Anda di halaman 1dari 29

METODOLOGI PEMAHAMAN HADIS

(Metode, Teknik Interpretasi dan Pendekatan dalam Memahami Hadis)

Dipresentasekan pada Seminar Mata Kuliah


“Ulu>m al-H{adi>s\”
Semester I, Klp 4, Kelas Reguler

Oleh:
Muhammad Dirman Rasyid
80600216003

Dosen Pemandu:

Prof. Dra. Hj. St. Aisyah Kara, M.A., Ph.D.

Dr. M. Sabir Maidin, M.Ag.

PASCASARJANA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI ALAUDDIN MAKASSAR


2016
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Pemahaman terhadap hadis memiliki peranan penting dalam bagi umat Islam

dalam merespon berbagai problematika kegamaan yang muncul. Selain hal itu, hadis

sebagai sumber kedua dari ajaran Islam setelah al- Qur’an yang berfungsi sebagai
penjelasan serta manifestasi dari apa yang terkandung di dalam al-Qur’an yang bersifat

umum, mengharuskan kita sebagai umat Islam untuk memahami hadis agar dapat

memahami agama Islam. Tanpa hadis dan pemahaman terhadap hadis mustahil seorang

muslim menjalankan syariat agama Islam.

Hadis sebagaimana pendapat ulama, merupakan segala seseatu yang

disandarkan kepada nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan, perbuatan, taqri>r

dan sifatnya.1 Dari defenisi yang dikemukakan ulama tersebut nampak bahwa cakupan

hadis sangat luas sebab menyentuh seluruh aspek kehidupan rasulullah saw. yang mana

tidak terlepas juga dengan interaksi sosial dan keadaan sosial dimana rasulullah saw.

hidup. Sementara itu, secara tematis paling tidak hadis nabi saw. dapat diklasifikasikan
ke dalam 3 bagian; tentang akidah, syariat dan akhlak.

Hakikat pemahaman hadis adalah suatu cara memaknai matan hadis yang

berkaiatan dengan tema apa yang dibicarakan serta mengetahui kandungan dan maksud

hadis tersebut.2 Pada penelitian terkait pemahaman hadis, para ulama menggunakan

1
Mah}mu>d Tah}h{a>n, Taisi>r Mus}t}alah} al-Hadi>s\ (Cet. XI; Riyadh: Maktabah al-Ma‘a>rif, 2010
M/1431 H), h. 17.
2
Muhammad Nuruddin, “Aktualisasi Pemahaman Hadis Hukum Dalam Kehidupan Global”,
Riwayah 1, no. 1 (Maret 2015): h. 41.

1
2

berbagai macam metode, teknik interpresati serta pendekatan dalam mengungkap

makna, maksud, kandungan dan isi hadis. Namun, secara garis besar tipologi

pemahaman hadis di kalangan ulama dapat dibedakan ke dalam 2 kelompok; Pertama,

tekstualis, maksudnya adalah memahami hadis secara tekstual dan tidak

mempertimbangkan proses panjang sejarah pengumpulan hadis dan proses

pembentukan ajaran ortodoksi; Kedua, kontekstualis, maksudnya adalah memahami

hadis dengan berangkat pada asumsi bahwa hadis adalah sumber ajaran kedua melalui
kritik-historis sanad dan matan hadis dengan mempertimbangkan asba>b al-wuru>d.3

Pada makalah ini, akan dipaparkan mengenai metodologi pemahaman hadis


yang mencakup metode, teknik interpretasi serta pendekatan yang digunakan para

muh{addis}i>n dan pengkaji hadis dalam mengkaji dan menjelaskan maksud, isi dan

kandungan suatu hadis.

B. Rumusan Masalah

1. Bagaimana pengertian metodologi pemahaman hadis?

2. Bagaimana bentuk-bentuk metode dalam memahami hadis?

3. Bagaimana teknik-teknik interpretasi dalam memahami hadis?


4. Bagaimana jenis-jenis pendekatan dalam memahami hadis?

3
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis (Cet. I; Surakarta, Zadahadiya
Publishing, 2001), h 160.
BAB II

PEMBAHASAN

A. Defenisi Metodologi Pemahaman Hadis

Secara etimologi metodologi berasal dari kata method yang berarti ‘cara’ atau

‘teknik’ dan logos yang berarti ‘ilmu’.4 Jadi, metodologi dapat diartikan sebagai ilmu

tentang cara atau teknik. Sementara dalam KBBI Daring (dalam jaringan) metodologi
diartikan ilmu tentang metode atau uraian tentang metode.5

Adapun pemahaman berasal dari kata dasar ‘paham’ yang berarti ‘pengertian’,

‘pendapat’, ‘pikiran’, ‘aliran’, ‘haluan’ dan ‘pandangan’. 6 Kemudian, kata ‘paham’

mendapat awalan ‘pe-’ dan akhiran ‘-an’ yang memiliki makna proses atau perbuatan.

Jadi, pemahaman dapat diartikan sebagai suatu proses atau perbuatan memahami atau

memahamkan.7

Sedangkan, hadis secara bahasa berarti baru dan menurut istilah adalah segala

seseatu yang disandarkan kepada nabi Muhammad saw. baik berupa perkataan,

perbuatan, taqri>r dan sifatnya.8

Dari uraian di atas, maka metodologi pemahaman hadis dapat diartikan sebagai
suatu cara, teknik atau metode dalam memahami atau memahamkan hadis. Dalam

kajian ilmu hadis metodologi pemahaman hadis dikenal dengan istilah syarh} h}adi>s\, ini

4
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis (Cet. II;
Makassar: Alauddin University Press, 2013), h. 3.
5
“Metodologi”, KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/metodologi (15 Desember
2016).
6
“Paham”, KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/paham (15 Desember 2016).
7
“Pemahaman”, KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemahaman (15 Desember
2016).
8
Mah}mu>d Tah}h{a>n, Taisi>r Mus}t}alah} al-Hadi>s\, h. 17.

3
4

sama dengan tafsir atau takwil dalam studi ilmu al- Qur’an. Perbedaan keduanya hanya

pada segi istilah saja, adapun sistem kerja dan maknanya sama yaitu melibatkan

subjektifitas dalam memahami teks. Baik teks al- Qur’an maupun teks hadis (matan).

Olehnya itu, metode-metode pemahaman yang dikenal dalam kajian bidang tafsir,

dapat juga digunakan dalam kajian bidang hadis.9

B. Bentuk-bentuk Metode Pemahaman Hadis

Dalam kajian tafsir, dikenal 4 metode yang digunakan dalam mengkaji al-

Qur’an, yakni; metode tah}li>li> (analisis), metode ijma>li> (global), metode muqa>ran

(perbandingan) dan metode mawd}u{>‘i> (tematik). Metode-metode tersebut juga terdapat

dalam kajian hadis, hal tersebut dapat ditemui dalam kitab-kitab syarh} h}adi>s\ ketika kita

meneliti metodologinya.10

1. Metode Tah}li>li>

Metode tah}li>li> merupakan salah satu metode yang digunakan ulama hadis

menjelaskan hadis nabi saw. dalam kitab-kitabnya. Metode ini menjelaskan hadis-hadis

nabi dengan memaparkan segala aspek yang terdapat dalam hadis kemudian
memaparkan makna serta kandungan yang dicakup dalam hadis tersebut sesuai dengan

keahlian dan kecenderungan pensyarahnya.11

Pada metode ini, seorang pensyarah hadis menjelaskan segala segi yang

dianggap perlu untuk diuraikan, bermula dari makna kosa-kata, asba>b al-wuru>d,

hukum yang terdapat di dalam hadis, hikmah yang terkandung di dalamnya,

9
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 161-162.
10
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h.162.
11
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h.162-163.
5

menjelaskan makna global dari hadis, menyebutkan sya>hid dan muta>bi’-nya12 dan

penjelasan mengenai faedah serta pelajaran apa yang bisa diambil dari suatu hadis. 13

