Anda di halaman 1dari 17

KISAH BUNG TOMO DALAM PERJUANGANNYA

Peristiwa 10 November merupakan peristiwa sejarah perang antara Indonesia dan Belanda. Pada 1
Maret 1942, tentara Jepang mendarat di Pulau Jawa, dan tujuh hari kemudian, tepatnya, 8 Maret,
pemerintah kolonial Belanda menyerah tanpa syarat kepada Jepang. Sejak itu, Indonesia diduduki
oleh Jepang.

Tiga tahun kemudian, Jepang menyerah tanpa syarat kepada sekutu setelah dijatuhkannya bom atom
(oleh Amerika Serikat) di Hiroshima dan Nagasaki. Peristiwa itu terjadi pada Agustus 1945. Mengisi
kekosongan tersebut, Indonesia kemudian memproklamirkan kemerdekaannya pada 17 Agustus 1945.
Sebelum dilucuti oleh sekutu, rakyat dan para pejuang Indonesia berupaya melucuti senjata para
tentara Jepang. Maka timbullah pertempuran-pertempuran yang memakan korban di banyak daerah.
Ketika gerakan untuk melucuti pasukan Jepang sedang berkobar, tanggal 15 September 1945, tentara
Inggris mendarat di Jakarta, kemudian mendarat di Surabaya pada 25 Oktober. Tentara Inggris
didatangkan ke Indonesia atas keputusan dan atas nama Sekutu, dengan tugas untuk melucuti
tentara Jepang, membebaskan para tawanan yang ditahan Jepang, serta memulangkan tentara
Jepang ke negerinya. Tetapi, selain itu, tentara Inggris juga membawa misi mengembalikan Indonesia
kepada pemerintah Belanda sebagai jajahannya.NICA (Netherlands Indies Civil Administration) pun
membonceng. Itulah yang meledakkan kemarahan rakyat Indonesia di mana-mana.

Di Surabaya, dikibarkannya bendera Belanda, Merah-Putih-Biru, di Hotel Yamato, telah melahirkan
Insiden Tunjungan, yang menyulut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan
Inggris dengan badan-badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat. Bentrokan-bentrokan bersenjata
dengan tentara Inggris di Surabaya, memuncak dengan terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby,
(pimpinan tentara Inggris untuk Jawa Timur), pada 30 Oktober.

Setelah terbunuhnya Brigadir Jenderal Mallaby, penggantinya (Mayor Jenderal Mansergh)
mengeluarkan ultimatum yang merupakan penghinaan bagi para pejuang dan rakyat umumnya.
Dalam ultimatum itu disebutkan bahwa semua pimpinan dan orang Indonesia yang bersenjata harus
melapor dan meletakkan senjatanya di tempat yang ditentukan dan menyerahkan diri dengan
mengangkat tangan di atas. Batas ultimatum adalah jam 6.00 pagi tanggal 10 November 1945.

Ultimatum tersebut ditolak oleh Indonesia. Sebab, Republik Indonesia waktu itu sudah berdiri
(walaupun baru saja diproklamasikan), dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) sebagai alat negara juga
telah dibentuk.

Selain itu, banyak sekali organisasi perjuangan yang telah dibentuk masyarakat, termasuk di
kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai
manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan
Jepang, dan untuk menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda (yang memboncengi
kehadiran tentara Inggris di Indonesia).

Pada 10 November pagi, tentara Inggris mulai melancarkan serangan besar-besaran dan dahsyat
sekali, dengan mengerahkan sekitar 30 000 serdadu, 50 pesawat terbang, dan sejumlah besar kapal
perang.

Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka.
Tetapi, perlawanan pejuang-pejuang juga berkobar di seluruh kota, dengan bantuan yang aktif dari
pendudukBerbagai bagian kota Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabi-buta dengan
meriam dari laut.

Pihak Inggris menduga bahwa perlawanan rakyat Indonesia di Surabaya bisa ditaklukkan dalam
tempo 3 hari saja, dengan mengerahkan persenjataan modern yang lengkap, termasuk pesawat
terbang, kapal perang, tank, dan kendaraan lapis baja yang cukup banyak.

Namun di luar dugaan, ternyata para tokoh-tokoh masyarakat yang terdiri dari kalangan ulama' serta
kiyai-kiyai pondok jawa seperti KH. Hasyim Asy'ari, KH. Wahab Hasbullah serta kiyai-kiyai pesantren
lainnya mengerahkan santri-santri mereka dan masyarakat umum (pada waktu itu masyarakat tidak
begitu patuh kepada pemerintahan tetapi mereka lebih patuh dan taat kepada para kiyai)juga ada
pelopor muda seperti bung tomo dan lainnya. sehingga perlawanan itu bisa bertahan lama,
berlangsung dari hari ke hari, dan dari minggu ke minggu lainnya. Perlawanan rakyat yang pada
awalnya dilakukan secara spontan dan tidak terkoordinasi, makin hari makin teratur. Pertempuran
besar-besaran ini memakan waktu sampai sebulan, sebelum seluruh kota jatuh di tangan pihak
Inggris.

Peristiwa berdarah di Surabaya ketika itu juga telah menggerakkan perlawanan rakyat di seluruh
Indonesia untuk mengusir penjajah dan mempertahankan kemerdekaan. Banyaknya pejuang yang
gugur dan rakyat yang menjadi korban ketika itulah yang kemudian dikenang sebagai Hari Pahlawan.



















Pangeran Antasari Ahli Strategi Grilya
Pahlawan Nasional asal Kalsel, Pangeran Antasari.
Pangeran Antasari dikenal sebagai pejuang kemerdekaan yang sangat gigih melawan penjajah
Belanda, kata Bupati Batiola H Hasanuddin Murad.
Selain itu, kata bupati pada peringatan ke 148 tahun wafatnya Pahlawan Nasional Antasari, dia
juga dikenal pribadi yang besar dan seorang ahli strategi perang grilya yang mampu memimpin
dan menggerakan para pengikutnya dalam mencapai tujuan bersama.
Kunci keberhasilan perjuangan pada waktu itu tidak lain dari semangat heroisme dan patriotisme
rela berkorban serta keikhlasan yang jauh dari pamrih yang dimiliki oleh para pejuang, tutur
Hasanuddin Murad.
Suatu semangat yang saat ini sedang mengalami erosi dan terdegradasi oleh pola kepentingan
individual yang semakin menonjol.
Tema yang ditetapkan pada peringatan wafatnya Pangeran Antasari tahun 2010 adalah Melalui
peringatan wafatnya Pangeran Antasari ke-148 tahun, tanamkan dan tumbuhkan semangat serta
keikhlasan dalam meneruskan membangun Kalimantan Selatan.
