Anda di halaman 1dari 17

MATA KULIAH: HUKUM ISLAM

PENGAJAR: MIFTAHUDIN, SH, MAG.

TINJAUAN HUKUM ISLAM


TERHADAP PERKAWINAN BEDA AGAMA

DISUSUN OLEH:
BENJAMIN P. SIMATUPANG – NPM: 18400120

FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS TAMA JAGAKARSA
2019

Page 1 of 17
BAB 1

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Adalah sebuah kenyataan yang tidak dapat dipungkiri, bahwa sejak dahulu kala Indonesia adalah sebuah
negeri yang terdiri dari beragam agama dan keyakinan. Di kehidupan nyata, dalam interaksi antara umat
manusia antara penganut agama yang berbeda, adalah hal yang wajar apabila terjadi hubungan
perkawinan. Hak menikah dengan pasangan pilihannya adalah hak asasi setiap orang (UU Hak Asasi
Manusia menyebutkan hak sipil warga negara yang tidak boleh diintervensi atau dikurangi oleh siapapun,
di antaranya adalah soal memilih pasangan, menikah, berkeluarga, dan memiliki keturunan).

Namun dalam kenyataan, kasus perkawinan beda agama memunculkan pendapat pro maupun kontra
dalam masyarakat. Adanya pro dan kontra tersebut tidak mampu membendung tetap terjadinya
perkawinan beda agama yang terjadi di tengah masyarakat.

Sebagai gambaran, dalam tesis Agatha Arumsari Dewi Tjahjandari („Aspek Hukum Perkawinan Beda
Agama Dikaitkan dengan Hak Asasi Manusia“), diungkapkan sebuah data dari tahun 1984 dari
Keuskupan Agung Jakarta (meliputi 36 paroki), antara orang yang beragama Katolik dengan yang tunduk
pada hukum agama lain:

Catatan penulis : katekumin = orang yang sedang persiapan untuk dibaptis/sedang dalam masa
bimbingan.

Page 2 of 17
Dalam tesisnya tersebut, Agatha Arumsari Dewi Tjahjandari juga mengutip data yang dibuat oleh
Nunyamin Aini, dosen Fakultas Syari’ah UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dengan data sensus di Propinsi
Daerah Istimewa Yogyakarta, juga menunjukkan bahwa perkawinan beda agama adalah fakta yang tetap
terjadi di tengah masyarakat.

Dari tabel di atas, terlihat bahwa laki-laki cenderung melakukan perkawinan beda agama dibanding
wanita. Angka pernikahan beda agama paling rendah terjadi di kalangan umat Islam (di bawah 1%).
Tapi hal itu bisa jadi, karena agama Islam memiliki penganut paling banyak di Indonesia, sehingga pilihan
untuk perkawinan seagama juga makin banyak. Sementara, umat beragama lain, pihannya tidak
sebanyak umat Islam, sehingga kemungkinan melakukan perkawinan beda agama semakin besar.

1.2. Pembahasan Masalah
Islam memberi perhatian yang besar dan rinci menyangkut perkawinan. Menurut Dr. Quraish Shihab,
perhatian itu disebabkan karena dalam pandangan Islam, persoalan manusia dan hubungan suami istri
serta kesucian keturunan merupakan hal-hal yang harus dipelihara, lagi jelas kedudukannya.

Adapun perumusan masalah dalam makalah ini adalah : Bagaimana tinjauan Hukum Islam terhadap
perkawinan beda agama.

Page 3 of 17
1.3. Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan makalah ini yaitu sebagai salah satu tugas pemenuhan syarat dari mata kuliah Hukum
Islam.

Tujuan penulisam adalah sebagai berikut:


 Secara umum, penulisan makalah ini diharapkan menambah wawasan bagi kami sebagai pembuat
makalah dan bagi para pembaca.
 Secara khusus, penulisan makalah ini bertujuan untuk mengetahui tinjauan Hukum Islam terhadap
perkawinan beda agama, dan pendapat penulis sendiri terhadap hal tersebut.

Page 4 of 17
BAB 2 
PEMBAHASAN

Perkawinan Beda Agama

Dalam undang-undang perkawinan, disebutkan bahwa perkawinan adalah ikatan lahir batin antara
seorang pria dan wanita sebagai suami isteri. Menurut Sri Wayuni sebagaimana mengutip
pendapat dari Wantjik Saleh (diambil dari situs : https://www.google.com/search?
q=BAB+II+PERKAWINAN+BEDA+AGAMA%2C+UNDANG-
UNDANG+PERKAWINAN+DAN+KOMPILASI+HUKUM+ISLAM&oq=BAB+II+PERKAWINAN+BEDA+AG
AMA%2C+UNDANG-
UNDANG+PERKAWINAN+DAN+KOMPILASI+HUKUM+ISLAM&aqs=chrome..69i57.2172j0j8&sourceid=
chrome&ie=UTF-8) , dengan ikatan lahir batin dimaksudkan bahwa perkawinan tersebut tidak hanya
cukup dengan adanya ikatan lahir atau ikatan batin saja, tetapi juga harus mencakup keduanya.

