Anda di halaman 1dari 4

Siapa Sebenarnya Ahli kitab ?. .

Istilah Ahlul Kitab berasal dari dua kata bahasa Arab yang tersusun dalam
bentuk Idhafah yaitu ahlu dan Al-kitab. Ahlu berarti pemilik , ahli, sedangkan Al-
kitab berarti kitab suci. Jadi, Ahlul Kitab berarti, “Pemilik Kitab Suci”, yakni para
umat nabi yang diturunkan kepada mereka kitab suci (wahyu Allah).
Dalam hal ini Imam Syafi’i (w. 204 H) menegaskan bahwa yang dimaksud Ahlul
Kitab hanya terbatas pada dua golongan saja, yaitu golongan Yahudi dan Nasrani dari
Bani Israel. Sedangkan diluar Bani Israel, sekalipun beragama Yahudi atau Nasrani,
menurut Imam Syafi’i, tidak termasuk Ahlul Kitab.
Imam Syafi’i berargumen bahwa Nabi Musa a.s dan Isa a.s hanya diutus untuk
kaumnya, yaitu Bani Israel (hal ini menunjukkan bahwa objek seruan Nabi Musa a.s
dan Nabi Isa a.s yang diutus hanya Bani Israel)1.
Hal itu sebagaimana ditegaskan oleh firman Allah: “(Kami turunkan Al-Qur’an
ini) agar kamu (tidak) mengatakan bahwa, ‘Kitab itu hanya diturunkan kepada dua
golongan saja sebelum kami. dan sesungguhnya kami tidak memperhatikan apa yang
mereka baca.” (QS Al-An’am [6]: 156).
Dalam perkembangannya, sebagian kalangan mengembangkan pengertian Ahlul
Kitab hingga semakin jauh dari apa yang telah dikaji oleh para ulama di masa lalu.
Kata mereka, Ahlul Kitab dapat mencakup semua agama yang memiliki kitab suci;
atau umat agama-agama besar dan agama kuno yang masih eksis sampai sekarang;
seperti golongan Yahudi, Nasrani, Zoroaster; Yahudi, Nasrani, Majusi, Shabi’un,
Hindu, Budha, Konghucu, dan Shinto. (Lihat, misalnya, Nurcholish Madjid, Islam
Doktrin dan Peradaban, (1992), dan Huston Smith, kata pengantar dalam Frithjof
Schuon, The Trancendent Unity of Religions, (1984)).
Klaim ini disandarkan atas argumen bahwa setiap kaum telah diutus bagi mereka
nabi-nabi yang membawa risalah tauhid; umat-umat terdahulu berasal dari satu
kesatuan kenabian; setiap kaum memiliki sirath, sabil, syari’ah, thariqoh, minhaj,
mansakhnya masing-masing. Sebagian kalangan menarik kesimpulan lebih jauh lagi:
karena penganut semua agama dianggap sebagai Ahlul Kitab, maka tidak ada bedanya
antara Islam dengan agama-agama yang lain. Bahkan, semuanya akan selamat di
akhirat kelak.

1
(Tafsir Imam Syafi’i , vol. II,hlm. 56 )
Pandangan-pandangan semacam ini jelas bertentangan dengan pandangan para
mufassir di masa lalu dalam tradisi intelektual Islam. Sebagai contoh al-Thabary (w.
310 H), al-Qurthuby (w. 671 H), dan Ibn Katsir (w. 774 H) mengatakan bahwa term
Ahli Kitab tertuju kepada komunitas Yahudi dan Nasrani. (Al-Thabari, Tafsir al-
Thabari, juz. 5, (Kairo: Hajar, cet. I, 2001). Juga: al-Qurthuby, al-Jami’ li al-Ahkam
al-Qur’an, jil. II, (Beirut: Muassasah al-Risalah: cet. I, 2006), Ibn Katsir, Tafsir al-
Qur’an al-‘Adzim, jil. II, (Giza: Mu’assasah Qordhoba-Maktabah Aulad al-Syaikh li
al-Turats, cet. I, 2000)).
Lebih khusus lagi, Imam al-Syafi’i (w. 204 H) berpendapat bahwa yang termasuk
Ahli Kitab hanyalah pengikut Yahudi dan Nasrani dari Bani Israil saja. (Muhammad
ibn Idris al-Syafi’i, Al-Umm, jil. 6, diedit oleh Rif’at Fauzi ‘Abd al-Mathlab,
(T.Tmpt: Dar al-Wafa’, cet. I, 2001).
Menurut pendapat saya, masalah perbedaan penafsiran tentang ahli kitab ini
haruslah kita lebih merujuk kepada penafsiran para mufassir di zaman dahulu, karena
zaman merekalah yang lebih dekat dengan zaman Rasulullah , apalagi para ahli kitab
( Yahudi dan Nasrani) pada masa itu menurut pendapat saya yang saya pahami sama
dengan masa sekarang ini karena pada zaman rasulullah para ahli kitab telah
menyelewengkan isi dari injil maupun taurat pada masa perjanjian nikea sebelum al-
qur’an diturunkan.

