LATAR BELAKANG...........................................................................................................................2
A. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Beda Agama.....................................................................3
B. Tinjauan Yuridis Tentang Perkawinan Beda Agama.....................................................................6
1. Keabsahan Perkawinan............................................................................................................10
2. Pencatatan Perkawinan............................................................................................................10
3. Status Anak..............................................................................................................................11
KESIMPULAN...................................................................................................................................12
1
LATAR BELAKANG
Pernikahan merupakan hubungan antara laki-laki dengan wanita yang harus
memperhatikan unsur internal dan eksternal. Salah sat unsur internal yang sangat ditekankan
di dalam setiap praktek perkawinan adalah kesiapan masing-masing calon pasangan
pengantin baik fisik maupun mental untuk menjalani biduk rumah tangga ke depan. Oleh
karenanya di negara Indonesia, untuk menunjukkan kesiapan tersebut, hukum
mengaharuskan adanya batasan umur minimal dalam melaksanakan pernikahan bagi setiap
pasangan pengantin.
Sementara mereka yang menolak beranggapan bahwa perkawinan beda agama lebih
banyak keburukan ketimbang kebaikannya. Bahkan hampir dipastikan para pasangan beda
agama tersebut akan lebih banyak direpotkan dengan urusannya daripada menjalani hidup
bersama pasangannya.
Pernikahan beda agama memang bukan hal baru. Walau bukan hal baru bukan berarti
masalah ini mudah diselesaikan. Solusi yang umunya di tempuh banyak pasangan memilih
jalan pura-pura pindah ke agama lain sebagai upaya “cari selamat” memuluskan jalan
perkawinan mereka. Sedangkan bagi yang tetap teguh memegang keyakinan harus siap
“berjibaku” dengan berbagai pihak, keluarga serta kerabat pasangan dan segala aturan
birokrasi pemerintah atau tokoh-tokoh agama yang mengatur perkawinan.
2
A. Pandangan Islam Tentang Perkawinan Beda Agama
Peristiwa perkawinan merupakan salah satu tahapan yang dianggap penting
dalam kehidupan manusia dan telah dijalani selama berabad-abad pada suatu
kebudayaan dan komunitas agama. Sebagian orang menganggapnya sebagai
peristiwa sakral , sebagaimana peristiwa kelahiran dan kematian yang diusahakan
hanya terjadi sekali seumur hidup. Sedemikian pentingnya perkawinan hampir
semua agama memiliki pengaturannya secara terperinci yang terbentuk dalam aturan
dan persyaratan-persyaratan perkawinan, adat-istiadat dan berbagai ritualnya,
termasuk di antaranya pengaturan perkawinan antar agama .
Namun melalui dasar normatif di atas, yang menjadi persoalan adalah siapak
musyrikin dan siapakah ahli kitab ? Tampaknya para ulama sangat bervariasi dan
3
tidak ada kata sepakat (ijma’) dalam menetapkan kedua istilah tersebut. Ada yang
memasukkan istilah ahli kitab ke dalam kategori musyrik , dan ada pula yang
membedakkan keduanya secara tegas. Ibn Umar misalnya, ia menganut yang pertama,
sebagaimana ditegaskan; “saya tidak melihat syirik yang lebih berat dari perkataan
wanita itu bahwa tuhannya Isa”1
Lebih tegas lagi , Rasyid Ridha dengan mendasarkan pada ayat 24 surat Fatir ,
ayat 7 surat al-Ra’ad, ayat 16 surat al-Hadid dan 78 surah al-Mukmin, ia menganggap
bahwa majusi ( penyembahan api ) Shabi’in ( Penyembelih binatang )sebenarnya
mereka dulunya mempunyai kitab dan nabi, namun karena masanya sudah terlalu
lama dan jarak yang terlalu jauh dengan nabi maka kitab yang asli tidak dapat
diketahui. Pendapat inilah yang dijadikan ketentuan oleh negara Pakistan. Di samping
itu, ada pendapat lain dari ulama Syafi’iyah yang menegaskan bahwa yang dimaksud
ahli kitab yang halal dinikahi adalah mereka yang memeluk agama nenek moyangnya
sebelum Nabi Muhammad diutus dan setelah itu tidak dapat dikatakan lagi ahli kitab.3
1
Muhammad Ali Al-Sabuni, Tafsir Ayat Ahkam , ( Makkah; Dar al-Qur’an, 1972 ) hlm. 536
2
Ahmad Rajafi, Nalar Hukum Keluarga Islam Indonesia, ( Yogyakarta:Istana Publishing, 2015), Hlm.
