Anda di halaman 1dari 10

UNIVERSITAS INDONESIA

TUGAS

SOSIOLOGI HUKUM

MENGKRITISI PEMIKIRAN MONTESQUIEU

Disusun oleh:
Fadly Andrianto 1906409355

Fitria Longgom Siagian 1906409380

Jessica Kirana Budi 1906409512

Muhamad Reyhan Biiznillah 1906409701

PROGRAM PASCASARJANA

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS INDONESIA

JAKARTA

2019
Sejarah Pemikiran Montesquieu
Pioner Eropa menganggap hukum sebagai entitas absolut dan otonom, tidak terikat
dengan struktur dan fungsi masyarakat.

Gagasan yang dibahas adalah mengenai hukum alam:


1. Aristoteles menyatakan bahwa hukum alam memiliki validitas universal dan bebas
dari semua hasrat.
2. Thomas Aquinas menyatakan bahwa hukum alam adalah bagian dari kodrat manusia
dan melalui hukum alam manusia berpartisipasi sebagai makhluk rasional dalam hk
kekal Allah
3. Bellioti mengatakan bahwa hukum alam didasarkan pada asumsi bahwa kodrat
manusia dapat diketahui melalui akal dan bahwa pengetahuan ini dapat memberikan
dasar bagi tatanan sosial dan keberadaan manusia

Sebelum abad 19 hukum alam dianggap hukum yang paling adil sedangkan setelah
abad ke 19 gagasan tentang hukum alam sebagian besar digantikan oleh penafsiran historis
dan evolusioner yang menganggap hukum dan moral membentuk dua bidang yang cukup
terpisah.

Montesquie adalah seorang penulis yang paling berpengaruh terhadap absolutism


menantang asumsi mendasar dari hukum alam dengan menghadirkan konseptualisasi hukum
dan masyarakat yang sama berbeda. Montesquie menganggap hukum sebagai bagian integral
dari budaya masyarakat tertentu.

Dalam The Spirit of Laws (1886) adalah bahwa hukum hasil dari sejumlah faktor dalam
masyarakat seperti adat istiadat, lingkungan fisik, dan anteseden (hal ihwal yang terjadi
dahulu atau terutama tentang riwayat hidup atau masa lampau seseorang, atau ungkapan) dan
bahwa hukum hanya dapat dipahami dalam konteks masyarakat tertentu. Ia menyatakan
bahwa hukum itu relatif, tidak ada hukum yang baik atau buruk.
Setiap hukum harus dipertimbangkan sesuai dengan latar belakangnya, antesedenya dan
latar belakangnya, jika sesuai dengan hal yang dijelaskan diatas maka hukum itu baik jika
tidak maka itu buruk.

Dalam hal ini Monstesquie memberikan pemisahaan kekuasaan konstitusi yang dibagi
menjadi 3 (tiga) yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial, dan masing-masing kekuasaan berada
ditangan orang yang berbeda- beda, dimana peran legislatif untuk memberlakukan undang-
undang baru dan eksekutif untuk menegakkan dan mengelolah hukum serta menentukan
kebijakan dalam rangka hukum dan yang terakhir peradilan hanya untuk menafsirkan hukum
yang ditetapkan oleh kekuatan legislatif.1

Konsep Trias Politica Montesquieu

Sejarah konsep Trias Politica muncul sekitar tahun 1690 oleh John Locke dalam
bukunya yang terkenal yaitu “Two Treatises of Government”. John Locke dalam bukunya
menjelaskan bahwa fitrah dasar manusia adalah bekerja dan memiliki milik (property), oleh
karena itu negara yang baik harus dapat melindungi manusia yang bekerja dan juga
melindungi milik setiap orang yang diperoleh berdasarkan hasil pekerjaannya tersebut. Pada
masa itu kepemilikan setiap orang menjadi rentan jika dikaitkan dengan kepentingan raja.
Seringkali raja mengakuisisi barang-barang milik individu dengan dalih beraneka ragam.
Lalu Montesquieu pada saat Raja Louis XIV yang berkuasa di Prancis bertindak atas
kekuasaan tunggalnya dan secara sewenang-wenang maka Montesquieu mengembangkan
Teori John Locke dengan memisahkan kekuasaan menjadi tiga yaitu legislatif, eksekutif, dan
yudisial.2

Konsep Trias Politica merupakan ide pokok dalam Demokrasi Barat, yang mulai
berkembang di Eropa pada abad XVII dan XVIII . Trias Politika adalah anggapan bahwa
kekuasaan negara terdiri dari tiga macam kekuasaan. Pertama, kekuasaan legislatif atau
membuat undang-undang; kedua, kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-
undang; ketiga, kekuasaan yudisial atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-
undang.