Suatu ikatan lahir dapat dilihat, dari adanya suatu hubungan hukum antara seorang pria dan wanita untuk
hidup bersama, sebagai suami istri, yang dapatdisebut juga ikatan formal. Hubungan formal ini mengikat
bagi dirinya, maupun bagi orang lain atau masyarakat. Sebaliknya, ‘ikatan bathin’ merupakan hubungan
yang tidak formil, suatu ikatan yang tidak dapat dilihat, tapi harus ada karena tanpa adanya ikatan bathin,
ikatan lahir akan menjadi rapuh.

Tentang perkawinan beda agama Sri Wahyuni berpendapat bahwa belum terdapat sebuah peraturan
yang mengatur maupun melarang perkawinan beda agama. Karena apabila larangan tersebut diadakan,
maka akan berbenturan dengan asas kebebasan beragama dan kebebasan untuk membentuk keluarga
melalui perkawinan yang sah. Maka, perkawinan beda agama di Indonesia masih mengalami sebuah
kekosongan hukum.

Pandangan Hukum Islam tentang Perkawinan Beda Agama


Menurut Yusuf Qardhawi Sebuah pernikahan antara laki-laki muslim dengan wanita kafir yang bukan
murni ahli kitab, seperti wanita penyembah berhala, Majusi, atau salah satu dari kedua orang tuanya
adalah orang kafir maka hukumnya haram.

Yusuf Qardhawi dalam hal ini juga mengharamkan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita
musyrikah. Hal ini didasarkan pada firman Allah SWT dalam surat al-Baqarah ayat 221.

Page 5 of 17
Namun terdapat perberdaan pendapat di antara para ulama yakni tentang siapa musyrikah yang haram
dinikahi sebagaimana maksud ayat di atas. Menurut Ibnu Jarir al-Thabari, bahwa musyrikah yang
dilarang
dinikahi adalah musyrikah dari bangsa Arab saja, karena bangsa Arab pada waktu turunnya al-Qur’an
memang tidak mengenal kitab suci dan mereka menyembah berhala. Maka menurut pendapat ini,
seorang laki laki muslim boleh menikah dengan wanita musyrikah dari non-Arab, seperti wanita Cina,
India, dan Jepang yang diduga mempunyai kitab suci atau serupa kitab suci. Muhammad Abduh juga
sependapat dengan ini.

Tetapi mayoritas ulama berpendapat bahwa semua musyrikah baik dari bangsa Arab maupun non-Arab
selain ahli kitab tidak boleh dinikahi. Menurut pendapat ini, siapapun yang bukan muslim atau ahli
kitab dalam hal ini Kristen atau Yahudi haram untuk dinikahi.

Di samping mendasarkan ayat di atas, Yusuf Qardhawi juga mendasarkan pada ayat al-Mumtahanah
ayat 10 : Hai orang-orang yang beriman, apabila datang berhijrah kepadamu perempuan-perempuan
yang beriman, maka hendaklah kamu uji mereka. Allah lebih mengetahui tentang keimanan mereka;
maka jika kamu telah mengetahui bahwa mereka beriman maka janganlah kamu kembalikan mereka
kepada orang-orang kafir. Mereka tiada halal bagi orang-orang kafir itu dan orang-orang kafir itu tiada
halal pula bagi mereka. Dan berikanlah kepada mereka, mahar yang telah mereka bayar. Dan tiada dosa
atasmu mengawini mereka apabila kamu bayar kepada mereka maharnya. Dan janganlah kamu tetap
berpegang pada tali dengan perempuan-perempuan kafir; dan hendaklah kamu minta mahar yang telah
kamu bayar; dan hendaklah mereka meminta mahar yang telah mereka bayar. Demikianlah hukum Allah
yang ditetapkanNya di antara kamu. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

Menurut Yusuf Qardlawi, konteks ayat di atas, secara keseluruhan beserta asbabun nuzulnya
menunjukkan bahwa yang dimaksud dengan al-kawafir atau perempuan-perempuan kafir, yakni al
watsaniyat atau perempuan-perempuan penyembah berhala.

Sedangkan tentang hukum menikahi wanita ahli kitab bagi seorang laki-laki muslim, mayoritas ulama
berpendapat bahwa seorang laki-laki muslim boleh menikah dengan wanita ahli kitab. Hal ini
didasarkan pada firman Allah dalam surat al-Maidah ayat 5.19

Bila dibandingkan antara surat al-Maidah ayat 5 dengan surat al Baqarah ayat 221, maka tampaklah
adanya perbedaan antara status musyrik dengan ahli kitab. Masing-masing mempunyai ketentuan
sendiri,
yakni haram menikahi orang musyrik dan boleh menikahi ahli kitab.

