Anda di halaman 1dari 9

Bab I

Pendahuluan

A. Latar Belakang

Setiap zaman memiliki paradigma tersendiri dalam memahami hadis nabawi. Hal tersebut dipengaruhi
oleh dinamika masyarakat masing-masing zaman. Pada masa Rasulullah praktis tidak pernah terjadi
pertentangan atau perbedaan pemahaman tentang sebuah hadis Hal ini dikarenakan jika terjadi sebuah
persoalan atau kesalah pahaman tentang sebuah hadis, maka secara langsung dapat dikonfirmasikan
langsung kepada Rasulullah. Berbeda dengan masa-masa sesudah Rasulullah wafat. Pada masa ini telah
terjadi penafsiran yang berbeda seiring dengan meluasnya wilayah Islam yang bukan hanya berada di
wilayah semenanjung Arabia. Seiring dengan berkembangnya zaman persoalan-persoalan umat menjadi
lebih banyak dan kompleks. Persoalan-persoalan yang muncul bukan hanya persoalan yang berkaitan
dengan ibadah secara murni dalam hubungannya dengan Allah, melainkan juga muncul persoalan-
persoalan yang berdimensi sosial yang tidak hanya melibatkan kaum muslimin tetapi juga umat-umat
lain di luar Islam.

Memahami suatu teks (nas ) hadis tidak selalu mudah. Sama dengan teks-teks lainnya, problem utama
hadis adalah ia sebagai teks yang tetap sedangkan realitas yang mengiringinya terus berubah. Kegagalan
hadis dalam mengiringi realitas tersebut dapat menimbulkan persoalan besar. Hadis akan kehilangan
sakralitasnya karena dianggap kadaluwarsa yang pada akhirnya akan kehilangan fungsinya sebagai
pedoman dalam kehidupan. Menyadari persoalan tersebut maka pemahaman ulang dengan metode
yang baru harus senantiasa dilakukan agar hadis tetap lestari dalam kehidupan umat Islam.

Sampai dengan abad ke-4 H perkembangan hadis dapat dinyatakan telah final. Tidak ada lagi aktifitas
pembukuan dan seleksi hadis. Usaha para ulama selanjutnya adalah memberikan syarh (penjelasan)
terhadap karya-karya kitab hadis yang telah ada yang berlangsung sampai abad ke-7 H. Setelah masa ini
dinamika ilmu hadis ‘terperangkap’ dalam stagnasi yang berkepanjangan hingga masa sekarang.

B. Rumusan Masalah

C. Tujuan

BAB II

PEMBAHASAN

Pengertian Syarah/Kandungan Hadis

Istilah syarah hadis yang telah menjadi bagian dari kosa kata bahasa Indonesia merupakan kata serapan
dari bahasa Arab yaitu syarh dan hadis. Dari sudut kebahasaan, kata syarh berarti al-kasyf
(menampakkan), al-wadh (menjelaskan), al-bayân (menerangkan), al-tawsî‘ (memperluas), al-ẖifz
(memelihara), al-fatẖ (membuka), dan al-fahm (memahami).
Dari sudut terminologis, syarah berarti uraian terhadap materi-materi tertentu, lengkap dengan unsur-
unsur dan segala syarat yang berkaitan dengan objek pembahasan.3 Dalam tradisi para penulis kitab
berbahasa Arab, istilah syarah berarti memberi catatan dan komentar kepada naskah atau matan suatu
kitab. Sehingga dapat dikatakan bahwa, istilah syarah tidak hanya uraian dan penjelasan terhadap
naaskah kitab dalam batas eksplanasi, melainkan juga uraian dan penjelasan dalam arti interpretasi,
sebagaimana terlihat dalam kitab-kitab syarah secara umum, baik syarah terhadap kitab hadis maupun
kitab lainnya

Term lain yang juga erat kaitannya dengan syarah dan sering digunakan dalam kajian teks keagamaan
yakni ẖâsyiyah (keterangan tambahan), tafsir dan ta’lîq (tepi atau pinggir). Pada dasarnya semua kata itu
adalah model untuk mengungkap makna teks, namun penggunaannya berbeda. Oleh sebab itu hal
tersebut sering menimbulkan asumsi bahwa terdapat hegemoni kata dalam salah satu kajian Islam, yang
mana tafsir selalu diasumsikan sebagai interpretasi dari Alquran, dan syarah dianggap bagian dari model
pemahaman atas hadis.