Selain itu, pensyarah dalam metode ini memaparkan pendapat-pendapat sahabat,

tabi’in serta ulama-ulama terkait hadis yang sedang disyarah. 14 Ciri lain dari metode

ini adalah sistematika urutan dalam menjelaskan atau mensyarah hadis yang mengikuti

kitab yang disyarahnya.15

Adapun kitab-kitab yang menggunakan metode tah}li>li> antara lain; Fath al-Ba>ri>
Syarh} S}ah}i>h} al-Bukha>ri> karya al- Hafiz Ibn Hajar al-As\qala>ni, Subul al-Sala>m karya

al- S}an’ani, 16 Syarh} al-Nawawi ’ala} Muslim karya Imam Nawawi.


Keunggunlan dari metode tah}li>li> ini adalah memberikan pemahaman yang

mendalam serta luas pada suatu hadis sebab cakupannya yang luas. Namun, kelemahan

dari metode ini adalah menjadikan petunjuk hadis bersifat parsial dan melahirkan

12
Sya>hid dan muta>bi’ adalah 2 istilah dalam ilmu hadis yang masing-masing mempunyai 2
pengertian, pertama ditinjau dari segi sanad dan yang kedua ditinjau dari segi matan.
Dari segi sanad, sya>hid adalah suatu hadis yang para perawinya sama dengan hadis yang
dianggap fard, baik lafalnya sama atau berbeda dan diriwayatkan oleh sahabat yang sama. Sedangkan,
muta>bi’ adalah suatu hadis yang para perawinya sama dengan hadis yang dianggap fard, baik lafalnya
sama atau berbeda namun memiliki kesamaan makna dan diriwayatkan oleh sahabat yang berbeda. Dari
segi sanad disyaratkan bagi sya>hid dan muta>bi’ memiliki kesamaan makna dengan hadis yang dianggap
fard.
Adapun dari segi matan, sya>hid adalah hadis yang mempunyai kesamaan lafal, baik sahabat
yang meriwayatkannya sama ataupun berbeda. Sedangkan, muta>bi’ adalah hadis yang mempunyai
kesamaan makna tapi berbeda pada lafal, baik sahabat yang meriwayatkannya sama ataupun berbeda.
Lihat, “Al- I’tiba>r wa al- Muta>bi’a>t wa al- Syawa>hid”, Multaqa> Ahl al- H{adi>s}.
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/index.php (15 Desember 2016).
13
Abu> Luba>bah al-T{a>hir H{usain, Muh}a>d{ara>t fi> al-H{adi>s} al-Tah}li>li> (Cet. I; Beirut: Da>r al-Garb
al-Isla>mi>, 2004 M/1425 H), h. 7-8.
14
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 163.
15
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 174.
16
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 163.
6

syarah yang sifatnya subjektif disebabkan kecenderungan pensyarah pada mazhab

tertentu.17

2. Metode Ijma>li>

Metode ijma>li> dalam mensyarah hadis adalah menjelaskan hadis dengan sesuai

urutan hadis pada kitab yang disyarah dengan memaparkan secara ringkas makna yang

terkandung pada hadis tersebut dengan bahasa yang mudah dipahami.18 Pada metode
ini pensyarah hanya menjelaskan secara global dari suatu hadis dan memberikan

pengertian kata yang dianggap sulit, berbeda dengan metode tah}li>li> yang menjelaskan

secara rinci dan mencakup banyak aspek. Adapun persamaannya terletak pada

sistematika urutan dalam menjelaskan hadis yang mengikuti kitab yang disyarahnya.

Adapun kitab-kitab syarah hadis yang menggunakan metode ini antara lain;

Syarh} al-Suyut}i li Sunan al-Nasa>’i dan Qut al-Mugtazi ’ala Jami al-Turmuz\i karya

Jalaluddin al-Suyuti.19

Keunggulan dari metode ini adalah karakternya yang simplisit dan mudah

dipahami sebab penjelasannya yang ringkas dan sederhana. Tapi, kekurangan dari

metode ini adalah tidak memberikan pemahaman yang komprehensif terhadap makna,
isi dan kandungan suatu hadis dan tidak ada ruang analisis yang memadai.20

17
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 175.
18
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 175.
19
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 175.
20
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 176.
7

3. Metode Muqa>ran

Yang dimaksud dengan metode muqa>ran disini mencakup 3 hal, yaitu; pertama,

membandingkan teks hadis yang memiliki persamaan atau kemiripan redaksi dalam

dua kasus atau lebih, dan atau memiliki redaksi yang berbeda bagi suatu kasus yang

sama, kedua, membandingkan dua hadis yang pada lahirnya terlihat bertentangan,

ketiga, membandingkan berbagai pendapat ulama dalam mensyarah hadis.21

Kajian perbandingan hadis dengan metode ini tidak hanya berfokus pada

perbandingan redaksi saja, tetapi juga mecakup aspek yang menyebabkan terjadinya
perbedaan tersebut. Bahkan lebih jauh, perbedaan pandangan ulama mengenai suatu

hadis juga masuk dalam cakupan metode ini. Diantara kitab syarah hadis yang

menggunakan metode ini adalah ’Umdah al- Qa>ri Syarh} S}ah}i>h} al- Bukha>ri karya

Badruddin Abu Muhammad Ibn Ahmad al- ’Aini.22

Kelebihan metode ini antara lain; memberikan wawasan pemahaman yang

relatif lebih luas kepada pada pembaca bila dibandingkan dengan metode-metode lain.

Membuka pintu untuk selalu bersikap toleransi terhadap pendapat orang lain yang
kadang-kadang jauh berbeda dari pendapat kita dan tak mustahil ada yang kontradiktif.

Dapat mengurangi fanatisme yang berlebihan kepada suatu mazhab atau aliran tertentu.

Namun, kekurangan dari metode ini adalah tidak dapat diberikan kepada pemula yang

baru mempelajari hadis, karena pembahasan yang dikemukakan di dalamnya terlalu

luas dan kadang-kadang ekstrim. Metode ini kurang dapat diandalkan untuk menjawab

21
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir: Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassirin”, Al- Mawarid 18, (2008): h. 278.
22
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 178.
8

permasalahan sosial yang tumbuh di tengah masyarakat, karena metode ini lebih

mengutamakan perbandingan dari pada pemecahan masalah.23

4. Metode Mawd}u{>‘i>

Metode mawd}u{>‘i> dalam menjelaskan atau memahami hadis adalah suatu

metode dengan cara menghimpun hadis-hadis dari berbagai literatur hadis yang otentik

yang mempunyai kesamaan tema baik dari lafal dan hukum, kemudian menjelaskan
hadis tersebut.24

Adapun contoh dari penggunaan metode ini banyak kita temui dalam karya tulis

berupa tesis dan disertasi, pengkajian hadis dewasa ini didominasi oleh metode

mawd}u{>‘i>. Hal ini disebabkan karena urgensi dari metode ini, karena dengan metode ini

kehadiran sunnah dalam menjawab problematika umat nampak nyata.

