Anda di halaman 1dari 7

Inklusivisme Agama Islam:

Titik Temu Agama-Agama Menurut Nurcholis Madjid


By Fandy Bosini Larosa

Beragama Inklusif vs Beragama Eksklusif: Selayang Pandang


Inklusivisme biasanya dipegang oleh komunitas minoritas dalam kelompok
agama tertentu (Ulfa, 2013). Di sisi lain, kebanyakan komunitas-komunitas
agama berpegang pada gagasan eksklusivisme. Eksklusivisme merupakan
gagasan yang memandang bahwa kelompoknya merupakan satu satunya
kebenaran, sedangkan yang lain dianggap salah. Pandangan ini hampir
ada dalam klaim kebenaran pada setiap agama. Sepanjang sejarah dunia,
eksklusivisme menimbulkan banyak peperangan dan konflik. Agama yang
seharusnya penuntun akal budi justru menjadi bersifat konflik dan
kekerasan. Kenyataan ini terjadi selama ratusan tahun sampai akhirnya
muncul gagasan inklusivisme pada Konsili Vatikan II (1962-9165). Di situ
Gereja Katolik memproklamirkan gagasan inklusif dan menantang semua
orang untuk bersikap inklusif. Berbeda dengan Islam, perubahan dalam
Gereja Katolik terjadi begitu besar dikarenakan struktur hierarkisnya,
sedangkan dalam agama Islam perubahan terjadi melalui komunitas
komunitas kecil seperti pesantren. Inklusivisme dalam Islam berkembang
ketika pemikiran mengenai Hak Asasi Manusia diterima sehingga
membuka kesempatan bagi agama untuk memperluas pemahamannya
terutama terkait tema-tema kemanusiaan yang universal. Kaum inklusif
mengatakan bahwa inklusivisme mutlak diperlukan di antara kemajemukan
yang ada. Nurcholish Madjid, bersama dengan kaum inklusif yang lain
meyakini bahwa sikap inklusif dimungkinkan sebab kebenaran tidak hanya
eksis dalam kelompok atau agama mereka sendiri, melainkan juga ada
dalam kelompok atau agama lain yang kevalidannya sama dengan agama
sendiri. Inklusivisme agama mengandaikan adanya dimensi kesamaan
substansi nilai dalam setiap kelompok agama. Oleh sebab itu, kebenaran
tidak bisa dimonopoli oleh agama tertentu, tetapi melingkupi semua agama
selama dijalankan secara autentik. Pandangan inklusivisme Cak Nur ini
terbuka pada gagasan pluralisme agama yang muncul pada era 90-an.
Pluralisme bukan saja menjunjung kesamaan substansi melainkan
perbedaan yang memang ada dalam setiap agama tetapi terarah kepada
keilahian yang tunggal. Perlu disadari bahwa nantinya Cak Nur tidak
pernah bermaksud bahwa semua agama di dunia ini sama saja (relativisme
agama). Cak Nur juga tidak bermaksud mencampurkan berbagai agama
menjadi satu (indifferentism agama). Ia menggunakan istilah Islam Umum
dan Islam Khusus. Gagasan Islam Umum, yaitu Islam merupakan mereka
yang bertakwa dan berpasrah kepada Allah sehingga keselamatan yang
adalah haknya Allah, bisa juga terjadi bagi semua
agama. Gagasan ini mirip dengan teori Gereja ab-Abel (Gereja Sebelum
Habel) dalam Gereja Katolik yang merujuk kepada kehadiran Gereja dalam
tubuh Kristus yang hadir di seluruh dunia dan bagi semua orang (universal)
(Hilmawan, 2010). Bagi Cak Nur, walaupun aspek-aspek kebenaran dimiliki
oleh agama lain yang berarti harus dihormati dan diajak bekerja sama,
kebenaran sejati tetap dalam Islam (Khusus). Titik Temu Agama-Agama
Menurut Cak Nur, gagasan pokok keagamaan yang inklusif adalah adanya
kesamaan substansial nilai dalam agama-agama Abrahamik, yaitu Islam
dengan Kitab al-Quran, Kristen dengan Alkitab, dan Yahudi dengan Kitab
Taurat dan Zabur. Ketiga agama Abrahamistik ini juga memiliki tokoh-tokoh
nabi yang berkesinambungan yaitu Nabi Musa pada Umat Yahudi yang
juga diakui oleh Kristen dan Islam, Nabi Isa dalam agama Kristen yang
juga diakui oleh Islam, dan Nabi Muhammad SAW sebagai utusan
penyempurna. Pewahyuan Tuhan dalam agama-agama tersebut
dirumuskan secara universal dan memiliki ciri kesatuan, walaupun dalam
beberapa spesifikasi mengalami perbedaan. Melalui firman-Nya, Tuhan
meminta agar manusia berpegang teguh pada agama itu, sebab hakikat
agama-agama itu adalah satu dan sama. Kesamaan hakikat inilah yang
bisa menjadi titik temu bagi agama-agama. Gagasan ini bukan murni
ciptaan Madjid melainkan dari al-Quran sendiri. Berangkat dari
konsep ke-universal-dan Islam yang dalam Quran yang menyatakan
bahwa Pesan Tuhan pertama tama tidak ditujukan hanya kepada orang
Islam. Risalah Nabi Muhammad tidak hanya ditujukan terbatas pada kaum
tertentu saja, tetapi berlaku bagi seluruh alam dan seluruh manusia. Dalam
QS al-Anbiya/21: 107 tertulis “Tidaklah Kami (Allah) mengutusmu