Di samping itu, syarah hadis yang telah dikenal lebih bersifat konkrit operasional yaitu berwujud tulisan
dalam beberapa kitab yang berisi penjelasan ulama dan hasil pemahaman mereka terhadap suatu hadis.
Sementara fiqh al-ẖadîtslebih bersifat konseptual. Kalaupun dituangkan masih bersifat penjelasan oral.

Terjadinya transformasi dari fiqh al-ẖadîts menjadi syarẖ al-ẖadîts serta perkembangan lebih lanjut dari
syarah hadis dapat dilihat dalam perkembangan sejarahnya. Dari masa awal syarah hadis hingga
pembukuan hadis, berlanjut ke masa perkembangan syarah hadis (dari masa pembukuan hadis hingga
masa-masa selanjutnya).

Metode-Metode Syarah Hadis


Sebagai teks kedua setelah Alquran, hadis memiliki peran dalam kehidupan umat Islam sebagai
penopang sekaligus pedoman hidup guna mencapai kebahagiaan di dunia maupun di akhirat. Namun
dalam mengkaji sebuah hadis sekaligus mengkaji pemahamannya memerlukan ‘pisau” analisis yang
mapan dimana dalam istilahnya disebut dengan metode tersendiri yang disertai dengan beragam
pendekatan.
Seiring perjalanan waktu, ilmu hadis serta kajian-kajian yang berkaitan dengannya pun berkembang, hal
ini dapat dilihat dari berbagai kitab-kitab hadis yang ditulis Muẖadditsîn khususnya, begitu juga
berkembang sosial kemasyarakatan mengantarkan sekaligus mengharuskan supaya dapat memahami
hadis dengan baik dan paling tidak ‘mendekati kebenaran’. Dalam kitab syarah hadis, dikenal beberapa
metode ulama dalam mensyarah, yakni: Ijmâlî, mauḏû’î, taẖlîlî, dan muqârîn.

1. Metode Taẖlîlî

a. Pengertian Metode Taẖlîlî


Taẖlîlî berasal dari bahasa Arab ẖallala-yuẖallilu-taẖlîl yang berarti menguraikan, menganalisis. Namun
yang dimaksudkan Taẖlîlî di sini adalah mengurai, menganalisis dan menjelaskan makna-makna yang
terkandung dalam hadis Rasulullah saw. dengan memaparkan aspek-aspek yang terkandung di
dalamnya sesuai dengan keahlian dan kecenderungan pensyarah.Dalam menyajikan penjelasan atau
komentar, seorang pensyarah hadis mengikuti sistematika hadis sesuai dengan urutan hadis yang
terdapat dalam kitab hadis yang dikenal dengan al-Kutub al-Sittah.
Pensyarah memulai penjelasannya dengan mengutarakan makna kalimat demi kalimat, hadis demi hadis
secara berurutan. Uraian tersebut menyangkut berbagai aspek yang dikandung hadis, seperti kosa kata,
konotasi kalimatnya, asbâb-al-wurûd (jika ditemukan), kaitannya dengan hadis lain, dan pendapat-
pendapat yang beredar di sekitar pemahaman hadis tersebut, baik yang berasal dari sahabat, para
tabi’in maupun para ulama hadis. Muhammad al-Fatih Suryadilaga, menerangkan metode taẖlîlî yakni
dengan; syarah hadis yang di dalamnya akan ditemui uraian pemaparan segala aspek yang terkandung
dalam hadis serta menerangkan makna-makna yang tercakup di dalamnya sesuai dengan
kecenderungan dan keahlian pensyarah. Misalkan diuraikannya secara sistematis sesuai dengan urutan
hadis yang terdapat dalam sebuah kitab hadis kutub al-sittah

b. Ciri-ciri Metode Taẖlîlî


Secara umum kitab-kitab syarah yang menggunakan metode taẖlîlî biasanya berbentuk bi al-ma’tsûr
atau bi al-ra’yi. Syarah yang berbentuk ma’tsûr ditandai dengan banyaknya dominasi riwayat-riwayat
yang datang dari sahabat, tabi’in atau ulama hadis. Sementara syarah yang berbentuk ra’yi banyak
didominasi oleh pemikiran rasional pensyarahnya.
Adapun secara rinci, kitab-kitab syarah yang menggunakan metode taẖlîlîmemiliki ciri-ciri sebagai
berikut:

1. Pensyarahan dilakukan dengan pola penjelasan makna yang terkandung di dalam hadis secara
komprehensif dan menyeluruh.
2. Dalam pensyarahan, hadis dijelaskan kata demi kata, kalimat demi kalimat secara berurutan serta
tidak terlewatkan juga menerangkan sabab al-wurûd dari hadis-hadis yang dipahami jika hadis tersebut
memiliki sabab wurûd-nya.
3. Diuraikan pula pemahaman-pemahaman yang pernah disampaikan oleh para sahabat, tabi’in dan
para ahli syarah hadis lainnya dari berbagai disiplin ilmu.
4. Di samping itu sudah ada usaha munâsabah (hubungan) antara satu hadis dengan hadis lain.

Selain itu, kadangkala syarah dengan metode ini diwarnai kecenderungan pensyarah pada salah satu
mazhab tertentu, sehingga timbul berbagai corak pensyarahan, seperti corak fikih dan corak lain yang
dikenal dalam bidang pemikiran Islam.

2. Metode Ijmâlî (Global)


a. Pengertian Metode Ijmâlî
Metode ijmâli (global) adalah metode yang menjelaskan atau menerangkan hadis-hadis sesuai dengan
urutan dalam kitab hadis yang ada dalam kitab kutub al-sittah secara ringkas, tapi dapat
merepresentasikan makna literal hadis, dengan bahasa yang mudah dimengerti dan gampang dipahami.

Dengan demikian, dari segi sistematika pensyarah, metode ini tidak berbeda dengan metode taẖlîlî yang
menjelaskan hadis sesuai dengan sistematika dalam kitab hadis. Selain itu, gaya bahasa yang digunakan
juga berbeda jauh dengan gaya bahasa yang digunakan oleh hadis itu sendiri, sehingga bagi pembaca
yang tidak mengetahui benar redaksi matan hadis yang disyarahnya, kadangkala tidak dapat
memilahkan mana yang hadis dan mana yang syarahnya.Kitab-kitab yang menggunakan metode ijmâlî
ini antara lain adalah Syarẖal- Suyûṯî li Sunan al-Nasâ’î karya Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî, Qut al-Mughtazî ‘Alâ
Jâmi’ al-Turmuẕî karya Jalâl al-Dîn al-Suyûṯî. Aûn al-Ma’bûd Syarẖ Sunan Abî Dâwûd karya Muhammad
bin Asyrat bin ‘Alî Haidar al-Siddîqî al-Aẕîm Abadî.41

b. Ciri-ciri Metode Ijmâlî


Ciri-ciri metode global adalah pensyarah langsung melakukan penjelasan hadis dari awal sampai akhir
tanpa perbandingan dan penetapan judul. Pola ini tidak jauh berbeda dengan metode taẖlîlî namun
uraian dalam metode taẖlîlî lebih rinci daripada uraian dalam metode ijmâlî, sehingga pensyarah lebih
banyak dapatmengemukakan pendapat dan ide-idenya. Sebaliknya, dalam kitab syarah yang
menggunakan metode ijmâlî pensyarah tidak memiliki ruang untuk mengemukakan pendapat sebanyak-
banyaknya. Oleh sebab itu, penjelasan umum dan sangat ringkas merupakan ciri yang dimiliki kitab
syarah dengan metode ijmâlî. Namun demikian, penjelasan terhadap hadis-hadis tertentu jug diberikan
agak luas, tetapi tidak seluas metode taẖlîlî.