Selain hal tersebut, menurut Yusuf al-Qaradawi, menghimpun hadis-hadis yang

memiliki kesamaan tema adalah cara yang mesti ditempuh agar terhindar dari

kesalahan memahami hadis. Kemudian melihat kandungan dari masing-masing hadis

terkait muhkam dan mutasyabih, antara mutlaq dan muqayyad serta umum dan

khususnya.25
Lebih lanjut, al-Qaradawi memaparkan pentingnya menghimpun hadis-hadis

yang memiliki kesamaan tema dengan mengambil contoh hadis tentang larangan

memanjangkan pakaian melewati mata kaki (isbal). Yang kemudian dijadikan landasan

23
Hujair A. H. Sanaky, “Metode Tafsir: Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna atau
Corak Mufassirin”, h. 279.
24
Ramadan Ishak Zayyan, “Al-H{adi>s\ al- Maud}u>’i> Dira>sah Naz}riyah”, Majallah al- Ja>mi’ah al-
Isla>miyyah 10, no. 2 (2002): h. 213.
25
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata’a>mul ma’a Sunnah al-Nabawiyah (Cet. II; Kairo: Da>r al-
Syuru>q, 2002 M/1423 H), h. 123.
9

bagi mereka dalam berpakaian dengan cara memendekkan celana atau sarung di atas

mata kaki, lalu untuk mengkritik tajam orang-orang Islam yang tidak memendekkan

celana atau sarung. Padahal, seandainya mereka mencoba mengumpulkan hadis-hadis

terkait masalah tersebut, lalu melakukan penelitian terhadap hadis-hadis tersebut dan

membaca pendapat dan pandanganga para ulama mengenai persoalan itu, tentu mereka

akan mendapat gambaran serta pemahaman yang luas dan tidak mempersempit hal-hal

yang telah Allah swt. lapangkan.26


Dalam menerapkan metode ini dalam pengkajian hadis, langkah-langkah yang

ditempuh adalah sebagai berikut:


a. Menentukan tema yang akan dibahas.

b. Menghimpun hadis-hadis yang berkaitan dengan tema dari kitab-kitab hadis

yang diakui otoritasnya, dengan menggunakan metode-metode takhri>j.

c. Meneliti sanad dan matan hadis-hadis yang telah dihimpun sesuai tema yang

dibahas.

d. Membahas dan meremusukan makna dari hadis-hadis tersebut, dengan cara

mencari penjelasan-penjelasan ulama terkait hadis-hadis tersebut.


e. Mengumpulkan data-data ilmiah yang relevan dengan tema sebagai pendukung

dalam penelitian.

f. Menghubungkan tema yang dibahas dengan realitas umat Islam dewasa ini

untuk kesempurnaan tujuan penelitian. Sehingga, umat tetap hidup dengan

berpegang teguh pada sunnah.

26
Untuk lebih jelasnya uraian mengenai isbal, silahkan rujuk, Yusuf al-Qaradawi, Kaifa
Nata’a>mul ma’a Sunnah al-Nabawiyah, h. 123-128.
10

g. Menyusun hasil penelitian sesuai dengan metode ilmiah sehingga membentuk

sebuah konsep sebagai bentuk hasil penelitian dan sebuah karya ilmiah atau

syarah hadis.27

C. Teknik Interpretasi dalam Memahami Hadis

Teknik secara bahasa adalah ‘cara’, ‘metode’ atau ‘sistem mengerjakan

sesuatu’.28 Adapun interpretasi menurut bahasa adalah pemberian kesan, pendapat,


atau pandangan teoretis terhadap sesuatu; tafsiran.29 Dengan demikian teknik

interpretasi dapat diartikan sebagai cara atau metode dalam menafsirkan seseatu. Pada

konteks memahami hadis nabi saw. maka teknik interpretasi dapat diartikan sebagai

suatu cara menafsirkan hadis nabi saw.

Dalam kajian hadis, teknik interpretasi ini dikenal dengan nama ’Ilm al- Ma’a>ni>

al- H{adi>s\. Ilmu ini mempelajari tentang hal ihwal lafal serta makna atau arti yang

terdapat di dalam matan hadis sesuai dengan tuntunan kondisinya. 30 Jadi, dari uraian

sebelumnya, diketahui bahwa objek dari teknik interpretasi dalam memahami hadis

atau ’Ilm al- Ma’a>ni> al- H{adi>s\ adalah teks hadis (matan).

’Ilm al- Ma’a>ni> al- H{adi>s\ sangatlah penting untuk memberikan pemahaman
yang tepat terhadap hadis-hadis nabi saw. Sebab, terkadang hadis nabi memuat kata-

kata atau susunan kalimat yang sukar dipahami maknanya sehingga membutuhkan

suatu teknik khusus agar diketahui maknanya dengan tepat dan menghindarkan

27
Lihat, Ramadan Ishak Zayyan, “Al-H{adi>s\ al- Maud}u>’i> Dira>sah Naz}riyah”, h. 228-229. Lihat
juga, Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h 182-183.
28
“Teknik”, KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/teknik (15 Desember 2016).
29
“Interpretasi”, KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/interpretasi (15 Desember
2016).
30
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 6.
11

kekeliruan dalam memahami hadis-hadis nabi saw. Olehnya itu, diperlukan

pengetahuan mengenai matan, baik dari bentuk periwayatan matan (periwayatan secara

lafal dan periwayatan secara makna) maupun bentuk dari matan itu sendiri.

Adapun yang dimaksud dengan bentuk matan antara lain; jawa>mi’ al-kalim

(ungkapan yang singkat namun padat maknanya), tams\i>l (perumpamaan), ramzi

(bahasa simbolik), bahasa percakapan (dialog), qiyasi (ungkapan analogi).31 Berikut

contoh hadis dari masing-masing bentuk matan yang telah disebutkan:


a. Jawa>mi’ al-Kalim

Nabi saw. bersabda:


32
)‫ب َخ حد َعة )رواه مسلم‬
ُ ‫اْلَحر‬
‫ح‬
Perang itu siasat. (HR. Muslim)

b. Tams\i>l

Nabi saw. bersabda:


33
)‫ضا (رواه البخاري‬
ً ‫ضهُ بَ حع‬ ِ ‫إِن امل حؤِمن لِلحم حؤِم ِن َكالحب نح ي‬
ُ ‫ان يَ ُشد بَ حع‬َُ ُ َ ُ
“Sesungguhnya orang mukmin bagi mukmin yang lain, laksana bangunan yang
saling menguatkan satu bagian dengan bagian yang lainnya.” (HR. al-Bukhari)

c. Ramzi
Nabi saw. bersabda:
ِ ‫ث اللي ِل‬ ِ ِ
‫ َم حن‬:‫ول‬
ُ ‫اآلخ ُر يَ ُق‬ ‫ي يَحب َقى ثُلُ ُ ح‬ َ ‫يَنح ِزُل َرب نَا تَبَ َارَك َوتَ َع َال ُكل لَحي لَة إِ َل الس َماء الدنحيَا ح‬
34
)‫ َم حن يَ حستَ غح ِف ُرِِن فَأَ حغ ِفَر لَهُ (رواه البخاري‬،ُ‫ُع ِطيَه‬
‫يب لَهُ َم حن يَ حسأَلُِن فَأ ح‬
ِ ‫ فَأ‬،‫ي حدع ِوِن‬
َ ‫َستَج‬
‫ح‬ ُ َ
31
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal (Cet. I; Jakarta: Bulan Bintang, 1994), h. 9.
32
Muslim Ibn al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Juz 3 (Beirut:
Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-’Arabi>, [t.th.]), h. 1361-1362.
33
Muhammad Ibn ’Isma>’i>l Abu> Abdullah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz 1 (Cet. I; Beirut:
Da>r T{auq al-Naja>h, 1422 H), h. 103.
34
Muhammad Ibn ’Isma>’i>l Abu> Abdullah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz 2, h. 53.
12

