DISUSUN OLEH :
KELOMPOK 7
Bahrul Fikri (200101105)
Shalahudin Adi Wicaksono (200101109)
Sahri Cahayatunnisa (200101124)
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah swt. Yang Maha Kuasa atas segala rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan penyusunan makalah ini tepat pada waktunya.
Penulisan makalah ini merupakan salah satu tugas yang diberikan dalam mata kuliah Metodologi
Studi Islam di Universitas Islam Negeri Mataram.
Dalam penulisan makalah ini kami menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya
kepada pihak-pihak yang membantu dalam menyelesaikan makalah ini, khususnya kepada bapak
dosen kami Dr. Akhmad Syahri, M.Pd.I. yang telah memberikan tugas dan petunjuk kepada
kami, sehingga kami dapat menyelesaikan makalah ini.
Dalam penulisan makalah ini kami merasa makalah kami masih banyak kekurangan baik dari
segi penulisan maupun materi, mengingat akan kemampuan yang kami miliki. Untuk itu, kritik
maupun saran dari semua pihak sangat kami harapkan, agar dapat menyempurnakan pembuatan
makalah ini.
Tim Penulis
i
DAFTAR ISI
Kata Pengantar.....................................................................................................................i
Daftar Isi..............................................................................................................................ii
BAB I Pendahuluan.............................................................................................................iii
A. Latar Belakang.........................................................................................................iii
B. Rumusan Masalah....................................................................................................iii
BAB II Pembahasan............................................................................................................1
Kesimpulan..........................................................................................................................15
Daftar Pustaka......................................................................................................................16
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Kehidupan manusia merupakan suatu peradaban yang bersifat dinamis. Dimulai dari zaman
dahulu yang sifatnya masih tradisional dan sederhana sampai pada zaman yang modern saat ini.
Permasalahan yang mungkin timbul pada masa dahulu belumlah sekompleks permasalahan pada
masa kini. Oleh karena itu peradaban manusia bersifat dinamis, bukanlah statis.
Terlepas dari itu Islam adalah suatu kepercayaan (agama) yang datang dengan sejuta guna
memberikan pedoman, petunjuk, arahan, hingga problem solving terhadap permasalahan yang
dihadapai oleh umat manusia. Maka dari itu, semakin berkembang pesatnya ilmu pengetahuan
pada zaman modern saat ini diperlukan penelitian untuk memperjelas atau mencarai solusi dari
permasalahan yang dihadapi oleh umat Islam.
Dalam sebuah penelitian, kita harus berhadapan dengan berbagai macam permasalahan
sehingga harus untuk memperjelas dasar, kerangka pikir dan metodologi yang sesuai dengan
permasalahan umat manusia ataupun umat Islam yakni metode studi tafsir, hadits, dan fiqih.
B. Rumusan Masalah
1. Apa yang dimaksud dengan Metode Studi Tafsir?
2. Metode apa saja yang digunakan dalam Studi Tafsir?
3. Apa yang dimaksud Metode Studi Hadits?
4. Metode apa saja yang digunakan dalam Studi Hadits?
5. Apa yang dimaksud dengan Metode Studi Fiqih?
6. Metode apa saja yang digunakan dalam Studi Fiqih?
C. Tujuan Penulisan
1. Mengetahui pengertian Metode Studi Tafir, Metode Studi Hadits, Metode Studi Fiqih
2. Mengetahui beberapa metode yang digunakan dalam Studi Tafisr, Studi Hadits, dan Studi
Fiqih
iii
BAB II
PEMBAHASAN
Sebelum masuk kepada pembahasan penulis ingin menampilkan bagan/peta konsep mengenai
beberapa metode dalam studi Islam, sebagai berikut Bagan 1.1
Tahliliy
Ijmali
Metode Studi Tafsir
Muqaran
M etode Studi Islam
Maudlu'i
Model Shiba'i
Metode Studi Hadits
Model Al-Ghazali
Bayani
Istilahi
Bagan 1.1
1
Nasaruddin Baidan, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 54.