Page 6 of 17
Dalam sejarah Rasulullah SAW mengawini Maria al-Qibtiyah, seorang wanita yang semula beragama
Nashrani (Kristen). Praktek Rasulullah ini kemudian diikuti oleh beberapa sahabat. Di antaranya ‘Usman
bin ‘Affan menikahi Nailah binti al-Fara Fisah al-Kalbiyah yang beragama Nashrani. Sedangkan Huzaifah
menikahi seorang wanita Yahudi yang berasal dari Negeri Madyan.22

Sekalipun mayoritas ulama pada dasarnya sepakat membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita ahli
kitab, namun dalam kebolehan tersebut juga terdapat perbedaan pendapat.

Menurut sebagian mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali memandang bahwa hukum pernikahan
tersebut adalah makruh; menurut pandangan sebagian pengikut mazhab Maliki, seperti Ibnu Qasim dan
Khalil, menyatakan bahwa pernikahan tersebut diperbolehkan secara mutlak; Al-Zarkasyi (mazhab
Syafi’i) berpendapat bahwa pernikahan tersebut disunatkan apabila wanita ahli kitab tersebut diharapkan
dapat masuk Islam, seperti pernikahan ‘Usman bin ‘Affan dengan Nailah.

Adapun golongan yang tidak membolehkan laki-laki muslim dengan wanita ahli kitab diantaranya
golongan Syi’ah Imamiyah dan Sayyid Quthub. Mereka berargumentasi dengan surat al-Baqarah ayat
221 di atas. Menurut golongan ini ahli kitab termasuk ke dalam golongan musyrik berdasarkan riwayat
Ibnu ‘Umar ketika beliau ditanya tentang hukum mengawini wanita-wanita Yahudi dan Nashrani. Beliau
menjawab dengan ayat di atas dan menambahkan: “saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar
dan pada anggapan seorang wanita (Nashrani), bahwa Tuhannya ‘Isa padahal ‘Isa hanya seorang
manusia dan hamba Allah”.

Kemudian mereka juga beralasan dengan surat al-Mumtahanah ayat 10: “Janganlah kamu tetap
berpegang pada tali (perkawinan) dengan perempuan-perempuan kafir”. Karena ahli kitab termasuk
kepada golongan kafir maka Allah melarang kaum muslim berpegang kepada tali perkawinan wanita-
wanita kafir.

Al-Thabarsi memahami makna surat al-Maidah ayat 5 menunjukkan kepada wanita ahli kitab yang telah
memeluk Islam. Atas dasar pemahaman demikian ia berpendapat bahwa melakukan akad nikah
dengan ahli kitab hukumnya terlarang secara permanen. Pendapat ini didasarkan pada surat al-Baqarah
ayat 221. Pendapat ini juga sejalan dengan pendapat sahabat ‘Abdullah bin ‘Umar yang secara tegas
melarang perkawinan seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, dengan alasan mereka adalah
orang-orang musyrik.

Pendapat ‘Abdullah ibn ‘Umar ini, menurut Muhammad ‘Ali al Shabuni, didorong oleh kehati-hatian yang
amat sangat akan kemungkinan timbulnya fitnah bagi suami atau anak-anaknya jika nikah dengan wanita
ahli kitab. Sebab, kehidupan suami istri akan membawa konsekuensi logis berupa timbulnya cinta kasih

Page 7 of 17
di antara mereka, dan hal tersebut dapat membawa suami condong kepada agama istrinya. Di samping
itu, kebanyakan anak cenderung kepada ibunya.

Sedangkan lama telah sepakat bahwa pernikahan antara seorang wanita muslimah dengan laki-laki non-
muslim baik musyrik maupun ahli kitab adalah dilarang. Disepakati, tidak sah wanita muslimah menikah
dengan laki-laki kafir, baik merdeka maupun budak. Tidak sah pula wanita murtad menikah dengan
siapapun, tidak dengan laki-laki muslim karena wanita tersebut telah kafir dan tidak mengakui apapun,
dan tidak sah pula wanita muslimah menikah dengan laki-laki kafir karena masih adanya ikatan Islam
pada dirinya.

Menurut Muhammad Jawad Mughniyah, bahwa Islam melarang perkawinan antara seorang wanita
muslimah dengan pria non-muslim, baik calon suaminya itu termasuk pemeluk agama yang mempunyai
kitab suci, seperti Kristen dan Yahudi (revealed religion), ataupun pemeluk agama yang mempunyai kitab
serupa kitab suci, seperti Budhisme, Hinduisme, maupun pemeluk agama atau kepercayaan yang tidak
punya kitab suci dan juga kitab yang serupa kitab suci. Termasuk pula di sini penganut Animisme,
Ateisme, Politeisme dan sebagainya.