“Tuhan kita yang Maha suci lagi Maha tinggi setiap malam turun ke langit dunia
di sepertiga akhir dari malam dan Ia berfirman: Barang siapa yang berdo’a
kepadaku niscaya Aku kabulkan, barang siapa yang meminta kepadaku niscaya
Aku beri, barang siapa yang memohon ampun kepadaku niscaya Aku
mengampuninya.” (HR. al-Bukhari)

d. Dialog

‫ َويَ ِد ِه‬،‫ َم حن َسلِ َم امل حسلِ ُمو َن ِم حن لِ َسانِِه‬:‫ض ُل؟ قَا َل‬ ِ َ ‫قَالُوا ي رس‬
َ ‫ أَي ا ِإل حسالَِم أَفح‬،‫ول اَّلل‬ َُ َ
ُ 35
)‫(رواه البخاري‬
“Para sahabat bertanya: ‘Wahai rasulullah, amalan Islam yang manakah
yang paling utama?’, rasulullah saw. bersabda: ‘orang yang kaum
muslimin selamat dari gangguan lidah dan tangannya.” (HR. al-Bukhari)

e. Qiyasi

Nabi saw. bersabda:


ِ ِ
ِ
‫ض َع َها ِِف ا حْلََالل َكا َن لَهُ أ ح‬
‫َجر‬ َ ‫ض َع َها ِِف َحَرام أَ َكا َن َعلَحي ِه ف َيها ِوحزر؟ فَ َك َذل‬
َ ‫ك إِ َذا َو‬ َ ‫أ ََرأَيحتُ حم لَ حو َو‬
36
)‫)رواه مسلم‬
“Tidakkah kalian lihat, jika sekiranya hasrat seksual disalurkan pada jalan yang
haram akan menanggung dosa? Maka demikianlah jika hasrat seksual itu
disalurkan pada jalan yang halal akan mendapatkan pahala.” (HR. Muslim)

Teknik interpretasi dalam memahami hadis dapat dikategorikan ke tiga macam

teknik, yaitu; tekstual, intertekstual dan kontekstual. Tiga macam teknik yang

disebutkan dalam memahami hadis merupakan konsekuensi dari berbagai aspek yang
melingkupi hadis. Sehingga ada hadis yang dipahami sesuai dengan matan atau

teksnya, ada pula yang dipahami dengan mengaitkan dengan aspek-aspek lain.37

Menurut M. Syuhudi Ismail, segi-segi yang berkaitan dengan nabi saw. dan suasana

yang melatarelakangi terjadinya hadis memilki porsi yang cukup penting dalam

35
Muhammad Ibn ’Isma>’i>l Abu> Abdullah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz 1, h. 11.
36
Muslim Ibn al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Juz 2, h. 679.
37
Ermawati, “Telaah Pemikiran al-Aini dalam Umdah al-Qari’ Kitab al-Buyu’ Bab Bai’ al-
Khilth min al-Tsamari: Tinjauan Metode, Teknik dan Pendekatan”, Rausyan Fikr 6, no. 1 (Januari-Juni
2010): h. 84.
13

memahami hadis. Suatu hadis bisa saja lebih tepat dipahami secara tekstual sebab

setelah dihubungkan dengan aspek-aspek seperti latar belakang terjadinya, tetap

menuntun pada pemahaman sebagaimana tertulis dalam hadis tersebut. Sedangkan

hadis yang lain lebih tepat dipahami secara kontekstual, sebab ada petunjuk yang kuat

yang mengharuskan hadis tersebut tidak bisa dipahami secara tekstual saja, misal hadis

yang berbicara mengenai sifat dan perbuatan Allah swt atau hadis-hadis dengan bentuk

ungkapan simbolik.38

1. Interpretasi Tekstual

Interpretasi tekstual merupakan interpretasi terhadap matan hadis berdasarkan

teksnya semata, baik matan hadis tersebut diriwayatkan secara lafal maupun dengan

makna. Teknik ini cenderung mengabaikan pertimbangan latar belakang yang

mendasari munculnya suatu hadis dan dalil-dalil lain baik dari al-Qur’an maupun hadis

yang lain.39

Pada teknik ini, pendekatan yang dapat digunakan antara lain; pendekatan

linguistik (bahasa), teologis-normatif dan pendekatan dengan menggunakan kaidah-

kaidah usul fikih. Dengan demikian, teknik interpretasi tekstual melahirkan makna
yang formal serta makna yang mendasar, dan apikasinya bersifat umum.

Dalam memahami hadis dengan teknik interpetasi tekstual hal-hal yang perlu

dipertimbangkan adalah cara periwayatan, gaya bahasa yang digunakan dalam hadis

dan kandungan hadis.40 Hal-hal tersebut menampakkan apakah suatu hadis relevan

38
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, h. 6.
39
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 19.
40
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 20.
14

dipahami dengan menggunakan teknik interpretasi tekstual saja atau dibutuhkan teknik

lain.

Berikut akan dipaparkan contoh mengenai teknik interpretasi tekstual dalam

memahami hadis. Nabi saw. bersabda:


41
)‫ب َخ حد َعة )رواه مسلم‬
ُ ‫اْلَحر‬
‫ح‬
“Perang itu siasat.” (HR. Muslim)

Dari teks hadis tersbut memberikan pemahaman bahwa setiap perang itu adalah
siasat atau inti dari perang itu adalah siasat. Ketentuan yang demikian bersifat umum

dan tidak terikat waktu dan tempat. Sehingga, untuk memahami hadis ini tidak
diperlukan mengaitkan dengan aspek latar belakang terjadinya hadis atau situasi dan

kondisi seperti apa muncul hadis tersebut. Sebab, perang memang tentang siasat,

perang yang tanpa siasat sama saja menyerah kepada lawan.42

2. Interpretasi Intertekstual

Secara leksikal, kata intertekstual merupakan gabungan dari kata inter dan

tekstual. Inter berarti hubungan atau jaringan 43 dan tekstual berarti berkaiatan dengan

teks, sedangkat teks sendiri mempunyai arti naskah, kutipan atau wacana tertulis. 44
Intertekstual diartikan sebagai hubungan antara satu teks dengan teks yang lain,

hubungan yang dimaksud bukan hanya karena adanya persamaan antara satu teks

dengan teks yang lain, namun juga karena adanya perbedaan. Teknik interpretasi ini

41
Muslim Ibn al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Juz 3 h. 1361-
1362.
42
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, h. 11.
43
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 87.
44
“Teks”, KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/teks (15 Desember 2016).
15

awalnya dikenal dalam dunia sastra yang diilhami oleh gagasan Mikhail Bakhtin,

seorang filsuf Rusia yang mempunyai minat yang besar pada sastra, kemudian

interpretasi intertektual diperkenalkan dan dikembangkan oleh Julia Kristeva. 45

Interpretasi intertekstual mengangap suatu teks tidak berdiri sendiri, tapi

dipengaruhi oleh teks-teks lain. Prinsip dari interpretasi intertekstual memandang

sebuah teks melalui pengolahan aspek luar dan dalam, aspek luar maksudnya teks-teks

lain yang mendukung teks yang dimaksud, aspek dalam adalah pemahaman penulis
yang didasarkan pada proses pembcaan berbagai teks. Prisip selanjutnya, adalah

melihat motif penulis serta memandang sebuah teks dibentuk dari sumber yang tertulis
maupun tidak tertulis.46