3. Metode Muqârîn

a. Pengertian Metode Muqârîn


Metode muqârîn adalah metode memahami hadis dengan cara: (1) membandingkan hadis yang
memiliki redaksi yang sama atau mirip dalam kasus yang sama dan atau memiliki redaksi yang berbeda
dalam kasus yang sama dan membandingkan berbagai pendapat ulama syarah dalam mensyarah hadis.
Dari pengertian tersebut dapat diketahui bahwa memahami hadis dengan menggunakan metode
muqârîn mempunyai cakupan yang cukup luas, tidak hanya membandingkan hadis dengan hadis lain,
melainkan juga membandingkan pendapat para ulama (pensyarah) dalam mensyarah suatu hadis.

Di antara kitab yang menggunakan metode muqârîn adalah Saẖîẖ Muslim bi Syarẖ al-Nawawî karya
Imam Nawawî, ‘Umdah al-Qâri’ Syarẖ Saẖîẖ al- Bukhârî karya Badr al-Dîn Abû Maẖmûd bin Aẖmad
al-‘Aynî.

b. Ciri-Ciri Metode Muqârîn


Kajian perbandian hadis dengan hadis lain dalam syarah yang menggunakan metode muqârîn tidak
terbatas pada perbandingan analisis radaksional (mabâẖits lafẕiyyah) saja, melainkan mencakup
perbandingan penilaian periwayat, kandungan makna dari masing-masing hadis yang diperbandingkan.
Selain itu juga dibahas perbandingan berbagai hal yang dibicarakan oleh hadis tersebut. Dalam
membahas perbedaan-perbedaan itu, pensyarah harus meninjau berbagai aspek yang menyebabkan
timbulnya perbedaan tersebut, seperti latar belakang munculnyahadis (asbâb wurûd al-ẖadîts) tidak
sama, pemakaian kata dan susunanya di dalam hadis berlainan, dan tak kurang pentingnya, konteks
masing-masing hadis tersebut muncul dan lain-lain. Dalam rangka menganalisis hal-hal serupa,
diperlukan penelaahan yang seksama oleh pensyarah terhadap berbagai pendapat yang dikemukakan
oleh para ahli syarah sehubungan dengan pemahaman hadis yang sedang dibahas tersebut. Jadi,
meskipun yang diperbandingkan hadis dengan hadis, dalam proses memahaminya, pensyarah perlu pula
meninjau pendapat yang telahdikemukakan berkenaan dengan hadis itu.

Penjelasan syarah dengan menggunakan metode muqârîn dimulai dengan menjelaskan pemakaian
mufradât (kosa kata), urutan kata, maupun kemiripan redaksi. Jika yang akan diperbandingkan adalah
kemiripan redaksi misalnya, maka langkah yang ditempuh adalah; (1) mengindentifikasi dan
menghimpun hadis yang redaksinya bermiripan; (2) memperbandingkan antara hadis yang redaksinya
bermiripan itu, yang membicarakan satu kasus yang sama, atau dua kasus yang berbeda dalam satu
redaksi yang sama; (3) menganalisis perbedaan yang terkandung di dalam berbagai redaksi yang mirip,
baik perbedaan tersebut mengenai konotasi hadis maupun redaksinya, seperti berbeda dalam
menggunakan kata susunannya dalam hadis, dan sebagainya, (4) memperbandingkan antara berbagai
pendapat para pensyarah tentang hadis dijadikan objek bahasan

Tehnik Interpretasi Hadis

1. Tekstual
Pada dasarnya, interpretasi tekstual ialah memahami makna dan maksud sebuah hadis hanya melalui
redaksi lahiriahnya saja.45 Arifuddin Ahmad dalam bukunya, Paradigma Baru Memahami Hadis Nabi
saw. mendefenisikan interpretasi tekstual sebagai salah satu teknik memahami kandungan suatu hadis
Nabi berdasarkan teks dan matan hadis semata, tanpa melihat bentuk dan cakupan petunjuknya, waktu,
sabab wurûd, dan sasaran ditujukannya hadis tersebut, bahkan tidak mengindahkan dalil-dalil lainnya.
Karena itu, setiap hadis Nabi yang dipahami secara tekstual maka petunjuk yang dikandungnya bersifat
universal

Menurut Syuhudi Ismail, pemahaman terhadap petunjuk hadis di atas sejalan dengan redaksi teksnya,
bahwa setiap perang pasti memakai siasat. Ketentuan ini tidak terikat oleh tempat dan waktu, dengan
kata lain petunjuknya bersifat universal. Jika ada perang yang tidak menggunakan siasat sama halnya
dengan menyerahkan diri kepada musuh.