1
Kata tafsir berasal dari bahasa Arab, yaitu fassaara, yufassiru, tafsiran yang berarti
penjelasan, pemahaman, dan perincian. Selain itu, tafsir dapat pula berarti al idlah wa altabiyin,
yaitu penjelasan dan keterangan. Menurut Imam al-Zarqhoni mengatakan bahwa tafsir adalah
ilmu yang membahas kandungan al-Quran baik dari segi pemahaman makna atau arti sesuai
yang dikehendaki Allah Swt menurut kadar kesanggupan manusia. Selanjutnya Abu Hayan,
sebagaimana dikutip al-Sayuthi, mengatakan bahwa tafsir adalah ilmu yang didalamnya terdapat
pembahasan mengenai cara mengucapkan lafal-lafal al-Quran disertai makna serta hukum-
hukum yang terkandung didalamnya.2 Sedangkan metodologi tafsir adalah sebuah ilmu yang
mengajarkan kepada orang yang mempelajarinya untuk menggunakan metode tersebut dalam
memahami ayat-ayat al-Quran.3
2
Dibandingkan dengan metode tafsir lainnya, metode tahlily adalah metode paling lama. Tafsir
ini berasal sejak masa para sahabat Nabi Saw. Pada mulanya terdiri dari tafsiran atas beberapa
ayat saja, yang kadang-kadang mencakup penjelasan mengenai kosakatanya saja. Dalam
penjalanan waktu, para ulama tafsir merasakan kebutuhan adanya tafsir yang mencakup seluruh
isi al-Quran. Oleh karena itu akhir abad ke 3 dan pada awal abad ke 4 H (10 M), ahli tafsir Ibnu
Majah, al-Thabari mengkaji seluruh isi al-Quran dan membuat model-model paling maju dari
tafsir tahlily ini.
Adapun kelebihan dari metode tafsir tahlily ini adalah:
a. Ruang lingkupnya luas
b. Dapat memuat berbagai macam ide
Sedangkan kelelmahan dari metode tafsir yahlily ini adalah:
a. Menjadikan petunjuk al-Quran parsial (bagian-bagian).
b. Melahirkan penafsiran yang subjektif.
c. Kajiannya tidak mendalam.7
Berbagai aspek yang dianggap perlu oleh seorang mufasir tahlily di uraikan, yang tahapan
kerjanya yaitu dimulai dari:
a. Bermula dari kosakata yang terdapat pada setiap ayat yang akan ditafsirkan sebagaimana
urutan dalam al-Quran, mulai dari surah al-Fatihah hingga surah an-Nass.
b. Menjelaskan asbab an-Nuzul ayat ini dengan menggunakan keterangan yang diberikan
oleh hadist (bir Riwayah).
c. Menjelaskan munasabah atau hubungan ayat yang ditafsirkan dengan ayat sebelumnya
atau sesudahnya.
d. Menjelaskan makna yang terkandung pada setiap potongan ayat dengan menggunakan
keterangan yang ada pada ayat lain, atau dengan menggunakan hadis Rasulullah Saw atau
dengan mengguanakan penalaran rasional atau berbagai disiplin ilmu sebagai sebuah
pendekatan.
e. Menarik kesimpulan dari ayat tersebut yang berkenaan dengan hukum mengenai suatu
masalah, atau lainnya sesuai dengan kandungan ayat tersebut.
Di antara buku tafsir yang menggunakan metode tahlili adalah:
a. Al-Quthubi
7
Muhammad Amin Suma, Studi Ilmu-Ilmu Al-Quran, (Jakarta: Pustaka Pirdaus, 2001), h. 112-113.
3
b. Ibnu Katsir
c. Tafsir Ibnu Jarir
8
Nasaruddin Baidah, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002), h. 73.
4
penelitian dengan menggunakan hadis-hadis yang terkait. Tafsir ijamali biasanya, menjelaskan
makna ayat secara berurutan, ayat demi ayat dan surah demi surah sesuai dengan urutan mushaf
usmani. Adapun kitab-kitab tafsir dengan metode ijmalii adalah:
a. Tafsir al-Jalalain, karya jalal al-Din al-Sayuthi dan jalal al-Din al-Mahalli.
b. Shofwah al-Bayan lima’ani al-Quran, karya Sheikh Husnain Muhamma Mukhlaut.
c. Tafsir al-Quran Azhim, karya Ustadz Muhammad Farid Majdy.