1
Steven Vago and Steven E. Barkan, Law and Society, ed. 11 ( New York: Routledge, 2018), page. 37-38
2
https://www.kompasiana.com/babaenzo/54f7743fa3331150638b456f/trias-politica-tak-lagi-jadi-trending
topic, diakses tanggal 15 September 2019.
Trias Politica menganggap kekuasaan-kekuasaan ini sebaiknya tidak diserahkan kepada
orang yang sama untuk mencegah penyalahgunaan kekuasaan oleh pihak yang berkuasa.
Dengan demikian diharapkan hak-hak asasi warga negara dapat lebih terjamin. Konsep ini
pertama kali diperkenalkan dibukunya yang berjudul, L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws).
Sebelumnya konsep ini telah diperkenalkan oleh John Locke. Filsuf Inggris  mengemukakan
konsep tersebut dalam bukunya Two Treatises on Civil Government (1690), yang ditulisnya
sebagai kritik terhadap kekuasaan absolut raja-raja Stuart di Inggris serta untuk membenarkan
Revolusi Gemilang tahun 1688 (The Glorious Revolution of 1688) yang telah dimenangkan
oleh Parlemen Inggris.

Ide pemisahan kekuasaan tersebut, menurut Montesquieu, dimaksudkan untuk


memelihara kebebasan politik, yang tidak akan terwujud kecuali bila terdapat keamanan
masyarakat dalam negeri. Montesquieu menekankan bahwa seseorang akan cenderung untuk
mendominasi kekuasaan dan merusak keamanan masyarakat tersebut bila kekuasaan terpusat
pada tangannya. Oleh karenanya, dia berpendapat bahwa agar pemusatan kekuasaan tidak
terjadi, haruslah ada pemisahan kekuasaan yang akan mencegah adanya dominasi satu
kekuasaan terhadap kekuasaan lainnya.

Kritik:
Kelemahan Trias Politica
Trias Politica dalam praktiknya sulit untuk menerapkannya secara murni. Pemisahan
kekuasaan tersebut, menyebabkan masing-masing kekuasaan terpisah dengan tegas satu sama
lain. Oleh karenanya tidak ada pengawasan/kontrol terhadap masing-masing lembaga yang
melaksanakan kekuasaan tersebut. Tanpa adanya pengawasan ini dapat timbul suatu akses
bahwa ada kecenderungan lembaga ini akan melampaui batas kewenangannya. Pada negara-
negara hukum modern, alat-alat perlengkapan negara dapat saling mempengaruhi, saling
mengawasi, dan mempunyai susunan yang bersifat hirarkis.

Konsep Trias Politica tidak menjamin bahwa tidak akan ada kesewenangan kekuasaan
meskipun kekuasaan tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu eksekutif, legislatif, dan
yudisial. Montesquie tidak menjelaskan bagaimana pertanggungjawaban konsep Trias
Politica apabila timbul kesewenangan oleh salah satu dari ketiganya atau bahkan ketiganya.
Tidak menutup kemungkinan, dalam proses politik, ketiga kekuasaan tersebut dapat saling
mempengaruhi dan menciptakan permufakatan yang menguntungkan suatu pihak tertentu
sehingga menciptakan suatu ketidakadilan bagi rakyat. Apabila dalam suatu proses politik
ketiga kekuasaan tersebut saling bekerja sama dan menciptakan ketidakadilan bagi rakyat
maka bukan tidak mungkin akan terjadi kembali peristiwa Revolusi Prancis akibat
kesewenangan penguasa. Revolusi Prancis adalah konsekuensi logis dari ketidakmampuan
suatu pemerintahan dalam mengelola rakyatnya.

