Disusun oleh :
NAMA / NIM
DAFTAR ISI................................................................................................................................2
BAB I...........................................................................................................................................3
PENDAHULUAN........................................................................................................................3
1.1 Latar Belakang...................................................................................................................3
BAB II..........................................................................................................................................5
KAJIAN TEORI..........................................................................................................................5
2.1 Perkawinan Beda Agama Menurut Ahli.............................................................................5
2.2 Perkawinan Beda Agama di Indonesia...............................................................................6
BAB III........................................................................................................................................7
PEMBAHASAN..........................................................................................................................7
3.1 Fatwa Majelis Ulama Indonesia Terkait Perkawinan Beda Agama....................................7
3.2 Fatwa Majelis Tarjih Muhammadiyah Terkait Perkawinan Beda Agama..........................7
3.3 Fatwa Darul Ifta Mesir Terkait Perkawinan Beda Agama..................................................8
3.4 Fatwa Lajnah Daimah Saudi Terkait Perkawinan Beda Agama.........................................9
3.5 Fatwa Lembaga Fatwa Malaysia Terkait Perkawinan Beda Agama...................................9
3.6 Dalil Hukum Lembaga Fatwa Global Terkait Perkawinan Beda Agama............................9
3.6.1 Dalil Hukum Darul Ifta Mesir Terkait Perkawinan Beda Agama................................9
3.6.2 Dalil Hukum Lajnah Daimah Saudi Terkait Perkawinan Beda Agama.....................10
3.6.3 Dalil Hukum Lembaga Fatwa Malaysia Terkait Perkawinan Beda Agama...............11
3.7 Analisa Dalil Hukum Lembaga Fatwa Terkait Perkawinan Beda Agama........................12
3.8 Pendapat Rajih pada Dalil Hukum Terkait Perkawinan Beda Agama..............................13
DAFTAR PUSTAKA................................................................................................................15
2
BAB I
PENDAHULUAN
3
Majelis Ulama Indonesia (MUI) pun mengeluarkan fatwa jikalau perkawinan
beda agama hukumnya haram dan tidak sah. Selain itu, perkawinan laki-laki muslim
dengan wanita Ahlu kitab pun menurut qaul mu’tamad, adalah haram dan tidak sah.
Oleh karena itu, adanya beberapa pendapat secara hukum negara dan hukum islam yang
mengatur perkawinan beda agama, menggugah penulis untuk melakukan studi
komparatif terkait fatwa perkawinan beda agama dengan berdasar pada fatwa Darul
Iftah Mesir, Lajnah Daimah Saudi, dan lembaga fatwa Turki. Studi ini dilakukan agar
dapat disimpulkan mana pendapat yang rajih antara ketiga lembaga fatwa dunia tersebut
berdasarkan dalil hukum yang digunakan.
4
BAB II
KAJIAN TEORI
Pada zaman Nabi Muhammad SAW, pria muslim tidak boleh menikahi
perempuan musyrikah tetapi boleh menikahi perempuan Ahli Kitab. Sedangkan
perempuan Muslimah tidak boleh dinikahi pria musryik walaupun pria itu Ahli
Kitab. Berdasarkan Rasulullah SAW, yang memiliki dua istri Ahli Kitab yakni
Safiyah binti Huyay bin Aktab dan Mariatul Qibtiyah. Diamnya Rasulullah dari
menetapkan syarat Islamnya wanita kitabiyah ketika dinikahi oleh orang Muslim,
karena beliau menganggap hal itu sudah biasa terjadi. Perkawinan beda agama
dengan menjalin hubungan melalui kesadaran toleransi antar-pemeluk agama,
dengan cara pria Muslim menikahi perampuan Ahli Kitab. Karena biasanya pria lebih
mudah mentoleransi wanita Ahli Kitab dalam menjalankan agamanya. Berdasarkan
sudut pandang fiqih konvensional, menurut Atha’ Bin Rabbah, menikahi Ahli Kitab
merupakan rukshah, karena wanita Muslimah pada zaman itu sedikit. Menurut Abdullah
ibn Umar, wanita Ahli Kitab dari kalangan Nasrani dan Yahudi adalah termasuk
golongan Musyrikkarena menuhankan Isa ibn Maryam dan Uzer. Dengan
demikian, mereka tidak halal dinikahi karena orang musyrik haram dinikahi.