2. Kontekstual
Mekanisme dalam memahami hadis dan menghindari deradikalisasi pemahaman sabda Nabi saw. di era
modern ini perlu dikembangkan melalui teknik interpretasi kontekstual, Teknik ini berarti memahami
petunjuk hadis Nabi saw. dengan mempertimbangkan konteksnya, yang meliputi bentuk dan cakupan
petunjuknya, kapasitas Nabi saat hadis tersebut dikeluarkan, kapan dan sebab hadis itu terjadi, serta
kepada siapa ditujukan, bahkan mempertimbangkan dalil-dali lain yang berhubungan dengan hadis
tersebut.

Sedang menurut Yûsuf Qarḏâwî, di antara cara yang baik memahami hadis Nabi saw. adalah dengan
memperhatikan sebab-sebab khusus yang melatarbelakangi diucapkannya suatu hadis, atau kaitannya
dengan suatu illat (alasan/sebab) yang dinyatakan dalam hadis tersebut ataupun dapat dipahami melalui
kejadian yang menyertainya.
Menurut ibn Khaldûn seperti yang disebutkan Yûsuf Qarḏâwî, ketika Nabi saw. menyatakan hadis ini,
beliau mempertimbangkan kondisi yang ada pada masa beliau. Dimana pada masa itu kaum Quraîsy-lah
yang memiliki kekuatan dan kesetiakawanan yang diperlukan sebagai sandaran bagi kekuatan
kekhalifaan atau pemerintahan. Jadi, hak kepemimpinan bukan pada etnis Quraîsy-nya, melainkan
kepada kemampuan dan kewibaannya. Hadis ini tidak menafikan jika suatu saat ada orang bukan dari
suku Quraîsy, akan tetapi memiliki kemampuan memimpin, maka dia dapat diangkat menjadi pemimpin.
Dengan interpretasi kontekstual seperti ini, maka kita dapat menghindari deradikalisasi pemahaman
hadis, selain itu, kita dapat mengkompromikan hadis tersebut dengan ayat Alquran yang diawal terlihat
bertentangan.

4. Intertekstual
Interpretasi intertekstual adalah suatu teknik untuk memahami hadis Nabi saw. dengan memperhatikan
matan hadis-hadis lainnya, atau dengan ayat Alquran yang terkait. Dengan kata lain, ketika
menggunakan teknik interpretasi intertekstual, maka perlu memperhatikan teks dan konteksnya. Hal ini
sehubungan dengan fungsi hadis sebagai bayân (penjelas) bagi Alquran dan kadang berupa penjelas
atau penguat bagi hadis yang lain.

Sejarah Perkembangan Syarah Hadis di Indonesia

Indonesia merupakan salah satu negara Asia yang memiliki kemajuan peradaban islam, hal ini dapat
dibuktikan melalui karya-karya ulama nusantara, khususnya bidang kajian syarah Hadis. Beberapa ulama
nusantara mendapat gelar musnid al-dunya pada masanya, seperti Syaikh Maẖfuẕ al-Tirmâsi dari
Termas, Pacitan, Jawa Timur, Syaikh Yasin Ibn Isa Al-Fadâni dari Padang dan beberapa ulama lainnya
yang sekaliber mereka. Syarah Hadis di Indonesia mengalami perkembangan yang cukup signifikan dari
masa ke masa, dari era-pertumbuhan hingga era kontemporer.

1. Masa Awal Pertumbuhan


Perkembangan hadis di Indonesia dimulai pada fase akhir abad ke-16 di Aceh. Menurut Sounck
Hurgronje, sebenarnya Aceh belum memiliki perhatian khusus terhadap kajian hadis, akan tetapi
genealogi kajian hadis pada masa itu telah muncul bersamaan dengan karya-karya ulama Aceh seperti
Hamzah Fansuri, ‘Abd Rauf al-Sinkili ysng telah memasukkan hadis dan Alquran dalam beberapa
karyanya. Karya-karya Hamzah dituangkan dalam bentuk puisi atau prosa, dalam prosa tersebut ia
menyelipkan beberapa ayat Alquran dan hadis yang ia komibnasikan dengan bahasa melayu. Fakta ini
merupakan gejala-gejala kajian hadis yang berpengaruh pada fase berikutnya.