Prinsip Check and Balances dalam Trias Politica


Pembagian kekuasaan yang digagas oleh Montesquie yang sering disebut dengan Trias
Politica dianggap sudah tidak relevan lagi dimana tidak mungkin lagi mempertahankan
bahwa ketiga lembaga tersebut seperti legislatif, eksekutif dan yuridis hanya berurusan
dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Padahal tidak mungkin apabila
hubungan antar cabang tersebut tidak saling bersentuhan, dan dalam hal ini ketiga lembaga
tersebut bersifat sederajat dan saling mengendalikan satu sama lain. 3 Lalu ada beberapa
pandangan seperti John A. Garvey dan T. Alexander Aleinikof juga bahwa Trias Politica
tidak mungkin memisahkan cabang-cabang kekuasaan secara ketat tetapi mungkin apabila
memisahkan secara tegas fungsi setiap cabang kekuasan negara bukannya memisahkan secara
ketat seperti tidak punya hubungan sama sekali. Maka diperlukannya prinsip check and
balances.4 Adanya check and balances adalah untuk lebih menekankan kepada upaya
membangun mekanisme perimbangan untuk saling mengkontrol antar cabang kekuasaan.
Check and balances hanya dapat digunakan sepanjang ada pijakan konstitusional guna
mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan atas cabang-cabang kekuasaan negara
tersebut. Apabila Trias Politica digunakan oleh Indonesia tanpa adanya check and balances
maka aku terjadinya persaingan antar cabang-cabang kekuasaan tersebut yang merasa bahwa
dirinya berkuasa. Begitupun juga Amerika yang ingin menganut Trias Politica murni tetapi
masih saling mengawasi dan saling mengadakan perimbangan antar kekuasaan negara.

3
https://www.kompasiana.com/babaenzo/54f7743fa3331150638b456f/trias-politica-tak-lagi-jadi-trending-
topic, diakses tanggal 15 September 2019.
4
http://www.negarahukum.com/hukum/pemisahan-kekuasan-vs-pembagian-kekuasaan.html, diakses tanggal
15 September 2019.
Kritik atas Konsep Trias Politica Montesquieu

Jean Jacques Rousseau


Menurut Rousseau, suatu negara memiliki kekuasaan yang baik adalah yang mampu
mengutamakan the common good, Rousseau menempatkan individu-individu bebas ini selalu
mengutamakan kepentingan bersama, dan meminimalisasikan kepentingan partikular, dan ini
terlihat dalam pandangan Rousseau mengenai negara yang dipimpin oleh para magistrates,
yaitu individu-individu yang mengutamakan esensi kebaikan bersama, dan
meminimalisasikan kepentingan particular. Rousseau menyakini negara sebagai sistem yang
mengabdi kepada manusia, dan gagasan ini sejalan dengan pemikiran Plato yang melihat
negara sebagai sistem pelayanan masyarakat, sehingga negara secara langsung tidak memiliki
kedaulatannya sendiri. Negara yang baik adalah negara yang mampu berinteraksi secara
langsung dengan individu-individu bebas, dan negara berdiri sebagai pengabdi kepentingan
umum, bukan sebagai pengabdi kepentingan partikular. Agar negara dapat berjalan dengan
baik, maka negara perlu menjalin interaksi bebas dengan rakyatnya, dengan setiap individu
bertindak sebagai the law givers yang berdaulat. Law Givers ini harus senantiasa menyusun
aturan yang membela kepentingan bersama. Di dalam pandangan Rousseau, para law givers
ini saling bertemu untuk merumuskan esensi kebaikan umum, dan hasilnya adalah hukum
yang berlaku di suatu negara 5.

Menurut Rousseau negara tidak harus dibedakan menjadi 3 konsep kekuasaan tetapi
negara sebagai sistem kekuasaan harus mengabdi kepada manusia (rakyat) atau negara
sebagai pelayan masyarakat serta negara harus dapat berinteraksi langsung dengan individu-
individu, serta menurut Rousseau pembentukan hukum suatu negara tidak harus melalui suatu
badan (legislatif) yang bertindak sebagai perwakilan rakyat melainkan setiap individu
(rakyat) bertindah sebagai Law Givers untuk menyusun kebaikan umum yang membela
kepentingan Bersama, tetapi Rousseau tidak mengutarakan tentang bagaimana penegakan
hukum, Rousseau hanya memberikan gagasan tentang sistem kekuasaan eksekutif dan
legislatif.

5
Javier Aldama “Ethics and Politics at Jean Jacques Rousseau” Academia.edu (2000) hlm 24.
Immanuel Kant
Kritik terhadap konsep Montesquieu tentang pembentukan negara

Sebagaimana Immanuel Kant sebagai seorang sarjana hukum alam, maka ia menerima
pendapat bahwa negara itu terjadi karena perjanjian masyarakat, Tetapi meskipun demikian
ada perbedaanya, dan perbedaan itu bersifat prinsipil.