Hal ini didasarkan pada surat al-Baqarah ayat 221 sebagai berikut: “Dan janganlah kamu menikahkan
orang-orang musyrik sebelum mereka beriman. Sesungguhnya budak yang mu’min lebih baik dari orang
musyrik, walaupun dia menarik hatimu”. Dalam hal ini terjadi perbedaan perlakuan antara wanita dan laki-
laki muslim. Alasan wanita muslim dilarang menikah dengan laki-laki musyrik atau ahli kitab, sementara
laki-laki muslim diperbolehkan oleh sebagian ulama untuk menikah dengan wanita ahli kitab adalah
bahwa surat al-Baqarah ayat 221 memang sama-sama melarang wanita dan pria muslim untuk menikah
dengan musyrik atau musyrikah.

Akan tetapi pada sisi lain Allah juga berfirman dalam surat al-Maidah ayat 5 di atas yang menyatakan
bahwa terdapat wanita muhshanat atau yang terpelihara dari mu’minat dan ahli kitab serta adanya
sunnah Nabi dan praktik sahabat.

Dengan landasan ini maka kebolehan menikah dengan ahli kitab hanya diperuntukkan bagi laki-laki
muslim bukan sebaliknya. Dalam hal ini al Jurjawi, Muhammad Ali Ash-Shabuni dan Yusuf Qardlawi
memberikan
penegasan bahwa dilarangnya wanita muslimah menikah dengan ahli kitab semata-mata untuk menjaga
iman. Sebab, lumrahnya, istri mudah terpengaruh. Jika diperbolehkan mereka dikhawatirkan akan
terperdaya ke agama lain.

Page 8 of 17
3 Pendapat
Dari pemaparan di atas dapat diketahui bahwa secara garis besar, ada tiga pendapat yang berkembang
seputar pernikahan antara laki-laki muslim atau wanita muslim dengan non-muslim atau musyrik atau ahli
kitab.

1. Pertama, pendapat yang melarang secara mutlak. Tidak ada ruang dan celah sama sekali untuk
melakukan pernikahan beda agama, baik antara seorang muslim dengan musyrikahatauahli kitab
maupun antara muslimah dengan musyrikatauahli kitab.
2. Kedua, pendapat yang membolehkan secara mutlak. Pendapat ini membuka ruang dan
kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan pernikahan beda agama, baik antara seorang
muslim dengan musyrik atau ahli kitab maupun antara muslimah dengan musyrik atau ahli kitab.
3. Ketiga, pendapat pertengahan yang membolehkan pernikahan beda agama dalam lingkup
terbatas, yakni antara seorang muslim dengan perempuan ahli kitab, dengat persyaratan
tertentu.

Pendapat para ulama yang melarang secara mutlak berlandaskan beberapa dalil dan penafsiran.
Pertama, Allah SWT melarang pernikahan antara seorang laki-laki muslim atau wanita muslim dengan
musyrik atau
musyrikah, sebagaimana firman-Nya dalam surat al-Baqarah ayat 221.

Ayat tersebut secara jelas dan tegas melarang pernikahan antara muslim, baik laki-laki maupun wanita,
dengan orang-orang musyrik. Dalam pandangan para ulama kelompok pertama ini, term musyrik
diartikan
sebagai orang yang menyekutukan Allah dengan yang lain. Dengan demikian, penganut agama selain
Islam adalah orang musyrik, sebab hanya Islam-lah satu-satunya agama yang memelihara kepercayaan
tauhid secara murni.

Kedua, penganut agama Yahudi dan Nashrani juga melakukan kemusyrikan sehingga tidak boleh
dinikahi oleh orang Islam. Di dalam al-Qur’an, penganut agama Yahudi dan Nashrani memang diberi
label khusus dengan sebutan ahl al-kitab dan para wanitanya boleh dinikahi berdasarkan surat al-Ma’idah
ayat 5, namun kebolehan menikahi wanita kitabiyah sebagaimana termaktub pada ayat tersebut telah
digugurkan oleh ketentuan yang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 221.30 Hal ini disebabkan
konsep kepercayaan yang dimiliki penganut Yahudi dan Nashrani mengandung kemusyrikan yang nyata.

Page 9 of 17
Argumentasi rasional yang sering dikutip dalam konteks ini adalah pernyataan sahabat Nabi Muhammad
SAW, ‘Abdullah bin ‘Umar bin al-Khaththab: “Saya tidak mengetahui kemusyrikan yang lebih besar dari
keyakinan seseorang (perempuan) bahwa Tuhannya adalah ‘Isa atau salah seorang hamba
Allah”.

