Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

“SYARAH/KANDUNGAN HADIS”
Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Al-Qur’an Hadis

Oleh:

Kelompok 12
Eka Sri Astuti Nihe
Silvana Antogia

INSTITUT AGAMA ISLAM NEGERI SULTAN AMAI GORONTALO


FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
JURUSAN AKUNTANSI SYARI’AH
2020/2021
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas limpahan
rahmat dan hidayahnya sehingga kami dapat menyelesaikan makala kami yang
berjudul “Syarah/Kandungan Hadis“.Pada makalah ini kami banyak mengambil dari
berbagai sumber dan refrensi dan pengarahan dari berbagai pihak oleh.sebab
itu,dalam kesempatan ini kami mengucapkan terima kasih.

Gorontalo, Mei 2021


BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Setiap zaman memiliki paradigma tersendiri dalam memahami hadis nabawi.
Hal tersebut dipengaruhi oleh dinamika masyarakat masing-masing zaman. Pada
masa Rasulullah praktis tidak pernah terjadi pertentangan atau perbedaan pemahaman
tentang sebuah hadis Hal ini dikarenakan jika terjadi sebuah persoalan atau kesalah
pahaman tentang sebuah hadis, maka secara langsung dapat dikonfirmasikan
langsung kepada Rasulullah. Berbeda dengan masa-masa sesudah Rasulullah wafat.
Pada masa ini telah terjadi penafsiran yang berbeda seiring dengan meluasnya
wilayah Islam yang bukan hanya berada diwilayah semenanjung Arabia. Seiring
dengan berkembangny azaman persoalan-persoalan umat menjadi lebih banyak dan
kompleks.Persoalan-persoalan yang muncul bukan hanya persoalan yang berkaitan
dengan ibadah secara murni dalam hubungannya dengan Allah,melainkanjuga
muncul persoalan-persoalan yang berdimensi sosial yang tidak hanya melibatkan
kaum muslimin tetapi juga umat-umat lain diluar Islam.
Memahami suatu teks (nas ) hadis tidak selalu mudah. Sama dengan teks-teks
lainnya, problem utama hadis adalah ia sebagai teks yang tetap sedangkan realitas
yang mengiringinya terus berubah. Kegagalan hadis dalam mengiringi realitas
tersebut dapat menimbulkan persoalan besar. Hadis akan kehilangan sakralitasnya
karena dianggap kadaluwarsa yang pada akhirnya akan kehilangan fungsinya sebagai
pedoman dalam kehidupan. Menyadari persoalan tersebut maka pemahaman ulang
dengan metode yang baru harus senantiasa dilakukan agar hadis tetap lestari dalam
kehidupan umat Islam.
Sampai dengan abad ke-4 H perkembangan hadis dapat dinyatakan telah final.
Tidak ada lagi aktifitas pembukuan dan seleksi hadis. Usaha para ulama selanjutnya
adalah memberikan syarh (penjelasan) terhadap karya-karya kitab hadis yang telah
ada yang berlangsung sampai abad ke-7 H. Setelah masa ini dinamika ilmu hadis
‘terperangkap’ dalam stagnasi yang berkepanjangan hingga masa sekarang.
B. Rumusan Masalah
1. Apa Pengertian Syarah/Kandungan Hadis?
2. Apa saja Metode-Metode Syarah Hadis?
3. Apa saja Tehnik Interpretasi Hadis?
4. Bagaimana Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia?
C. Tujuan
1. Mengetahui Pengertian Syarah/Kandungan Hadis
2. Mengetahui Metode-Metode Syarah Hadis
3. Mengetahui Tehnik Interpretasi Hadis
4. Mengetahui Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Syarah/Kandungan Hadis
Istilah syarah hadis yang telah menjadi bagian dari kosa kata bahasa Indonesia
merupakan kata serapan dari bahasa Arab yaitu syarh dan hadis. Dari sudut
kebahasaan, kata syarh berarti al-kasyf (menampakkan), al-wadh (menjelaskan), al-
bayân (menerangkan), al-tawsî‘ (memperluas), al-ẖifz (memelihara), al-fatẖ
(membuka), dan al-fahm (memahami).