Menurut jumhur ulama, yang membolehkan mengawini wanita Ahli Kitab
berdasarkan firman Allah dalam surat al-Ma’idah ayat 5 tersebut, sedangkan yang
termasuk Ahli Kitab adalah wanita-wanita dari kalangan Yahudi dan Nasrani (Arifin,
2019).
5
2.2 Perkawinan Beda Agama di Indonesia
Terdapat penafsiran berbeda pada peraturan perundang-undangan terkait
perkawinan beda agama sebagaimana berikut. Pertama, penafsiran pada UU No. 1/1974
pasal 2 ayat 1, menyatakan bahwa perkawinan adalah sah jika dilakukan menurut
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Dalam penjelasan UU
ditegaskan bahwa dengan perumusan pasal 2 ayat 1 tidak ada perkawinan di luar
hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Kedua, perkawinan antar-
agama itu sah dan dapat dilangsungkan karena telah tercakup dalam perkawinan
campuran. Alasannya, pasal 57 tentang perkawinan campuran yang menitikberatkan
pada dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan. Ketiga,
perkawinan antar-agama sama sekali tidak diatur dalam UU No. 1/1974, sehingga
berdasarkan pasal 66 UU No. 1/1974, persoalan perkawinan beda agama dapat
dirujuk pada peraturan perkawinan campuran, karena belum diatur dalam undang-
undang perkawinan (Arifin, 2019).
Berdasar pada norma yang berlaku, perkawinan beda agama dalam KHI terdiri
dari perbedaan agama sebagai kekurangan syarat perkawinan, dimana diatur dalam bab
VI mengenai Larangan Kawin (Pasal 40 dan 44). Perbedaan agama sebagai alasan
pencegahan perkawinan, dimana diatur dalam bab X mengenai pencegaha perkawinan
Pasal 61. beda agama sebagai alasan pembatalan perkawinan diatur dalam pasal 75,
dengan yang salah satu alasan pembatalannya adalah “salah satu dari suami istri
murtad”. Keputusan pembatalan perkawinan karena alasan salah satu dari suami istri
murtad, tidak berlaku surut (Arifin, 2019).
6
BAB III
PEMBAHASAN
Tim majelis tarjih telah memberikan jawaban dari pertanyaan yang diajukan
oleh hamba Allah tersebut sebagaimana berikut : perkawinan beda agama sebelumnya
telah diterangkan dalam rubik tanya jawab majelis tarjih dan juga telah menjadi
keputusan Mukhtamar Tarjih ke-22 pada tahun 1989 di Malang Jawa Timur.
Keputusannya para ulama telah sepakat bahwa seorang wanita Muslimah haram
menikah dengan selain laki-laki Muslim dan laki-laki Muslim juga haram menikahi
wanita musyrikah (Budha, Hindu, Konghuchu, dan lainnya). Namun dalam keputusan
tersebut ada hal yang menjadi perselisihan antar para ulama yaitu tentang bolehkan laki-
laki Muslim menikah dengan wanita Ahlul Kitab (Yahudi, Nasrani: Katolik/Protestan)?
Jawabannya ada yang mengatakan boleh-boleh saja dengan bersandarkan pada firman
Allah SWT dalam surat Al-Maidah ayat 5, adapula yang mengatakan tidak boleh,
namun masalah tersebut telah ditarjihkan atau diperkuat dengan pendapat yang
mengatakan tidak boleh karena alasan Ahlul Kitab yang ada sekarang tidak sama
dengan Ahlul Kitab yang ada pada Zaman Nabi Muhammad SAW. Pernikahan beda
agama dipastikan tidak akan mungkin mewujudkan keluarga sakinah sebagai tujuan
utama dilaksanakannya pernikahan. Insya Allah umat Islam tidak kekurangan wanita
Muslimah, bahkan realitasnya jumlah kaum wanita Muslimah lebih banyak dari kaum
lakilakinya. Sebagai upaya syad-adz-dzari’ah (mencegah kerusakan), untuk menjaga
keimanan calon suami istri dan anak-anak yang akan dilahirkan (Novianty, 2019).