Pernikahan Dengan Ahli kitab.

Kehalalan laki-laki muslim menikahi wanita ahli kitab itu bukan hal yang
mengada-ada, melainkan kesimpulan hukum yang dikemukakan oleh para ulama
besar. Bahkan para pendiri mazhab yang empat itu sepakat membenarkannya. Salah
besar bila di tuduhkan bahwa kebolehan itu dikatakan sebagai pemikiran keliru atau
mengada-ada, justru kitab-kitab fiqih yang muktamad dan menjadi rujukan para ulama
memang menuliskannya dengan tegas tentang kebolehan laki-laki muslim menikahi
wanita ahli kitab. Bahkan Al-qur’an Al-karim pun secara tegas membolehkannya.
Pada hari ini dihalalkan bagimu yang baik-baik. Makanan orang-orang yang diberi
Al-kitab itu halal bagimu, dan makanan kamu halal bagi mereka.Wanita yang
menjaga kehormatan diantara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang
menjaga kehormatan diantara orang-orang yang diberi Al-kitab sebelum kamu, bila
kamu telah membayar mas kawin mereka dengan maksud menikahinya, tidak dengan
maksud berzina dan tidak mejadikannya gundik-gundik. Barang siapa yang kafir
sesudah beriman maka hapuslah amalannya dan ia di hari kiamat termasuk orang-
orang merugi. (QS. Al-Maidah : 5 ).
Tetapi walaupun di sebutkan hukumnya halal, tidak berarti harus melakukannya.
Karena halal itu hanya sekedar boleh dan sebuah keharusan. Dan di balik kehalalan
hukumnya, tetap saja ada pertimbangan-pertimbangan taktis dan strategis yang juga
perlu diperhitungkan. Di situ para ulama dan pemimpin islam punya hak untuk
membuat kebijakan-kebijakan yang populis dan produktif. Dan Sayyid Sabiq
berpendapat hukumnya lebih pada makruh dan lebih baik di tinggalkan. Kecuali
apabila ada alasan syar’i yang menjadi ruhshah untuk melakukannya , semisal ada
masalah politis yang bisa membawa kemaslahatan atau dengan tujuan
mengislamkannya itupun tidak dilakukan oleh sembarang orang 2.

Menurut pendapat saya lebih baik laki-laki muslim itu menikahi wanita muslim
yang sudah jelas agama dan aqidahnya sama. Dan boleh atau tidaknya saya
menganggap itu halal karena al-qur’an pun telah menjelaskannnya, tetapi saya
berpendapat seorang laki-laki muslim boleh menikahi wanita para ahli jika kitab yang
di pegangnya tersebut atau yang diyakininya tersebut merupakan benar injil yang asli.
Dan yang menjadi pertanyaan apakah ada wanita ahli kitab yang meyakini kitab injil
yang benar ( yang persis sama ketika diturunkan kepada nabi isa) ?

Wallahu a'lam bishshawab..

Kalau seandainya seorang pria ahli kitab menikahi wanita muslim itu hukumnya
haram, karena tidak ada di dalam al-qur’an menjelaskan bolehnya menikah dengan
pria ahli kitab, dan Allah menegaskan dalam firmannya :

(…..”Dan janganlah kamu menikahkan orang-orang musyrik ( dengan wanita-wanita


mukmin) sebelum mereka beriman”....) ( Al-Baqarah, 2:221).

Dan menurut pendapat saya kenapa wanita muslim di haramkan untuk menikah
dengan laki-laki ahli kitab maupun non muslim karena di takutkan wanita tersebut
akan menjadi murtad.

2
Sayyid Sabbiq, Fiqih Sunnah

Anda mungkin juga menyukai