Dari sudut terminologis, syarah berarti uraian terhadap materi-materi tertentu,
lengkap dengan unsur-unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek
pembahasan.3 Dalam tradisi para penulis kitab berbahasa Arab, istilah syarah berarti
memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matan suatu kitab. Sehingga dapat
dikatakan bahwa, istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan terhadap naaskah
kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti
interpretasi, sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab syarah secara umum, baik syarah
terhadap kitab hadis maupun kitab lainnya
Term lain yang juga erat kaitannya dengan syarah dan sering digunakan dalam
kajian teks keagamaan yakni ẖâsyiyah (keterangan tambahan), tafsir dan ta’lîq (tepi
atau pinggir). Pada dasarnya semua kata itu adalah model untuk mengungkap makna
teks, namun penggunaannya berbeda. Oleh sebab itu hal tersebut sering menimbulkan
asumsi bahwa terdapat hegemoni kata dalam salah satu kajian Islam, yang mana tafsir
selalu diasumsikan sebagai interpretasi dari Alquran, dan syarah dianggap bagian dari
model pemahaman atas hadis.
Di samping itu, syarah hadis yang telah dikenal lebih bersifat konkrit
operasional yaitu berwujud tulisan dalam beberapa kitab yang berisi penjelasan ulama
dan hasil pemahaman mereka terhadap suatu hadis. Sementara fiqh al-ẖadîtslebih
bersifat konseptual. Kalaupun dituangkan masih bersifat penjelasan oral.
Terjadinya transformasi dari fiqh al-ẖadîts menjadi syarẖ al-ẖadîts serta
perkembangan lebih lanjut dari syarah hadis dapat dilihat dalam perkembangan
sejarahnya. Dari masa awal syarah hadis hingga pembukuan hadis, berlanjut ke masa
perkembangan syarah hadis (dari masa pembukuan hadis hingga masa-masa
selanjutnya).

B. Metode-Metode Syarah Hadis


Sebagai teks kedua setelah Alquran, hadis memiliki peran dalam kehidupan umat
Islam sebagai penopang sekaligus pedoman hidup guna mencapai kebahagiaan di
dunia maupun di akhirat. Namun dalam mengkaji sebuah hadis sekaligus mengkaji
pemahamannya memerlukan ‘pisau” analisis yang mapan dimana dalam istilahnya
disebut dengan metode tersendiri yang disertai dengan beragam pendekatan.
Seiring perjalanan waktu, ilmu hadis serta kajian-kajian yang berkaitan dengannya
pun berkembang, hal ini dapat dilihat dari berbagai kitab-kitab hadis yang ditulis
Muẖadditsîn khususnya, begitu juga berkembang sosial kemasyarakatan
mengantarkan sekaligus mengharuskan supaya dapat memahami hadis dengan baik
dan paling tidak ‘mendekati kebenaran’. Dalam kitab syarah hadis, dikenal beberapa
metode ulama dalam mensyarah, yakni: Ijmâlî, mauḏû’î, taẖlîlî, dan muqârîn.
