Anda di halaman 1dari 25

MAKALAH

LANJUTAN HUKUM PERKAWINAN

Disusun Guna Memenuhi Tugas


Mata Kuliah: Hukum Perdata
Dosen Pengampu: Labib Nubahai, M.Si.

Disusun Oleh :
Lina Nur Rohmah (2120210072)
Muhammad Rezza Al Rasyid (2120210081)
Izza Aliyatul Muna (2120210082)

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI KUDUS


FAKULTAS SYARIAH
PROGRAM STUDI HUKUM EKONOMI SYARIAH
TAHUN 2022

1
KATA PENGANTAR

Bismillahirrohmanirrahim, puji syukur kehadirat Allah Swt. yang telah


memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan tugas
makalah dengan judul “HUKUM PERKAWINAN” ini tepat pada waktunya.
Shalawat dan salam selalu tercurahkan kepada Baginda Rasulullah saw. yang selalu
kita tunggu syafaatnya hingga hari kiamat nanti. Tujuan dari pembuatan makalah
ini adalah untuk memenuhi tugas mata kuliah Hukum Perdata dengan dosen Labib
Nubahai, M.Si.

Makalah ini disusun dengan harapan dapat menambah pengetahuan dan


wawasan kita semua. Kami menyadari bahwa dalam penyusunan makalah ini masih
jauh dari kesempurnaan. Untuk itu kami sangat mengharapkan kritik dan saran yang
sifatnya membangun guna sempurnanya makalah ini. Kami berharap semoga
makalah ini dapat bermanfaat bagi pembaca umumnya dan bagi kami khususnya.

Kudus, 27 Oktober 2022

Penyusun

2
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ............................................................................................ 2


DAFTAR ISI ........................................................................................................... 3
BAB I ...................................................................................................................... 4
PENDAHULUAN .................................................................................................. 4
A. Latar Belakang ............................................................................................. 4
B. Rumusan Masalah ........................................................................................ 5
C. Tujuan .......................................................................................................... 5
BAB II ..................................................................................................................... 6
PEMBAHASAN ..................................................................................................... 6
A. Pencegahan Perkawinan ............................................................................... 6
B. Akibat Perkawinan Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 ..... 11
1. Kedudukan Suami Istri dan Harta. ......................................................... 12
2. Kedudukan Anak, Orang Tua dan Perwalian. ........................................ 14
C. Perwalian Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974 .................... 16
1. Perwalian menurut KUHPerdata ............................................................ 16
2. Perwalian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ....................... 18
D. Pengampuan ............................................................................................... 20
E. Putusnya Perkawinan Menurut KUHPerdata ............................................. 21
F. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 ... 22
1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian ................................................ 22
2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian ............................................... 23
3. Putusnya Perkawinan Atas Keputusan Pengadilan ................................ 23
BAB III ................................................................................................................. 24
PENUTUP ............................................................................................................. 24
A. Kesimpulan ................................................................................................ 24
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25

3
BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Sebagaimana telah di jelaskan didalam Pasal 1 UU No. 1 Tahun 1974


pernikahan atau perkawinan merupakan suatu akad dimana laki-laki dan perempuan
membenarkan suatu hubungan, membatasi hak dan kewajiban, serta saling memberi
bantuan. Di dalam pasal ini juga terdapat unsur-unsur pernikahan atau perkawinan
yaitu Terdapat seorang laki-laki dan perempuan, terdapat ikatan lahir dan batin,
terdapat tujuan tertentu yaitu membentuk keluarga Bahagia dan kekal, serta
berdasarkan ketuhan Yang Maha Esa. Dari segi hukum, terbukti bahwa pernikahan
merupakan akad yang sakral dan mewah antara seorang pria dan seorang Wanita
yang melakukan hubungan seksual yang bertujuan agar dapat terwujudnya keluarga
Sakinah mawaddah dan warahmah.1 Dalam hukum Islam pernikahan bertujuan
dengan maksud untuk menjalankan perintah Allah dan menjalankan sunnah nabi.
Menikah termasuk ibadah. Bertujuan untuk menjalankan kehidupan berumah
tangga yang sejahtera dengan ridho Allah menjadi keluarga yang sakinah
mawaddah dan warahmah.

Pernikahan atau perkawinan sudah menjadi kewajaran dalam kehidupan


bermasyarakat pada umumnya. Hal tersebut di perlukan suatu penyeragaman untuk
mengatari permasalahan pernikahan atau perkawinan tersebut. Perbedaan
penyekesaian masalah tentang penikahan atau perkawinan tersebut tidak hanya bagi
yang berbeda agama saja. Tetapi dalam satu agama itu juga berbeda-beda cara
menyelesaikannya. Karena dalam agama itu menganut madzhab yang berbeda-beda
maupun aliran yang di anutnya berbeda-beda.2 Dengan perkembangan zaman,
pernikahan mengalami pelanggaran-pelanggaran dalam melaksanakan pernikahan.
Sering terjadi pelanggaran dengan melanggar larangan. Dengan demikian di
perlukan peraturan untuk mencegahnya. Dengan pasal-pasal pencegahan

1
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006, hlm.
285.
2
Kutbuddin Aibak, Kajian Fiqh Kontemporer,

4
perkawinan merupakan cara yang tepat supaya dapat terhindar dari perkawinan
yang di larang.

Dalam pernikahan juga kadang menimbulkan suatu perwalian yang di


akibatkan oleh putusnya pernikahan atau perkawinan baik karena kematian maupun
karena suatu putusan pengadilan dan selalu membawa akibat hukum baik kepada
seorang suami maupun seorang istri, maupun seorang anak serta harta kekayaan
terutama bagi seorang anak yang masih di bawah umur. Di saat akan melaksanakan
pernikahan atau perkawinan terkadang seseorang berada dalam keadaan tertentu
sehingga seseorang tersebut membutuhkan suatu pengampuan seperti keadaan
seseorang yang di anggap tidak cakap atau pada dalam segala hal tidak bisa cakap
melaksanakan sediri pada lalu lintas hukum. Atas dasar tersebut maka bisa di
golongkan sebagai orang yang tidak cakap dalam bertindak. Pernikahan atau
perkawinan juga bisa mengalami pembatalan perkawinan yaitu apabila pengadilan
telah bertindak dan memberikan keputusan yang menyatakan bahwa pernikahan
atau perkawinan tersebut di nyatakan tidak sah.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pencegahan Perkawinan.