9
Nasaruddin Baidah, Metode Penafsiran Al-Quran, (Yogjakarta: Pustaka Pelajar, 2002) h. 73.
5
a. Memberikan wawasan penafsiran yang relative lebih luasi bagi para pembaca dari metode-
metode lain.
b. Membuka pintu untuk bersikap toleran atas pendapat-pendapat yang berbeda mengenai
suatu permasalahan.
c. Mendorong seorang penafsir untuk mengkaji penafsiran-penafsiran ulama lain mengenai
suatu ayat ataupun dalam suatu permasalahan.
Sedangkan kekurangannya antara lain:
a. Penafsiran dengan metode ini tidak cocok untuk pemula.
b. Penafsirannya kurang dapat memecahkan permasalahan yang ada ataupun sedang dihadapi.
c. Cenderung hanya melihat penafsiran-penafsiran ulama terdahulu sehingga tidak
mengahasilkan penafsiran-penafsiran baru.
Objek kajian tafsir ini dikelompokan menjadi tiga:
a. Perbandingan ayat al-Quran dengan ayat lain
Mufassir membandingkan ayat al-Quran dengan ayat lain, yaitu ayat-ayat yang memiliki
persamaan dengan redaksi dalam dua atau lebih masalah atau kasus yang diduga sama. Objek
kajian tafsir ini hanya terletak pada persoalan redaksi ayat-ayat al-Quran bukan dalam bidang
makna.
b. Perbandingan ayat al-Quran dengan Hadis
Dalam melakukan perbandingan ayat al-Quran dengan hadis yang terkesan berbeda atau
bertentangan ini, langkah pertama yang harus ditempuh adalah menentukan nilai hadis yang akan
diperbandingkan dengan ayat al-Quran. Hadis itu haruslah shahih. Hadits dhaif tidak
dibandingkan karena disamping nilai otentitasnya rendah, dia justru semakin tertolak karena
pertentangannya dengan ayat al-Quran. Setelah itu mufassir melakukan analisis terhadap latar
belakang terjadinya perbedaan atau pertentangan antara keduanya.
c. Perbandingan penafsiran mufassir dengan mufassir lain
Dalam menafsirkan ayat-ayat al-Quran tertentu ditemukan adanya perbedaan diantara hasil
ijtihad, latar belakang sejarah, wawasan, dan sudut pandang masing-masing. Sedangkan dalam
hal perbedaan penafsiran mufasir yang satu dengan yang lain, mufassir berusaha mencari,
mengali, menemukan, dan mencari titik temu diantara perbedaan-perbedaan itu apabila mungkin,
dan mentarjih salah satu pendapat setelah membahas kualitas argumentasi masing-masing.
6
4. Al-Tafsir al-Maudlu’iy (Tematik)
Arti dari kata maudhu’i adalah topik atau materi suatu pembicaraan atau pembahasan secara
tematik. Jadi tafsir al-Maudhu’i adalah tafsir yang membahas masalah-masalah al-Quran yang
memiliki kesatuuann makna atau tujuan dengan cara menghimpun ayat-ayatnya yang bisa juga
disebut dengan metode tauhidi (kesatuan) untuk kemudian melakukan penalaran (analisis)
terhadap isi kandungannya serta menghubung-hubungkannya antara satu dengan yang lain.
Langkah-langkah metode tafsir maudhu’i adalah sebagai berikut:
a. Menetapkan maslah yang akan dibahas (topik)
b. Menghimpun ayat yang berkaitan dengan mmasalah tersebut.
c. Mengurutkan tertib, sebab turunnya ayat berdasarkan masa turunnya.10
d. Mempelajari penafsiran al-Quran yang telah dihimpun.
e. Kemudian mufassir mengarahkan pembahasan kepada metode tafsir ijmali dalam
memaparkan berbagai pemikiran.
f. Membahas unsur-unsur dan makna-makna serta mengkaitkannya sedemikian rupa
berdasarkan metode ilmiah yang sistematis.
g. Memaparkan kesimpulan tentang hakikat jawaban al-Quran terhadap topik permasalahan
yang dibahas.11
Sebagian kitab-kitab tafsir yang memakai metode maudhu’i antara lain sebagai berikut:
Karya Syeikh Mahmud Syaltut.