1. Metode Taẖlîlî
a. Pengertian Metode Taẖlîlî
Taẖlîlî berasal dari bahasa Arab ẖallala-yuẖallilu-taẖlîl yang berarti
menguraikan, menganalisis. Namun yang dimaksudkan Taẖlîlî di sini adalah
mengurai, menganalisis dan menjelaskan makna-makna yang terkandung
dalam hadis Rasulullah saw. dengan memaparkan aspek-aspek yang
terkandung di dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan
pensyarah.Dalam menyajikan penjelasan atau komentar, seorang pensyarah
hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat
dalam kitab hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah memulai penjelasannya dengan mengutarakan makna kalimat
demi kalimat, hadis demi hadis secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut
berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata, konotasi kalimatnya,
asbâb-al-wurûd (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-
pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang
berasal dari sahabat, para tabi’in maupun para ulama hadis. Muhammad al-
Fatih Suryadilaga, menerangkan metode taẖlîlî yakni dengan; syarah hadis
yang di dalamnya akan ditemui uraian pemaparan segala aspek yang
terkandung dalam hadis serta menerangkan makna-makna yang tercakup di
dalamnya sesuai dengan kecenderungan dan keahlian pensyarah. Misalkan
diuraikannya secara sistematis sesuai dengan urutan hadis yang terdapat
dalam sebuah kitab hadis kutub al-sittah
b. Ciri-ciri Metode Taẖlîlî
Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode taẖlîlî biasanya
berbentuk bi al-ma’tsûr atau bi al-ra’yi. Syarah yang berbentuk ma’tsûr
ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat yang datang dari
sahabat, tabi’in atau ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra’yi
banyak didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
Adapun secara rinci, kitab-kitab syarah yang menggunakan metode
taẖlîlîmemiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Pensyarahan dilakukan dengan pola penjelasan makna yang terkandung
di dalam hadis secara komprehensif dan menyeluruh.
2. Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi
kalimat secara berurutan serta tidak terlewatkan juga menerangkan sabab
al-wurûd dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut memiliki
sabab wurûd-nya.
3. Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh
para sahabat, tabi’in dan para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai
disiplin ilmu.
4. Di samping itu sudah ada usaha munâsabah (hubungan) antara satu hadis
dengan hadis lain.
Selain itu, kadangkala syarah dengan metode ini diwarnai kecenderungan
pensyarah pada salah satu mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak
pensyarahan, seperti corak fikih dan corak lain yang dikenal dalam bidang
pemikiran Islam.
2. Metode Ijmâlî (Global)
a. Pengertian Metode Ijmâlî
Metode ijmâli (global) adalah metode yang menjelaskan atau menerangkan
hadis-hadis sesuai dengan urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kitab
kutub al-sittah secara ringkas, tapi dapat merepresentasikan makna literal
hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.
Dengan demikian, dari segi sistematika pensyarah, metode ini tidak berbeda
dengan metode taẖlîlî yang menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika
dalam kitab hadis. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan juga berbeda jauh
dengan gaya bahasa yang digunakan oleh hadis itu sendiri, sehingga bagi
pembaca yang tidak mengetahui benar redaksi matan hadis yang disyarahnya,
kadangkala tidak dapat memilahkan mana yang hadis dan mana yang
syarahnya.Kitab-kitab yang menggunakan metode ijmâlî ini antara lain
adalah Syarẖal- Suyûṯî li Sunan al-Nasâ’î karya Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Qut
al-Mughtazî ‘Alâ Jâmi’ al-Turmuẕî karya Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî. Aûn al-
Ma’bûd Syarẖ Sunan Abî Dâwûd karya Muhammad bin Asyrat bin ‘Alî
Haidar al-Siddîqî al-Aẕîm Abadî.
b. Ciri-ciri Metode Ijmâlî
Ciri-ciri metode global adalah pensyarah langsung melakukan penjelasan
hadis dari awal sampai akhir tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola
ini tidak jauh berbeda dengan metode taẖlîlî namun uraian dalam metode
taẖlîlî lebih rinci daripada uraian dalam metode ijmâlî, sehingga pensyarah
lebih banyak dapatmengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya,
dalam kitab syarah yang menggunakan metode ijmâlî pensyarah tidak
memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-banyaknya. Oleh
sebab itu, penjelasan umum dan sangat ringkas merupakan ciri yang dimiliki
kitab syarah dengan metode ijmâlî. Namun demikian, penjelasan terhadap
hadis-hadis tertentu jug diberikan agak luas, tetapi tidak seluas metode taẖlîlî.
3. Metode Muqârîn
a. Pengertian Metode Muqârîn
Metode muqârîn adalah metode memahami hadis dengan cara: (1)
membandingkan hadis yang memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam
kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda dalam kasus
yang sama dan membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam
mensyarah hadis. Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa
memahami hadis dengan menggunakan metode muqârîn mempunyai
cakupan yang cukup luas, tidak hanya membandingkan hadis dengan
hadis lain, melainkan juga membandingkan pendapat para ulama
(pensyarah) dalam mensyarah suatu hadis.