Montesquieu berpendapat bahwa perjanjian masyarakat itu sungguh-sungguh terjadi,


adanya itu merupakan suatu peristiwa di dalam sejarah, jadi apa yang disebut perjanjian
masyarakat itu memang ada. Sedangkan menurut Immanuel Kant, bahwa apa yang disebut
perjanjian masyarakat itu tidak pernah ada, tidak pernah terjadi, tidak pernah merupakan
kenyataan peristiwa di dalam sejarah. Bahwa kontruksi terjadinya negara yang demikian itu,
maksudnya negara itu terjadinya karena perjanjian masyarakat, perjanjian masyarakat itu
sesungguhnya hanyalah merupakan suatu kontruksi yuridis yang dapat menolong orang
dalam menerangkan bagaimana negara itu terjadinya, bagaimana negara itu ada, bagaimana
adanya kekuasaan dalam negara itu, dan ada pada siapa kekuasaan itu, serta bagaimana
sifatnya.

Berkaitan dengan pandangan diatas dalam hal ini Immanuel Kant berpendapat bahwa
konsepsi asal mula negara dan hukum (positif) berdasarkan perjanjian masyarakat adalah
sebagai berikut:
Mula-mula manusia hidup dengan manusia lain dalam suatu pergaulan yang sama sekali tidak
mengenal peraturan apapun juga. Dalam pergaulan manusia semacam ini dengan sendirinya
berlakulah kehendak dari yang paling kuat. Kehendak manusia dipimpin oleh keinginannya
untuk mempertahankan dirinya, manusia dalam kehidupannya dipimpin oleh perasaan
egoismenya dan apabila perasaan egoisme itu tidak dibatasi, maka timbullah suatu keadaan
peperangan antara orang satu melawan yang lain (sesuai dengan pendapat Hobbes)6.

Dalam suatu masyarakat yang tidak mengenal peraturan apapun juga, maka anggotanya
menjadi binatang buas yang saling membunuh, apabila yang satu berani masuk ke dalam

6
Jimly Asshiddiqie dan M.Ali Safa’at, Teori Hans Kelsen Tentang Hukum, cet.2 (Jakarta, Konstitusi Press
(Konpress, 2012), hlm .132.
lingkungan kepentingan lain. Agar dapat membatasi akibat perasaan egoisme, dan agar dapat
melahirkan suatu masyarakat yang damai dan tentram, maka manusia yang mempunyai rasio
bersama-sama mengadakan suatu perjanjian, di mana perjanjian ini menjadi dasar suatu
organisasi sosial, yaitu negara. Melihat paparan diatas dapat dijadikan kesimpulan yang
mendasar bahwa Immanuel Kant beranggapan bahwa ada yang disebut perjanjian masyarakat
itu tidak pernah ada, tidak pernah terjadi, tidak pernah merupakan kenyataan atau peristiwa
dalam sejarah. Berbeda dengan pendapat Thomas Hobebes, John Locke, dan J.J.Rousseau
yang berpendapat bahwa perjanjian masyarakat itu sungguh-sungguh terjadi, adanya itu
merupakan suatu peristiwa dalam sejarah jadi apa yang disebut perjanjian masyarakat itu
memang ada. Immanuel Kant beranggapan bahwa manusia itu berkumpul dalam suatu
lingkungan yang sama sekali tidak mengenal aturan. Kondisi itu tentunya membawa situasi
kearah yang kuat itu yang berkuasa sehingga di sanalah berlaku hukum rimba, sehingga
akhirnya yang lemah menjadi tersiksa oleh yang kuat. Dalam kondisi tersebut tentunya tidak
bisa dibiarkan begitu saja maka disanalah timbul apa yang dinamakan dengan perjanjian
masyarakat yang menjadi dasar suatu organisasi sosial yaitu negara. Namun dalam hal ini
merupakan atas kesepakatan manusia yang mempunyai rasio.