Dari uraian di atas, maka dapat dinyatakan bahwa interpretasi intertekstual

merupakan cara memahami teks dengan melibatkan teks lain, baik di dalam satu teks

ataupun di luar teks karena adanya hubungan yang terkait. Teknik interpretasi

intertekstual bisa disebut sebagai teknik muna>sabah dalam bidang tafsir. Jadi, teknik

interpretasi intertekstual dalam memahami hadis dapat diartikan sebagai interpretasi

atau penafsiran atau pemahaman terhadap matan hadis dengan memperhatikan


sistematika matannya, atau hadis-hadis lain, atau ayat-ayat al-Qur’an.47

Teknik interpretasi intertekstual menghendaki pendekatan interdisipliner

bahkan multidisipliner. Sehingga, menghasilkan pemahaman yang menguatkan makna

formal untuk menegaskan makna subtstansial atau memberikan suatu pemahaman

45
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 87-88.
46
“Intertekstual”, Wikipedia Ensiklopedia Bebas. https://id.wikipedia.org/wiki/Intertekstual (15
Desember 2016).
47
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 89.
16

tentang maksud hadis yang berbeda dari apa yang dipahami secara umum dari teks.

Adapun aplikasi dari teknik ini dapat bersifat umum, lokal ataupun temporal.48

Dalam menggunakan teknik ini, hal-hal yang perlu diperhatikan adalah

sisematika matan hadis, kemudian memperhatikan pula fungsi hadis tersebut terhadap

ayat-ayat al-Qur’an, serta memperhatikan pula hadis-hadis lainnya yang memiliki

kesamaan tema dan hadis-hadis lain yang terlihat kontradiktif.

Berikut contoh penerapan interprtasi intertekstual dalam memahami hadis.


‫س‬ ِ ِ ِ ِ ِ‫ الحم حفل‬:‫ «أَتَ حدرو َن ما الحم حفلِس؟» قَالُوا‬:‫قَ َال‬
َ ‫ «إن الح ُم حفل‬:‫ فَ َق َال‬،‫اع‬ َ َ‫س فينَا َم حن َل د حرَه َم لَهُ َوَل َمت‬ ُ ُ ُ ُ َ ُ
َ ‫ َوقَ َذ‬،‫ َو ََيحِت قَ حد َشتَ َم َه َذا‬،‫ َوَزَكاة‬،‫ َو ِصيَام‬،‫ص َالة‬ ِ ِ ِ
‫ َوأَ َك َل َم َال‬،‫ف َه َذا‬ َ ِ‫م حن أُم ِت ََيحِت يَ حوَم الحقيَ َامة ب‬
ِ ِِ ِ ِِ ِ
‫ت‬‫ فَِإ حن فَنيَ ح‬،‫ َوَه َذا م حن َح َسنَاته‬،‫ فَيُ حعطَى َه َذا م حن َح َسنَاته‬،‫ب َه َذا‬ َ ‫ضَر‬
َ ‫ َو‬،‫ك َد َم َه َذا‬ َ ‫ َو َس َف‬،‫َه َذا‬
‫ ُث طُر َِح ِِف النا ِر» )رواه‬،‫ت َعلَحي ِه‬ ِ ِ ِ
‫ضى َما َعلَحيه أُخ َذ م حن َخطَ َاي ُه حم فَطُِر َح ح‬ َ ‫َح َسنَاتُهُ قَ حب َل أَ حن يُ حق‬
49
)‫مسلم‬
Rasulullah saw. bertanya: ‘Apakah kalian mengetahui orang rugi/bangkrut itu?’
Mereka (para sahabat) menjawab: ‘Orang yang rugi itu bagi menurut kami adalah
orang yang tidak mempunyai dirham (uang) dan perhiasan (aset).’ Maka,
rasulullah saw. bersabda: ‘Sesunggunya orang yang rugi/bangkrut dari ummatku
adalah orang yang datang pada hari kemudian dengan membawa shalat, puasa,
zakat dan datang pula dengan membawa (dosa) mencaci maki ini, menuduh ini,
memakan harta ini (dengan cara yang batil),menumpahkan darah (membunuh)
ini, memukul (menganiyaya) ini. Maka yang ini megambil kebaikannya, yang ini
juga mengambil kebaikannya. Lalu habislah kebaikannya dan belum ditetapkan
baginya hukuman (sebab ia masih punya dosa kepada yang lain), maka
diambillah kesalahan (dosa) dari mereka (orang-orang yang ia zalimi) lalu
dilimpahkan kepadanya, lalu dilemparkanlah ia ke dalam neraka. (HR. Muslim)

Pada hadis di atas rasulullah saw. memberikan suatu pengertian yang berbeda

dari apa yang dipahami kebanyakan orang mengenai kata muflis (rugi/bangkrut). Pada

umumnya, kata rugi atau bangkrut dipahami dalam konteks dagang atau persoalan

finansial atau ekonomi. Tapi, rasulullah saw. menjelaskan atau memberikan

48
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 90.
49
Muslim Ibn al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi> al-Naisa>bu>ri>, S{ah}i>h} Muslim, Juz 4, h. 1997.
17

pemahaman yang berbeda dari kata muflis, dengan konteks kerugian dalam hal amal

perbuatan dan akhlak. Maksudnya, orang-orang yang senantiasa mengerjakan kebaikan

dan ibadah namun pada saat yang sama juga gemar menzalimi, menyakiti dan melukai

orang-orang. Sehingga, ketika amal kebaikannya digunakan untuk menebus dosa-dosa

tersebut sampai pada saat habislah amalan kebaikannya, tapi ia masih punya dosa

kepada yang lain, maka diambillah dosa orang yang ia sakiti, lukai atau zalimi, lalu

dilimpahkan kepadanya hingga akhirnya ia ditempatkan di neraka.50


Hadis ini memberikan penegasan makna substansial tentang rugi, bahwa

kerugian tidak hanya persoalan materi, tetapi mencakup segala hal, yang terjadi bisa
disebabkan karena kelalaian atau mengabaikan petunjuk-petunjuk yang ada. Hadis ini

juga bersifat umum, berlaku pada tiap masa dan tempat serta siapa saja yang melakukan

apa yang digambarkan hadis, maka akan termasuk orang yang merugi kelak di hari

kemudian.

3. Interpretasi Kontekstual

Kontekstual adalah seseatu yang berkaitan dengan atau tergantung pada

konteks. Sedangkan, konteks sendiri dalam KBBI mempunyai dua arti, yaitu; 1) bagian
suatu uraian atau kalimat yang dapat mendukung atau menambah kejelasan makna, 2)

situasi yang ada hubungannya dengan suatu kejadian.51

Adapun yang dimaksud intepretasi kontekstual dalam memahami hadis adalah

cara memahami hadis dengan memperhatikan asba>b al-wuru>d al-h{adi>s\ (konteks pada

masa rasul saw.) dan konteks kekinian. Dalam teknik intepretasi kontekstual

50
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 92.
51
“Konteks”, KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konteks (15 Desember 2016).
18

mengharuskan suatu pendekatan yang holistik dan multidisipliner, dengan

menggunakan disiplin-disiplin ilmu modern baik dari ilmu-ilmu sosial maupun sains.