Karya Ustadz Abbas Mahmud al ‘Aqqad.
Karya Ustadz al-A’la al-Maududy.
Karya Ustadz Muhammad Abu Zahrah.
Karya Dr. Ahmad Kamal Mahdy.12
Adapun kelebihan/keistimewaan dari metode tafsir maudhu’i antara lain:
Menghindari problem atau kelemahan metode lain.
Menafsirkan ayat dengan ayat atau dengan hadis, satu cara terbaik dalam menafsirkan al-
Quran.
Kesimpulan yang mudah dipahami.
10
Abd. Al-Hary Al-Farawi, Metode Tafsir Al-Maudhu’i, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1996), h. 14.
11
Rosihan Anwar, Pengantar Ulumul Quran, (Bandung: Pustaka Setia, 2009), h. 161.
12
`Said Agil Husin Al-Munawal, Al-Quran Membangun Tradisi Kesalehah Hakiki, (Ciputat: PT. Ciputat Press,
2005), h. 75-76.
7
Metode ini memungkinkan seorang untuk menolak anggapan adanya ayat-ayat yang
bertentangan dalam al-Quran.
Menjawab tantangan zaman
Praktis dan sistematis
Dinamis
Membuat pemahan menjadi utuh.13
Selain kelebihan diatas, metode tafsir maudhu’i mempunyai kekurangan yakni:
Memenggal ayat al-quran.
Membatasi pemahaman ayat.
13
Quraish Shihab, Membumikan Al-Quran, (Bandung: Mizan, 1994), h. 117.
14
Ahmad B. Faris, Mu’jam Muqayis Al-Lughah, Beirut: Dar al-Fikr, 1979, 2:36
15
Tim Redaksi, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2011, hal. 472
16
Mahmud At-Tahhan, Taysir Mustalah Al-Hadith, Maktabat al-Ma’arif, 2004, hal 17
8
Adapun metode yang diterapkan oleh Quraish Shihab secara tidak jelas ia tidak
menyebutkan, namun dalam dialognya, ia menyebutkan dua hal, metode penguatan serta metode
penjabaran dalam studi hadits adalah sebuah cara dalam mengembangkan dan melakukan studi
hadits itu sendiri. Begitu juga tentang metode penguatan. Metode tersebut tidak hanya dilakukan
dalam lingkup al-Qur’an dan hadits saja, tetapi pada kesempatan lain seperti pada ilmu
pengetahuan lainnya akan menjadi menarik dalam lingkaran integritas studi keilmuan.
2. Model Mustafa al-Shiba’i
Dalam proses penelitiannya mencoba memulai sebagai mana pendekatannya, yaitu
mengambil literatur dari kronologi urutan waktu sesuai alur sejarahnya. Al-Shiba’i juga mencoba
mengambil beberapa literatur dari berbagai macam hadits dengan jangka waktu yang tidak
singkat. Sebab ada pendekatan historis didalamnya. Dan kemudian studi tersebut dipaparkan
sebagaimana cara Ibnu Batutah mengeluarkan teori baru yang berasal dari petualangannya dari
negeri ke negeri.
3. Model Muhammad Al-Ghazali
Al-Ghazali dalam kitabnya tentang al-Sunnah al-Nabawiyyah baina ahl Fiqh wa al-Hadits
dalam melakukan studi tentang hadits hampir sama dengan Shiba’i, namun dalam pendekatannya
al-Ghazali lebih condong menggunakan fenomenologi. Selain mencari literatur hadits yang
dibutuhkan ia melakukannya dengan membahas, mengkaji dan menyelami berdasarkan
fenomena aktual yang hadir di masyarakat.