Pemahaman yang perlu digaris bawahi disini ialah pandangan Immanuel Kant dimana
Ia beranggapan tanpa adanya negara, manusia itu tidak dapat tunduk pada hukum-hukum
yang dikeluarkan dan negara itu adalah ikatan-ikatan manusia yang tunduk pada hukum
akibatnya tindakan negara tadi dibenarkan. Jelas bahwa Immanuel Kant tetap mengakui
bahwa dalam masyarakat itu diperlukan adanya aturan atau yang lebih dikenal dengan
sebutan hukum, dan dalam melaksanakan hukum tersebut masyarakat harus di bawah
naungan suatu organisasi sosial yaitu negara7.

Kesimpulan
Karya Montesquie yang paling terkenal adalah mengenai Konsep Trias Politica.
Monstesquie memberikan pemisahaan kekuasaan konstitusi yang dibagi menjadi 3 (tiga)
yaitu legislatif, eksekutif, dan yudisial, dan masing-masing kekuasaan berada ditangan orang
yang berbeda-beda.

7
Ibid, hlm.155.
Menurut Rousseau, negara tidak harus dibedakan menjadi 3 konsep kekuasaan tetapi
negara sebagai sistem kekuasaan harus mengabdi kepada manusia (rakyat) atau negara
sebagai pelayan masyarakat serta negara harus dapat berinteraksi langsung dengan individu-
individu, serta menurut Rousseau pembentukan hukum suatu negara tidak harus melalui suatu
badan (legislatif) yang bertindak sebagai perwakilan rakyat melainkan setiap individu
(rakyat) bertindak sebagai law giver untuk menyusun kebaikan umum yang membela
kepentingan bersama.

Menurut Immanuel Kant, bahwa apa yang disebut perjanjian masyarakat yang
dikemukakan juga oleh Montesquie itu tidak pernah ada, tidak pernah terjadi, tidak pernah
merupakan kenyataan peristiwa di dalam sejarah. Perjanjian masyarakat itu sesungguhnya
hanyalah merupakan suatu kontruksi yuridis yang dapat menolong orang dalam menerangkan
bagaimana negara itu terjadinya, bagaimana negara itu ada, bagaimana adanya kekuasaan
dalam negara itu, dan ada pada siapa kekuasaan itu, serta bagaimana sifatnya.

Pembagian kekuasaan yang dilakukan oleh Montesquie yang disebut dengan Trias
Politica dianggap sudah tidak relevan lagi di mana tidak mungkin lagi mempertahankan
ketiga lembaga tersebut seperti legislatif, eksekutif, dan yudisial yang hanya berurusan
dengan salah satu dari ketiga fungsi kekuasaan tersebut. Trias Politica dalam praktiknya sulit
untuk menerapkannya secara murni. Pemisahan kekuasaan tersebut, menyebabkan masing-
masing kekuasaan terpisah dengan tegas satu sama lain. Oleh karenanya tidak ada
pengawasan/kontrol terhadap masing-masing lembaga yang melaksanakan kekuasaan
tersebut. Tanpa adanya pengawasan ini dapat timbul suatu akses bahwa ada kecenderungan
lembaga ini akan melampaui batas kewenangannya. Pada negara-negara hukum modern, alat-
alat perlengkapan negara dapat saling mempengaruhi, saling mengawasi, dan mempunyai
susunan yang bersifat hirarkis.

Maka diperlukannya prinsip check and balances. Adanya check and balances di sini
adalah untuk lebih menekankan kepada upaya membangun mekanisme perimbangan untuk
saling mengontrol antar cabang kekuasaan. Check and balances hanya dapat digunakan
sepanjang ada pijakan konstitusional guna mencegah terjadinya penyalahgunaan kekuasaan
atas cabang-cabang kekuasaan negara tersebut.
DAFTAR PUSTAKA

BUKU
Vago, Steven and Steven E. Barkan, Law and Society, ed. 11 New York: Routledge, 2018.

JURNAL
Daya Negri Wijaya, Montesquieu dan Makna Sebuah Keadilan, Jurnal Ilmiah Pendidikan
Pancasila dan Kewarganegaraan, Universitas Negeri Malang, Th. 1, Nomor 2,
Desember 2016.

INTERNET
https://www.kompasiana.com/babaenzo/54f7743fa3331150638b456f/trias-politica-tak-lagi-
jadi-trending-topic, diakses tanggal 15 September 2019.

http://www.negarahukum.com/hukum/pemisahan-kekuasan-vs-pembagian-kekuasaan.html,
diakses tanggal 15 September 2019.

Anda mungkin juga menyukai