186
3
Ibid, hlm. 187
4
1. Golongan yang tidak berkitab samawi atau semacam kitab samawi , mereka
adalah penyembah berhala.
2. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi , mereka adalah orang-orang
majusi (penyembah api) dan golongan shabi’in (penyembah binatang).
3. Golongan yang mengimani kitab sucinya sebagai kitab samawi , mereka adalah
Yahudi dan Nasrani4
Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi membaginya menjadi lima kategori, yaitu;
musyrik, mulhid, baha’i, dan ahli kitab. Golongan pertama dan kedua al-Jaziri adalah
termasuk musyrik sedang muhlid, murtad dan baha’i oleh Yusuf al-Qaradhawi
digolongkan musyrik. Dalam hal larangan pernikahan antara orang muslim dengan
musyrik para ulama sepakat tentang keharamannya, hal ini memang secara tegas
dinyatakan dalam al-Qur’an. Namun dalam hal pernikahan antara seorang pria muslim
dengan wanita ahli kitab, dengan pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria
ahli kitab menjadi perdebatan.
Adapun mengenai status ahli kitab , M.Quraish Shihab melalui penelitiannya
yang mendalam menjelaskan, bahwa kata ahl al-kitab terulang di dalam al-Qur’an
sebanyak tiga puluh satu kali, utu al-kitab delapan belas kali, utu nashiban min al-
kitab , al-Yahud delapan kali, alladzina hadu sepuluh kali al-Nashara empat belas
kali, dan banil banu Isra’il empat puluh satu kali5. Dan menurut beliau, al-Qur’an
telah membedakan antara ahl al-Kitab dengan kaum musyrik , sebagaimana firman
Allah SWT;
“Orang-orang kafir yakni ahli kitab dan orang-orang musyrik (mengatakan bahwa
mereka ) tidak akan meninggalkan (agamanya) sebelum datang kepada mereka bukti
yang nyata” (Q.S. Al-Bayyinah; 1 )
M Quraish Shihab menjelaskan bahwa perbedaan itu dapat difahami dari huruf
waw pada ayat itu yang berarti dan . Huruf ini dari segi bahasa digunakan untuk
menghimpun dua hal yang berbeda. Dengan demikian menurut beliau, yang dilarang
mengawinkannya dengan wanita muslimah adalah pria musyrik, sedang yang
dibenarkan oleh ayat lima surat al-Maidah adalah mengawini wanita ahli kitab 6.
4
Ahmad Rajafi, Nalar Hukum Keluarga Islam Indonesia, ( Yogyakarta:Istana Publishing, 2015), Hlm.
187
5
Muhammad Quraish Shihab, Wawasan Al-Qur’an, (Bandung; Mizan, 2007) hlm. 348
6
Ibid, hlm. 355
5
Adapun jika dilihat secara tekstual normatif yuridish Islam yakni Qur’an surat
al-Maidah ayat 5 maka tidak ada perdebatan bahwa haram hukumnya nikah seorang
muslim dan pria non muslim karena objek langsung ayat tersebut adalah wanita-
wanita yang akan dinikahi oleh pria, dan hikmah terdalamnya adalah agar terhindar
dari perzinahan dan bkan untuk nafsu mengumpulkan wanita sebagai gundik semata.
Jika mayoritas ulama membolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab .
maka dalam kasus wanita muslimah dinikahi oleh pria ahli kitab dan umumnya non
musli, mereka sepakat mengaharamkannya. Di dalam ayat 5 al-Maidah di atas
(menurutnya), Allah hanya menegaskan “Makananmu halal bagi mereka” dan tidak
ditegaskannya “wanita-wanitamu halal bagi mereka” . Penegasan teks tersebut,
sebagaimana dijelaskan oleh al-Shabuni, dapat dijadikan indikator bahwa hukum
kedua kasus itu tidak sama. Artinya, dalam makanan mereka boleh saling memberi
dan menerimaa serta masing-masing boleh menekan dari keduanya. Namun dalam
kasus menikahi wanita – wanita muslimah dengan non muslim lebih urgen ketimbang
dengan masalah “makan” serta memberikan dampak yang lebih luas, sehingga tidak
ada hubungan antara keduanya7.
6
Terdapat perbedaan pengertian yang mendasar antara perkawinan campuran
sebagaimana dimaksudkan perundang-undangan sebelum tahun 1974, dan setelah
diberlakukannya UU No 1 Tahun 1974 tentang perkawinan . Namun demikian, perlu
diketahui terlebih dahulu, bahwa tedapat perbedaan mendasar antara keberadaan
Hindia belanda dan negara Republik Indonesia. Wilayah yang sekarang disebut
negara Republik Indonesia, sebelum proklamasi kemerdekaan merupakan negara
kolonial belanda dan tidak dapat disebut sebagai negara, dan tidak memiliki
warganegara, maka politik hukum kolinial Belanda mengaturnya dalam bentuk
golongan penduduk.