2. Bagaimana akibat perkawinan menurut KUHPer dan UU No. 1
Tahun 1974.
3. Bagaimana perwalian, Pengampuan dan putusnya perkawinan
menurut KUHPer dan UU No. 1 Tahun 1974.

C. Tujuan

1. Untuk mengetahui bagaimana pencegahan Perkawinan.


2. Untuk mengetahui bagaimana akibat perkawinan menurut KUHPer
dan UU No. 1 Tahun 1974.
3. Untuk mengetahui bagaimana perwalian, Pengampuan dan putusnya
perkawinan menurut KUHPer dan UU No. 1 Tahun 1974.

5
BAB II

PEMBAHASAN
A. Pencegahan Perkawinan

Pencegahan perkawinan merupakan menjauhi segala perkawinan yang telah


di larang oleh peraturan-peraturan yang terdapat di dalam Undang-undang.
Percegahan perkawinan itu bisa terjadi apabila terdapat dua syarat yang tidak dapat
di penuhi. Syarat tersebut yaitu syarat materiil dan syarat administrasi. Syarat
materiil merupakan syarat-syarat yang berkaitan dengan pencatatan saat akan
melakukan perkawinan, akta nikah, maupun larangan perkawinan. Sedangkan
syarat administrasi merupakan syarat-syarat yang biasanya melekat pada setiap
rukun perkawinan yang terdiri dari calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan.3
Pada pencegahan perkawinan hal yang bisa di lakukan oleh Lembaga
pemerintah yaitu KUA, diantaranya adalah:
1. Melakukan pemeriksaan administrasinya apakah lengkap atau tidak seperti
administrasi pada pendaftaean pernikahan dan pemeriksaan status dan
tentang benarnya data yang terdapat pada berkas yang yang di bawa saat
melakukan pendaftaran pernikahan.
Orang yang akan menikah dan yang mendaftarkan nikah ke KUA
adalah wali dan calon pengantin perempuan. Hal tersebut di karenakan agar
dari petugas KUA tersebut yang mengoreksi persyaratannya mengetahui
apakah wali yang mendaftarkan itu benar wali yang sah dari calon pengantin
perempuan tersebut atau bukan dan calon pengantin perempuan tersebut
merupakan anak kandung dari wali tersebut.4

3
Mukmin Mukri, PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN, Vol.13, Jurnal
Perspektif, 2020, hlm. 103.
4
Faisal, PEMBATALAN PERKAWINAN DAN PENCEGAHANNYA, Vol. 4, No.1, Jurmal
Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, 2017, hlm. 9-10.

6
Administrasi tersebut berisi syarat-syarat yang harus di penuhi,
syarat-syarat tersebut diantaranya yaitu sebagai berikut:5
• Surat persetujuan dari calon pengantin.
• Surat keterangan asal-usul atau akta kelahiran dari calon pengantin.
• Surat keterangan orang tua.
• Surat keterangan untuk menikah (Model NI)
• Surat izin nikah apabila yang menikah adalah anggota TNI atau POLRI
• Akta cerai apabila yang akan menikah janda atau duda
• Surat kematian suami atau istri apabila yang akan menikah adalah janda
atau dudanya di karenakan di tinggal mati.
• Surat dispensasi dari pengadilan apabila yang akan menikah belum
cukup umur.
• Surat dispensasi dari camat apabila pernikahannya di laksanakan sejak
H-10 sejak pengumuman.
• Surat keterangan tidak mampu apabila yang akan menikah tidak mampu
• Paspor, Surat status dari negara asal dan Surat izin dari kedutaan negara
asal apabila yang akan menikah adalah orang asing.
Pada pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 tentang
pelaksanaan Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang perkawinan. Pasal
tersebut menjelaskan bahwa orang yang mendaftarkan nikah atau orang yang
memberikan kehendak nikah ke KUA ataupun PPN yaitu calom pengantin,
orang tua, atau yang mewakilinya. Jadi yang harus mendaftarkan nikah yaitu
wali, calon pengantin laki-laki maupun calon pengantin perempuan.6
2. Memasang pengumuman kehendak nikah.
Sebelum di laksanakannya suatu pernikahan di butuhkan suatu
pengumunan. Hal tersebut mempunyai maksud agar khalayak umum dapat
mengetahui jika akan di laksanakannya suatu pernikahan. Lembaga
pemerintah yaitu KUA telah menyatakan bahwa pernikahan tersebut dapat di

5
Dirjen Bimas Islam Depag. RI, Pedoman Penghulu (Jakarta: Dirjen Bimas RI, 2008), hlm.
37-38.
6
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.