Di antara kitab yang menggunakan metode muqârîn adalah Saẖîẖ Muslim
bi Syarẖ al-Nawawî karya Imam Nawawî, ‘Umdah al-Qâri’ Syarẖ Saẖîẖ
al- Bukhârî karya Badr al-Dîn Abû Maẖmûd bin Aẖmad al-‘Aynî.
b. Ciri-Ciri Metode Muqârîn
Kajian perbandian hadis dengan hadis lain dalam syarah yang
menggunakan metode muqârîn tidak terbatas pada perbandingan analisis
radaksional (mabâẖits lafẕiyyah) saja, melainkan mencakup perbandingan
penilaian periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadis yang
diperbandingkan. Selain itu juga dibahas perbandingan berbagai hal yang
dibicarakan oleh hadis tersebut. Dalam membahas perbedaan-perbedaan
itu, pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan
timbulnya perbedaan tersebut, seperti latar belakang munculnyahadis
(asbâb wurûd al-ẖadîts) tidak sama, pemakaian kata dan susunanya di
dalam hadis berlainan, dan tak kurang pentingnya, konteks masing-masing
hadis tersebut muncul dan lain-lain. Dalam rangka menganalisis hal-hal
serupa, diperlukan penelaahan yang seksama oleh pensyarah terhadap
berbagai pendapat yang dikemukakan oleh para ahli syarah sehubungan
dengan pemahaman hadis yang sedang dibahas tersebut. Jadi, meskipun
yang diperbandingkan hadis dengan hadis, dalam proses memahaminya,
pensyarah perlu pula meninjau pendapat yang telahdikemukakan
berkenaan dengan hadis itu.
Penjelasan syarah dengan menggunakan metode muqârîn dimulai dengan
menjelaskan pemakaian mufradât (kosa kata), urutan kata, maupun kemiripan
redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah kemiripan redaksi misalnya, maka
langkah yang ditempuh adalah; (1) mengindentifikasi dan menghimpun hadis yang
redaksinya bermiripan; (2) memperbandingkan antara hadis yang redaksinya
bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang
berbeda dalam satu redaksi yang sama; (3) menganalisis perbedaan yang terkandung
di dalam berbagai redaksi yang mirip, baik perbedaan tersebut mengenai konotasi
hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam menggunakan kata susunannya
dalam hadis, dan sebagainya, (4) memperbandingkan antara berbagai pendapat para
pensyarah tentang hadis dijadikan objek bahasan

C. Tehnik Interpretasi Hadis


1. Tekstual
Pada dasarnya, interpretasi tekstual ialah memahami makna dan maksud sebuah
hadis hanya melalui redaksi lahiriahnya saja.45 Arifuddin Ahmad dalam
bukunya, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi saw. mendefenisikan
interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadis
Nabi berdasarkan teks dan matan hadis semata, tanpa melihat bentuk dan
cakupan petunjuknya, waktu, sabab wurûd, dan sasaran ditujukannya hadis
tersebut, bahkan tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya. Karena itu, setiap hadis
Nabi yang dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat
universal
Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman terhadap petunjuk hadis di atas sejalan
dengan redaksi teksnya, bahwa setiap perang pasti memakai siasat. Ketentuan ini
tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan kata lain petunjuknya bersifat
universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya dengan
menyerahkan diri kepada musuh.
2. Kontekstual
Mekanisme dalam memahami hadis dan menghindari deradikalisasi pemahaman
sabda Nabi saw. di era modern ini perlu dikembangkan melalui teknik
interpretasi kontekstual, Teknik ini berarti memahami petunjuk hadis Nabi saw.
dengan mempertimbangkan konteksnya, yang meliputi bentuk dan cakupan
petunjuknya, kapasitas Nabi saat hadis tersebut dikeluarkan, kapan dan sebab
hadis itu terjadi, serta kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-
dali lain yang berhubungan dengan hadis tersebut.