Terhadap pasal 1 ada tiga pandangan dari para ahli hukum mengenai
perkawinan antara agama, sebagaimana diungkapkan oleh Sudargo Gautama sebagai
berikut;
9
Wardah Nuroniyah, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Yogyakarta; Teras, 2011 ), hlm. 408
7
pencatatan sipil hanya merupakan pemenuhan prosedur administrasi belaka.
Kenyataan tersebut telah menimbulkan kerancuan yang mendasar, karena ketika
sebelum UU No 1 Tahun 1974 adanya perkawinan beda agama masih dapat diadopsi
melalui peraturan perkawinan campuran, maka berdasarkan UU No 1 Tahun 1974
sama sekali tidak dijelaskan.
Dikalangan para ahli dan praktisi hukum dijumpai adanya tiga paham yang
berbeda dalam memandang Undang-Undang perkawinan bila dihubungkan dengan
perkawinan beda agama.
10
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No 1/1974, (Jakarta; Tintamas, 1986)
hlm. 2
11
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: Shantika Dharma, 1948),
hlm. 17
8
2. Berpendapat bahwa perkawinan antar agama adalah sah dan dapat
dilangsungkan, karena telah tercakup dalam perkawinan campuran.
Menurut pendukung paham ini, pasal 57 yang mengatur tentang
perkawinan campuran menitikberatkan pada dua orang indonesia tunduk
pada hukum yang berlainan. Karena itu pasal ini tidak saja mengatur
perkawinan antara dua orang yang berbeda kewarganegaraan, tetapi juga
antara dua orang yang berbeda agama . Dan untuk pelaksanaanya
dilakukan menurut tata caa yang diatur oleh pasal 6 peraturan perkawinan
campuran (GHR).
3. Berpendapat bahwa perkawinan antar agama sama sekali tidak di atur
dalam UU No 1/1974. Oleh karena itu dengan merujuk pasal 66 UUP No
1/1974 mereka menganggap sepanjang UU ini belum mengaturnya, maka
peraturan-peraturan lama dapat di berlakukan12
Pada dasarnya apabila diteliti secara cermat, pasal-pasal dan penjelasan-
penjelasan dalam UUP No 1/1974 serta peraturan pelaksanaannya, maka tidak akan
ditemui ketentuan-ketentuan yang mengatur secara tegas mengenai masalah
perkawinan beda agama.
Pasal 2 ayat (1) menyatakan bahwa perkawinan adalah sah, apabila dilakukan
menurut masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu. Hal ini berarti UU
menyerahkan kepada masing-masing agama untuk menentukan cara-cara dan syarat-
syarat pelaksanaan perkawinan tersebut, disamping cara-cara dan syarat-syarat yang
telah ditetapkan oleh Negara.
Pasal 8 (f) UU No 1./1974 menyatakan “perkawinan di larang antara dua
orang yang mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang
berlaku dilarang kawin “ . Dari ketentuan ini dapat ditarik kesimpulan bahwa
disamping ada larangan-larangan yang secara tegas disebutkan di dalam UUP No
1./1974 dan peraturan lainnya, juga ada larangan-larangan yang bersumber dari
masing-masing agamanya. Oleh karena itu apabila di dalam UUP No 1./1974 dan
peraturan lainnya tidak terdapat adanya larangan terhadap perkawinan antar agama,
maka yang menntukan ada dan tidaknya larangan terhadap perkawinan antar agama
tersebut adalah hukum agama itu sendiri.
12
Hazairin, Tinjauan Mengenai Undang-Undang Perkawinan No 1/1974, (Jakarta; Tintamas, 1986)
hlm. 6
9
Adapun agama-agama yang diakui di Indonesia mempunyai pandangan:
1. Dalam agama Islam terdapat perbedaan pendapat mengenai hukum kawin beda
agama, tetapi khususnya di Indonesia terlihat lebih mengikuti pendapat yang
melarang kawin beda agama. Hal ini dapat dilihat dalam KHI pasal 40 (c) dan
juga Fatwa MUI No.4/MUNAS VII/MUI/8/2005 tentang keharaman perkawinan
beda agama.
2. Agama Katolik pada prinsipnya melarang dilakukannya perkawinan beda agama,
kecuali dalam hal-hal tertentu Uskup dapat memberikan dispensasi untuk
melakukan perkawinan beda agama.