7
laksanakan. Apabila terdapat kelasahan antara calon pengantin laki-laki dan
valon pengantin perempuan setelah di ketahuinya pengumuman tersebut agar
bisa langsung memberitau pihak Lembaga pemerintah yaitu KUA.
Memasang pengumuman kehendak nikah, telah di jelasakan pada
Pasal 8 Peraturan Perintah No. 9 Tahun 1975, berbunyi:
“Setelah di pehuniha tata cara dan syarat-syarat pemberitahuan serta
tiada sesuatu halangan perkawinan, pegawai pencatat menyelenggarakan
pengumuman tentang pemberitahuan kehendak melangsungkan perkawinan
dengan cara menempelkan surat pengumuman menurut formular yang di
tetapkan pada kantor pencatatan perkawinan pada suatu tempat yang sudah
di tentukan dan mudah di baca oleh umum.” 7
Tujuan dari pengumuman kehendak nikah yaitu agar khalayak umum
pengetahui bahwasanya akan di laksanakannya suatu pernikahan dan
mengajukan keberatan-keberatan apabila pernikahan tersebut berlangsung.
Hal tersebut agar dapat di ketahui bahwa apakah pernikahan tersebut
bertentangan dengan hukum agama maupun kepercayaan apabila terdapat
adanya pertentangan dengan aturan yang tercantum pada peraturan
perundang-undangan yang lainnya.
Memasang pengumuman kehendak nikah telah di jelaskan pada
peraturan pemerintah No. 9 Tahun 1975, tapi pada pasal 13 peraturan mentri
agama No. 11 Tahun 2007 juga telah mengatur bahwa Memasang
pengumuman kehendak nikah harus di pasang selama 10 hari dan di
laksanakan di tempat tertentu seperti KUA ataupun di tempat lain yang bisa
di ketahui banyak orang maupun di tempat tinggal calon pengantin laki-laki
dan calon pengantin perempuan juga di perbolehkan.8
3. Memeriksa Kembali kebenaran pernyataan calon mempelai atau wali pada
saat pendaftaran sebelum proses akad nikah di laksanakan.
Cara yang di gunakan pada saat pendaftaran sebelum proses akad
nikah di laksanakan yaitu mengajukan pertnyaan dengan cara mengoreksi

7
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 12.
8
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 5.

8
antara surat-surat dengan administrasi lainnya apakah sama atau tidak.
Administrasi yang di maksud di antaranya seperti ijazah, KK, KTP, dan lain
sebagainya. Calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan harus
datang pada saat melaksanakan akad nikah dan mengidentifikasi suara.
4. Mengumumkan pada saksi bahwa calon pengantin beserta atau wali pada saat
calon pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan siap untuk di
nikahkan dan sebelumnya saksi harus mengetahui tentang fungsi dan tugas
yang akan dilakukan pada saat di laksanakannya akad nikah.
Sebelum di laksanakannya akad nikah dilaksanakannya pengarahan
dari seorang penghulu. Penghulu memberikan penjelasan kepada semua
orang yang hadir agar dapat menjadi saksi bahwa mereka bertugas mengawasi
tentang bagaimana rukun dan syarat yang telah tercantum untuk sahnya suatu
pernikahan itu sudah di penuhi ataukan masih ada sesuatu yang menjadi
halangan saat melaksanakan pernikahan.
Saksi dalam pernikahan itu berjumlah dua orang saksi. Terdapat
syarat-syarat yang harus di penuhi oleh seorang saksi dalam pernikahan.
Dalam pasal 19 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama Nomor 11 tahun
2007 telah menjelaskan tentang syarat-syarat yang harus di penuhinya oleh
seorang saksi diantaranya yaitu sebagai berikut:9
• Saksi harus laki-laki.
• Saksi harus muslim.
• Saksi harus minimal berusia 19 tahun.
• Saksi harus berakal.
• Saksi harus merdeka.
• Saksi harus adil.
Penghulu memberikan penjelasan kepada saksi bahwa saksi
mempunyai hak untuk menunda maupun membatalkan akad nikah. Hal
tersebut bisa di lakukan oleh saksi apabila pada saat terlaksannya akad nikah
terdapat rukun dan syarat-syarat untuk sahnya melaksanakannya akad nikah

9
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1975 Nomor 5.

9
ada yang belum di penuhi dan ada halangan saat pernikahan. Apabila saksi
mengatakan tidak sah maka penghulu tidak boleh meresmikan pernikahan
tersebut.
5. Memberitahu kepada semua orang yang hadir tentang rukun dan syarat-syarat
nikah.
Memberitahu kepada semua orang yang hadir tentang rukun dan
syarat-syarat nikah supaya seua orang yang hadir mengetahui bahwa
pernikahan tersebut sudah sah telah memenuhi rukun dan syarat-syarat nikah
apakah masih ada sesuatu yang menghalangi pernikahan tersebut.
Sama halnya Penghulu memberikan penjelasan kepada saksi tentang
fungsi mupun tugas majelis perkawinan. Sebelum di laksanakannya akad
nikah dilaksanakannya pengarahan dari seorang penghulu. Penghulu
memberikan penjelasan kepada semua orang yang hadir agar dapat menjadi
saksi bahwa mereka bertugas mengawasi tentang bagaimana rukun dan syarat
yang telah tercantum untuk sahnya suatu pernikahan itu sudah di penuhi
ataukan masih ada sesuatu yang menjadi halangan saat melaksanakan
pernikahan. Supaya terhindar dari pembatalan perkawinan.
6. Melakukan penolakan nikah jika di temukan penghalang nikah.
Apabila terdapat penghalang pernikahan pada saat pendaftaran nikah
ataupun pada saat pemeriksaan. Maka dari pihak Lembaga pemerintah dari
KUA memberikan penolakan atau pembatalan nikah. Contohnya pada saat
seseorang yang akan menikah belum cukup umur. Pada Undang-undang
Nomor 1 Tahun 1974 menjelaskan bahwa seseorang yang menikah itu
minimal 21 tahun.10 Apabila umurnya belum ada 21 tahun maka harus
meminta surat dispensasi kepada pengadilan.11
Tentang penolakan pernikahan sesuai Bab X tentang pencegahan
perkawinan Pasal 64 Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi:

10
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1974 Nomor 1.
11
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 5.

