dalam jarak
waktu yang terdapat dalam satu upacara akad nikah, bukan dilakukan dalam dua jarak waktu
secara terpisah, dalam arti bahwa ijab diucapkan dalam satu upacara, kemudian setelah upacara
ijab bubar, kabulkan diucapkan pula pada acara berikutnya. Dalam hal yang disebut terakhir ini,
meskipun dua acara berturut-turut secara terpisah bisa jadi dilakukan dalam satu tempat yang
sama, namun karena kesinambungan antara ijab dan Kabul itu terputus, maka akad nikah
tersebut tidak sah. Dengan demikian, adanya persyaratan bersatu majlis, adalah menyangkut
kaharusan kesinambungan waktu antara ijab dan Kabul, bukan menyangkut kesatuan tempat.4

3
Satria Efendi M. Zain, Priblematika Hukum Keluarga, Jakarta: Pernada Media Grup. hlm. 4
4
ibid, hlm. 4
8
Seperti dikemukakan di atas, meskipun tempatnya bersatu, tetapi apabila dilakukan dalam dua
waktu, dalam dua acara yang terpisah, maka kesinambungan antara pelaksanaan ijab dan
pelaksanaan Kabul sudah tidak terwujud, dan oleh karena itu akad nikahnya tidak sah.
Said sabiq dalam kitabnya Fiqh as-Sunnah dalam menjelaskan arti bersatu majelis bagi ijab dan
Kabul, menekankan pada pengertian tidak boleh terputusnya antara ijab dan Kabul. Satu contoh
dikemukakan oleh al-jaziri dalam memperjelas pengertian bersatu majelis dalam mazhab Hanafi
adalah dalam masalah seorang lelaki berkirim surat mengakadkan nikah kepada pihak
perempuan yang dikehendakinya. Setelah surat itu sampai, lalu surat itu dibacakan di depan wali
wanita dan para saksi, dan dalam majelis yang sama setelah isi surat dibacakan, wali perempuan
langsung mengucapkan penerimaannya (kabulnya).5
Praktik akad nikah seperti tersebut oleh kalangan hanafiyah dianggap sah, dengan alasan bahwa
pembacaan ijab yang terdapat dalam surat calon suami dan pengucapan Kabul dari pihak wali
wanita, sama-sama didengar oleh dua orang saksi dalam majlis yang sama, bukan dalam dua
upacara berturut-turut secara terpisah dari segi waktunya. Dalam contoh tersebut, ucapan akad
nikah lebih dahulu diucapkan oleh calon suami, dan setelah itu baru pengucapan akad dari pihak
wali wanita. Praktik tersebut boleh menurut mazhab Hanafi.
Sedangkan pendapat lain yang mengatakan bahwa bersatu majelis disyaratkan, bukan saja untuk
menjamin kesinambungan antara ijab dan Kabul, tetapi sangat erat hubungannya dengan tugas
dua orang saksi yang menurut pendapat ini, harus dapat melihat dengan mata kepalanya bahwa
ijab dan Kabul itu betul-betul diucapkan oleh kedua orang yang melakukan akad. Seperti
diketahui bahwa di antara syarat sah suatu akad nikah, dihadiri oleh dua orang saksi. Tugas dua
orang saksi itu, sperti disepakati para ulama, terutama untuk memastikan secara yakin akan
keabsahan ijab dan Kabul, baik dari segi redaksinya, maupun dari segi kepastian bahwa ijab dan
Kabul itu adalah diucapkan oleh kedua belah pihak. Dimaklumi bahwa keabsahan suatu redaksi
dapat dipastikan dengan cara mendengarkannya. Akan tetapi, bahwa redaksi itu benar-benar asli
diucapkan oleh kedua orang yang sedang melakukan akad, kepastiannya hanya dapat dijamin
dengan jalan melihat para pihak yang mengucapkan itu dengan mata kepala. Pendapat ini yang
dipegangi (mu’tamad) dikalangan ulama ulama mujtahid, terutama kalangan syafi’iyah. 6
Apabila pendapat imam Syafi’i dikaitkan dengan kasus Syarif Aburahman Achmad dengan Dewi
Tarumawati dan Sirojuddin Arif dengan Iim Halimatus Sa’diyah, maka bila tempat pelaksanaan
akad nikah berada di Oxford University Inggris, sedangkan orang yang berhak menjadi wali
berdomisili di Kota Bandung Indonesia dan wali tidak dapat hadir saat akad, maka ia tetap bisa