Sedang menurut Yûsuf Qarḏâwî, di antara cara yang baik memahami hadis Nabi
saw. adalah dengan memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi
diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya dengan suatu illat (alasan/sebab) yang
dinyatakan dalam hadis tersebut ataupun dapat dipahami melalui kejadian yang
menyertainya.
Menurut ibn Khaldûn seperti yang disebutkan Yûsuf Qarḏâwî, ketika Nabi saw.
menyatakan hadis ini, beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa
beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraîsy-lah yang memiliki kekuatan dan
kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan kekhalifaan
atau pemerintahan. Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraîsy-nya,
melainkan kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadis ini tidak menafikan jika
suatu saat ada orang bukan dari suku Quraîsy, akan tetapi memiliki kemampuan
memimpin, maka dia dapat diangkat menjadi pemimpin. Dengan interpretasi
kontekstual seperti ini, maka kita dapat menghindari deradikalisasi pemahaman
hadis, selain itu, kita dapat mengkompromikan hadis tersebut dengan ayat
Alquran yang diawal terlihat bertentangan.
3. Intertekstual
Interpretasi intertekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi saw.
dengan memperhatikan matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Alquran
yang terkait. Dengan kata lain, ketika menggunakan teknik interpretasi
intertekstual, maka perlu memperhatikan teks dan konteksnya. Hal ini
sehubungan dengan fungsi hadis sebagai bayân (penjelas) bagi Alquran dan
kadang berupa penjelas atau penguat bagi hadis yang lain.

D. Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia


Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang memiliki kemajuan
peradaban islam, hal ini dapat dibuktikan melalui karya-karya ulama nusantara,
khususnya bidang kajian syarah Hadis. Beberapa ulama nusantara mendapat gelar
musnid al-dunya pada masanya, seperti Syaikh Maẖfuẕ al-Tirmâsi dari Termas,
Pacitan, Jawa Timur, Syaikh Yasin Ibn Isa Al-Fadâni dari Padang dan beberapa
ulama lainnya yang sekaliber mereka. Syarah Hadis di Indonesia mengalami
perkembangan yang cukup signifikan dari masa ke masa, dari era-pertumbuhan
hingga era kontemporer.
1. Masa Awal Pertumbuhan
Perkembangan hadis di Indonesia dimulai pada fase akhir abad ke-16 di Aceh.
Menurut Sounck Hurgronje, sebenarnya Aceh belum memiliki perhatian khusus
terhadap kajian hadis, akan tetapi genealogi kajian hadis pada masa itu telah
muncul bersamaan dengan karya-karya ulama Aceh seperti Hamzah Fansuri,
‘Abd Rauf al-Sinkili ysng telah memasukkan hadis dan Alquran dalam beberapa
karyanya. Karya-karya Hamzah dituangkan dalam bentuk puisi atau prosa, dalam
prosa tersebut ia menyelipkan beberapa ayat Alquran dan hadis yang ia
komibnasikan dengan bahasa melayu. Fakta ini merupakan gejala-gejala kajian
hadis yang berpengaruh pada fase berikutnya.
Pada awal Abad ke-17 perkembangan syarah hadis pada tahap rintisan dan
menggunakan metode ijmâlî. Hal ini dibuktikan oleh Nur Al-Dîn al-Ranîri dalam
karya hadisnya yang berjudul al-Habîb fî al-Targhîb wa al--Tarhîb, kitab ini
berisi kumpulan Hadis Nabi Muhammad saw. yang ia terjemahkannya dari
bahasa Arab kedalam bahasa Melayu agar masyarakat muslim Nusantara mampu
memahaminya secara benar. Dalam kitab tersebut, al-Ranîrî menginterpolasikan
hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran untuk mendukung argumen-argumen yang
digunakan untuk mensyarahi hadis tersebut. Karya ini merupakan rintisan awal
dalam bidang hadis di Nusantara, upaya ini menunjukkan sangat pentingnya
hadis dalam kehidupan kaum Muslim Indonesia.