Tema memiliki tiga kata kunci yang patut diperhatikan bersama yakni semangat dan keikhlasan
serta meneruskan membangun Kalsel. Dengan mewarisi dan meneladani semangat dan
keikhlasan Pangeran Antasari dalam memperjuangkan kemerdekaan akan menjadi motivasi dan
inspirasi bagi semua sebagai generasi penerus dalam meneruskan dan membangun Kabupaten
Batola sebagai bagian intergral dari Provinsi Kalsel dan bangsa Indonesia.Dengan motivisi dan
inspirasi itulah seharusnya kita semua merasa terpanggil untuk mengaktualisasikan semangat dan
nilai-nilai kejuangan yang pernah dikobarkan para pahlawan terutama dalam kaitan mewujudkan
cita-cita kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegera, ajak bupati. Kewajiban untuk
mengaktualisasikan semangat dan nilai-nilai kejuangan menjadi semakin penting, lanjut dia, di
saat dihadapkan pada berabagai persoalan bangsa, dimana sebagai bagian integral dari NKRI
persoalan bangsa juga berpengaruh terhadap kondisi politik, ekonomi, sosial, budaya, serta
keamanan di daerah.
Cut Nyak Dien
Nangroe Aceh Darussalam merupakan daerah yang banyak melahirkan pahlawan perempuan
yang gigih tidak kenal kompromi melawan kaum imperialis. Cut Nyak Dien merupakan salah
satu dari perempuan berhati baja yang di usianya yang lanjut masih mencabut rencong dan
berusaha melawan pasukan Belanda sebelum ia akhirnya ditangkap.
Pahlawan Kemerdekaan Nasional kelahiran Lampadang, Aceh, tahun 1848, ini sampai akhir
hayatnya teguh memperjuangkan kemerdekaan bangsanya. Wanita yang dua kali menikah ini,
juga bersuamikan pria-pria pejuang. Teuku Ibrahim Lamnga, suami pertamanya dan Teuku
Umar suami keduanya adalah pejuang-pejuang kemerdekaan bahkan juga Pahlawan
Kemerdekaan Nasional.
TJOET NJAK DIEN lahir pada 1848 dari keluarga kalangan bangsawan yang sangat taat
beragama. Ayahnya bernama Teuku Nanta Seutia, uleebalang VI Mukim, bagian dari wilayah
Sagi XXV. Leluhur dari pihak ayahnya, yaitu Panglima Nanta, adalah keturunan Sultan Aceh
yang pada permulaan abad ke-17 merupakan wakil Ratu Tajjul Alam di Sumatra Barat. Ibunda
Cut Nyak Dhien adalah putri uleebalang bangsawan Lampagar.
Sebagaimana lazimnya putri-putri bangsawan Aceh, sejak kecil Tjoet Njak Dien memperoleh
pendidikan, khususnya pendidikan agama. Pendidikan ini selain diberikan orang tuanya, juga
para guru agama. Pengetahuan mengenai rumah tangga, baik memasak maupun cara menghadapi
atau melayani suami dan hal-hal yang menyangkut kehidupan sehari-hari, didapatkan dari ibunda
dan kerabatnya. Karena pengaruh didikan agama yang amat kuat, didukung suasana
lingkungannya, Tjoet Njak Dhien memiliki sifat tabah, teguh pendirian dan tawakal.
Tjoet Njak Dien dibesarkan dalam lingkungan suasana perjuangan yang amat dahsyat, suasana
perang Aceh. Sebuah peperangan yang panjang dan melelahkan. Parlawanan yang keras itu
semata-mata dilandasi keyakinan agama serta perasaan benci yang mendalam dan meluap-luap
kepada kaum kafir.
Tjoet Njak Dien dinikahkan oleh orang tuanya pada usia belia, yaitu tahun 1862 dengan Teuku
Ibrahim Lamnga putra dari uleebalang Lam Nga XIII. Perayaan pernikahan dimeriahkan oleh
kehadiran penyair terkenal Abdul Karim yang membawakan syair-syair bernafaskan agama dan
mengagungkan perbuatan-perbuatan heroik sehingga dapat menggugah semangat bagi yang
mendengarkannya, khususnya dalam rangka melawan kafir (Snouck Hourgronje, 1985: 107).
Setelah dianggap mampu mengurus rumah tangga sendiri, pasangan tersebut pindah dari rumah
orang tuanya. Selanjutnya kehidupan rumah tangganya berjalan baik dan harmonis. Mereka
dikaruniai seorang anak laki-laki.
Jiwa pejuang memang sudah diwarisi Cut Nyak Dien dari ayahnya yang seorang pejuang
kemerdekaan yang tidak kenal kompromi dengan penjajahan. Dia yang dibesarkan dalam
suasana memburuknya hubungan antara kerajaan Aceh dan Belanda semakin mempertebal jiwa
patriotnya.
Ketika perang Aceh meletus tahun 1873, suami Tjoet Njak Dien turut aktif di garis depan
sehingga merupakan tokoh peperangan di daerah VI Mukim. Karena itu Teuku Ibrahim jarang
berkumpul dengan istri dan anaknya. Tjoet Njak Dien mengikhlaskan keterlibatan suaminya
dalam peperangan, bahkan menjadi pendorong dan pembakar semangat juang suaminya. Untuk
mengobati kerinduan pada suaminya yang berada jauh di medan perang, sambil membuai sang
buah hatinya ia menyanyikan syair-syair yang menumbuhkan semangat perjuangan. Ketika
sesekali suaminya pulang ke rumah, maka yang dibicarakan dan dilakukan Tjoet Njak Dien tak
lain adalah hal-hal yang berkaitan dengan perlawanan terhadap kaum kafir Belanda.
Begitu menyakitkan perasaaan Cut Nyak Dien akan kematian suaminya yang semuanya
bersumber dari kerakusan dan kekejaman kolonial Belanda. Hati ibu muda yang masih berusia
28 tahun itu bersumpah akan menuntut balas kematian suaminya sekaligus bersumpah hanya
akan menikah dengan pria yang bersedia membantu usahanya menuntut balas tersebut. Hari-hari
sepeninggal suaminya, dengan dibantu para pasukannya, dia terus melakukan perlawanan
terhadap pasukan Belanda.
Dua tahun setelah kematian suami pertamanya atau tepatnya pada tahun 1880, Cut Nyak Dien
menikah lagi dengan Teuku Umar, kemenakan ayahnya. Sumpahnya yang hanya akan menikah
dengan pria yang bersedia membantu menuntut balas kematian suami pertamanya benar-benar
ditepati. Teuku Umar adalah seorang pejuang kemerdekaan yang terkenal banyak mendatangkan
kerugian bagi pihak Belanda.