3. Agama Protestan membolehkan dilakukannya perkawinan beda agama, dengan
syarat bahwa pihak yang bukan protestan harus membuat surat pernyataan tidak
berkeberatan perkawinannya dilangsungkan di gereja protestan.
4. Agama Hindu dan Budha melarang dilakukannya perkawinan beda agama13.
1. Keabsahan Perkawinan
Mengenai sahnya perkawinan yang dilakukan sesuai agama dan
kepercayaannya yang diatur dalam pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan. Hal ini
berarti UU Perkawinan menyerahkan keputusannya sesuai dengan ajaran dari
agama masing-masing. Namun , permasalahannya apakah agama yang dianut
oleh masing-masing pihak tersebut membolehkan untuk dilakukannya
perkawinan beda agama. Misalnya dalam ajaran Islam wanita tidak boleh
menikah dengan laki-laki yang tidak beragama Islam (Q.S.Al-Baqarah:221) .
selain itu juga dalam ajaran Kristen perkawinan beda agama dilarang ( I
Korintus 6: 14-18 ).
2. Pencatatan Perkawinan
Apabila perkawinan beda agama tersebut dilakukan oleh orang yang
beragama Islam dan Kristen, maka terjadi permasalahn mengenai pencatatan
perkawinan apakah di Kantor Urusan Agama atau di Kantor Catatan Sipil
karena ketentuan pencatatan perkawinan untuk agama Islam berbeda. Apabila
13
Rusli dan R. Tama, Perkawinan Antar Agama dan Masalahnya, (Bandung: Shantika Dharma, 1948),
hlm. 20
10
ternyata pencatatan beda agama akan dilakukan di kantor Catatan Sipil, maka
akan dilakukan pemeriksaan terlebih dahulu , apakah perkawinan beda agama
dilangsungkan tersebut memenuhi ketentuan dalam pasal 2 UU Perkawinan
tentang syarat sahnya suatu perkawinan. Apabila pegawai pencatat
perkawinan berpendapat bahwa terhadap perkawinan tersebut ada larangan
menurut UU Perkawinan maka ia dapat menolak untuk melakukan pencatatan
perkawinan ( Pasal 21 ayat (1) UU Perkawinan ).
3. Status Anak
Apabila pencatatan perkawinan pasangan beda agama tersebut ditolak,
maka hal itu juga akan memiliki akibat hukum terhadap status anak yang
terlahir dalam perkawinan. Menurut ketentuan pasal 42 UU Perkawinan, anak
yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan
yang sah. Oleh karena tidak dilakukannya pencatatan perkawinan , maka
menurut hukum anak tersebut bukanlah anak yang sah.
Kemudian menurut al-Qur’an surat al-Baqarah (2) : 221, seorang wanita
muslim tidak diperbolehkan menikah dengan pria bukan muslim. Sehingga
dapat disimpulkan bahwa baik secara hukum agama dan keyakinan masing-
masing, perkawinan antara seorang perempuan muslim dengan pria bukan
muslim tidak dapat dilaksanakan.
Jadi, anak yang dilahirkan dari perkawinan yang sah dilakukan di Kantor
Urusan Agama maupun Kantor Catatan Sipil , maka kedudukan anak tersebut
adalah anak yang sah di mata hukum dan memiliki hak dan kewajiban anak
dan orangtua seperti tertuang dalam Pasal 45 s.d Pasal 49 UU Perkawinan.
Selain itu, orang tua yang berbeda agama juga perlu memperhatikan
ketentuan Pasal 42 UU No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak
( UUPA ) yang berbunyi sebagai berikut;
1. Setia anak mendapat perlindungan untuk beribadah menurut
agamanya.
2. Sebelum anak dapat menentukan pilihannya, agama yang di peluk
anak mengikuti agama orangtuannya.
Di dalam penjelasan Pasal 42 ayat (2) UUPA diterangkan bahwa anak
dapat menentukan agama pilihannya apabila anak tersebut telah berakal dan
11
bertanggung jawab, serta memenuhi syarat dan tata cara sesuai dengan
ketentuan agama yang dipilihnya, dan ketentuan peraturan perundang-
undangan yang berlaku.
12
KESIMPULAN
Bahwa berdasarkan apa yang sudah kita bahas sebelumnya, dalam agama apapun
tidak ada yang memperbolehkan akan adanya perkawinan beda agama . Begitupun ketika kita
melihat peraturan Undang-undang No 1 tahun 1974 bahwa segala aturan mengenai boleh dan
tidaknya perkawinan beda agama adalah kembali pada aturan agamanya masing-masing .
Adapun istilah perkawinan campuran itu dimaksudkan dalan konteks berbeda
kewarganegaraan bukan perbedaan agama .
13