10
“Pejabat yang di tunjuk untuk mengawasi perkawinan berkewajiban
mencegah perkawinan bila rukun dan syarat perkawinan tidak terpenuhi”12
Penolakan kehendak nikah Pasal (1) dan (2) Peraturan Menteri Agama
No. 11 Tahun 2007 bahwa jika rukun dan syarat-syarat dari pernikahan tidak
terpenuhi maka kehendak pernikahannya di tolak dan di batalkan. Sehingga
tidak boleh melaksanakan penikahan. Kemudian penolakan tersebut harus di
beritahukan kepada calon pengantin laki-laki beserta wali dari calon
pengantin laki-laki. Harus di beritahukan dengan menyertakan alasan-alasan
yang mengakibatkan penolakan tersebut.
7. Menayakan setuju atau tidaknya calon mempelai untuk menikah.
Pada Pasal 6 ayat (1) Undang-undang perkawinan No. 1 Tahun 1974
juga menjelaskan tentang persyaratan perkawinan bahwa perkawinan harus
terdapat persetujuan antara calon pengantin laki-laki dan calon pengantin
perempuan. Hal tersebut juga di sebutkan pada pasal (6) Peraturan Menteri
Agama No. 11 Tahun 2007.
Dengan demikian penghulu harus menanyakan kepada calon
pengantin laki-laki dan calon pengantin perempuan tentang setuju atau
tidaknya mereka melaksanakan pernikahan. Jika salah satu dari mereka ada
yang menolak untuk menikah maka pernikahan tersebut tidak bisa di
lanjutkan. Hal tersebut telah menunjukan bahwa Lembaga pemerintah yaitu
KUA telah menjalankan tugasnya sesuai yang dengan peraturan yang telah di
atur di dalan peraturan perundang-undangan.

B. Akibat Perkawinan Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974

Suatu perkawinan yang sah memiliki Akibat hukum terhadap suami, istri
dan anak berkaitan dengan kedudukan suami, istri dan harta serta kedudukan anak,
orang tua dan perwalian.

12
Instuksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991.

11
1. Kedudukan Suami Istri dan Harta.

a) Hak Dan Kewajiban Suami Istri

Hak dan kewajiban suami istri telah diatur dalam Kitab Undang-Undang
Hukum Perdata (BW) Bab V (lima) Pasal 103-118. Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata dalam Pasal 103 memulai dengan kaidah bahwa suami dan istri harus setia
satu sama lain, tolong menolong dan bantu-membantu. Dengan terikatnya suami
istri dalam perkawinan berarti mereka terikat dalam suatu perjanjian secara timbal
balik untuk memelihara dan mendidik anak (Pasal 104), kedudukan suami adalah
sebagai kepala dalam persatuan suami istri (Pasal 105). Suami wajib menerima
istrinya dalam rumah kediamannya (Pasal 107) sedangkan kedudukan istri harus
tunduk pada suami (Pasal 106). Kitab Undang-Undang Hukum Perdata bertitik
tolak dari hubungan istri semata. 13

Sedangkan menurut Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 Pengaturan hak


dan kewajiban suami istri di atur dalam Pasal 30 sampai dengan Pasal 34. Di dalam
Pasal 30 Undang-Undang Perkawinan Nasional dikatakan bahwa suami istri
memikul kewajiban yang luhur untuk menegakkan rumah tangga yang menjadi
sendi dasar dari susunan masyarakat; Pasal 31 ayat (1, 2, 3), Hak dan kedudukan
istri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah
tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat. Masing-masing pihak
berhak untuk melakukan perbuatan hukum suami adalah kepala keluarga dan istri
ibu rumah tangga. Dengan tujuan agar tidak ada dominasi dalam rumah tangga
diantara suami-istri, baik dalam membina rumah tangga ataupun dalam membina
dan membentuk keturunan.

Berbicara mengenai hak dan kewajiban istri-suami maka hak dan kewajiban
tersebut dapat dipisahkan menjadi dua kelompok, Pertama hak dan kewajiban yang
berupa kebendaan, yaitu mahar dan nafkah. Kedua hak dan kewajiban yang bukan

13
Juliana Pretty Sanger, Akibat Hukum Perkawinan Yang Sah Didasarkan Pada Pasal 2
Uu. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Manado: Lex Administratum, 2015), hal. 198

12
kebendaan. Yang merupakan hak dan kewajiban yang berupa kebendaan antara lain
adalah:

1. Suami wajib memberikan nafkah pada istrinya. Maksudnya adalah suami


memenuhi kebutuhan istri meliputi makanan, pakaian, tempat tinggal dan
kebutuhan rumah tangga pada umumnya.
2. Suami sebagai kepala rumah tangga. Dalam hubungan suami-istri maka suami
sebagai kepala rumah tangga dan istri berkewajiban untuk mengurus rumah
tangga sehari-hari dan pendidikan anak. Akan tetapi, ini tidak berarti sang suami
boleh bertindak semaunya tanpa memperdulikan hak-hak istri. Apabila hal ini
terjadi maka istri berhak untuk mengabaikannaya.
3. Istri wajib mengatur rumah tangga sebaik mungkin.

Adapun hak dan kewajiban suami-istri yang bukan kebendaan adalah:

1. Suami wajib memperlakukan istri dengan baik. Maksudnya suami harus


menghormati istri, memperlakukannya dengan semestinya dan bergaul
bersamanya secara baik.
2. Suami wajib menjaga istri dengan baik. Maksudnya suami wajib menjaga istri
termasuk menjaga harga diri istri, menjunjung kemuliaan istri dan
menjauhkannya dari fitnah. Ketiga, suami wajib memberikan nafkah batin
kepada istri. Keempat, suami wajib bersikap sabar dan selalu membina akhlak
istri.

b) Harta Perkawinan

Kedudukan harta perkawinan di dalam keluarga tidak terlepas dari


perjanjian perkawinan antara suami istri pada saat melangsungkan perkawinan.
Menurut Wirjono Prodjodikoro, kata perjanjian diartikan sebagai “suatu
perhubungan hukum mengenai harta benda kekayaan antara dua pihak, dalam mana
satu pihak berjanji atau dianggap berjanji untuk melakukan suatu hal sedang pihak
lain berhak menuntut pelaksanaan janji itu.14 Baik perjanjian perkawinan maupun

14
Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata Tentang hak Atas Benda, (Bandung, PT.
Intermasa, 1986), hal. 13

13
harta bersama telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan dan Peraturan Pelaksana Undang-undang Perkawinan yaitu dalam
Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975. Perjanjian perkawinan ini di atur
dalam Pasal 29 ayat (1) yang menyebutkan: (1) Pada waktu atau sebelum
perkawinan dilangsungkan kedua belah pihak atas persetujuan bersama dapat
mengajukan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan,
setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga.