Upaya al-Ranîrî dalam mensyarahi hadis dilanjutkan oleh ‘Abd Ra’uf al-Sinkiîlî,
bahkan ia telah menulis dua karya hadis sekaligus. Pertama yang ditulisnya
adalah penafsiran mengenai Hadîts Arba’in (empat puluh Hadis karya al-
Nawawi), yang ditulis atas permintaan Sultanah Zâkiyat al-Dîn, karya ini
disajikan untuk orang-orang ‘awam dalam bidang agama bukan untuk orang-
orang khawâs yaitu orang-orang yang telah mendalami ilmu Tasawuf dan
mengamalkannya. Hadîts Arba’in Nawawi merupakan sebuah koleksi kecil
tentang hadis yang menyangkutkewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum
muslim, akan tetapi sangat disayangkan karena menurut Azra karya ini tidak
terdapat dalam bentuk cetakan.59
Karya keduanya adalah al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah yang mencakup koleksi hadis
qudsi yang mengemukakan ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan
makhluk dan ciptaannya seperti neraka dan surga serta tata cara yang patut bagi
kaum muslim untuk mendapatkan ridha Tuhan. al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah
diterbitkan di Makkah pada 1310 H/1892 M (edisi keempat atau kelima). Karya
ini juga diterbitkan di Penang pada 1369 H/1949 M dan masih digunakan
sebagian kaum muslim di Nusantara. Menurut Azra, upaya al-Sinkili dan al-
Ranîri dalam menulis karya hadis memberikan motivasi dan i’tibar bagi para
Ulama Melayu-Nusantara di kemudian hari untuk mengikuti alur mereka, sejak
abad ke -19 karya semacam itu menjadi sangat populer.
Setelah fase berikutnya, tepatnya pada awal abad ke-18 muncullah karyamilik
‘Abd Samad al-Pâlimbâni61 (1704–1789M) dengan menerjemahkan kitab Lubâb
Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Abû Hamid Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazalî al-
Ṯusî al-Syâf’î, dalam terjemahan tersebut ia juga menyertakan hadis-hadis yang
setema dalam pembahasan kitab tersebut.62Metode penulisan yang digunakan
pada masa awal rintisan di Indonesia,cenderung menggunakan metode ijmâli, hal
ini disebabkan karena masyarakatIndonesia pada masa itu masih dalam tahap
pengenalan dan pendalaman agama.
Sehingga dibutuhkan kajian yang singkat dan mudah dipahami bagi kaum
awam.Bahasa yang cenderung digunakan dalam mensyarah hadis ialah bahasa
Melayu,para ulama pada masa ini hendak memberikan pemahaman secara
konkrit danmudah tentang hadis-hadis Nabi Muhammad SAW kepada
masyarakat Indonesiadengan tidak mengabaikan kondisi sosial-politik yang
berkembang pada masa itu.
Namun, kajian penulisan syarah hadis mengalami kemandegan kurang
lebihsetengah abad, sehingga kegiatan penulisan syarah hadis di Indonesia
mengalamipergerakan yang lambat dibanding kegiatan penulisan keilmuan
lainnya.
2. Masa Pertengahan
Dampak yang dirasakan oleh umat islam Indonesia dengan terjalinnyajaringan
ulama Timur Tengah dan Nusantara ialah adanya kemajuan pengembangan
kajian islam di bumi Nusantara, khususnya Hadis. Pada abad ke-19 Masehi para
ulama Indonesia yang memperdalam ilmu agama mereka diMakkah-Madinah,
menjadi ulama yang diakui kefaqih-annya dalam kancahinternasional. Sebab
selain mereka memiliki otoritas keilmuan dalam segalabidang, mereka juga
sangat produktif dalam membangun bangsa (nation building)dalam dunia aksara
(literacy), diantaranya Syaikh Nawawi al Bantani, SyaikhMahfuz al-Tirmasi,
Kyai Ahmad Darat al-Samarangi, Kyai Rifai dari Kali Salak dan dilanjutkan
pada abad ke-20 Syaikh Yasin Ibn Isa al-Fadani, Hasyim ‘Asy’ari dan beberapa
ulama sekaliber lainnya.