9
3.6 Dalil Hukum Lembaga Fatwa Global Terkait Perkawinan Beda Agama
3.6.1 Dalil Hukum Darul Ifta Mesir Terkait Perkawinan Beda Agama
QS. Al-Baqarah ayat 221 :
ت َح ٰتّى يُْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َمةٌ ُّمْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّولَوْ اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ َواَل تُ ْن ِكحُوا ِ َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ٰك
ٰۤ
ُ ار ۖ َوهّٰللا
ِ َّك َّولَوْ اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ اُول ِٕىكَ يَ ْد ُعوْ نَ اِلَى الن ٍ ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َح ٰتّى يُْؤ ِمنُوْ ا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن خَ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر
ِ َّࣖ يَ ْدع ُْٓوا اِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِاِ ْذنِ ٖ ۚه َويُبَيِّنُ ٰا ٰيتِ ٖه لِلن
َاس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُوْ ن
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki)
musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia agar
mereka mengambil pelajaran.” (Lubis, 2022)
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan
bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara
perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu
membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka
sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”
(Lubis, 2022).
3.6.2 Dalil Hukum Lajnah Daimah Saudi Terkait Perkawinan Beda Agama
QS. Ar-Rum ayat 21:
10
ٍ ق لَ ُك ْم ِّم ْن اَ ْنفُ ِس ُك ْم اَ ْز َواجًا لِّتَ ْس ُكنُ ْٓوا اِلَ ْيهَا َو َج َع َل بَ ْينَ ُك ْم َّم َو َّدةً َّو َرحْ َمةً ۗاِ َّن فِ ْي ٰذلِكَ اَل ٰ ٰي
ت َ ََو ِم ْن ٰا ٰيتِ ٖ ٓه اَ ْن خَ ل
َلِّقَوْ ٍم يَّتَفَ َّكرُوْ ن
ت َح ٰتّى يُْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َمةٌ ُّمْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّولَوْ اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ َواَل تُ ْن ِكحُوا ِ َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ٰك
ٰۤ
ُ ار ۖ َوهّٰللا
ِ َّك َّولَوْ اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ اُول ِٕىكَ يَ ْد ُعوْ نَ اِلَى الن ٍ ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َح ٰتّى يُْؤ ِمنُوْ ا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن خَ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر
ِ َّࣖ يَ ْدع ُْٓوا اِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِاِ ْذنِ ٖ ۚه َويُبَيِّنُ ٰا ٰيتِ ٖه لِلن
َاس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُوْ ن
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki)
musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat Nya kepada manusia agar
mereka mengambil pelajaran” (Congress, 2015).
Artinya: “Pada hari ini dihalalkan bagimu segala yang baik-baik. Makanan (sembelihan)
Ahli Kitab itu halal bagimu, dan makananmu halal bagi mereka. Dan (dihalalkan
bagimu menikahi) perempuan-perempuan yang menjaga kehormatan di antara
perempuan-perempuan yang beriman dan perempuan-perempuan yang menjaga
kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab sebelum kamu, apabila kamu
membayar maskawin mereka untuk menikahinya, tidak dengan maksud berzina dan
bukan untuk menjadikan perempuan piaraan. Barangsiapa kafir setelah beriman, maka
11
sungguh, sia-sia amal mereka, dan di akhirat dia termasuk orang-orang yang rugi”
(Lubis, 2022).