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 139 Pasal 119
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata harta persatuan pribadi suami istri berlaku
persatuan bulat. Persatuan bulat di rasa ideal bagi sepasang calon suami istri yang
hendak melangsungkan perkawinan secara perdata. Tetapi jelas tidak sesuai dengan
asas harta kekayaan pribadi suami istri menurut budaya dan karakter Bangsa
Indonesia.

Dengan adanya perjanjian perkawinan akan mengatasi perbedaan dan


penyelesaian harta bersama selama berumah tangga. Jika tidak ada atau tidak dibuat
perjanjian perkawinan terhadap harta bersama yang disengketakan maka
penyelesaiannya mengacu pada ketentuan umum yang berlaku sesuai dengan Pasal
35 Undang-undang nomor 1 tahun 1974 yang menyatakan bahwa harta benda yang
diperoleh selama perkawinan menjadi harta bersama yang kadang-kadang
penyelesaiannya menyimpang dari ketentuan yang berlaku.

2. Kedudukan Anak, Orang Tua dan Perwalian.

a) Kedudukan Anak

Berdasarkan Pasal 42 UU No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan


menyebutkan: “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
akibat perkawinan yang sah”. Selanjutnya dalam Pasal 43 ayat (1) Anak yang
dilahirkan diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya. Undang-Undang Perkawinan juga mengatur bahwa anak yang

14
lahir di luar perkawinan juga hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya
dan keluarga ibunya.15

Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 287


menyebutkan dilarang menyelidiki siapa bapak si anak, selanjutnya di dalam Pasal
288, menyelidiki siapa ibu si anak diperbolehkan. Sedangkan menurut Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, anak yang lahir di luar perkawinan juga mempunyai
hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tetapi tidak menyebut
tentang tidak boleh menyelidiki siapa bapak si anak. Dan nampaknya Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, tidak membenarkan pengakuan terhadap anak di luar
perkawinan seperti Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang tegas
menyatakannya. Pasal 2 ayat (1 dan 2) Undang-Undang Perkawinan adalah jelas
bahwa perkawinan menjadi sah harus memenuhi dua unsur yang disebutkan dalam
Pasal tersebut yaitu dilakukan menurut agama dan di catat di Kantor Pencatatan
Sipil dengan demikian anak yang dilahirkan dari perkawinan yang tidak dilakukan
melalui agama dan di catat di Kantor Catatan Sipil anak itu tidak sah.16

b) Kekuasaan orang tua dan perwalian.

Di dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 yang mengatur kekuasaan


orang tua hanya singkat yaitu di dalam Pasal 47, 48 dan 49. Pasal 47 ayat (1 dan 2)
dikatakan bahwa: “Anak yang belum mencapai umur 18 (delapan belas) tahun atau
belum pernah melangsungkan perkawinan ada di bawah kekuasaan orang tuanya
selama mereka tidak dicabut dari kekuasaannya. Orang tua mewakili anak tersebut
mengenai segala perbuatan hukum di dalam dan di luar pengadilan. Selanjutnya
dalam Pasal 48, mengatur bahwa orang tua tidak diperbolehkan memindahkan hak
atau menggadaikan barang-barang tetap yang dimiliki anaknya yang belum
berumur 18 (delapan belas) tahun atau belum pernah melangsungkan perkawinan.

Salah seorang atau kedua orang tua dapat di cabut kekuasaannya terhadap
seorang anak atau lebih untuk waktu yang tertentu atas permintaan orang tua yang

15
Martha Eri Safira, Hukum Perdata, (Ponorogo, CV. Nata Karya, 2017), hal. 40-41
16
Juliana Pretty Sanger, Akibat Hukum Perkawinan Yang Sah Didasarkan Pada Pasal 2
Uu. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Manado: Lex Administratum, 2015), hal. 202

15
lain, keluarga, anak dalam garis lurus ke atas dan saudara kandung yang telah
dewasa atau pejabat yang berwenang dengan keputusan pengadilan dalam hal-hal:

a. ia sangat melalaikan kewajibannya terhadap anaknya;


b. ia berkelakuan buruk.

Meskipun orang tua di cabut kekuasaannya mereka masih tetap berkewajiban


untuk memberi biaya pemeliharaan kepada anak tersebut. Di dalam Undang-
Undang Nomor 1 Tahun 1974, Pada Bab XI (Sebelas), Pasal 50-54 mengatur
tentang perwalian.

C. Perwalian Menurut KUHPerdata dan UU No. 1 Tahun 1974

1. Perwalian menurut KUHPerdata

Perwalian berasal dari kata wali yang mempunyai arti seseorang atau orang
lain selaku pengganti orang tua, yang menurut hukum diwajibkan mewakili anak
yang belum dewasa dalam melakukan perbuatan hukum. Perwalian ada apabila
seorang anak atau beberapa orang anak tidak berada di bawah kekuasan orang
tuanya sama sekali. Dalam KUHPerdata pengaturan perwalian dicantum dalam
Buku Kesatu, Bab 15, Bagian Kedua sampai dengan Bagian Ketiga Belas, mulai
Pasal 331 sampai dengan Pasal 418a. Anak, yang berada di bawah perwalian
yaitu;17

a. Anak sah, yang orang tuanya telah meninggal dunia salah satu atau
keduanya.
b. Anak sah, yang kedua orang tuanya telah dicabut kekuasaan sebagai orang
tua.
c. Anak sah, yang orang tuanya telah bercerai, atau
d. Anak yang lahir di luar perkawinan.