Secara ringkas hadits perlu melakukan usaha pencermatan dilakukan secara hati-hati dan
kritis mengenai kepastian fakta, histori baik dari ucapan, perbuatan bahkan ketetapan dari Nabi
Muhammad Saw.17 Sebagai bahan pertimbangan dalam melakukan pendekatan keilmuan tertentu
dalam melakukan studi tentang hadits, seperti sanad, matan, rawi, kuantitas perawinya, yaitu
mutawattir, ahad, gharib, atau bahkan dari kualitasnya, shahih, hasan, dhaif, semuanya itu
memiliki pengaruh dalam melakukan penelitiannya.
4. Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Iraqiy
Penelitiannya bersifat awal, yaitu penelitian yang ditujukan untuk merumuskan bahan-bahan
yang digunakan untuk membangun ilmu. Dari penelitian inilah pertama kali muncul macam-
macam hadits yang berdasarkan kualitas sanad dan matannya, keadaan bersambung atau
terputusnya sanad dan dari keadaan kualitas matannya.
17
Abuddin Nata, Sejarah Pendidikan Islam, Jakarta: Kencana, 2011, hal. 245
9
E. Pengertian Metode Studi Fiqih
Pengertian Fiqih (Hukum Islam) hingga saat ini masih rancu dengan pengertian Syariah.
Untuk itu dalam pengertian fiqih disini dimaksudkan di dalamnya pengertian syariat. Dalam
kaitan ini kita jumpai pendapat yang mengatakan bahwa fiqih atau hukum islam adalah
sekelompok dengan syariat-yaitu ilmu yang berkaitan dengan amal perbuatan manusia yang
dimabil dari nash Al-Quran dan Al-Sunnah. Bila ada nash dari Al-Quran dan Al-Sunnah yang
berhubungan dengan amal perbuatan tersebut, atau yang diambil dari sumber-sumber lain, bila
tidak ada nash dari Al-Quran atau Al-Sunnah, dibentuklah suatu ilmu yang disebut dengan ilmu
fiqih. Dengan demikian yang disebut ilmu fiqih ialah sekelompok hukum tentang amal perbuatan
manusia yang diambil dari dalil-dalil yang terperinci.18
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metode
penemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni proses
mencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami
(alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham); perolehan makna (al-talaqqi dan
penyampaian makna (al-tablig).19 Dalam perkembangan hukum bayani atau setidak-
tidaknya mendekati sebuah metode yang dikenal juga dengan istilah hermaneutika yang
bermakna mengartikan, menafsirkan atau menerjemah dan juga bertindak sebagai
penafsir.20 Dalam pengertian ini dapat dipahami sebagai proses mengubah suatu dari
situasi ketidaktahuan menjadi mengerti, atau usaha mengalihkan diri dari bahasa asing
yang maknanya masih gelap ke dalam bahasa kita sendiri yang maknanya lebih jelas, atau
suatu proses transformasi pemikiran dari yang kurang jelas atau ambigu menuju ke yang
lebih jelas / konkret; bentuk transformasi makna semacam ini merupakan hal yang
esensial dari pekerjaan seorang penafsir / muffasir. Dengan demikian dapat disimpulkan
bahwa penalaran bayani adalah pemahaman atau penafsiran terhadap al-qur’an dan al-
18
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2006, hal. 298
19
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, (UII Pres:
Yogyakata, 2004), hal. 23
20
Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, (UII Pres:
Yogyakata, 2004), hal. 20
10
hadits, untuk menemukan hukum syar’i dengan menggunakan kaidah-kaidah kebahasaan
(al-qawa’id al-lughawiyah).
Pendekatan bayani menjadi asas utama pada pemikiran fiqh Islam. Pola ini lebih
menumpukan perhatian kepada teks al qur’an dan sunnah sebagai sumber kebenaran
mutlak. Akal dianggap lebih bersifat sekunder di dalam menjelaskan teks. Kekuatan
pendekatan ini lebih memberikan perhatian kepada aspek gramatikal dan sastra Arab. Al
qur’an dan al sunnah adalah rujukan ilmu-ilmu Islam. Kebenaran wahyu adalah absolut.
Untuk menghasilkan pengetahuan, penalaran bayani ini akan mengutamakan tiga hal, yaitu:
Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke dalam sebelas macam,
yaitu:
1) Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa), Yaitu Penafsiran kata-kata dalam teks hukum
sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tata bahasa.