Perlawanan terhadap Belanda kian hebat. Beberapa wilayah yang sudah dikuasai Belanda
berhasil direbutnya. Dengan menikahi Tjoet Njak Dien mengakibatkan Teuku Umar kian
mendapatkan dukungan. Meskipun telah mempunyai istri sebelumnya, Tjoet Njak Dien lah yang
paling berpengaruh terhadap Teuku Umar. Perempuan inilah yang senantiasa membangkitkan
semangat juangnya, mempengaruhi, mengekang tindakannya, sekaligus menghilangkan
kebiasaan buruknya.
Sekilas mengenai Teuku Umar. Teuku Umar terkenal sebagai seorang pejuang yang banyak
taktik. Pada tahun 1893, pernah berpura-pura melakukan kerja sama dengan Belanda hanya
untuk memperoleh senjata dan perlengkapan perang. Setelah tiga tahun berpura-pura bekerja
sama, Teuku Umar malah berbalik memerangi Belanda. Tapi dalam satu pertempuran di
Meulaboh pada tanggal 11 Pebruari 1899, Teuku Umar gugur.
Sejak meninggalnya Teuku Umar, selama 6 tahun Tjoet Njak Dien mengordinasikan serangan
besar-besaran terhadap beberapa kedudukan Belanda. Segala barang berharga yang masih
dimilikinya dikorbankan untuk mengisi kas peperangan. Cut Nyak Dien kembali sendiri lagi.
Tapi walaupun tanpa dukungan dari seorang suami, perjuangannya tidak pernah surut, dia terus
melanjutkan perjuangan di daerah pedalaman Meulaboh. Dia seorang pejuang yang pantang
menyerah atau tunduk pada penjajah. Tidak mengenal kata kompromi bahkan walau dengan
istilah berdamai sekalipun.
Dewi SartikaPahlawan Wanita Dari Tanah Sunda
Pada tanggal 19 Juli 2008 saya, permaisuri dan Firman mengunjungi rumah Dewi
SartikaPahlawan Wanita Dari Tanah Sunda Rumah yang terletak di Jl.Dewi Sartika
Cicalengka Kabupaten Bandung itu terlihat asri dan khas kediaman priyayi jaman dulu.
Kami tidak bisa masuk memang..Namun dari luar suasananya mencerminkan
kearifan beliau itu masih adaSayang kami tidak bisa lama di sana.Maklum tempat
tersebut belum dibuka untuk umum.
Berikut cuplikan sejarah beliau dari Wikipedia:
Dewi Sartika (Bandung, 4 Desember 1884 Tasikmalaya, 11 September 1947), tokoh
perintis pendidikan untuk kaum perempuan, diakui sebagai Pahlawan Nasional oleh
Pemerintah Indonesia tahun 1966.
Dewi Sartika dilahirkan dari keluarga priyayi Sunda, Nyi Raden Rajapermas dan Raden
Somanagara. Meski melanggar adat saat itu, orang tuanya bersikukuh menyekolahkan
Dewi Sartika, ke sekolah Belanda pula. Sepeninggal ayahnya, Dewi Sartika dirawat oleh
pamannya (kakak ibunya) yang berkedudukan sebagai patih di Cicalengka. Dari
pamannya, beliau mendapatkan didikan mengenai kesundaan, sedangkan wawasan
kebudayaan Barat diperolehnya dari berkat didikan seorang nyonya Asisten Residen
bangsa Belanda.
Sejak kecil, Dewi Sartika sudah menunjukkan bakat pendidik dan kegigihan untuk meraih
kemajuan. Sambil bermain di belakang gedung kepatihan, beliau sering memperagakan praktik
di sekolah, mengajari baca-tulis, dan bahasa Belanda, kepada anak-anak pembantu di kepatihan.
Papan bilik kandang kereta, arang, dan pecahan genting dijadikannya alat bantu belajar.
Waktu itu Dewi Sartika baru berumur sekitar sepuluh tahun, ketika Cicalengka digemparkan
oleh kemampuan baca-tulis dan beberapa patah kata dalam bahasa Belanda yang ditunjukkan
oleh anak-anak pembantu kepatihan. Gempar, karena di waktu itu belum banyak anak-anak
(apalagi anak rakyat jelata) memiliki kemampuan seperti itu, dan diajarkan oleh seorang anak
perempuan.
Ketika sudah mulai remaja, Dewi Sartika kembali ke ibunya di Bandung. Jiwanya yang semakin
dewasa semakin menggiringnya untuk mewujudkan cita-citanya. Hal ini didorong pula oleh
pamannya, Bupati Martanagara, pamannya sendiri, yang memang memiliki keinginan yang
sama. Tetapi, meski keinginan yang sama dimiliki oleh pamannya, tidak menjadikannya serta
merta dapat mewujudkan cita-citanya. Adat yang mengekang kaum wanita pada waktu itu,
membuat pamannya mengalami kesulitan dan khawatir. Namu karena kegigihan semangatnya
yang tak pernah surut, akhirnya Dewi Sartika bisa meyakinkan pamannya dan diizinkan
mendirikan sekolah untuk perempuan.
Tahun 1906, Dewi Sartika menikah dengan Raden Kanduruan Agah Suriawinata, seseorang yang
memiliki visi dan cita-cita yang sama, guru di Sekolah Karang Pamulang, yang pada waktu itu
merupakan Sekolah Latihan Guru.
Sejak 1902, Dewi Sartika sudah merintis pendidikan bagi kaum perempuan. Di sebuah ruangan
kecil, di belakang rumah ibunya di Bandung, Dewi Sartika mengajar di hadapan anggota
keluarganya yang perempuan. Merenda, memasak, jahit-menjahit, membaca, menulis, dan
sebagainya, menjadi materi pelajaran saat itu
Usai berkonsultasi dengan Bupati R.A. Martenagara, pada 16 Januari 1904, Dewi Sartika
membuka Sakola Istri (Sekolah Perempuan) pertama se-Hindia-Belanda. Tenaga pengajarnya
tiga orang; Dewi Sartika dibantu dua saudara misannya, Ny. Poerwa dan Nyi. Oewid. Murid-
murid angkatan pertamanya terdiri dari 20 orang, menggunakan ruangan pendopo kabupaten
Bandung.