Sehinggga, interpretasi kontekstual menguatkan makna formal serta menegaskan

makna subtansial dari suatu hadis. Aplikasi dari teknik ini bisa bersifat umum, lokal

ataupun temporal, tergantung pada kandungan hadis dan aspek-aspek seperti asba>b al-

wuru>d al-h{adi>s\. 52

Pengetahuan akan asba>b al-wuru>d adalah suatu keharusan dalam memahami


hadis secara kontekstual. asba>b al-wuru>d menurut Hasbi al-Siddiqi, adalah ilmu yang

menjelaskan sebab-sebab nabi saw. menuturkan sabdanya dan masa-masa nabi saw.
menuturkannya. Sementara itu, al-Suyuti membagi asba>b al-wuru>d kepada 3 macam,

yaitu; pertama, sebab yang berupa ayat al-Qur’an, kedua, sebab yang berupa hadis itu

sendiri, dan ketiga, sebab yang berupa respon terhadap para sahabat atau nabi saw.atau

yang berkaitan dengan realitas dan interaksi sosial pada masa nabi saw. 53

Selain ilmu asba>b al-wuru>d, hal lain yang perlu dipertimbangkan dengan

menggunakan teknik interpretasi kontekstual adalah pengetahuan akan fungsi dan

kedudukan nabi saw, yang pada dasarnya pengetahuan ini tidak lepas juga dengan ilmu
asba>b al-wuru>d. Nabi Muhammad saw. selain berfungsi sebagai rasul, beliau juga

sebagai kepala rumah tangga, kepala negara, hakim, tokoh masyarakat, suami, ayah

dan pribadi.54 Pengetahuan akan fungsi yang demikian akan mengantarkan pada

pemahaman yang tepat terhadap hadis nabi saw.

52
Arifuddin Ahmad, Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis, h. 117.
53
Said Agil Husin al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual (Cet. 1; Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 8-9.
54
M. Syuhudi Ismail, Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-Hadits
tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal, h. 33.
19

Menurut al-Qaradawi, diantara cara memahami hadis yang baik adalah dengan

memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi penuturan suatu hadis atau

kaitannya dengan suatu illah (sebab) tertentu yang dinyatakan dan disimpulkan dari

hadis tersebut atau bisa juga dipahami melalui kejadian yang menyertainya. Lebih

lanjut, al-Qaradawi, menekankan pentingnya memahami hadis secara konteks agar

terhindar dari kesalahan memahami maksud, isi dan kandungan hadis.55

Berikut contoh interpretasi kontekstual dalam memahami hadis. Misal, hadis


tentang larangan bagi wanita bepergian sendiri tanpa ditemani mahramnya. Nabi saw.

bersabda:
56
)‫لَ تُ َسافُِر حامَرأَة َم ِس َريةَ يَ حوم َولَحي لَة إِل َوَم َع َها ذُو َحَمَرم (رواه الرتمذي‬
Dilarang bagi wanita mengadakan perjalanan sehari dan semalam kecuali ada
seorang mahram yang bersamanya. (HR. al-Turmuzi)

Illah (alasan) dari pelarangan ini adalah bagi wanita yang hendak bepergian

jauh yang tanpa tidak ditemani suami atau mahramnya. Hal ini mengingat situasi dan

kondisi pada masa itu (pada masa hadis ini dituturkan yakni pada masa nabi saw.)

sarana transportasi yang digunakan dalam perjalanan adalah unta, kuda ataupun keledai

ditambah lagi rute perjalanan banyak melalui padang pasir yang luas dan jauh dari
hunian manusia. Pada kondisi demikianlah, seorang wanita dilarang bepergian walau

itu hanya sehari tanpa disertai dengan suami atau mahramnya, sebab dikhawatirkan

keselamatan dirinya, atau paling sedikit nama baiknya akan tercemar.

Jika kondisi yang demikian itu sudah berubah, dengan kondisi dewasa ini

dengan sarana transportasi umum yang memuat banyak orang serta rute yang aman,

55
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata’a>mul ma’a Sunnah al-Nabawiyah, h. 145-146.
56
Muhammad Ibn ’I<sa Ibn Saurah Ibn Mu>sa> Ibn D{aha>k al-Turmuz}i>, Sunan al-Turmuz}i>, Juz 2
(Beirut: Da>r al-Garb al-Isla>mi>, 1998), h. 464.
20

maka tidak ada lagi kekhawatiran terkait keselamatan wanita. Olehnya itu, tidak ada

salahnya bagi wanita melakukan perjalanan tanpa suami atau mahramnya dan itu

bukanlah sebuah pelanggaran terhadap hadis nabi saw. 57

D. Jenis Pendekatan dalam Memahami Hadis

Hadis sebagai sumber kedua dari ajaran Islam dan juga merupakan tuntunan

hidup bagi orang Islam haruslah hadir secara nyata dalam memecahkan problematika
umat. Tuntutan yang demikian barulah tercapai jika pemahaman terhadap hadis

diperkaya dengan berbagai pendekatan-pendekatan dari berbagai disiplin ilmu.

Adapun yang dimaksud pendekatan adalah cara pandang atau paradigma suatu

disiplin ilmu yang selanjutnya digunakan dalam memahami seseatu. 58 Dalam kaitannya

dengan kajian pemahaman hadis, maka pendekatan dapat diartikan sebagai suatu cara

memahami hadis dengan menggunakan kacamata, cara pandang atau paradigm suatu

disiplin ilmu.

1. Pendekatan Linguistik

Pendekatan linguistik merupakan pendekatan yang paling mendasar dalam


memahami hadis. Menurut M. Syuhudi Ismail, pendekatan linguistik sangat penting

mengingat bahasa arab yang digunakan nabi saw. di berbahai hadis selalu dalam

suasana yang baik dan benar. Pendekatan kebahasaan dalam penelitian matan sangat

membantu terhadap penelitian yang berhubungan dengan kandungan petunjuk dari

matan hadis yang bersangkutan.

57
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata’a>mul ma’a Sunnah al-Nabawiyah, h. 149.
58
Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam (Cet. XIX; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2012), h.
28.
21

Pendekatan linguistik dalam memahami hadis, meneliti matan hadis dari sudut

pandang bahasa khususnya bahasa arab sebab matan hadis berbahasa arab. Melalui

pendekatan linguistik, matan dijelaskan sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa. Pada

pembentukan konsep, data yang berupa kata-kata dianalisis berdasarkan makna

etimologi, makna morfologis dan makna leksikal. Penggunaan unsur-unsur ini

diperlukan sehingga memperoleh gambaran yang tehadap makna kata-kata hadis

selanutnya dapat diperoleh masukan untuk dianalisis lebih lanjut.59


Adapun penerapan pendekatan lingusitik dalam memahami hadis bisa kita

temui pada kitab-kitab syarah hadis. Pada umumnya, bahkan hampir semua kitab-kitab
syarah hadis menggunakan pendekatan linguitik, sebelum menjelaskan lebih lanjut

tentang kandungan hadis.