Pada awal Abad ke-17 perkembangan syarah hadis pada tahap rintisan dan menggunakan metode ijmâlî.
Hal ini dibuktikan oleh Nur Al-Dîn al-Ranîri dalam karya hadisnya yang berjudul al-Habîb fî al-Targhîb wa
al--Tarhîb, kitab ini berisi kumpulan Hadis Nabi Muhammad saw. yang ia terjemahkannya dari bahasa
Arab kedalam bahasa Melayu agar masyarakat muslim Nusantara mampu memahaminya secara benar.
Dalam kitab tersebut, al-Ranîrî menginterpolasikan hadis-hadis dengan ayat-ayat Alquran untuk
mendukung argumen-argumen yang digunakan untuk mensyarahi hadis tersebut. Karya ini merupakan
rintisan awal dalam bidang hadis di Nusantara, upaya ini menunjukkan sangat pentingnya hadis dalam
kehidupan kaum Muslim Indonesia.
Upaya al-Ranîrî dalam mensyarahi hadis dilanjutkan oleh ‘Abd Ra’uf al-Sinkiîlî, bahkan ia telah menulis
dua karya hadis sekaligus. Pertama yang ditulisnya adalah penafsiran mengenai Hadîts Arba’in (empat
puluh Hadis karya al-Nawawi), yang ditulis atas permintaan Sultanah Zâkiyat al-Dîn, karya ini disajikan
untuk orang-orang ‘awam dalam bidang agama bukan untuk orang-orang khawâs yaitu orang-orang
yang telah mendalami ilmu Tasawuf dan mengamalkannya. Hadîts Arba’in Nawawi merupakan sebuah
koleksi kecil tentang hadis yang menyangkutkewajiban-kewajiban dasar dan praktis kaum muslim, akan
tetapi sangat disayangkan karena menurut Azra karya ini tidak terdapat dalam bentuk cetakan.59
Karya keduanya adalah al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah yang mencakup koleksi hadis qudsi yang mengemukakan
ajaran mengenai Tuhan dan hubungan-Nya dengan makhluk dan ciptaannya seperti neraka dan surga
serta tata cara yang patut bagi kaum muslim untuk mendapatkan ridha Tuhan. al-Mawâ’iẕ al-Bâdî’ah
diterbitkan di Makkah pada 1310 H/1892 M (edisi keempat atau kelima). Karya ini juga diterbitkan di
Penang pada 1369 H/1949 M dan masih digunakan sebagian kaum muslim di Nusantara. Menurut Azra,
upaya al-Sinkili dan al-Ranîri dalam menulis karya hadis memberikan motivasi dan i’tibar bagi para
Ulama Melayu-Nusantara di kemudian hari untuk mengikuti alur mereka, sejak abad ke -19 karya
semacam itu menjadi sangat populer.
Setelah fase berikutnya, tepatnya pada awal abad ke-18 muncullah karyamilik ‘Abd Samad al-
Pâlimbâni61 (1704–1789M) dengan menerjemahkan kitab Lubâb Ihyâ’ ‘Ulûm al-Dîn karya Abû Hamid
Muhammad Ibn Muhammad al-Ghazalî al-Ṯusî al-Syâf’î, dalam terjemahan tersebut ia juga menyertakan
hadis-hadis yang setema dalam pembahasan kitab tersebut.62Metode penulisan yang digunakan pada
masa awal rintisan di Indonesia,cenderung menggunakan metode ijmâli, hal ini disebabkan karena
masyarakatIndonesia pada masa itu masih dalam tahap pengenalan dan pendalaman agama.
Sehingga dibutuhkan kajian yang singkat dan mudah dipahami bagi kaum awam.Bahasa yang cenderung
digunakan dalam mensyarah hadis ialah bahasa Melayu,para ulama pada masa ini hendak memberikan
pemahaman secara konkrit danmudah tentang hadis-hadis Nabi Muhammad SAW kepada masyarakat
Indonesiadengan tidak mengabaikan kondisi sosial-politik yang berkembang pada masa itu.