Setahun kemudian, 1905, sekolahnya menambah kelas, sehingga kemudian pindah ke Jalan
Ciguriang, Kebon Cau. Lokasi baru ini dibeli Dewi Sartika dengan uang tabungan pribadinya,
serta bantuan dana pribadi dari Bupati Bandung. Lulusan pertama keluar pada tahun 1909,
membuktikan kepada bangsa kita bahwa perempuan memiliki kemampuan yang tak ada bedanya
dengan laki-laki. Tahun 1910, menggunakan hartanya pribadi, sekolahnya diperbaiki lagi
sehingga bisa lebih mememnuhi syarat kelengkapan sekolah formal.
Dewi Sartika meninggal 11 September 1947 di Tasikmalaya, dan dimakamkan dengan suatu
upacara pemakaman sederhana di pemakaman Cigagadon-Desa Rahayu Kecamatan Cineam.
Tiga tahun kemudian dimakamkan kembali di kompleks Pemakaman Bupati Bandung di Jalan
Karang Anyar, Bandung.
Pangeran Diponegoro (1785-1855)
Dilahirkan dari keluarga Kesultanan Yogyakarta, memiliki jiwa kepemimpinan dan
kepahlawanan. Hatinya yang bersih dan sebagai seorang pangeran akhirnya menuntunnya
menjadi seorang yang harus tampil di depan guna membela kehormatan keluarga, kerajaan,
rakyat dan bangsanya dari penjajahan Belanda.
Namun resiko dari kebersihan hatinya, ia ditangkap oleh Belanda dengan cara licik, rekayasa
perundingan. Namun walaupun begitu, beliau tidak akan pernah menyesal karena beliau wafat
dengan hati yang tenang, tidak berhutang pada bangsanya, rakyatnya, keluarganya, terutama
pada dirinya sendiri.
Kejujuran, kesederhanaan, kerendahan hati, kebersihan hati, kepemimpinan, kepahlawanan,
itulah barangkali sedikit sifat yang tertangkap bila menelusuri perjalanan perjuangan Pahlawan
kita yang lahir di Yogyakarta tanggal 11 November 1785, ini.
Pangeran Diponegoro yang bernama asli Raden Mas Ontowiryo, ini menunjukkan
kesederhanaan atau kerendahan hatinya itu ketika menolak keinginan ayahnya, Sultan
Hamengku Buwono III untuk mengangkatnya menjadi raja. Beliau menolak mengingat bunda
yang melahirkannya bukanlah permaisuri.
Bagi orang-orang yang tamak akan kedudukan, penolakan itu pasti sangat disayangkan. Sebab
bagi orang tamak, jangankan diberi, bila perlu merampas pun dilakukan. Melihat penolakan ini,
sangat jelas sifat tamak tidak ada sedikitpun pada Pangeran ini. Yang ada hanyalah hati yang
bersih. Beliau tidak mau menerima apa yang menurut beliau bukan haknya. Itulah sifat yang
dipertunjukkannya dalam penolakan terhadap tawaran ayahnya tersebut.
Namun sebaliknya, beliau juga akan memperjuangkan sampai mati apa yang menurut beliau
menjadi haknya. Sifatnya ini jelas terlihat jika memperhatikan sikap beliau ketika melihat
perlakuan Belanda di Yogyakarta sekitar tahun 1920. Hatinya semakin tidak bisa menerima
ketika melihat campur tangan Belanda yang semakin besar dalam persoalan kerajaan
Yogyakarta. Berbagai peraturan tata tertib yang dibuat oleh Pemerintah Belanda menurutnya
sangat merendahkan martabat raja-raja Jawa. Sikap ini juga sangat jelas memperlihatkan sifat
kepemimpinan dan kepahlawanan beliau.
Sebagaimana diketahui bahwa Belanda pada setiap kesempatan selalu menggunakan politik
memecah-belah-nya. Di Yogyakarta sendiri pun, Pangeran Diponegoro melihat, bahwa para
bangsawan di sana sering di adu domba Belanda. Ketika kedua bangsawan yang diadu-domba
saling mencurigai, tanah-tanah kerajaan pun semakin banyak diambil oleh Belanda untuk
perkebunan pengusaha-pengusaha dari negeri kincir angin itu.
Melihat keadaan demikian, Pangeran Diponegoro menunjukkan sikap tidak senang dan
memutuskan meninggalkan keraton untuk seterusnya menetap di Tegalrejo. Melihat sikapnya
yang demikian, Belanda malah menuduhnya menyiapkan pemberontakan. Sehingga pada tanggal
20 Juni 1825, Belanda melakukan penyerangan ke Tegalrejo. Dengan demikian Perang
Diponegoro pun telah dimulai.
Dalam perang di Tegalrejo ini, Pangeran dan pasukannya terpaksa mundur, dan selajutnya mulai
membangun pertahanan baru di Selarong. Perang dilakukan secara bergerilya dimana pasukan
sering berpindah-pindah untuk menjaga agar pasukannya sulit dihancurkan pihak Belanda.
Taktik perang gerilya ini pada tahun-tahun pertama membuat pasukannya unggul dan banyak
menyulitkan pihak Belanda.
Namun setelah Belanda mengganti siasat dengan membangun benteng-benteng di daerah yang
sudah dikuasai, akhirnya pergerakan pasukan Diponegoro pun tidak bisa lagi sebebas
sebelumnya. Disamping itu, pihak Belanda pun selalu membujuk tokoh-tokoh yang mengadakan
perlawanan agar menghentikan perang. Akhirnya, terhitung sejak tahun 1829 perlawanan dari
rakyat pun semakin berkurang.
Belanda yang sesekali masih mendapatkan perlawanan dari pasukan Diponegoro, dengan
berbagai cara terus berupaya untuk menangkap pangeran. Bahkan sayembara pun dipergunaan.
Hadiah 50.000 Gulden diberikan kepada siapa saja yang bisa menangkap Diponegoro.
Diponegoro sendiri tidak pernah mau menyerah sekalipun kekuatannya semakin melemah.
Karena berbagai cara yang dilakukan oleh Belanda tidak pernah berhasil, maka permainan licik
dan kotor pun dilakukan. Diponegoro diundang ke Magelang untuk berunding, dengan jaminan
kalau tidak ada pun kesepakatan, Diponegoro boleh kembali ke tempatnya dengan aman.
Diponegoro yang jujur dan berhati bersih, percaya atas niat baik yang diusulkan Belanda
tersebut. Apa lacur, undangan perundingan tersebut rupanya sudah menjadi rencana busuk untuk
menangkap pangeran ini. Dalam perundingan di Magelang tanggal 28 Maret 1830, beliau
ditangkap dan dibuang ke Menado yang dikemudian hari dipindahkan lagi ke Ujungpandang.