Pendapat kelompok pertama yang mengharamkan pernikahan beda agama secara mutlak antara lain
dikemukakan oleh sahabat Nabi SAW ‘Abdullah bin ‘Umar dan Sekte Syi’ah Imamiyah. Pendapat ini
juga banyak dianut oleh kalangan Syafi’iyah seperti di Indonesia sebagaimana tercermin dalam
pandangan umum ulama dan masyarakat.

Majelis Ulama Indonesia (MUI), dalam fatwanya tertanggal 8 Juni 1980, telah mengharamkan pernikahan
antara laki-laki muslim dan wanita musyrik atau wanita ahli kitab dan demikian pula sebaliknya. Hal ini
kembali ditegaskan melalui Keputusan Fatwa MUI Nomor: 4/MUNAS VII/MUI/8/2005 yang ditetapkan
pada tanggal 29 Juli 2005 bersamaan dengan Musyawarah Nasional VII MUI tahun 2005. Pendapat
umum ini
pula yang kemudian diadopsi dan diikuti oleh Kompilasi Hukum Islam di Indonesia.

Pendapat yang membolehkan secara mutlak pernikahan beda agama dalam segala macam dan
bentuknya juga mendasarkan pendapatnya kepada dalil-dalil yang digunakan kelompok pertama, namun
dengan penafsiran yang berbeda dan ditambah dengan berbagai argumentasi yang rasional. Pertama,
surat al-Baqarah ayat 221 memang melarang pernikahan orang muslim dan orang musyrik, baik laki-laki
maupun perempuan, namun perlu dicermati dengan seksama siapa yang dimaksud dengan “musyrik
atau musyrikah” pada ayat itu. Kelompok ini memahami dan menafsirkan kata “musyrik atau musyrikah”
terbatas
pada kaum musyrikin Arab yang hidup pada masa Nabi SAW yang sekarang sudah tidak ada lagi.
Dengan demikian, tidak ada halangan untuk menikah dengan orang musyrik yang ada pada saat ini.

Pemahaman bahwa musyrikah yang dimaksud adalah musyrikah Arab saja antara lain dikemukakan oleh
Ibnu Jarir al-Thabari, Muhammad Abduh dan Rasyid Ridha dalam Tafsir al-Manar.32 Kedua, surat al
Ma’idah ayat 5. Para ulama sepakat bahwa ayat ini secara jelas membolehkan laki-laki muslim untuk
menikahi wanita Ahli kitab.

Namun kelompok kedua memberi penafsiran yang luas terhadap ayat ini. Menurut mereka, jika Allah
SWT membolehkan laki-laki muslim menikahi ahli wanita kitab, maka kebolehan itu mesti dipahami
sebaliknya juga. Di samping itu, ahli kitab tidak hanya mencakup orang-orang Yahudi dan Nashrani saja,
tetapi juga mencakup orang orang Majusi, Sabian, Hindu, Budha, Konficius, Shinto, dan agama agama
lainnya.

Page 10 of 17
Dengan demikian, semua penganut kepercayaan dan agama yang ada di dunia ini pada umumnya boleh
dinikahi dan menikah dengan orang Islam.

Pendapat yang membolehkan pernikahan beda agama sebatas antara laki-laki muslim dan wanita
kitabiyah mendasarkan pendapatnyakepada dalil dan argumentasi sebagai beikut. Pertama, surat al-
Ma’idah ayat 5 secara jelas dan tegas membolehkan laki-laki muslim menikahi wanita kitabiyah dengan
syarat wanita yang dinikahi adalah muhshanat, wanita baik-baik yang menjaga kehormatan dirinya
(‘afifah).
Kedua, kebolehan menikahi wanita kitabiyah didasarkan kepada praktek Nabi Muhammad SAW dan para
sahabat. Nabi SAW menikahi Maria al Qibthiyah yang menurut riwayat adalah wanita kitabiyah. Di antara
para sahabat Nabi, ada yang menikahi wanita kitabiyah, seperti ‘Usman bin ‘Affan, Thalhah bin
‘Ubaidillah, Ibnu ‘Abbas, Jabir, Ka’ab bin Malik, al Mughirah bin Syu’bah, dan lainnya.

Menurut Ibnu Katsir, setelah turun surat al-Ma’idah ayat 5, banyak sahabat menikahi wanita Ahli kitab
karena mereka memahami ketentuan ayat tersebut sebagai ketentuan khusus (mukhashshish) dari
ketentuan umum yang terdapat di dalam surat al-Baqarah ayat 221.