Namun, kajian penulisan syarah hadis mengalami kemandegan kurang lebihsetengah abad, sehingga
kegiatan penulisan syarah hadis di Indonesia mengalamipergerakan yang lambat dibanding kegiatan
penulisan keilmuan lainnya.
2. Masa Pertengahan
Dampak yang dirasakan oleh umat islam Indonesia dengan terjalinnyajaringan ulama Timur Tengah dan
Nusantara ialah adanya kemajuan pengembangan kajian islam di bumi Nusantara, khususnya Hadis.
Pada abad ke-19 Masehi para ulama Indonesia yang memperdalam ilmu agama mereka diMakkah-
Madinah, menjadi ulama yang diakui kefaqih-annya dalam kancahinternasional. Sebab selain mereka
memiliki otoritas keilmuan dalam segalabidang, mereka juga sangat produktif dalam membangun
bangsa (nation building)dalam dunia aksara (literacy), diantaranya Syaikh Nawawi al Bantani,
SyaikhMahfuz al-Tirmasi, Kyai Ahmad Darat al-Samarangi, Kyai Rifai dari Kali Salak dan dilanjutkan pada
abad ke-20 Syaikh Yasin Ibn Isa al-Fadani, Hasyim ‘Asy’ari dan beberapa ulama sekaliber lainnya.
Menurut Muh. Tasrif kajian hadis pada akhir abad 19 mulai marak dan digeluti, hal ini disebabkan mulai
dibentuknya kajian-kajian hadis dalam kurikulum pendidikan, melingkupi pendidikan formal dan non-
formal.63 Pada abad ke-19 kegiatan penulisan syarah hadis diawali oleh Nawawi al-Bantani, ia seorang
ulama yang produktif dan menguasai keilmuan di berbagai bidang.
Tidak kurang dari 100 lebih karya yang ia hasilkan. Kitab-kitab yang ditulisnya sebagian besar adalah
kitab-kitab Syarah dari karya para ulama sebelumnya yang populer namun dianggap sulit dipahami.Kitab
Tanqiẖ al-Qaûl al- Hatsîtsfî Syarẖ Lubâb al-Hadîts merupakan magnum opus Nawawi al-Bantani dalam
bidang syarah hadis. Kitab ini merupakan syarah dari kitab Lubâb alHadîts karya al-Hâfiẕ Jalâl al-Dîn ‘Abd
al-Raẖmân Ibn Abî Bakar al-Suyûṯî (119-948 H.). dalam kitabnya Nawawi al-Bantani menjelaskan maksud
hadis disertaidengan makna perkata. Ia juga menambahkan hadis-hadis lain yang setema dengan pokok
pembahasan dalam keterangannya, tak jarang ia juga menjadikan Alquran sebagai landasan argumen-
argumennya dalam mensyarah hadis. Selain itu, ia juga menambahkan jalur sanad hadis yang terdapat
dalam kitab Lubâb al Hadîts.