Setelah kurang lebih 25 tahun ditahan di Benteng Rotterdam, Ujungpandang, akhirnya pada
tanggal 8 Januari 1855 beliau meninggal. Jenazahnya pun dimakamkan di sana. Beliau wafat
sebagai pahlawan bangsa yang tidak pernah mau menyerah pada kejaliman manusia.
Tuanku Imam Bonjol
Tuanku Imam Bonjol (TIB) (1722-1864), yang diangkat sebagai pahlawan nasional berdasarkam
SK Presiden RI Nomor 087/TK/Tahun 1973, 6 November 1973, adalah pemimpin utama Perang
Paderi di Sumatera Barat (1803-1837) yang gigih melawan Belanda.
Selama 62 tahun Indonesia merdeka, nama Tuanku Imam Bonjol hadir di ruang publik bangsa:
sebagai nama jalan, nama stadion, nama universitas, bahkan di lembaran Rp 5.000 keluaran
Bank Indonesia 6 November 2001.
Namun, baru-baru ini muncul petisi, menggugat gelar kepahlawanannya. TIB dituduh melanggar
HAM karena pasukan Paderi menginvasi Tanah Batak (1816-1833) yang menewaskan jutaan
orang di daerah itu (http://www.petitiononline. com/bonjol/petition.html).
Kekejaman Paderi disorot dengan diterbitkannya buku MO Parlindungan, Pongkinangolngolan
Sinamabela Gelar Tuanku Rao: Teror Agama Islam Mazhab Hambali di Tanah Batak, 1816-
1833 (2006) (Edisi pertama terbit 1964, yang telah dikritisi Hamka, 1974), kemudian menyusul
karya Basyral Hamidy Harahap, Greget Tuanku Rao (2007).
Kedua penulisnya, kebetulan dari Tanah Batak, menceritakan penderitaan nenek moyangnya dan
orang Batak umumnya selama serangan tentara Paderi 1816-1833 di daerah Mandailing,
Bakkara, dan sekitarnya (Tempo, Oktober 2007).
Mitos kepahlawanan
Ujung pena kaum akademis harus tajam, tetapi teks-teks hasil torehannya seyogianya tidak
mengandung hawa panas. Itu sebabnya dalam tradisi akademis, kata-kata bernuansa subyektif
dalam teks ilmiah harus disingkirkan si penulis.
Setiap generasi berhak menafsirkan sejarah (bangsa)-nya sendiri. Namun, generasi baru bangsa
iniyang hidup dalam imaji globalismeharus menyadari, negara-bangsa apa pun di dunia
memerlukan mitos-mitos pengukuhan. Mitos pengukuhan itu tidak buruk. Ia adalah unsur
penting yang di-ada-kan sebagai perekat bangsa. Sosok pahlawan nasional, seperti Pangeran
Diponegoro, Sultan Hasanuddin, Sisingamangaraja XII, juga TIB, dan lainnya adalah bagian dari
mitos pengukuhan bangsa Indonesia.
Jeffrey Hadler dalam An History of Violence and Secular State in Indonesia: Tuanku Imam
Bondjol and Uses of History (akan terbit dalam Journal of Asian Studies, 2008) menunjukkan,
kepahlawanan TIB telah dibentuk sejak awal kemerdekaan hingga zaman Orde Baru, setidaknya
terkait tiga kepentingan.
Pertama, menciptakan mitos tokoh hero yang gigih melawan Belanda sebagai bagian wacana
historis pemersatu bangsa.
Kedua, mengeliminasi wacana radikalisme Islam dalam upaya menciptakan negara-bangsa yang
toleran terhadap keragaman agama dan budaya.
Ketiga, merangkul kembali etnis Minang ke haribaan Indonesia yang telah mendapat stigma
negatif dalam pandangan pusat akibat peristiwa PRRI.
Kita tak yakin, sudah adakah biji zarah keindonesiaan di zaman perjuangan TIB dan tokoh lokal
lain yang hidup sezaman dengannya, yang kini dikenal sebagai pahlawan nasional.
Kita juga tahu pada zaman itu perbudakan adalah bagian sistem sosial dan beberapa kerajaan
tradisional Nusantara melakukan ekspansi teritorial dengan menyerang beberapa kerajaan
tetangga. Para pemimpin lokal berperang melawan Belanda karena didorong semangat
kedaerahan, bahkan mungkin dilatarbelakangi keinginan untuk mempertahankan hegemoni
sebagai penguasa yang mendapat saingan akibat kedatangan bangsa Barat. Namun, mereka
akhirnya menjadi pahlawan nasional karena bangsa memerlukan mitos pemersatu.
Bukan manusia sempurna
Tak dapat dimungkiri, Perang Paderi meninggalkan kenangan heroik sekaligus traumatis dalam
memori bangsa. Selama sekitar 20 tahun pertama perang itu (1803-1821) praktis yang
berbunuhan adalah sesama orang Minangkabau dan Mandailing atau Batak umumnya.
Pada 21 Februari 1821 mereka resmi menyerahkan wilayah darek (pedalaman Minangkabau)
kepada Kompeni dalam perjanjian yang diteken di Padang, sebagai kompensasi kepada Belanda
yang bersedia membantu melawan kaum Paderi. Ikut mengundang sisa keluarga Dinasti
Pagaruyung di bawah pimpinan Sultan Muningsyah yang selamat dari pembunuhan oleh pasukan
Paderi yang dipimpin Tuanku Pasaman di Koto Tangah, dekat Batu Sangkar, pada 1815 (bukan
1803 seperti disebut Parlindungan, 2007:136-41).
Namun, sejak awal 1833 perang berubah menjadi perang antara kaum Adat dan kaum Agama
melawan Belanda. Memorie Tuanku Imam Bonjol (MTIB) transliterasinya oleh Sjafnir Aboe
Nain (Padang: PPIM, 2004), sebuah sumber pribumi yang penting tentang Perang Paderi yang
cenderung diabaikan sejarawan selama inimencatat, bagaimana kedua pihak bahu-membahu
melawan Belanda.
Dalam MTIB, terefleksi rasa penyesalan TIB atas tindakan kaum Paderi atas sesama orang
Minang dan Mandailing. TIB sadar, perjuangannya sudah melenceng dari ajaran agama.
Adapun hukum Kitabullah banyaklah yang terlampau dek oleh kita. Bagaimana pikiran kita?
(Adapun banyak hukum Kitabullah yang sudah terlangkahi oleh kita. Bagaimana pikiran
kalian?), tulis TIB dalam MTIB (hal 39).