Menurut Muh. Tasrif kajian hadis pada akhir abad 19 mulai marak dan digeluti,
hal ini disebabkan mulai dibentuknya kajian-kajian hadis dalam kurikulum
pendidikan, melingkupi pendidikan formal dan non-formal.63 Pada abad ke-19
kegiatan penulisan syarah hadis diawali oleh Nawawi al-Bantani, ia seorang
ulama yang produktif dan menguasai keilmuan di berbagai bidang.
Tidak kurang dari 100 lebih karya yang ia hasilkan. Kitab-kitab yang ditulisnya
sebagian besar adalah kitab-kitab Syarah dari karya para ulama sebelumnya yang
populer namun dianggap sulit dipahami.Kitab Tanqiẖ al-Qaûl al- Hatsîtsfî Syarẖ
Lubâb al-Hadîts merupakan magnum opus Nawawi al-Bantani dalam bidang
syarah hadis. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Lubâb alHadîts karya al-
Hâfiẕ Jalâl al-Dîn ‘Abd al-Raẖmân Ibn Abî Bakar al-Suyûṯî (119-948 H.). dalam
kitabnya Nawawi al-Bantani menjelaskan maksud hadis disertaidengan makna
perkata. Ia juga menambahkan hadis-hadis lain yang setema dengan pokok
pembahasan dalam keterangannya, tak jarang ia juga menjadikan Alquran
sebagai landasan argumen-argumennya dalam mensyarah hadis. Selain itu, ia
juga menambahkan jalur sanad hadis yang terdapat dalam kitab Lubâb al Hadîts.
Awal abad 20, syarah hadis di Indonesia lebih cenderung mensyarah
hadis‘Arba’în, yaitu hadis yang dihimpun dalam satu kitab yang berjumlah 40
hadis ataulebih. Berdasarkan penelitian Munirah dalam tesisnya tentang
perkembangansyarah hadis di Indonesia awal abad 20, syarah hadis di Indonesia
pada awal abad 20 mengalami perkembangan yang signifikan hal ini ditandai
maraknya penulisan syarah hadis di Indonesia, seperti kitab al- Khil’ah al-
Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al-Khairiyyah karya Mahfudz al-Tirmasi, kitab al-
Tabyîn al-Râwî Syarẖ ‘Arba’în al-Nawâwî karya Kasyful Anwar. Menurutnya
kajian syarah hadis pada awal abad 20mengalami perkembangan dalam aspek
metode, yaitu metode Tahlîlî. Penjelasanyang komprehensif baik dari sisi
sejarah, bahasa, penjelasan konteks ataupun keilmuan lainnya, seperti yang
tercermin dalam kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al- Khairiyyah
karya Mahfudz al-Tirmasi.
Pada abad ini, metode pemahaman hadis Nabi mulai menggunakan
contentanalysis yaitu teknik analisis yang digunakan untuk menarik kesimpulan
melaluiusaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan secara obyektif dan
sistematis. Metode ini bertujuan untuk menganalisa, mengidentifikasi
sertamengolah dokumen untuk memahami makna dan signifikansinya.
3. Masa Kontemporer
Budaya masyarakat modern dan kemajuan teknologi memicu munculnya konflik-
konflik yang baru dan kompleks, sehingga membutuhkan solusi yang sesuai
konteks modernitas dari Alquran dan Hadis. Kajian hadis di Indonesiapada akhir
abad 20 semakin marak dengan lahirnya perguruan -perguruan tinggi agama
Islam. Terutama ketika dibuka program pascasarjana baik tingkat S2 maupun S3
diberbagai perguruan tinggi islam. Kajian pemikiran hadis diperguruan tinggi
juga cukup pesat, ditandai dengan karya-karya ilmiah yang dihasilkan. Misalnya
Hasbi ash-Shiddiqiey yang menjelaskan hadis Nabi dengan menggunakan bahasa
Indonesia dengan tujuan agar mudah dipahami oleh seluruh masyarakat dari
berbagai kalangan.67Pada abad ini juga telah dibuka jurusan Tafsir Hadis yang
konsernterhadap bidang tafsir dan hadis. Namun, dekade terakhir pada tahun
2009 telah dikeluarkan pembidangan keilmuan dalam KMA No. 36 tahun 2009,
dimana studi keilmuan Tafsir Hadis dijadikan dua prodi yakni Ilmu Alquran dan
Tafsir serta Ilmu Hadis.