Kelompok kedua ini berbeda pendapat tentang siapa saja yang masuk kategori sebagai wanita ahli kitab
yang boleh dinikahi tersebut. Menurut jumhur ulama, yang dimaksud Ahli kitab pada ayat tersebut adalah
penganut agama Yahudi dan Nashrani sebagaimana penggunaan istilah tersebut di dalam al-Qur’an
secara umum. Meskipun mereka juga melakukan kemusyrikan, tetapi mereka diberi istilah khusus dan
diperlakukan secara khusus, termasuk dalam pernikahan. Wanita kitabiyah yang halal dinikahi tidak
hanya terbatas pada masa Nabi SAW saja, tetapi juga mencakup wanita kitabiyah pada masa sekarang
dari berbagai bangsa dan ras.

Menurut qaul mu’tamad di kalangan Syafi’iyah, wanita kitabiyah yang boleh dinikahi tersebut hanyalah
yang
menganut agama Yahudi dan Nashrani sebagai nenek moyangnya sejak sebelum Nabi Muhammad
diangkat sebagai rasul. Orang yang baru masuk agama Yahudi dan Nashrani setelah al-Qur’an
diturunkan, maka tidak termasuk dalam term Ahli kitab. Sementara itu, ada pula yang membatasi kepada
Ahli kitab yang hidup di Dar al-Islam dan membayar jizyah. Sedangkan yang tidak membayar jizyah
berlaku hukum perang terhadap mereka dan tidak boleh dinikahi berdasarkan ketentuan surat al Taubah
ayat 29.

Kelompok ketiga ini mengharamkan pernikahan antara orang muslim dengan orang musyrik, baik laki-laki
maupun perempuan, berdasarkan dalil surat al-Baqarah ayat 221. Mereka juga melarang wanita muslim

Page 11 of 17
menikah dengan laki-laki Ahli kitab dengan alasan surat al-Maidah ayat 5 hanya membolehkan laki-laki
muslim dan wanita kitabiyah. Jika dibolehkan sebaliknya, tentu al-Qur’an dan al-Sunnah akan
menjelaskannya.

Perkawinan Beda Agama dalam UU Perkawinan


Syarat sahnya perkawinan yang diatur dalam UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UUP”). Sahnya
suatu perkawinan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 2 UUP adalah :

1.      Apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayannya. Dalam penjelasan
pasal 2 ayat (1) dinyatakan bahwa tidak ada perkawinan di luar hukum agamanya dan kepercayaannya
itu.
2.      Perkawinan tersebut dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Ketentuan mengenai pencatatan perkawinan diatur lebih lanjut dengan PP No. 9 Tahun 1975 tentang
Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974 (“PP No. 9/1975”). Apabila perkawinan dilakukan oleh orang Islam
maka pencatatan dilakukan oleh pegawai pencatat sebagaimana dimaksud dalam UU No. 32 Tahun
1954. Sedangkan, bagi mereka yang melangsungkan perkawinan menurut agama dan kepercayaannya
di luar agama Islam, maka pencatatan dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (lihat Pasal 2 PP No. 9/1975).

Pada dasarnya, hukum perkawinan di Indonesia tidak mengatur secara khusus mengenai perkawinan
pasangan beda agama sehingga ada kekosongan hukum. Mengenai sahnya perkawinan adalah
perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan kepercayaannya sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat
(1) UUP. Hal ini berarti UU Perkawinan menyerahkan pada ajaran dari agama masing-masing.

Namun, permasalahannya apakah agama yang dianut oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan
untuk dilakukannya perkawinan beda agama.

Akan tetapi, pada praktiknya memang masih dapat terjadi adanya perkawinan beda agama di
Indonesia. Guru Besar Hukum Perdata Universitas Indonesia Prof. Wahyono Darmabrata,
menjabarkan ada empat cara yang populer ditempuh pasangan beda agama agar pernikahannya dapat
dilangsungkan. Menurut Wahyono, empat cara tersebut adalah:
1.      meminta penetapan pengadilan,
2.      perkawinan dilakukan menurut masing-masing agama,
3.      penundukan sementara pada salah satu hukum agama, dan
4.      menikah di luar negeri.

Page 12 of 17
Kita juga ketahui bahwa benar ada yurisprudensi Mahkamah Agung (MA) yaitu Putusan MA No. 1400
K/Pdt/1986. Putusan MA tersebut antara lain menyatakan bahwa Kantor Catatan Sipil saat itu
diperkenankan untuk melangsungkan perkawinan beda agama. Kasus ini bermula dari perkawinan yang
hendak dicatatkan oleh Andi Vonny Gani P (perempuan/Islam) dengan Andrianus Petrus Hendrik
Nelwan (laki-laki/Kristen).

Dalam putusannya, MA menyatakan bahwa dengan pengajuan pencatatan pernikahan di Kantor Catatan
Sipil maka Andi Vonny telah memilih untuk perkawinannya tidak dilangsungkan menurut agama Islam.
Dengan demikian, Andi Vonny memilih untuk mengikuti agama Andrianus, maka Kantor Catatan Sipil
harus melangsungkan dan mencatatkan perkawinan tersebut.