Penyesalan dan perjuangan heroik TIB bersama pengikutnya melawan Belanda yang mengepung
Bonjol dari segala jurusan selama sekitar enam bulan (16 Maret-17 Agustus 1837)seperti rinci
dilaporkan De Salis dalam Het einde Padri Oorlog: Het beleg en de vermeestering van Bondjol
1834-1837: Een bronnenpublicatie [Akhir Perang Paderi: Pengepungan dan Perampasan Bonjol
1834-1837; Sebuah Publikasi Sumber] (2004): 59-183mungkin dapat dijadikan pertimbangan
untuk memberi maaf bagi kesalahan dan kekhilafan yang telah diperbuat TIB.
Raden Ajeng Kartini (1879-1904)
Door Duistermis tox Licht, Habis Gelap Terbitlah Terang, itulah judul buku dari kumpulan surat-
surat Raden Ajeng Kartini yang terkenal. Surat-surat yang dituliskan kepada sahabat-sahabatnya
di negeri Belanda itu kemudian menjadi bukti betapa besarnya keinginan dari seorang Kartini
untuk melepaskan kaumnya dari diskriminasi yang sudah membudaya pada zamannya.
Buku itu menjadi pedorong semangat para wanita Indonesia dalam memperjuangkan hak-
haknya. Perjuangan Kartini tidaklah hanya tertulis di atas kertas tapi dibuktikan dengan
mendirikan sekolah gratis untuk anak gadis di Jepara dan Rembang.
Di era Kartini, akhir abad 19 sampai awal abad 20, wanita-wanita negeri ini belum memperoleh
kebebasan dalam berbagai hal. Mereka belum diijinkan untuk memperoleh pendidikan yang
tinggi seperti pria bahkan belum diijinkan menentukan jodoh/suami sendiri, dan lain sebagainya.
Kartini yang merasa tidak bebas menentukan pilihan bahkan merasa tidak mempunyai pilihan
sama sekali karena dilahirkan sebagai seorang wanita, juga selalu diperlakukan beda dengan
saudara maupun teman-temannya yang pria, serta perasaan iri dengan kebebasan wanita-wanita
Belanda, akhirnya menumbuhkan keinginan dan tekad di hatinya untuk mengubah kebiasan
kurang baik itu.
Pada saat itu, Raden Ajeng Kartini yang lahir di Jepara, Jawa Tengah pada tanggal 21 April
1879, ini sebenarnya sangat menginginkan bisa memperoleh pendidikan yang lebih tinggi,
namun sebagaimana kebiasaan saat itu dia pun tidak diizinkan oleh orang tuanya.
Dia hanya sempat memperoleh pendidikan sampai E.L.S. (Europese Lagere School) atau tingkat
sekolah dasar. Setamat E.L.S, Kartini pun dipingit sebagaimana kebiasaan atau adat-istiadat yang
berlaku di tempat kelahirannya dimana setelah seorang wanita menamatkan sekolah di tingkat
sekolah dasar, gadis tersebut harus menjalani masa pingitan sampai tiba saatnya untuk menikah.
Dia merasakan sendiri bagaimana ia hanya diperbolehkan sekolah sampai tingkat sekolah dasar
saja padahal dirinya adalah anak seorang Bupati. Hatinya merasa sedih melihat kaumnya dari
anak keluarga biasa yang tidak pernah disekolahkan sama sekali.
Sejak saat itu, dia pun berkeinginan dan bertekad untuk memajukan wanita bangsanya,
Indonesia. Dan langkah untuk memajukan itu menurutnya bisa dicapai melalui pendidikan.
Untuk merealisasikan cita-citanya itu, dia mengawalinya dengan mendirikan sekolah untuk anak
gadis di daerah kelahirannya, Jepara. Di sekolah tersebut diajarkan pelajaran menjahit,
menyulam, memasak, dan sebagainya. Semuanya itu diberikannya tanpa memungut bayaran
alias cuma-cuma.
Bahkan demi cita-cita mulianya itu, dia sendiri berencana mengikuti Sekolah Guru di Negeri
Belanda dengan maksud agar dirinya bisa menjadi seorang pendidik yang lebih baik. Beasiswa
dari Pemerintah Belanda pun telah berhasil diperolehnya, namun keinginan tersebut kembali
tidak tercapai karena larangan orangtuanya. Guna mencegah kepergiannya tersebut, orangtuanya
pun memaksanya menikah pada saat itu dengan Raden Adipati Joyodiningrat, seorang Bupati di
Rembang.
Berbagai rintangan tidak menyurutkan semangatnya, bahkan pernikahan sekalipun. Setelah
menikah, dia masih mendirikan sekolah di Rembang di samping sekolah di Jepara yang sudah
didirikannya sebelum menikah. Apa yang dilakukannya dengan sekolah itu kemudian diikuti
oleh wanita-wanita lainnya dengan mendirikan Sekolah Kartini di tempat masing-masing
seperti di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, dan Cirebon.
Setelah meninggalnya Kartini, surat-surat tersebut kemudian dikumpulkan dan diterbitkan
menjadi sebuah buku yang dalam bahasa Belanda berjudul Door Duisternis tot Licht (Habis
Gelap Terbitlah Terang). Apa yang terdapat dalam buku itu sangat berpengaruh besar dalam
mendorong kemajuan wanita Indonesia karena isi tulisan tersebut telah menjadi sumber motivasi
perjuangan bagi kaum wanita Indonesia di kemudian hari.
Apa yang sudah dilakukan RA Kartini sangatlah besar pengaruhnya kepada kebangkitan bangsa
ini. Mungkin akan lebih besar dan lebih banyak lagi yang akan dilakukannya seandainya Allah
memberikan usia yang panjang kepadanya. Namun Allah menghendaki lain, ia meninggal dunia
di usia muda, usia 25 tahun, yakni pada tanggal 17 September 1904, ketika melahirkan putra
pertamanya.
Mengingat besarnya jasa Kartini pada bangsa ini maka atas nama negara, pemerintahan Presiden
Soekarno, Presiden Pertama Republik Indonesia mengeluarkan Keputusan Presiden Republik
Indonesia No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 yang menetapkan Kartini sebagai Pahlawan
Kemerdekaan Nasional sekaligus menetapkan hari lahir Kartini, tanggal 21 April, untuk
diperingati setiap tahun sebagai hari besar yang kemudian dikenal sebagai Hari Kartini.
Biografi
Nama: Raden Ajeng Kartini
Lahir: Jepara, Jawa Tengah, tanggal 21 April 1879
Meninggal: Tanggal 17 September 1904, (sewaktu melahirkan putra pertamanya)
Suami: Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang
Pendidikan: E.L.S. (Europese Lagere School), setingkat sekolah dasar
Prestasi:
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Jepara
- Mendirikan sekolah untuk wanita di Rembang
Kumpulan surat-surat:
- Door Duisternis tot Licht (Habis Gelap Terbitlah Terang).