3.6.3 Dalil Hukum Lembaga Fatwa Malaysia Terkait Perkawinan Beda Agama
Larangan perkawinan beda Agama di Malaysia didasarkan pada ketentuan yang
termuat dalam seksyen 51 Akta pembaharuan UU (Perkawinan dan Perceraian) 1976
sebagaimana disebutkan : “Jika salah satu pihak kepada suatu perkahwinan telah masuk
Islam, pihak yang satu tidak masuk Islam boleh untuk perceraian. Dengan syarat bahwa
tiada suatu permohonan dibawah syeksen boleh diserahkan sebelum tamat tempo tiga
bulan dari tarikh masuk Islam itu.” (Hamdani, 2012)
Dalil hukum lainnya berdasar pada QS. Al-Baqarah ayat 221:
ت َح ٰتّى يُْؤ ِم َّن ۗ َواَل َ َمةٌ ُّمْؤ ِمنَةٌ َخ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر َك ٍة َّولَوْ اَ ْع َجبَ ْت ُك ْم ۚ َواَل تُ ْن ِكحُوا ِ َواَل تَ ْن ِكحُوا ْال ُم ْش ِر ٰك
ٰۤ
ُ ار ۖ َوهّٰللا
ِ َّك َّولَوْ اَ ْع َجبَ ُك ْم ۗ اُول ِٕىكَ يَ ْد ُعوْ نَ اِلَى الن ٍ ْال ُم ْش ِر ِك ْينَ َح ٰتّى يُْؤ ِمنُوْ ا ۗ َولَ َع ْب ٌد ُّمْؤ ِم ٌن خَ ْي ٌر ِّم ْن ُّم ْش ِر
ِ َّࣖ يَ ْدع ُْٓوا اِلَى ْال َجنَّ ِة َو ْال َم ْغفِ َر ِة بِاِ ْذنِ ٖ ۚه َويُبَيِّنُ ٰا ٰيتِ ٖه لِلن
َاس لَ َعلَّهُ ْم يَتَ َذ َّكرُوْ ن
Artinya: “Dan janganlah kamu nikahi perempuan musyrik, sebelum mereka beriman.
Sungguh, hamba sahaya perempuan yang beriman lebih baik daripada perempuan
musyrik meskipun dia menarik hatimu. Dan janganlah kamu nikahkan orang (laki-laki)
musyrik (dengan perempuan yang beriman) sebelum mereka beriman. Sungguh, hamba
sahaya laki-laki yang beriman lebih baik daripada laki-laki musyrik meskipun dia
menarik hatimu. Mereka mengajak ke neraka, sedangkan Allah mengajak ke surga dan
ampunan dengan izin-Nya. (Allah) menerangkan ayat-ayat Nya kepada manusia agar
mereka mengambil pelajaran” (Hamdani, 2012)
3.7 Analisa Dalil Hukum Lembaga Fatwa Terkait Perkawinan Beda Agama
Pada QS. Al-Baqarah ayat 221 termasuk dalil hukum terkuat karena berasal dari
kitab suci Al-Qur’an. Dalil ini termasuk Qath’I al-Dalalah karena menunjuk pada
makna tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita’wil (dipalingkan dari
makna asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna
tersebut (Subhan, 2013). Dalam Al-Baqarah ayat 221 ini, memiliki makna yang jelas
dan tidak rancu bahwa Allah mengharamkan atas orang-orang mukmin menikahi
wanita-wanita yang musyrik dari kalangan penyembah berhala. Kemudian jika makna
yang dimaksud bersifat umum, berarti termasuk ke dalam pengertian setiap wanita
musyrik kitabiyah dan wasaniyah. Akan tetapi, dikecualikan dari hal tersebut wanita
Ahli Kitab. Ali ibnu Abu Talhah meriwayatkan dari Ibnu Abbas sehubungan dengan
12
makna firman-Nya: Dan janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik, sebelum
mereka beriman. (Al-Baqarah: 221) Bahwa Allah mengecualikan dari hal tersebut
wanita Ahli Kitab. Hal yang sama dikatakan oleh Mujahid, Ikrimah, Sa'id ibnu Jubair,
Makhul, Al-Hasan, Ad-Dahhak, Zaid ibnu Aslam, Ar-Rabi' ibnu Anas, dan lain-lainnya.
Menurut pendapat yang lain, bahkan yang dimaksud oleh ayat ini adalah orang-orang
musyrik dari kalangan penyembah berhala, dan bukan Ahli Kitab secara keseluruhan.
Makna pendapat ini berdekatan dengan pendapat yang pertama tadi (Tafsir, 2015).
Pada QS. Al-Maidah ayat 5, termasuk dalil hukum zhanni al-Dalalah karena
masih mengandung dua makna. Dalil seperti ini memiliki al-wurud, ald-dalalah, dan al-
hujiyah diduga kuat sebagai benar. Namun meski memiliki dua makna, dalil ini
termasuk zhanni al-dalalah yang tidak bertentangan dengan suatu prinsip yang qath’I
yakni QS. Al-Baqarah ayat 221, tetapi tidak pula dinaungi oleh suatu prinsip yang
qath’i. Menurut ay-Syatibi, dalil ini dapat diterima atas dasar bahwa pada dasamya
segala yang berada pada tingkat zhanni dalam syari’ah dapat diterima (Subhan, 2013).