2) Interprestasi historis, Yaitu penafsiran sebuah aturan hukum berdasarkan sejarah.
3) Interprestasi sistematis, Yaitu Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian
dari keseluruhan sistem, artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami
dalam kaitannya dengan jenis peraturan yang lainnya.
4) Interprestasi sosiologis atau teologis, Yaitu peraturan / ayat ditetapkan berdasarkan tujuan
kemaslahatan.
5) Interprestasi komparatif, Yaitu metode penafsiran dengan jalan membandingkan
(muqarina) berbagai sistem hukum baik dalam suatu negara Islam ataupun
membandingkan pendapat-pendapat imam mazhab.
6) Interperstasi futuristik, Yaitu metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yakni
penjelasan ketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai
kekuatan hukum, karena peraturannya masih dalam rancangan.
11
7) Interperstasi restriktif, Yaitu Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti
gramatika kata “tetangga” dalam fiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu
termasuk penyewa dari perkarangan di sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak
termasuk tetangga penyewa, ini berarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi
restriktif.
8) Interprestasi ekstensif, Yaitu Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi
batas-batas hasil interprestasi gramatikal.
9) Interprestasi otentik atau secara resmi, Yaitu metode penafsiran dimana qadhi tidak
diperkenankan melakukan penafsiran dengan cara lain selain dari apa yang telah
ditentukan pengertiannya di dalam undang-undang itu sendiri.
10) Interperstasi interdisipliner, Yaitu metode yang dilakukan dalam suatu analisis masalah
yang menyangkut berbagai disipilin ilmu hukum, di sini dipergunakan logika penafsiran
lebih dari satu cabang ilmu hukum.
11) Interprestasi multidisipliner, Yaitu metode dimana hakim harus mempelajari suatu atau
beberapa disiplin ilmu lain di luarilmu hukum. Dengan kata lain, di sini hakim
membutuhkan verifikasi dan bantuan dari lain-lain disiplin ilmu.21
2. Penalaran Ta’lili
Penalaran ta’lili adalah penalaran yang didasarkan kepada anggapan bahwa ketentuan-
ketentuan yang ditetapkan Tuhan untuk mengatur prilaku manusia ada alasan logis atau
nilai hukum yang akan dicapainya, maka pada dasarnya penalaran ta’lili merupakan
metode istimbat hukum yang berupaya menggunakan illat tersebut sebagai alat utamanya.
Dari beberapa rumusan yang dikemukakan ulama’ ushul fiqh dapat disimpulkan
bahwa illat adalah suatu keadaan atau sifat yang jelas (dhahir) yang dapat diukur dan
mengandung relevansi (munasabah) sehingga kuat dugaan dialah yang menjadi alasan
penetapan suatu ketentuan Allah dan Rasul-Nya.
Disini dapat dipahami bahwa ada tiga persyaratan yang harus terdapat didalam illat,
yaitu:
21
Muhammad Abu zahrah, Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Pustaka Firdaus, 2000), hal.364
12
a. Sifat yang jelas (dhahir)
c. Mengandung pengertian yang sesuai dengan hukum dalam arti mempunyai relevansi
dengan hukum (munasabah)
Dilihat dari persyaratan inilah yang membedakan antara illat dan hikmah. Contohnya,
mengqasar shalat bagi orang yang sedang bepergian mempunyai hikmah dan illat.
Hikmahnya adalah untuk memberikan keringanan dan menghilangkan kesulitan.
Sedangkan illatnya adalah mengadakan perjalanan atau musafir itu sendiri kerena musafir
(safar) disini adalah suatu hal yang sudah jelas dan pasti. Hanya saja ukuran safar (yang
memberi ijin qashar) itu karna “jarak tempuhnya” atau “waktu tempuhnya”.
Disini jelas bahwa suatu keadaan yang abstrak dalam arti tidak dapat diukur tidak
dapat digunakan sebagai illat. Contohnya, dalam kasus shalat di atas, karena istilah
“kesukaran atau kesulitan” ini sifatnya relatif, tidak dapat diukur dan tidak sama pada
setiap orang.