Namun demikian, Dirjen Kependudukan dan Pencatatan Sipil Kemendagri, Zudan Arif Fakrullah,
menegaskan bahwa aturan negara sudah cukup jelas tercantum di UU Administrasi Kependudukan
bahwa arah politik Indonesia mendorong pasangan menikah satu agama.

Hal ini diperkuat dengan edaran surat dari Mahkamah Agung per tanggal 30 Januari 2019 No.
231/PAN/HK.05/1/2019 poin 2 yang menjelaskan soal pencatatan perkawinan beda agama.
“Perkawinan beda agama tidak diakui oleh negara dan tidak dapat dicatatkan. Akan tetapi jika
perkawinan tersebut dilaksanakan berdasarkan agama salah satu pasangan dan pasangan yang lain
menundukkan diri kepada agama pasangannya, maka perkawinan tersebut dapat dicatatkan. Misalnya,
jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama Kristen maka dicatatkan di Kantor Dinas
Kependudukan dan Pencatatan Sipil, begitu pula jika perkawinan dilaksanakan berdasarkan agama
Islam maka perkawinan pasangan tersebut dicatatkan di Kantor Urusan Agama (KUA).”

Pandangan Persekutuan Gereja-gereja di Indonesia terhadap UU Perkawinan


Bila dirunut ke belakang, saat Rancangan UU Perkawinan dibahas oleh Dewan Gereja-gereja di
Indonesia atau DGI (sekarang PGI) dan pimpinan ABRI; PGI menyatakan bahwa RUU Perkawinan
didasarkan atas asumsi yang salah, bahwa apabila dalam salah satu agama terdapat ketentuan yang
lengkap mengatur perkawinan, maka dalam agama-agama lainpun terdapat ketentuan yang sama.
Asumsi ini tidak realistis. Agama-agama itu mempunya strukturnya masing-masing, dan tidak semua
unsur yang ada dalam satu agama terdapat dalam agama-agama yang lain. Dalam agama Kristen
misalnya, terdapat ketentuan mengenai perkawinan, tapi tidak ada pengaturan lengkap yang dapat
dianggap hukum perkawinan, yang dapat dijadikan pedoman mengatur perkawinan bagi orang-orang
Kristen, baik di Indonesia maupun di dunia umumnya. Dalam pertemuan itu, Letjen Sudharmono datang
dengan jalan keluar, dengan mengatakan bahwa kevakuman hukum bagi orang Kristen dicegah dengan
menentukan bahwa yang dimaksud dengan hukum bagi agama Kristen, bukan hukum agama yang

Page 13 of 17
mengatur perkawinan, tapi hukum yang berlaku dalam pengaturan perkawinan bagi golongan Kristen di
Indonesia.

Selain itu, juru bicara DGI, Dr. Letjen. TB Simatupang, mengajukan kasus hipotetis yang dapat terjadi
setelah disahkannya UU Perkawinan. Dibayangkan bahwa dapat terjadi seorang pria dan wanita
Indonesia menghadapi kesulitan menikah secara sah, dan pasangan tersebut diperhadapkan pada dua
alternatif ekstrim. Pertama: Kemunafikan. Salah seorang berganti keyakinan agar memperoleh
kesempatan mengadakan perkawinan yang dianggap sah oleh negaranya. Kedua: Pemberontakan.
Pasangan laki-laki dan perempuan dewasa melakukan “kumpul kebo” karena masing-masing tidak ada
yang memilih untuk berganti agama.

TB Simatupang mengatakan, suatu negara yang menghadapkan warga negaranya dengan pilihan ganti
agama secara munafik atau hidup kumpul kebo, bukanlah negara yang bertindak sesuai dengan asas
kemanusiaan yang adil dan beradab. Kasus hipotetis itu tidak dibahas lebih lanjut dalam pertemuan
tersebut.

Hukum Islam di Indonesia


Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H. dalam buku “Hukum Islam – Pengantar Ilmu Hukum dan Tata Hukum
Islam di Indonesia” mengutip pendapat Ismail Saleh, Menteri Kehakiman, yang menyebutkan, bahwa
dalam pembangunan hukum nasional, kedudukan Hukum Islam, di samping hukum-hukum yang lain
akan menjadi sumber bahan baku penyusunan hukum nasional.

Menurut politik hukum pemerintah Indonesia, tidaklah karena mayoritas rakyat Indonesia beragama
Islam, norma-norma hukum Islam secara otomatis menjadi norma-norma hukum nasional. Norma-norma
hukum Islam baru dapat dijadikan hukum nasional, apabila norma-norma hukum Islam sesuai dan dapat
menampung kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia. Ketentuan tersebut berlaku juga bagi hukum
adat dan hukum eks-barat yang juga menjadi bahan baku dalam proses pembinaan hukum nasional.