Pendekatan yang digunakan oleh pensyarah hadis dalam memahami hadis Nabi
saw. juga mulai beragam, seperti pendekatan saintifik, sosiologi, antropologi dan
bidang keilmuan lainnya, dengan langkah tersebut diharapkan dapat menemukan
solusi serta pemahaman yang lebih luas terhadap suatu hadis.
Ciri khas syarah di era kontemporer ini adalah pada metode yang digunakan,
yaitu metode Tematik (Mauḏû’î). Metode mauḏû’î tersusun dalam tema-tema
tertentu (tematik) atau membahas topik-topik yang menjadi problematik dalam
masyarakat modern dengan tujuan mendapatkan solusi dari hasil kajian syarah
tersebut. Beberapa contoh kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara lain;
Akikah Menurut Tuntunan Hadis-Hadis Nabi karya Abidin Ja’far (1987),
Membentuk Pribadi Muslim Berdasarkan Otentisikasi Hadis Rasul karya Artani
Hasbi dan Zaitunah (1989), Nikah Beda Agama Dalam Perspektif Alquran dan
Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2005), Kerukunan Umat Beragama dalam
Perspektif Alquran dan Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2000).
Selain itu, metode yang sering digunakan oleh pensyarah hadis di era ini adalah
metode tematik klasik dengan cara mengumpulkan hadis dalam suatu keilmuan
tertentu. Pembahasannya lebih bersifat umum karena tidak fokus terhadap satu
masalah tertentu, melainkan fokus terhadap suatu keilmuantertentu. Contoh
karya syarah hadis yang menggunakan metode ini antara lain; Hadis Tarbawi
karya Abu Bakar Muhammad, Hadis Tentang Peradilan Agama karya Fatchur
Rohman, Kitab Pengobatan Nabi: disarikan dari Hadis-hadis Rasulullah saw.
karya Ahmad Sunarto (1992).Metode mauḏû’î pada masa ini mendominasi
dibanding metode lainnya, namun metode-metode lainnya masih dapat
ditemukan, seperti kitab Misbâẖ al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm karya KH.
Muhajirin Amsar al-Dary yang masih menggunakan metode muqârin
(komparasi).
BAB III
PENUTUP
Memahami suatu teks (nas ) hadis tidak selalu mudah. Sama dengan teks-teks
lainnya, problem utama hadis adalah ia sebagai teks yang tetap sedangkan realitas
yang mengiringinya terus berubah. Kegagalan hadis dalam mengiringi realitas
tersebut dapat menimbulkan persoalan besar. Hadis akan kehilangan sakralitasnya
karena dianggap kadaluwarsa yang pada akhirnya akan kehilangan fungsinya sebagai
pedoman dalam kehidupan. Menyadari persoalan tersebut maka pemahaman ulang
dengan metode yang baru harus senantiasa dilakukan agar hadis tetap lestari dalam
kehidupan umat Islam.
Sampai dengan abad ke-4 H perkembangan hadis dapat dinyatakan telah final.
Tidak ada lagi aktifitas pembukuan dan seleksi hadis. Usaha para ulama selanjutnya
adalah memberikan syarh (penjelasan) terhadap karya-karya kitab hadis yang telah
ada yang berlangsung sampai abad ke-7 H. Setelah masa ini dinamika ilmu hadis
‘terperangkap’ dalam stagnasi yang berkepanjangan hingga masa sekarang.

Anda mungkin juga menyukai