Perwalian menurut hukum perdata terdiri dari 3 (tiga) macam, yaitu;

17
Ishak, Perwalian Menurut Konsep Hukum Tertulis Di Indonesia, (Banda Aceh: Kanun
Jurnal Ilmu Hukum, 2017), hal. 574-577

16
• Pertama, perwalian menurut undang-undang (wettelijke voogdij) yaitu
perwalian oleh orang tua yang masih hidup setelah salah seorang meninggal
dunia terlebih dahulu (Pasal 345 KUHPerdata).
• Kedua, perwalian karena wasiat orang tua (testtamentair voogdij) yaitu
perwalian yang dengan surat wasiat oleh salah seorang dari orang tuanya (Pasal
355 KUHPerdata).
• Ketiga, perwalian yang ditunjuk oleh hakim (datieve voogdij) (Pasal 359
KUHPerdata).

Menurut ketentuan Pasal 379 KUHPerdata, orang yang tidak boleh menjadi wali;

a. Orang yang sakit ingatan.


b. Orang yang belum dewasa.
c. Orang yang ada di bawah pengampuan.
d. Orang yang telah dipecat dari kekuasaan orang tua atau perwalian.
e. Pejabat pengadilan dan panitia pengadilan.
f. Kepala dan anggota Balai Harta Peninggalan.

(583) Hak dan Kewajiban Wali dilihat dari ketentuan pasal-pasal KUHPerdata yang
mengatur mengenai perwalian, maka kewajiban wali antara lain;

a. Merawat, mendidik si anak dengan sebaik-baiknya.


b. Mewakili si anak di luar dan di depan pengadilan dalam segala tindak
perdata.
c. Mengurus harta sianak dengan sebaik-baiknya.
d. Membuat daftar harta kekayaan si anak.
e. Mengadakan tanggungan berupa gadai menyangkut pengurusan harta si
anak.
f. Mambuat pertanggung jawaban singkat tentang pengurusan harta si anak
kepada wali pengawas.
g. Mengganti kerugian terhadap harta kekayaan si anak karena kesalahannya.
h. Membuat pertanggung jawaban penutup dari pengurusan harta si anak di
akhir perwaliannya.

17
i. Menyerahkan seluruh harta kekayaan kepada anak jika telah berumur 21
tahun atau telah kawin.

Perwalian sebagai pengganti kekuasaan orang tua terhadap anak dan harta
kekayaan, jika perwalian dilakukan oleh orang tua, maka orang tua berhak untuk
menikmati harta kekayaan si anak. Dalam tiap perwalian di Indonesia Balai Harta
Peninggalan (Weeskamer), menurut undang-undang menjadi wali pengawas
(tooziende voogd). Dalam Pasal 415 KUHPerdata disebutkan, dalam daerah hukum
tiap-tiap pengadilan negeri, ada sebuah Balai Harta Peninggalan, yang daerah dan
tempat kedudukannya sama dengan daerah dan tempat kedudukan pengadilan.

Menurut ketentuan Pasal 331 KUHPerdata, perwalian berakhir karena;

1. Mereka yang belum dewasa setelah berada di bawah perwalian, dipulangkan


kembali di bawah kekuasaan orang tua.
2. Mereka yang belum dewasa setelah berada di bawah suatu perwalian
dipulangkan kembali di bawah kekuasaan orang tua, menurut Pasal 206b atau
Pasal 232a, pada saat berlangsungnya perkawinan.
3. Jika anak-anak belum dewasa luar kawin dan telah diakui menurut Undang-
Undang disahkan, pada saat perkawinan dilangsungkan yang menyebabkan
absahnya anak tersebut.
4. Orang yang berada di bawah pengampuan memperoleh kembali kekuasaan
orang tuanya, pada saat pengampuan itu berakhir.18

2. Perwalian Menurut Undang-Undang No. 1 Tahun 1974

Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974, pengaturan perwalian dicantum


dalam Bab XI, mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 54. Dalam Pasal 54 ayat (1)
ditentukan, bahwa anak yang belum mencapai umur 18 tahun atau belum pernah
melangsungkan perkawinan, yang tidak berada di bawah kekuasaan orang tua,

18
Heidy Amelia Neman, Pertanggungjawaban Hukum Wali Tidak Melaksanakan
Kewajiban Pada Anak Di Bawah Perwaliannya, (Salatiga: Jurnal Ilmu Hukum: Alethea, 2021),
hal.149

18
berada di bawah kekuasaan wali. Menurut UU No. 1 Tahun 1974, bahwa anak tidak
berada di bawah kekuasaan orang tua karena: (a) Orang tua telah meninggal dunia
kedua-duanya. (b) Orang tua kedua-duanya tidak cakap melakukan tindakan
hukum. (c) Orang tua dicabut kekuasaan orang tua kedua-duanya.

Apabila dilihat ketentuan pasal-pasal dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974


yang mengatur tentang perwalian yaitu mulai Pasal 50 sampai dengan Pasal 54,
maka dapat dikatakan kewajiban wali yaitu;

1. Mengurus anak yang berada di bawah penguasaannya dengan sebaik-


baiknya.
2. Mendidik anak dengan sebaik-baiknya.
3. Menghormati agama dan kepercayaan anak.
4. Mengurus harta benda anak.
5. Membuat daftar harta benda anak dan mencatat perubahan-perubahannya.
6. Mengganti kerugian terhadap harta benda anak karena kelalaian atau
kesalahannya.
7. Menyerahkan seluruh harta benda anak jika anak telah berusia 18 tahun atau
telah kawin.