Dari definisi dan persyaratan illat di atas akan membedakan illat dan sebab, karena
illat harus mempunyai relevansi dengan hukum yang ditetapkan, sedangkan sebab tidak
selamanya harus mempunyai relevansi dengan hukum. Contohnya adalah tergelincirnya
matahari untuk kewajiban shalat dhuhur atau tenggelamnya matahari sebagai tanda
datangnya waktu sholat maghrib, dinamakan sebab karena tidak mempunyai atau tidak
diketahui relevansinya. Namun sebagian ulama’ ushul tidak membedakan antara illat
dengan sebab, karena keduanya mempunyai maksud yang sama.
3. Penalaran Istislahi
13
Maslahat yang pertama adalah maslahat yang diungkapkan secara langsung baik
dalam Al Quran maupun dalam Hadits. Sedangkan maslahat yang kedua adalah yang
bertentangan dengan ketentuan yang termaktub dalam kedua sumber hukum Islam
tersebut. Di antara kedua maslahat tersebut, ada yang disebut maslahat mursalat yakni
maslahat yang tidak ditetapkan oleh kedua sumber tersebut dan tidak pula bertentangan
dengan keduanya.22 Istilah yang sering digunakan dalam kaitan dengan metode ini adalah
istislahi.
Istislahi adalah suatu cara penetapan hukum terhadap masalah-masalah yang tidak
dijelaskan hukumnya oleh nash dan ijmak dengan mendasarkan pada pemeliharaan al-
mashlahat almursalat. Pada dasarnya mayoritas ahli Ushl Fiqh menerima metode
maslahat mursalat. Untuk menggunakan metode tersebut mereka memberikan beberapa
syarat.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa metode penemuan hukum dengan istislahi itu
difokuskan terhadap lapangan yang tidak terdapat dalam nash, baik dalam Al Quran maupun As
Sunnah yang menjelaskan hukum-hukum yang ada penguatnya melalui suatu I’tibar. Juga
difokuskan pada hal-hal yang tidak didapatkan adanya ijma’ atau qiyas yang berhubungan
dengan kejadian tersebut. Hukum yang ditetapkan dengan istislahi seperti pembukuan Al Quran
dalam satu mushaf yang dilakukan oleh Usman Ibn Affan, khalifah ketiga. Hal itu tidak
dijelaskan oleh nash dan ijmak, melainkan didasarkan atas maslahat yang sejalan dengan
kehendak syara’ untuk mencegah kemungkinan timbulnya perselisihan umat tentang Al Quran.23
22
Abdul Wahab Khallaf, Ilmu Ushul al-Fiqh, (Jakarta: Al-Majlis al-A’la al-Indonesia 1972), hal. 84
23
Rachmat Syafe’i, Ilmu Ushul Fiqih, (Bandung, Pustaka Setia, 1999), hal. 117
14
BAB III
KESIMPULAN
Metode penafsiran al-Quran itu adalah suatu cara atau langkah yang mudah untuk melakukan
penalaran, hasil usaha manusia dan ijtihadnya untuk mempelajari nilai-nilai yang terkandung
didalam al-Quran. Adapun macam-macam tafsir al-Quran berdasarkan metodenya adalah:
Metode tahlili (analisis).
Metode ijmali (global).
Metode muqaran (perbandingan/komparasi).
Metode maudhu’i (tematik).
Metode studi hadits adalah sebuah ilmu yang dimana mempelajari metode untuk memahami
hadits. Dalam penelitian suatu hadis, Abuddin Nata membagi 4 model, yang mana dari keempat
model tersebut memunculkan banyak metode. Metode tersebut yakni.
Model Quraish Shihab
Model Mustafa al-Shiba’i
Model Muhammad Al-Ghazali
Model Zain Al-Din ‘Abd Al-Rahim bin Al-Iraqiy
Metode studi fiqih adalah sebuah ilmu yang dimana mempelajari metode untuk memahami fiqih.
Adapun macam-macam studi fiqih berdasarkan metodenya adalah :
Penalaran Bayani
Penalaran Ta’lili
Penalaran Istilahi
15
DAFTAR PUSTAKA
16