5
bid, hlm. 4
6
ibid, hlm 6
9
menjadi wali dengan cara membuat surat taukil (mewakilkan) sebagaimana dalam Pasal 11 Ayat
(5) Peraturan Mentri Agama Nomor 19 Tahun 2018 tentang Pencatatan Perkawinan yang
ditandatangani oleh dirinya, dua orang saksi dan Kepala KUA (Kantor Urusan Aagama)
kecamatan dimana ia tinggal. Dalam surat itu disebutkan kepada siapa ia sebagai wali
mewakilkan pelaksanaan ijab kabulnya. Dengan demikian maka yang menjadi wali dalam akad
nikah tersebut tetap orang yang semestinya, bukan wali hakim. Hanya saja pelaksanaan ijab
kabulnya dapat diwakilkan kepada orang lain yang dikehendaki. Dengan ini persyaratan satu
majlis menurut Imam Syafi’i terpenuhi dan pernikahan menjadi legal menurut hukum.
Praktik pernikahan satu majelis yang dianut oleh mashab Syafi’i tidak mendukung pernikahan
yang dilakukan secara online, karena saksi harus melihat dan benar-benar memastikan pihak
yang berakad. Apabila pernikahan dilakukan atas dasar pendapat imam Syafi’i selain memberi
kuasa pada orang yang dikehendaki untuk menjadi wali maka menurut penulis saksi dianjurkan
menjadi 4 orang, yakni 2 orang di tempat perempuan dan 2 orang di tempat laki-laki. Di
Indonesia sendiri juga pada umumnya menganut mazhab Syafi’i.
Pernikahan Secara Online Dalam Aturan Negara atau Undang-Undang
Cepatnya perubahan peradaban dan teknologi yang terjadi di zaman sekarang
menimbulkan dampak hukum yang berkaitan dengan hal-hal yang tidak atau belum diatur
dalam suatu peraturan perundang-undangan. Peraturan perundangan tidak mungkin
mengatur segala kehidupan manusia secara tuntas. Sehingga ada kalanya dalam
kehidupan kita menjumpai suatu peraturan perundang-undangan tidak jelas atau bahkan
tidak lengkap yang berakibat terjadinya sebuah kondisi yang disebut dengan kekosongan
hukum di masyarakat. Arti dari kekosongan hukum itu adalah suatu keadaan kosong atau
ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tata tertib atau hukum di dalam
kehidupan masyarakat. Sehingga kekosongan hukum dalam hukum positif lebih tepat
dikatakan sebagai kekosongan undang-undang atau peraturan perundang-undangan yang
berlaku dalam kehidupan masyarakat.7
Dalam kaitannya dengan hukum pernikahan, ternyata kondisi kekosongan hukum dapat
kita jumpai di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Sebagai
contoh konkrit dalam UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan tersebut
sama sekali tidak dijumpai peraturan yang menegaskan kebolehan, keabsahan atau
legalitas tentang pernikahan online atau dengan kata lain sebuah pelaksanaan pernikahan
yang menggunakan sarana telepon atau alat telekomunikasi yang lain belum dijumpai di

7
Chairussufi Parameswari, Legitimasi Pernikahan yang Dilakukan Secara Online Menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun
1974 Tentang Perkawinan, Jurnal Universitas Mataram, hal.5
10
dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.Dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan mengatu syarat sah perkawinan seperti
syarat materiil dan formil, tidak ada yang mengatur tentang pernikahan secara online.

Legitimasi Pernikahan Yang Dilakukan Secara Online Menurut UndangUndang


Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan Keabsahan Pernikahan Yang Dilakukan
Secara Online Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan

Menentukan sah atau tidaknya suatu pernikahan, tergantung pada dipenuhi atau tidak
dipenuhinya seluruh rukun-rukun perkawinan dan syaratsyaratnya. Secara formal,
pernikahan online atau melalui saluran telepon dapat memenuhi rukun-rukunnya seperti
dalam ada dalam Pasal 14 Kompilasi Hukum Islam, yakni:
“Untuk melaksanakan perkawinan harus ada :
a. Calon Suami;
b. Calon Isteri;
c. Wali nikah;
d. Dua orang saksi dan;
e. Ijab dan Kabul.”

Sahnya daripada sebuah pernikahan menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang Perkawinan ialah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing
agama dan kepercayaannya. Dan pemerintah Indonesia hanya mengakui enam agama,
yakni Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan Khonghucu. Dan tentunya disetiap
agama mempunyai rukun dan syarat sahnya sebuah pernikahan masingmasing. Sehingga
menjadi jelas bahwa bagi pemeluk agama Islam, Protestan, Katolik, Hindu, Buddha dan
Khonghucu yang berada di negara Republik Indonesia ketika melakukan sebuah prosesi
pernikahan harus merujuk pada Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan sebagai payung hukumnya. Namun Pemerintah Indonesia sendiri mempunyai
regulasi tentang syarat sahnya sebuah pernikahan. Adapun syarat sah pernikahan yang
harus dipenuhi oleh calon mempelai sebagaimana penulis memperoleh data dan informasi
dari Dinas Kependudukan dan Catatan sipil Kota Mataram, yakni: 1. Surat pengesahan
perkawinan yang asli: a. Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) bagi beragama
Hindu; b. Baptis bagi yang Kristen; c. Permandian bagi Katholik; d. Vihara bagi yang