Awal abad 20, syarah hadis di Indonesia lebih cenderung mensyarah hadis‘Arba’în, yaitu hadis yang
dihimpun dalam satu kitab yang berjumlah 40 hadis ataulebih. Berdasarkan penelitian Munirah dalam
tesisnya tentang perkembangansyarah hadis di Indonesia awal abad 20, syarah hadis di Indonesia pada
awal abad 20 mengalami perkembangan yang signifikan hal ini ditandai maraknya penulisan syarah
hadis di Indonesia, seperti kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al-Khairiyyah karya Mahfudz al-
Tirmasi, kitab al-Tabyîn al-Râwî Syarẖ ‘Arba’în al-Nawâwî karya Kasyful Anwar. Menurutnya kajian syarah
hadis pada awal abad 20mengalami perkembangan dalam aspek metode, yaitu metode Tahlîlî.
Penjelasanyang komprehensif baik dari sisi sejarah, bahasa, penjelasan konteks ataupun keilmuan
lainnya, seperti yang tercermin dalam kitab al- Khil’ah al-Fikriyyah Syarẖ Minẖaẖ al- Khairiyyah karya
Mahfudz al-Tirmasi.
Pada abad ini, metode pemahaman hadis Nabi mulai menggunakan contentanalysis yaitu teknik analisis
yang digunakan untuk menarik kesimpulan melaluiusaha menemukan karakteristik pesan yang dilakukan
secara obyektif dan sistematis. Metode ini bertujuan untuk menganalisa, mengidentifikasi
sertamengolah dokumen untuk memahami makna dan signifikansinya.
3. Masa Kontemporer
Budaya masyarakat modern dan kemajuan teknologi memicu munculnya konflik-konflik yang baru dan
kompleks, sehingga membutuhkan solusi yang sesuai konteks modernitas dari Alquran dan Hadis. Kajian
hadis di Indonesiapada akhir abad 20 semakin marak dengan lahirnya perguruan -perguruan tinggi
agama Islam. Terutama ketika dibuka program pascasarjana baik tingkat S2 maupun S3 diberbagai
perguruan tinggi islam. Kajian pemikiran hadis diperguruan tinggi juga cukup pesat, ditandai dengan
karya-karya ilmiah yang dihasilkan. Misalnya Hasbi ash-Shiddiqiey yang menjelaskan hadis Nabi dengan
menggunakan bahasa Indonesia dengan tujuan agar mudah dipahami oleh seluruh masyarakat dari
berbagai kalangan.67Pada abad ini juga telah dibuka jurusan Tafsir Hadis yang konsernterhadap bidang
tafsir dan hadis. Namun, dekade terakhir pada tahun 2009 telah dikeluarkan pembidangan keilmuan
dalam KMA No. 36 tahun 2009, dimana studi keilmuan Tafsir Hadis dijadikan dua prodi yakni Ilmu
Alquran dan Tafsir serta Ilmu Hadis.

Pendekatan yang digunakan oleh pensyarah hadis dalam memahami hadis Nabi saw. juga mulai
beragam, seperti pendekatan saintifik, sosiologi, antropologi dan bidang keilmuan lainnya, dengan
langkah tersebut diharapkan dapat menemukan solusi serta pemahaman yang lebih luas terhadap suatu
hadis.

Ciri khas syarah di era kontemporer ini adalah pada metode yang digunakan, yaitu metode Tematik
(Mauḏû’î). Metode mauḏû’î tersusun dalam tema-tema tertentu (tematik) atau membahas topik-topik
yang menjadi problematik dalam masyarakat modern dengan tujuan mendapatkan solusi dari hasil
kajian syarah tersebut. Beberapa contoh kitab-kitab yang menggunakan metode ini antara lain; Akikah
Menurut Tuntunan Hadis-Hadis Nabi karya Abidin Ja’far (1987), Membentuk Pribadi Muslim
Berdasarkan Otentisikasi Hadis Rasul karya Artani Hasbi dan Zaitunah (1989), Nikah Beda Agama Dalam
Perspektif Alquran dan Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2005), Kerukunan Umat Beragama dalam
Perspektif Alquran dan Hadis karya Ali Mushtofa Ya’qub (2000).

Selain itu, metode yang sering digunakan oleh pensyarah hadis di era ini adalah metode tematik klasik
dengan cara mengumpulkan hadis dalam suatu keilmuan tertentu. Pembahasannya lebih bersifat umum
karena tidak fokus terhadap satu masalah tertentu, melainkan fokus terhadap suatu keilmuantertentu.
Contoh karya syarah hadis yang menggunakan metode ini antara lain; Hadis Tarbawi karya Abu Bakar
Muhammad, Hadis Tentang Peradilan Agama karya Fatchur Rohman, Kitab Pengobatan Nabi: disarikan
dari Hadis-hadis Rasulullah saw. karya Ahmad Sunarto (1992).Metode mauḏû’î pada masa ini
mendominasi dibanding metode lainnya, namun metode-metode lainnya masih dapat ditemukan,
seperti kitab Misbâẖ al-Ẕalâm Syarẖ Bulûgh al-Marâm karya KH. Muhajirin Amsar al-Dary yang masih
menggunakan metode muqârin (komparasi).

Anda mungkin juga menyukai