Dalam hal ini, sering diucapkan bahwa salah satu pihak masyarakat Indonesia berkorban demi Pancasila.
Memang harus diakui bahwa para founding fathers tidak memaksakan pandangannya kepada seluruh
masyarakat. Pancasila sebagai kompromi politik tidak dapat memuaskan semua pihak 100%. Setiap
golongan dengan sendirinya ingin mewujudkan harapannya, tetap karena mereka hidup bersama dengan
golongan lain, setiap pihak juga harus menyadari bahwa pihak yang lain sama saja mengorbankan
sebagian dari cita-citanya, demi berdirinya negara Republik Indonesia.

Page 14 of 17
Dalam Bahasa lain, KH Abdurrahman Wahid menuliskan, “Tidak setiap proses islamisasi hukum harus
ditakuti, tetapi yang harus dihindari adalah proses politisasi Islam.”

Page 15 of 17
BAB 3
PENUTUP 

3.1 KESIMPULAN 

 Dari fakta dan data yang ada, perkawinan beda agama terjadi di tengah masyarakat Indonesia
sebagai konsekuensi kemajemukan / keberagaman yang ada.
 Secara hukum Islam terdapat 3 pandangan mengenai perkawinan beda agama : melarang
secara mutlak, membolehkan secara mutlak, dan membolehkan dengan persyaratan tertentu.
 UU Perkawinan yang berlaku di Indonesia tidak secara khusus membahas perkawinan beda
agama.
 Hukum Islam yang juga menganut nilai-nilai universal, merupakan bahan baku pembangunan
hukum nasional dan dapat menjadi norma hukum di Indonesia sepanjang menampung
kebutuhan seluruh lapisan rakyat Indonesia yang majemuk.

3.1 SARAN

 UU Perkawinan yang ada memang tidak sepenuhnya mengadopsi hukum Islam mengenai
perkawinan beda agama. Namun demikian, sebagaimana disampaikan di “Kesimpulan”, tafsir
mengenai pandangan hukum Islam terhadap perkawinan beda agama juga beragam. Sehingga,
dalam hal ini, tidak bijak jika intepretasi sepihak digunakan dalam menerapkan hukum Islam di
Indonesia, karena dalam kenyataannya, tafsir yang beragam hidup di tengah masyarakat.
 Pemerintah dalam menetapkan peraturan seyogyanya berpegang pada Pancasila.

Page 16 of 17
DAFTAR PUSTAKA 

1. Kuasa & Moral – Franz Magnis-Suseno


2. Tuhan tidak perlu dibela – Abdurrahman Wahid
3. Peranan agama-agama dan kepercayaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa dalam negara Pancasila
yang membangun – Dr. TB Simatupang, KH Abdurrahman Wahid, Djohan Effendi, dll.
4. Shihab & Shihab – Edisi Ramadhan – Bincang-bincang seputar tema popular terkait ajaran Islam
5. Biografi Gus Dur – the authorized biography o Abdurrahman Wahid - Greg Barton
6. Membuktikan ketidakbenaran suatu mitos – TB Simatupang
7. Gus Dur Menjawab Perubahan Zaman
8. Islam yang saya pahami – keragaman itu rahmat – M. Quraish Shihab
9. Hukum Islam – Prof. H. Mohammad Daud Ali, S.H.
10. Pluralisme Hukum dan Masalah Perkawinan Beda Agama – Liria Tjahaja, dalam buku “Hukum dan
Kemajemukan Budaya – Sumbangan karangan untuk menyambut hari ulang tahun ke-70 Prof Dr.
T.O. Ihromi
11. Mixed Maariage – A preliminary inquiry toward a biblical, historical, and pastoral approach – Paul A.J.
Waney
12. https://kumparan.com/millennial/pernikahan-beda-agama-dalam-hukum-indonesia-1rHQnHmv9IA
13. https://www.hukumonline.com/klinik/detail/ulasan/cl290/gimana-caranya/
14. https://www.vice.com/id_id/article/wjpb4q/kata-siapa-di-indonesia-tak-bisa-menikah-beda-agama
15. https://www.google.com/search?q=BAB+II+PERKAWINAN+BEDA+AGAMA%2C+UNDANG-
UNDANG+PERKAWINAN+DAN+KOMPILASI+HUKUM+ISLAM&oq=BAB+II+PERKAWINAN+BEDA+AGA
MA%2C+UNDANG-
UNDANG+PERKAWINAN+DAN+KOMPILASI+HUKUM+ISLAM&aqs=chrome..69i57.2172j0j8&sourceid
=chrome&ie=UTF-8
16. http://lib.ui.ac.id/file?file=digital/2016-11/20269939-T37300-Agatha%20Arumsari%20Dewi
%20Tjahjandari.pdf

Page 17 of 17

Anda mungkin juga menyukai