11
beragama Budha; 2. Model NA (N1-N4) dari lurah atau desa untuk kedua mempelai; 3.
Foto copy akta kelahiran kedua calon mempelai; 4. Foto copy Kartu Tanda Penduduk
(KTP) dan Kartu Keluarga (KK) kedua calon mempelai; 5. Foto copy Kartu Tanda
Penduduk KTP dua orang saksi; 6. Pas foto gandeng 4x6 (4 lembar); 7. Ijin komandan
bagi Tentara Nasioal Indonesia (TNI) atau Polisi Repuplik Indonesian (POLRI); 8. Ijin
konsulat (kedutaan) dan fotocopy passport bagi WNA.
Adapun syarat-syarat bagi yang beragama Islam yang penulis peroleh dari Kantor Urusan
Agama (KUA) Praya sebagai berikut: 1. N1, N2, N3 dan N4 dari desa lengkap dengan
tanggal pengeluaran; 2. Foto copy Kartu Keluarga (KK)/Kartu Tanda Penduduk
(KTP)/Ijzah; 3. Surat rekomendasi nikah dari Kantor KUA Kecamatan bila pengantin dari
kecamatan lain; 4. Surat izin dari Kedutaan bagi warga negara asing (WNA); 5. Akta
cerai dari pengadilan agama bagi janda atau duda; 6. Surat keterangan kematian dari
(Model N6) kalau cerai mati; 7. Umur pengantin laki-laki tidak kurang dari 19 tahun; 8.
Umur pengantin laki-laki tidak kurang dari 19 tahun; 9. Umur pengantin perempuan tidak
kurang dari 16 tahun; 10. Surat dispensasi dari pengadilan agama bila pengantin kuang
umur; 11. Pas foto latar biru 2x3 masing-masing 6 lembar dan Pas foto latar biru 4x6
masing-masing 2 lembar; 12. Biaya nikah Rp. 600.000, bagi yang nikah di luar kantor
dan disetorkan lewat kantor pos atau bank BRI, biaya Rp. 0,- (Gratis) bagi yang nikah di
kantor; 13. Foto copy Kartu Tanda Penduduk (KTP) dua orang saksi; 14. Akad nikah
dilaksanakan 10 hari sejak mendaftar di KUA dengan menyerahkan semua persyaratan.
Ayat (2) mengatur masalah pencatatan perkawinan, bahwa suatu perkawinan harus dicatat
menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dengan adanya Undang-Undang
Nomor 19 tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 Tahun 2008 tentang
tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik ini sangatlah dipermudah. Pada Pasal 5 ayat
(1) berbunyi: “Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil
cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.” Untuk melakukan pencatatan
perkawinan pada jarak jauh atau tidak bisa secara langsung maka segala berkas yang
harus di tanda tangan bisa melalui tanda tangan elektronik yang hal ini didasarkan pada
Undang-Undang Nomor 19 tahun 2016 Perubahan atas Undang-Undang nomor 11 Tahun
2008 tentang tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik.

12
BAB III
PENUTUP

Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan penelitian ini, maka dapat disimpulkan sebagai berikut : 1.
Pengaturan perkawinan secara online tidak ada pengaturannya dalam Undang-Undang Nomor 1
Tahun 1974 tentang perkawinan. Hal ini merupakan kekosongan hukum yang dapat
menimbulkan ketidakpastian dalam kehidapan masyarakat; 2. Legitimasi perkawinan yang
dimaksud di sini adalah masalah keabsahan, maka perkawinan dilakukan secara online dilihat
dari 2 aspek, antara lain: a. Keabsahan menurut UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan adalah sah hukumnya apabila dilakukan sesuai dengan Pasal 2 ayat (1) dan (2)
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dan melihat juga pada
UndangUndang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 11
Tahun 2008 tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik karena pernikahan yang dilakukan
secaea online ini menggunakan media elektronik yang diatur dalam undang-undang tersebut
dimana dalam hal ini diatur jelas tentang tanda tangan elektronik; b. Keabsahan menurut hukum
Islam, para ulama bersepakat bahwa syarat pernikahan yaitu satu majelis, namun ada perbedaan
pendapat mengenai satu majelis ini. Menurut imam Hanafi satu majelis berarti satu waktu artinya
tidak boleh terputus antara ijab dan qabul. Namun satu majelis menurut Imam Syafi’i yakni satu
tempat karena ini berkaitan dengan tugas saksi yang harus meliat dengan jelas oleh mata dan
kepalanya sendiri pihak yang melakukan ijab qabul. Jadi pernikahan yang dilakukan secara
online tersebut sah adanya apabila sudah terpenuhi syarat dan rukunnya sebuah pernikahan.

Daftar Pustaka

https://www.kompas.com/tren/read/2022/08/13/080500365/syarat-nikah-yang-berlaku-sesuai-
hukum-di-indonesia
Syarif Hidayatullah, Qawa'id Fiqiyyah Dan Penerapannya Dalam Transaksi Keuangan Syari'ah
kontemporer (mu'amalat, Maliyyah, Muashirah). (Jakarta: Gramata Publishing, 2012), h. 7.

13
Satria Efendi M. Zain, Priblematika Hukum Keluarga, Jakarta: Pernada Media Grup. hlm. 4
Satria Efendi M. Zain, Priblematika Hukum Keluarga, Jakarta: Pernada Media Grup. hlm. 6

14

Anda mungkin juga menyukai