2. Pendekatan Historis

Yang dimaksud dengan pendekatan historis dalam memahami hadis adalah

upaya memahami hadis dengan memperhatikan kondisi historis-empiris pada saat

hadis itu disabdakan nabi saw. Pendekatan historis menekankan pertanyaan mengapa

nabi saw. bersabda demikian?, bagaimana kondisi historis sosio-kultural masyarakat


pada waktu itu?, serta mengamati proses terjadinya.60

Penerapan pendekatan historis ini, bisa dilihat pada hadis tentang larangan

wanita bepergian tanpa mahram yang telah dituliskan sebelumnya pada teknik

interpretasi kontekstual.

59
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 193-194.
60
Said Agil Husin al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, h. 27-28.
22

3. Pendekatan Sosiologis

Secara sederhana, sosiologi diartikan sebagai suatu ilmu tentang keadaan

masyarakat lengkap dengan struktur, lapisan serta berbagai gejala sosial yang saling

berhubungan.61 Dalam kaitannya dengan hadis, maka pendekatan sosiologis adalah

dapat diartikan sebagai upaya memahami hadis dengan memperhatikan keadaan

masyarakat pada saat hadis tersbut disabdakan nabi saw.

Tujuan pendekatan sosiologis adalah memberikan uraian yang meyakinkan

tentang apa yang sebenarnya terjadi dengan manusia dalam berbagai situasi hidup
dalam hubungannya dengan ruang dan waktu.62

Aplikasi dari penerapan pendekatan sosiologis, bisa dilihat dari penjelasan Ibn

Khaldun tentang hadis nabi saw. berikut:


63
)‫حاْلَئِمةُ ِم حن قَُريحش (رواه البيهقي‬
Para imam itu (harus) dari (suku) Quraisy. (HR. al-Baihaqi)

Menurut Ibn Khaldun, nabi saw. mempertimbangkan keadaan kaum Quraisy

pada masa tersebut. Mereka inilah (kaum Quraisy) yang mempunyai kekuatan dan
loyalitas kesukuan yang kuat, yang dibutuhkan sebagai sandaran kekuatan bagi

kekhalifaan atau pemerintahan. Lebih lanjut, Ibn Khaldun menyatakan bahwa

persyaratan yang dikemukakan nabi saw. dalam sabdanya semata-mata demi

menghindari terjadinya perebutan kekuasaan, mengingat kekuatan dan loyalitas

kesukuan mereka yang solid, maka dapat disimpulkan keadaan yang demikian itulah

61
Faisal Ananda Arfa dkk, Metode Studi Islam: Jalan Tengah Memahami Islam (Cet. I; Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2015),h. 153.
62
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis,, h. 198.
63
Abu Bakr al-Baihaqi>, Al-Sunan al-Kubra>, Juz 3 (Cet III; Beirut: Da>r al-Kutub al-’Ilmiyah,
1424 H/2003 M), h. 172.
23

yang diharapkan dari adanya persyaratan tersebut. Atas dasar itu, masih menurutt Ibn

Khaldun, kita dapat menetapkan syarat bagi siapa saja yang akan menjadi pemimpin

tertinggi umat Islam, agar berasal dari kaum yang memiliki loyalitas yang kuat,

sehingga dengan mudah menjalankan pemerintahan.64

4. Pendekatan Antropologis

Pendekatan antropologi dalam mengkaji berbagai fenomena kehidupan


masyarakat dilakukan para pengkaji sosial dan budaya di barat. Pada gilirannya

pendekatan antropologi juga dimanfaatkan dalam memahami agama. 65 Hadis sebagai

bagian yang tidak terlepas dari agama Islam juga dapat didekati melalui pendekatan

ini.

Pendekatan antropologis memperhatikan terbentuknya pola perilaku manusia

pada tatanan nilai yang dianut dalam kehidupan masyarakat. 66 Adapun pendekatan

antropologis dalam memahami hadis ialah memahami hadis dengan memperhatikan

aspek praktik keagamaan yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat serta tradisi

dan budaya yang berkembang dalam masyarakat ketika hadis tersebut disabdakan. 67

Berikut contoh hadis yang dapat dipahami melalui pendekatan antropologis,


nabi saw bersabda:

‫اب‬ ِ ِ ‫ وأَوُكوا اْل‬،‫ و َغلِ ُقوا اْلَب واب‬،‫أَطح ِفئوا املصابِيح ِِبللي ِل إِ َذا رقَ حد ُُت‬
َ ‫ َو َخ ُروا الط َع َام َوالشَر‬،‫َسقيَ َة‬
‫ح‬ ‫حَ َ َ ح‬ َ ‫َ ح‬ ‫ُ ََ َ ح‬

64
Yusuf al-Qaradawi, Kaifa Nata’a>mul ma’a Sunnah al-Nabawiyah, h. 150.
65
Faisal Ananda Arfa, dkk., Metode Studi Islam: Jalan Tengah Memahami Islam (Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015),h. 164.
66
Said Agil Husin al-Munawwar dan Abdul Mustaqim, Asbabul Wurud: Studi Kritis Hadis Nabi
Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual, h. 27.
67
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 201.
24

68
)‫(رواه البخاري‬
Matikanlah lampu-lampu pada waktu malam ketika kalian hendak tidur,
Kuncilah pintu-pintu, ikatlah tempat-tempat air minum (yang terbuat dari kulit)
dan tutuplah makanan dan minuman. (HR. al-Bukhari)

Melalui pendekatan antropologis, kita akan mudah mengerti mengapa

rasulullah saw. memerintahkan mematikan lampu/penerang ketika hendak tidur. Pada

masa nabi saw. alat penerang atau lampu adalah lampu minyak. Apabila lampu tidak

dimatikan ketika hendak tidur, dikhawatirkan terjadi kebaran dan ia tidak


menyadarinya. Penyebabnya bisa saja karena lampu itu disentuh binatang atau

terhembus angina lalu jatuh dan membakar disekelilingnya. 69 Dalam konteks kekinian
jika seseorang tidur tidak mematikan lampu bukanlah sebuah penolakan terhadap

hadis nabi saw. Justru keadaan sekarang, berbahaya mematikan semua lampu ketika

tidur pada waktu malam, sebab akan mengundang tindakan kriminal karena diduga

rumah tersebut kosong.

68
Muhammad Ibn ’Isma>’i>l Abu> Abdullah al-Bukha>ri>, S{ah}i>h} al-Bukha>ri>, Juz 8, h. 65.
69
Abustani Ilyas dan La Ode Ismail Ahmad, Filsafat Ilmu Hadis, h. 202.
BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Dari uraian pembahasan mengenai metodologi pemahaman hadis, dapat ditarik

beberapa kesimpulan diantaranya sebagai berikut:

1. Metodologi pemahaman hadis adalah suatu cara, teknik atau metode dalam
memahami atau memahamkan hadis. Dalam kajian ilmu hadis metodologi pemahaman

hadis dikenal dengan istilah syarh} hadi>s\, ini sama dengan tafsir atau takwil dalam studi

ilmu al- Qur’an. Metodologi pemahaman hadis ini mencakup metode, teknik

interpretasi dan pendekatan.