Meskipun ada beberapa pasal dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yang
mengatur tentang perwalian, namun hak wali tidak ada pengaturannya, maka
perwalian sebagai pengganti kekuasaan orang tua terhadap yang belum berumur 18
tahun atau belum kawin, maka dapat dikatakan bahwa wali berhak untuk dihormati
oleh anak dan juga berhak untuk menikmati harta benda anak yang berada di bawah
perwaliaannya. Dalam Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan
tidak diatur secara tegas sebab berakhirnya perwalian, dapat dikatakan bahwa
perwalian berakhir karena;

1. Anak telah mencapai umur 18 tahun atau telah kawin atau anak meninggal
dunia.
2. Wali meninggal dunia, atau,

19
3. Perwalian dicabut karena wali sangat melalaikan kewajiban atau berkelakuan
buruk terhadap anak.

Dalam Pasal 53 ayat (1) Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 ditentukan, bahwa wali
dapat dicabut kekuasaannya dalam hal-hal: 19

a. Wali sangat melalaikan kewajibannya terhadap anak di bawah kekuasaannya;


b. Wali berkelakuan buruk sekali. Wali yang telah menyebabkan kerugian kepada
harta benda anak atau keluarga anak tersebut dapat di ajukan atas tuntutan anak
atau keluarga anak tersebut dengan keputusan pengadilan, yang bersangkutan
diwajibkan untuk mengganti kerugian tersebut.

D. Pengampuan

Pengampuan (curatele) adalah suatu daya upaya hukum untuk


menempatkan seorang yang telah dewasa menjadi sama seperti orang yang belum
dewasa. Orang yang ditaruh di bawah pengampuan disebut curandus, pengampunya
disebut curator dan pengampuannya disebut curatele. Menurut Pasal 433 KUH Per,
setiap orang dewasa yang menderita sakit ingatan, boros, dungu dan mata gelap
harus ditaruh di bawah pengampuan. Setiap anak yang belum dewasa yang berada
dalam ke adaan dungu, sakit ingatan atau mata gelap, tak boleh ditaruh di bawah
pengampuan, melainkan tetaplah ia di bawah pengawasan bapak dan Ibunya atau
walinya (Pasal 462 KUH Per).20

Pasal 88 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan Bila perkawinan dilakukan oleh


orang yang karena cacat mental ditaruh di bawah pengampuan, keabsahan
perkawinan itu hanya boleh dibantah oleh bapaknya, ibunya dan keluarga sedarah
dalam garis ke atas, saudara laki-laki dan perempuan, paman dan bibinya, demikian
pula oleh pengampuannya, dan akhirnya oleh Kejaksaan.

19
Abdul Hakim Siagian, Hukum Perdata, (Medan: CV. Pustaka Prima, 2020), hal. 35-37
20
P.N.H. Simanjuntak. Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: KENCANA, 2017) hlm. 24

20
Pasal 452 ayat (1) KUHPerdata menjelaskan Orang yang ditempatkan di
bawah pengampuan berkedudukan sama dengan anak yang belum dewasa. Tetapi
ada pengecualian terhadap akibat hukum tersebut, yakni pada Pasal 452 ayat (2)
Bila seseorang yang karena keborosan ditempatkan di bawah pengampuan hendak
melangsungkan perkawinan, maka ketentuan-ketentuan Pasal 38 dan 151 berlaku
terhadapnya. Ini berarti Orang yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros,
masih bisa melangsungkan perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang
dibantu oleh pengampunya.21

E. Putusnya Perkawinan Menurut KUHPerdata

Terputusnya suatu perkawinan menurut KUHPerdata terdapat dalam Pasal 199


dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena:

1. Oleh kematian;
2. Oleh tidak hadirnya si suami atau si isteri selama sepuluh tahun, yang
disusul oleh Perkawinan baru isteri atau suaminya. Sesuai dengan
ketentuan-ketentuan Bagian 5 Bab 18;
3. Oleh keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan pendaftaran
Catatan Sipil, Sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 2 bab ini;
4. Oleh perceraian, sesuai dengan ketentuan-ketentuan Bagian 3 bab ini.

Pasal 207 KUHPerdata menjelaskan bahwa Gugatan perceraian perkawinan


harus diajukan kepada Pengadilan Negeri yang di daerah hukumnya si suami
mempunyai tempat tinggal pokok, pada waktu memajukan permohonan termaksud
dalam Pasal 831 Reglemen. Acara Perdata atau tempat tinggal yang sebenarnya bila
tidak mempunyai tempat tinggal pokok. Jika pada waktu mengajukan surat
permohonan tersebut di atas si suami tidak mempunyai tempat tinggal pokok atau
tempat tinggal yang sesungguhnya di Indonesia, maka gugatan itu harus diajukan
kepada Pengadilan Negeri tempat kediaman si isteri yang sebenarnya. Maka
perceraian yang sah ialah jika ada putusan dari pengadilan. Sesuai dengan pasal 208

21
Ibid,

21
KUHPerdata Perceraian perkawinan sekali-kali tidak dapat terjadi hanya dengan
persetujuan bersama.

Didalam Pasal 209 KUHPerdata menyebutkan alasan-alasan yang dapat


mengakibatkan perceraian adalah:

a. Zina
b. Meninggalkan tempat tinggal bersama dengan iktikad jjaha
c. Penghukuman dengan hukuman penjara lima tahun lamanya atas
dengan hukuman yang lebih berat, yang diucapkan setelah
perkawinan.
d. Melukai berat atau penganiaya, dilakukan oleh suami atau istri
terhadap istri atau suaminya, yang demikian, sehingga
membahayakan jiwa pihak yang dilukai atau dianiaya, atau sehingga
mengakibatkan lukaluka yang membahayakan.

Pasal 221 KUHPerdata menyatakan Perkawinan dibubarkan oleh keputusan


hakim dan pendaftaran perceraian yang ditetapkan dengan putusan itu dalam daftar-
daftar Catatan Sipil.