Maka dari itu, QS. Al-Maidah ayat 5 ini dapat dimaknai setelah Allah Swt.
menyebutkan hal-hal kotor yang diharamkan-Nya kepada hamba-hamba-Nya yang
mukmin, juga setelah menyebutkan hal-hal yang baik-baik yang dihalalkan untuk
mereka. Mengenai orang-orang Majusi, sekalipun dipungut jizyah dari mereka karena
disamakan kedudukannya dengan Ahli Kitab, tetapi sesungguhnya hasil sembelihan
mereka tidak boleh dimakan dan kaum wanita mereka tidak boleh dinikahi. Yang
dihalalkan untuk kalian menikahi wanita-wanita merdeka yang memelihara
kehormatannya dari kalangan wanita-wanita yang beriman. Sesungguhnya ada
segolongan di antara sahabat yang menikahi wanita-wanita Nasrani dan mereka
memandangnya diperbolehkan (Tafsir, 2015).
QS. Ar-Rum ayat 21 termasuk Qath’I Al-Dalalah karena menunjuk pada makna
tertentu yang tidak mengandung kemungkinan untuk dita’wil (dipalingkan dari makna
asalnya) dan tidak ada celah atau peluang untuk memahaminya selain makna tersebut.
Sebagai dasar hukum perkawinan beda agama, dalil ini asal-usul historisnya (al-wurud),
penunjukkan kepada makna (al-dalalah) atau kekuatan argumentatif maknanya itu
sendiri (al-hujjiyah) bersifat pasti dan meyakinkan (Subhan, 2013). Ibnu Katsir dalam
tafsirnya mengatakan, surat Ar-Rum ayat 21 di atas menjelaskan bahwa Allah SWT
menciptakan kaum wanita bagi laki-laki yang kelak menjadi istri-istri mereka (kaum
laki-laki) supaya cenderung dan merasa tenteram kepadanya. Hal ini juga disebutkan
dalam ayat lain melalui firman-Nya dalam surat Al-A'araf ayat 189, yang menjelaskan
tentang penciptaan Hawa dari tulang rusuk terpendek sebelah kiri milik Adam. Lebih
13
lanjut Ibnu Katsir menjelaskan bahwa termasuk di antara rahmat Allah yang sempurna
kepada anak-anak Adam adalah menjadikan pasangan (istri) mereka dari jenis mereka
sendiri dan menjadikan rasa kasih dan sayang di antara pasangan-pasangan itu (Kristina,
2021).
3.8 Pendapat Rajih pada Dalil Hukum Terkait Perkawinan Beda Agama
Berddasarkan dalil hukum yang digunakan oleh setiap Lembaga fatwa di atas,
menurut saya pendapat yang rajih adalah Lajnah Daimah Saudia. Karena fatwanya
didasarkan pada QS. Al-Baqarah ayat 221 dan QS. Ar-Rum ayat 21 yang merupakan
Dalil Qath’I, yakni sejumlah konsekuensi teologis dan termasuk nash yang
mengutarakan suatu makna tertentu, tanpa adanya kemungkinan memiliki makna lain
dari tafsir ayat tersebut. Sehingga tidak ada celah maupun peluang untuk memaknai ayat
tersebut dengan makna berbeda. Kedua dalil tersebut memiliki al-wurud, alhujjiyah dan
al-dalalah yang bersifat pasti. Dalil tersebut juga berdiri sendiri dan menjadi prinsip
untuk dalil atau ayat Al-Qur’an lainnya, dimana membahas terkait perkawinan.
Sementara meskipun Lajnah Daimah juga menggunakan QS. Al-Maidah ayat 5, yang
memiliki makna ambigu, bisa bertentangan dengan dalil utama (QS. Al-Baqarah ayat
221), namun tafsir pada surat ini jelas menunjukkan bagaimana yang dikatakan boleh
menikah dengan keyakinan berbeda, dan hal itu terjadi pada zaman Nabi, dimana tujuan
dari pernikahan tersebut pun jelas bukan sekedar untuk berhubungan badan melainkan
syiar atau dakwah dan meneruskan keilmuan dari Ahli Kitab.
14
DAFTAR PUSTAKA
15