Penghormatan:
- Gelar Pahlawan Kemerdekaan Nasional
- Hari Kelahirannya tanggal 21 April ditetapkan sebagai hari besar
Ki Hajar Dewantara
Seorang tokoh seperti Ivan Illich pernah berseru agar masyarakat bebas dari sekolah. Niat
deschooling tersebut berangkat dari anggapan Ivan Illich bahwa sekolah tak ubahnya pabrik yang
mencetak anak didik dalam paket-paket yang sudah pasti. bagi banyak orang, hak belajar
sudah digerus menjadi kewajiban menghadiri sekolah, kata Illich. Demikian pula halnya dengan
Rabindranath Tagore yang sempat menganggap sekolah seakan-akan sebuah penjara. Yang
kemudian ia sebut sebagai siksaan yang tertahankan.
Tagore dan Ki Hajar sama-sama dekat dengan rakyat, cinta kemerdekaan dan bangga atas
budaya bangsanya sendiri. Tagore pernah mengembalikan gelar kebangsawanan (Sir) pada raja
Inggris sebagai protes atas keganasan tentara Inggris dalam kasus Amritsar Affair. Tindakan
Tagore itu dilatarbelakangi kecintaannya kepada rakyat. Begitu juga halnya dengan
ditanggalkannya gelar kebangsawanan (Raden Mas) oleh Ki Hajar. Tindakan ini dilatarbelakangi
keinginan untuk lebih dekat dengan rakyat dari segala lapisan. Antara Ki Hajar dengan Tagore
juga merupakan sosok yang sama-sama cinta kemerdekaan dan budaya bangsanya sendiri.
Dipilihnya bidang pendidikan dan kebudayaan sebagai medan perjuangan tidak terlepas dari
strategi untuk melepaskan diri dari belenggu penjajah. Adapun logika berpikirnya relatif
sederhana; apabila rakyat diberi pendidikan yang memadai maka wawasannya semakin luas,
dengan demikian keinginan untuk merdeka jiwa dan raganya tentu akan semakin tinggi.
Di barat, Paulo Freire hadir dengan konsep pendidikan pembebasan. Di sini, Ki Hajar Dewantara
menjadi pahlawan pendidikan nasional karena pendidikan sistem among yang ia kembangkan di
taman siswa. Ungkapannya sangat terkenal; tut wuri handayani, ing madya mangun karsa,
dan ing ngarsa sung tulada. Istilah inipun tak hanya populer di kalangan pendidikan, tetapi
juga pada berbagai aspek kehidupan lain.
Siapakah sebenarnya tokoh pelopor pendidikan bangsa ini?
Siapa sih, yang tidak kenal dengan tokoh yang satu ini? Pejuang gigih, politisi handal, guru besar
bangsa, pendiri Taman Siswa, memang sudah diakui oleh sejarah. Tapi sebagai pribadi yang
keras tapi lembut, ayah yang demokratis, sosoknya yang sederhana, penggemar barang bekas,
belum banyak orang tahu. Bahkan bagaimana tiba-tiba dia dipanggil dengan nama Ki Hajar
Dewantara juga belum banyak yang tahu.
Tokoh peletak dasar pendidikan nasional ini terlahir dengan nama Raden Mas Soewardi
Soeryaningrat, dilahirkan di Yogyakarta pada hari Kamis, tanggal 2 Mei 1889. Ia berasal dari
lingkungan keluarga kraton Yogyakarta. Pendidikan dasarnya diperoleh di Sekolah Dasar ELS
(sekolah dasar Belanda) dan setelah lulus, ia meneruskan ke STOVIA (sekolah kedokteran Bumi
putera) di Jakarta, tetapi tidak sampai selesai. Kemudian bekerja sebagai wartawan di beberapa
surat kabar antara lain Sedya Tama, Midden Java, De Express, Oetoesan Hindia, Kaoem Moeda,
Tjahaja Timoer, dan Poesara. Ia tergolong penulis tangguh pada masanya; tulisan-tulisannya
sangat tegar dan patriotik serta mampu membangkitkan semangat antikolonial bagi pembacanya.
Selain menjadi seorang wartawan muda R.M. Soewardi juga aktif dalam organisasi
sosial dan politik, ini terbukti di tahun 1908 dia aktif di Boedi Oetama dan mendapat
tugas yang cukup menantang di seksi propaganda. Dalam seksi propaganda ini dia aktif
untuk mensosialisasikan dan menggugah kesadaran masyarakat Indonesia pada waktu
itu mengenai pentingnya kesatuan dan persatuan dalam berbangsa dan bernegara.
Setelah itu pada tanggal 25 Desember 1912 dia mendirikan Indische Partij yang
bertujuan mencapai Indonesia merdeka, organisasi ini didirikan bersama dengan dr.
Douwes Dekker dan dr. Cipto Mangoenkoesoemo. Organisasi ini berusaha didaftarkan
status badan hukumnya pada pemerintahan kolonial Belanda tetapi ditolak pada
tanggal 11 Maret 1913, yang dikeluarkan oleh Gubernur Jendral Idenburg sebagai wakil
pemerintah Belanda di negara jajahan. Alasan penolakannya adalah karena organisasi
ini dianggap oleh penjajah saat itu dapat membangkitkan rasa nasionalisme rakyat dan
bergerak dalam sebuah kesatuan untuk menentang pemerintah kolonial Belanda !
Sisingamangaraja XII
Ketika Sisingamangaraja XII dinobatkan menjadi Raja Batak, waktu itu umurnya baru 19 tahun.
Sampai pada tahun 1886, hampir seluruh Sumatera sudah dikuasai Belanda kecuali Aceh dan
tanah Batak yang masih berada dalam situasi merdeka dan damai di bawah pimpinan Raja
Sisingamangaraja XII yang masih muda. Rakyat bertani dan beternak, berburu dan sedikit-
sedikit berdagang. Kalau Raja Sisingamangaraja XII mengunjungi suatu negeri semua yang
terbeang atau ditawan, harus dilepaskan. Sisingamangaraja XII memang terkenal anti
perbudakan, anti penindasan dan sangat menghargai kemerdekaan. Belanda pada waktu itu
masih mengakui Tanah Batak sebagai De Onafhankelijke Bataklandan (Daerah Batak yang
tidak tergantung pada Belanda.