F. Putusnya Perkawinan Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974

Terputusnya suatu perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974


tentang perkawinan terdapat dalam Pasal 38 dinyatakan bahwa perkawinan dapat
putus karena:

1. Putusnya Perkawinan Karena Kematian

Dengan putusnya perkawinan karena kematian, terbukanya hak waris antara


suami istri, suami mendapat bagian dari harta warisan istrinya, tidak mungkin ada
orang yang menghalangi dan tidak pernah menghalangi ahli waris yang lain, tetapi
bagian suami bisa berbeda apakah ada anak dari istri atau tidak ada anak.22

22
Tinuk Dwi Cahyani. Hukum Perkawinan, (Malang: UMM Press, 2020) hlm 75

22
2. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian

Perceraian merupakan putusnya ikatan lahir batin antara suami dengan Isteri
yang mengakibatkan berakhirnya hubungan keluarga (rumah tangga) antara suami
dengan isteri.

Pasal 39 ayat (1) dan (2) Undang undang Nomor 1 Tahun 1974 Menjelaskan :

(1) Perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah


Pengadilan yang Bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan
kedua belah pihak.
(2) Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami
istri itu Tidak akan dapat rukun sebagai suami isteri.23

3. Putusnya Perkawinan Atas Keputusan Pengadilan

Putusnya perkawinan berdasarkan putusan pengadilan juga dapat terjadi karena


adanya permintaan dari salah satu pihak suami atau istri atau anggota keluarga.
Putusan pengadilan sangat penting karena hakim sesuai dengan kewenangannya
memiliki apa yang dikonseptualisasikan sebagai rule of recognition, yaitu aturan
yang menentukan aturan perilaku mana dalam masyarakat hukum tertentu yang
harus dipatuhi.

Putusan pengadilan menurut UUPK adalah sumber hukum terpenting setelah


peraturan perundang-undangan, dalam hal ini UUPK dan peraturan pelaksanannya
yang memuat ketentuan imperatif bahwa Perceraian hanya dapat dilakukan di
depan Sidang Pengadilan, ini berarti tidak ada perceraian jika tidak ada putusan
pengadilan.24

23
Ibid, hlm 77
24
Ibid, hlm 79

23
BAB III

PENUTUP
A. Kesimpulan

Perkawinan dapat dicegah apabila ada orang yang tidak memenuhi syarat-syarat
untuk melangsungkan perkawinan. Yang dapat mencegah perkawinan adalah
keluarga dari garis keturunan lurus keatas dan kebawah, saudara, wali pengampu dari
salah seorang calon mempelai dan pihak pihak yang berkepentingan. Suatu
perkawinan yang sah memiliki Akibat hukum terhadap suami, istri dan anak berkaitan
dengan kedudukan suami, istri dan harta serta kedudukan anak, orang tua dan
perwalian.

Perwalian menurut hukum perdata terdiri dari 3 macam, yaitu: perwalian menurut
undang-undang, perwalian karena wasiat orang tua, perwalian yang ditunjuk oleh
hakim. Dalam Undang-undang No. 1 Tahun 1974 mulai Pasal 50 sampai Pasal 54,
kewajiban wali yaitu; mengurus anak yang berada di bawah penguasaannya dengan
sebaik-baiknya, mendidik anak dengan sebaik-baiknya, menghormati agama dan
kepercayaan anak, mengurus harta benda anak, membuat daftar harta benda anak dan
mencatat perubahan-perubahannya, mengganti kerugian terhadap harta benda anak
karena kelalaian atau kesalahannya, menyerahkan seluruh harta benda anak jika anak
telah berusia 18 tahun atau telah kawin.

Menurut Pasal 433 KUHPer, setiap orang dewasa yang menderita sakit
ingatan, boros, dungu dan mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan. Orang
yang ditaruh di bawah pengampuan karena boros, masih bisa melangsungkan
perkawinan dan membuat perjanjian kawin yang dibantu oleh pengampunya.

Menurut KUHPerdata Pasal 199, perkawinan dapat putus karena: kematian, tidak
hadirnya si suami atau si isteri selama sepuluh tahun, yang disusul oleh Perkawinan
baru isteri atau suaminya, keputusan Hakim setelah pisah meja dan ranjang dan
pendaftaran Catatan Sipil, dan perceraian. Menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun
1974 Pasal 38 dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena: kematian,
perceraian, dan atas putusan pengadilan.

24
DAFTAR PUSTAKA
Cahyani, Tinuk Dwi. Hukum Perkawinan, (Malang: UMM Press, 2020)

Dirjen Bimas Islam Depag. RI, Pedoman Penghulu (Jakarta: Dirjen Bimas RI,
2008)

Faisal, PEMBATALAN PERKAWINAN DAN PENCEGAHANNYA, Vol. 4, No.1,


Jurmal Hukum Islam Dan Perundang-Undangan, 2017

Ghazaly, Rahman. Fiqh Munakahat, Kencana Prenada Media Grougp, 2006

Ishak, Perwalian Menurut Konsep Hukum Tertulis Di Indonesia, (Banda Aceh:


Kanun Jurnal Ilmu Hukum, 2017)

Mukri, Mukmin. PENCEGAHAN DAN PEMBATALAN PERKAWINAN, Vol.13,


Jurnal Perspektif, 2020

Neman, Heidy Amelia. Pertanggungjawaban Hukum Wali Tidak Melaksanakan


Kewajiban Pada Anak Di Bawah Perwaliannya, (Salatiga: Jurnal Ilmu Hukum:
Alethea, 2021)

Prodjodikoro, Wirjono. Hukum Perdata Tentang hak Atas Benda, (Bandung, PT.
Intermasa, 1986)

Safira, Martha Eri. Hukum Perdata, (Ponorogo, CV. Nata Karya, 2017)

Sanger, Juliana Pretty. Akibat Hukum Perkawinan Yang Sah Didasarkan Pada
Pasal 2 Uu. Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, (Manado: Lex
Administratum, 2015)

Siagian, Abdul Hakim. Hukum Perdata, (Medan: CV. Pustaka Prima, 2020)

Simanjuntak, P.N.H. Hukum Perdata Indonesia, (Jakarta: KENCANA, 2017)

25

Anda mungkin juga menyukai