2. Metode dalam memahami hadis dapat dikategorikan ke dalam 4 bentuk;

Pertama, metode tah}li>li> (analisis) yaitu metode yang menjelaskan secara rinci dan

mencakup seluruh aspek yang dikandung suatu hadis. Kedua, metode ijma>li> (global)

yaitu metode dengan cara menjelaskan secara ringkas dan padat serta menjelaskan

makna umum yang terdapat dalam hadis. Ketiga metode muqa>ran (perbandingan) yaitu

menjelaskan hadis dengan memaparkan perbadningan dengan hadis-hadis lain baik


yang memiliki kesamaan redaksi atau tema bahkan yang terlihat bertentangan, selain

itu pada metode ini juga memaparkan mengenai perbedaan pendapat ulama dalam

memahami suatu hadis. Keempat, metode mawd}u{>‘i> (tematik) yaitu metode memahami

hadis dengan cara menghimpun hadis-hadis yang memiliki kesamaan tema.

3. Teknik interpretasi dalam memahami hadis dapat dikelompkkan kepada 3

teknik, yaitu; interpretasi tekstual yang fokusnya hanya pada teks semata dalam

memahami hadis, interpretasi interektstual yang memperhatikan hubungan teks dengan

25
26

teks lainnya dalam memahami hadis, dan interpretasi kontekstual yang memperhatikan

latar belakang peristiwa atau asba>b al-wuru>d dengan konteks kekinian dalam

memahami hadis.

4. Dalam memahami hadis ada beberapa pendekatan yang digunakan, diantaranya

adalah; pendekatan linguistik yaitu pendekatan dengan menggunakan bahasa dan

kaidah-kaidah bahasa, pendekatan historis yaitu pendekatan dengan memperhatikan

aspek sejarah, pendekatan sosiologis yaitu pendekatan dengan pertimbangan keadaan


sosial masyarakat pada saat hadis disabdakan, dan terakhir pendekatan antropologis

yang memperhatikan aspek-aspek budaya, tradisi dan praktik keagamaan yang


berkembang pada masa hadis tersebut disabdakan. Pendekatan historis, sosiologis dan

antropologis sebenarnya bukanlah hal yang baru dalam kajian pemahaman hadis,

ketiga pendekatan ini pada masuk dalam kajian asba>b al-wuru>d, sehingga ketiga

pendekatan ini bisa juga disebut sebagai asba>b al-wuru>d ’a>m (asba>b al-wuru>d makro).

B. Saran

Dengan sangat menyadari bahwa makalah kami masih jauh dari kesempurnaan,

sebab tidak ada satu tulisan di muka bumi ini yang terhindar dari kecacatan selain al-
Qur’an. Untuk itu kami menyarankan kepada pembaca untuk memberikan sumbang

saran serta kritikan yang konstruktif demi kesempurnaan makalah kami untuk yang

akan datang.
DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Arifuddin. Metodologi Pemahaman Hadis: Kajian Ilmu Ma’a>ni> al-Hadis. Cet.
II; Makassar: Alauddin University Press, 2013.
“Al- I’tiba>r wa al- Muta>bi’a>t wa al- Syawa>hid”. Multaqa> Ahl al- H{adi>s}.
http://www.ahlalhdeeth.com/vb/index.php (15 Desember 2016).
Arfa, Faisal Ananda, dkk. Metode Studi Islam: Jalan Tengah Memahami Islam. Cet. I;
Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2015.
al-Baihaqi>, Abu Bakr. Al-Sunan al-Kubra>. Juz 3. Cet III; Beirut: Da>r al-Kutub al-
’Ilmiyah, 1424 H/2003 M.
al-Bukha>ri>, Muhammad Ibn ’Isma>’i>l Abu> Abdullah. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Juz 1. Cet. I;
Beirut: Da>r T{auq al-Naja>h, 1422 H.
-------. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Juz 2. Cet. I; Beirut: Da>r T{auq al-Naja>h, 1422 H.
-------. S{ah}i>h} al-Bukha>ri>. Juz 8. Cet. I; Beirut: Da>r T{auq al-Naja>h, 1422 H.
Ermawati. “Telaah Pemikiran al-Aini dalam Umdah al-Qari’ Kitab al-Buyu’ Bab Bai’
al- Khilth min al-Tsamari: Tinjauan Metode, Teknik dan Pendekatan”. Rausyan
Fikr 6, no. 1 (Januari-Juni 2010): h. 71-88.
H{usain, Abu> Luba>bah al-T{a>hir. Muh}a>d{ara>t fi> al-H{adi>s} al-Tah}li>li>. Cet. I; Beirut: Da>r
al-Garb al-Isla>mi>, 2004 M/1425 H.
Ilyas, Abustani dan La Ode Ismail Ahmad. Filsafat Ilmu Hadis. Cet. I; Surakarta,
Zadahadiya Publishing, 2001.
“Interpretasi”. KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/interpretasi (15
Desember 2016).
“Intertekstual”. Wikipedia Ensiklopedia Bebas.
https://id.wikipedia.org/wiki/Intertekstual (15 Desember 2016).
Ismail, M. Syuhudi. Hadis Nabi yang Tekstual dan Kontekstual: Telaah Ma’ani al-
Hadits tentang Ajaran Islam yang Universal, Temporal, dan Lokal. Cet. I;
Jakarta: Bulan Bintang, 1994.
“Konteks”. KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/konteks (15 Desember
2016).
“Metodologi”. KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/metodologi (15
Desember 2016).
al-Munawwar, Said Agil Husin dan Abdul Mustaqim. Asbabul Wurud: Studi Kritis
Hadis Nabi Pendekatan Sosio-Historis-Kontekstual. Cet. 1; Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2001.
al-Naisa>bu>ri>, Muslim Ibn al-H{ajja>j Abu> al-H{asan al-Qusyairi>. S{ah}i>h} Muslim. Juz 2.
Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-’Arabi>, [t.th.].
-------. S{ah}i>h} Muslim. Juz 3. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-’Arabi>, [t.th.].
-------. S{ah}i>h} Muslim. Juz 4. Beirut: Da>r Ihya>’ al-Tura>s\ al-’Arabi>, [t.th.].

27
28

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam (Cet. XIX; Jakarta: RajaGrafindo Persada,
2012.
Nuruddin, Muhammad. “Aktualisasi Pemahaman Hadis Hukum Dalam Kehidupan
Global”. Riwayah 1, no. 1 (Maret 2015): h. 39-60.
“Paham”. KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/paham (15 Desember
2016).
“Pemahaman”. KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/pemahaman (15
Desember 2016).
al-Qaradawi, Yusuf. Kaifa Nata’a>mul ma’a Sunnah al-Nabawiyah. Cet. II; Kairo: Da>r
al-Syuru>q, 2002 M/1423 H.
Sanaky, Hujair A. H. “Metode Tafsir: Perkembangan Metode Tafsir Mengikuti Warna
atau Corak Mufassirin”, Al- Mawarid 18, (2008): h. 263-284.
Tah}h{a>n, Mah}mu>d. Taisi>r Mus}t}alah} al-Hadi>s\. Cet. XI; Riyadh: Maktabah al-Ma‘a>rif,
2010 M/1431 H.
“Teknik”. KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/teknik (15 Desember
2016).
“Teks”. KBBI Daring. http://kbbi.kemdikbud.go.id/entri/teks (15 Desember 2016).
al-Turmuz}i>, Muhammad Ibn ’I<sa Ibn Saurah Ibn Mu>sa> Ibn D{aha>k. Sunan al-Turmuz}i>.
Juz 2. Beirut: Da>r al-Garb al-Isla>mi>, 1998.
Zayyan, Ramadan Ishak. “Al-H{adi>s\ al- Maud}u>’i> Dira>sah Naz}riyah”. Majallah al-
Ja>mi’ah al- Isla>miyyah 10, no. 2 (2002): h. 207-249.

Anda mungkin juga menyukai