Tahun 1837, kolonialis Belanda memadamkan Perang Paderi dan melapangkan jalan bagi
pemerintahan kolonial di Minangkabau dan Tapanuli Selatan. Minangkabau jatuh ke tangan
Belanda, menyusul daerah Natal, Mandailing, Barumun, Padang Bolak, Angkola, Sipirok, Pantai
Barus dan kawasan Sibolga.
Karena itu, sejak tahun 1837, Tanah Batak terpecah menjadi dua bagian, yaitu daerah-daerah
yang telah direbut Belanda menjadi daerah Gubernemen yang disebut Residentie Tapanuli dan
Onderhoorigheden, dengan seorang Residen berkedudukan di Sibolga yang secara administratif
tunduk kepada Gubernur Belanda di Padang. Sedangkan bagian Tanah Batak lainnya, yaitu
daerah-daerah Silindung, Pahae, Habinsaran, Dairi, Humbang, Toba, Samosir, belum berhasil
dikuasai oleh Belanda dan tetap diakui Belanda sebagai Tanah Batak yang merdeka, atau De
Onafhankelijke Bataklandan.
Pada tahun 1873, Belanda menyatakan perang kepada Aceh dan tentaranya mendarat di pantai-
pantai Aceh. Saat itu Tanah Batak di mana Raja Sisingamangaraja XII berkuasa, masih belum
dijajah Belanda.
Raja Sisingamangaraja XII cepat mengerti siasat strategi Belanda. Kalau Belanda mulai
mencaplok Silindung, tentu mereka akan menyusul dengan menganeksasi Humbang, Toba,
Samosir, Dairi dan lain-lain.
Raja Sisingamangaraja XII cepat bertindak, Beliau segera mengambil langkah-langkah
konsolidasi. Raja-raja Batak lainnya dan pemuka masyarakat dihimpunnya dalam suatu rapat
raksasa di Pasar Balige, bulan Juni 1876. Dalam rapat penting dan bersejarah itu diambil tiga
keputusan sebagai berikut :
1. Menyatakan perang terhadap Belanda
2. Zending Agama tidak diganggu
3. Menjalin kerjasama Batak dan Aceh untuk sama-sama melawan Belanda.
Tahun 1877, mulailah perang Batak yang terkenal itu, yang berlangsung 30 tahun lamanya.
Dimulai di Bahal Batu, Humbang, berkobar perang yang ganas selama tiga dasawarsa, 30 tahun.
Belanda mengerahkan pasukan-pasukannya dari Singkil Aceh, menyerang pasukan rakyat
semesta yang dipimpin Raja Sisingamangaraja XII.
Tahun 1882, hampir seluruh daerah Balige telah dikuasai Belanda, sedangkan Laguboti masih
tetap dipertahankan oleh panglima-panglima Sisingamangaraja XII antara lain Panglima Ompu
Partahan Bosi Hutapea. Baru setahun kemudian Laguboti jatuh setelah Belanda mengerahkan
pasukan satu batalion tentara bersama barisan penembak-penembak meriam.
Tahun 1883, seperti yang sudah dikuatirkan jauh sebelumnya oleh Sisingamangaraja XII, kini
giliran Toba dianeksasi Belanda. Domino berikut yang dijadikan pasukan Belanda yang besar
dari Batavia (Jakarta sekarang), mendarat di Pantai Sibolga. Juga dikerahkan pasukan dari
Padang Sidempuan.
Raja Sisingamangaraja XII membalas menyerang Belanda di Balige dari arah Huta Pardede.
Baik kekuatan laut dari Danau Toba, pasukan Sisingamangaraja XII dikerahkan. Empat puluh
Solu Bolon atau kapal yang masing-masing panjangnya sampai 20 meter dan mengangkut
pasukan sebanyak 20 x 40 orang jadi 800 orang melaju menuju Balige. Pertempuran besar
terjadi.
Pada waktu itulah, Gunung Krakatau meletus. Awan hitam meliputi Tanah Batak. Suatu alamat
buruk seakan-akan datang. Sebelum peristiwa ini, pada situasi yang kritis, Sisingamangaraja XII
berusaha melakukan konsolidasi memperluas front perlawanan. Beliau berkunjung ke Asahan,
Tanah Karo dan Simalungun, demi koordinasi perjuangan dan perlawanan terhadap Belanda.
Dalam gerak perjuangannya itu banyak sekali kisah tentang kesaktian Raja Sisingamangaraja
XII.
Perlawanan pasukan Sisingamangaraja XII semakin melebar dan seru, tetapi Belanda juga berani
mengambil resiko besar, dengan terus mendatangkan bala bantuan dari Batavia, Fort De Kok,
Sibolga dan Aceh. Barisan Marsuse juga didatangkan bahkan para tawanan diboyong dari Jawa
untuk menjadi umpan peluru dan tameng pasukan Belanda.
Tahun 1890, Belanda membentuk pasukan khusus Marsose untuk menyerang Sisingamangaraja
XII. Pada awal abad ke 20, Belanda mulai berhasil di Aceh.
Tahun 1903, Panglima Polim menghentikan perlawanan. Tetapi di Gayo, dimana Raja
Sisingamangaraja XII pernah berkunjung, perlawanan masih sengit. Masuklah pasukan Belanda
dari Gayo Alas menyerang Sisingamangaraja XII.
Tahun 1907, di pinggir kali Aek Sibulbulon, di suatu desa yang namanya Si Onom Hudon, di
perbatasan Kabupaten Tapanuli Utara dan Kabupaten Dairi yang sekarang, gugurlah
Sisingamangaraja XII oleh peluru Marsuse Belanda pimpinan Kapten Christoffel.
Sisingamangaraja XII gugur bersama dua putranya Patuan Nagari dan Patuan Anggi serta
putrinya Lopian. Konon Raja Sisingamangaraja XII yang kebal peluru tewas kena peluru setelah
terpercik darah putrinya Lopian, yang gugur di pangkuannya.
Demikianlah, tanpa kenal menyerah, tanpa mau berunding dengan penjajah, tanpa pernah
ditawan, gigih, ulet, militan, Raja Sisingamangaraja XII selama 30 tahun, selama tiga dekade,
telah berjuang tanpa pamrih dengan semangat dan kecintaannya kepada tanah air dan kepada
kemerdekaannya yang tidak bertara.
Kemudian oleh Yayasan Universitas Sisingamangaraja XII pada tahun 1984 telah
didirikan Universitas Sisingamangaraja XII (US XII) di Medan, pada tahun 1986
Universitas Sisingamangaraja XII Tapanuli (UNITA) di Silangit Siborong-borong
Tapanuli Utara dan pada tahun 1987 didirikan STMIK Sisingamangaraja XII di Medan.

Anda mungkin juga menyukai