(Muhammad), melainkan sebagai (pembawa) rahmat bagi semesta alam.”
(Abidin, 2014). Pesan Tuhan ini tidak terbatas tetapi juga kitab-kitab suci
yang diwahyukan kepada nabi/rasul sebelum Muhammad S.A.W. Di antara
Pesan Tuhan yang sering sekali diungkapkan oleh al-Quran misalnya
tentang ketakwaan (at-taqwa), seperti dalam ayat: “Telah Kami perintahkan
kepada orang yang diberi al-Kitab sebelum kamu, dan (juga kepada) kamu
supaya taqwa kepada Allah” (QS al-Nisa/4: 131). Dari ayat tersebut
terdapat penegasan bahwa Pesan Tuhan itu, yaitu supaya semua orang
bertaqwa kepadanya sama baik bagi umat Islam secara khusus maupun
umat para nabi sudah menerima Kitab Suci sebelum Nabi Muhammad
SAW. Bagi Madjid sikap taqwa ini terkait dengan prakarsa akan Kesadaran
akan adanya Tuhan Yang Maha Hadir (Abidin, 2014). Oleh sebab itu,
manusia selalu bersedia untuk menyesuaikan diri dengan nilai-nilai
ketuhanan. Takwa bisa juga berarti rabbaniyah, yaitu sikap sungguh-
sungguh berusaha memahami Tuhan dan menaatinya. Pesan taqwa ini
mengandung kesamaan esensial yang terdapat dalam agama-agama
abrahamistik. Kesamaan dari sini bukan dari segi keyakinan melainkan dari
pesan dasar untuk berpasrah pada Tuhan Yang Maha Esa yang
merupakan inti dari semua ajaran semua nabi. Oleh sebab itu, bahwa
semua nabi dan rasul adalah sama dan satu yaitu Islam. Perbedaan hanya
terdapat dalam bidang syariatnya saja sesuai tempat dan waktu. Istilah titik
perjumpaan ini terdapat dalam al-Quran (QS: 3: 64), yaitu kalimah sawâ.
Universalitas Islam di sini dipahami sebagai Islam Umum, yang berarti
ajarannya universal bagi segenap makhluk. Di lain sisi, Cak Nur juga
menyetujui bahwa Islam Khusus adalah kesinambungan jalan dari Islam
Umum itu. Oleh sebab itu, sebenarnya kehidupan beragama orang
Islam sejak awal sebenarnya sudah bisa mengembangkan gagasan yang
inklusif sebab memiliki ciri universal dengan para ahli kitab.
Konsep ini sempat hilang setelah munculnya pemikiran bahwa semua
pedoman para ahli kitab sudah tidak autentik lagi atau telah diubah
sehingga konsep Quran mengenai ahli kitab tidak bisa dikenakan pada
kelompok-kelompok tersebut. Pemikiran ini mengubah pandangan Muslim
dari kehidupan inklusif bersama ahli kitab lainnya menjadi eksklusif.
Eksklusivisme ini yang ingin diruntuhkan oleh Nurcholis Madjid dan
mengembalikan inklusivisme di tengah dunia Islam. Berkaitan dengan
agama-agama di luar samawi, khususnya agama Hindu, Buddha, dan
Konghucu penulis melihat bahwa Cak Nur menghormati mereka juga
sebagai ahli kitab (Munawar, 2019). Mereka juga dianggap Ahli Kitab
walaupun berbeda konteks pemahamannya dengan Nasrani dan
Yahudi. Jika kedua agama di atas mendapat predikat Ahli Kitab sebab jelas
asal-usul kitab sucinya, kaum Sabi'in dan Majusi diakui sebab Allah juga
mengutus Rasul-Rasul untuk membawa kebenaran ilahiyah dan
mengajarkan manusia menjadi adil. Mengutip Abdul Hamid Hakim, Madjid
mengatakan bahwa asal usul agama-agama Asia itu dari paham akan
Ketuhanan Yang Maha Esa atau Tauhid, dan agama-agama itu punya
Kitab Suci (Munawar, 2019). Nabi Muhammad sendiri mengakui bahwa
kaum Shabi’in, Buddha, Hindu, dan Majusi (Zoroastrianisme) juga
merupakan ahli kitab. Nabi Muhammad menurut penuturan Ibnu Taimiyah
dalam Minhāj al-Sunnah
mengatakan “Jalankanlah sunnah kepada mereka seperti sunnah kepada
Ahli Kitab.”Tafsiran al‐Mā’idah/5:5, mengenai hukum perkawinan dengan
wanita Ahli Kitab dan masalah memakan makanan mereka. Di situ terdapat
keterangan bahwa di luar kaum Yahudi dan Nasrani juga terdapat Ahli
Kitab, dan dia menyebut-nyebut tidak saja kaum Majusi (Zoroastri) dan
Shabi‘in, tetapi juga Hindu, Buddha, dan Konfusius (Kong Hucu) (Munawar,
2019). Pada zaman dahulu Sabi'in dan Majusi Bahrain juga harus
mengumpulkan jizyah, sebagaimana kaum Yahudi dan Kristen
melakukannya. Jizyah adalah sejenis pajak yang ditarik oleh negara
kepada penduduk non-Muslim supaya mendapat perlindungan dari negara
karena mereka dibebaskan dari wajib militer dan zakat. Jizyah ini tidak
dipungut dari kalangan selain Ahli Kitab, seperti para kaum yang
dianggap musyrik oleh Nabi dan Khalifah RA. Hanya saja di tanah Arab
dulu belum ada agama Hindu, Buddha, etc sehingga referensi kepada
Shabiin dan Mahjusi yang dianggap sebagai ahli kitab bisa pula dikenakan
pada agama-agama lainnya. Mewujudkan Islam yang Inklusif Pada bagian
ini akan dipaparkan jalan-jalan praktis yang ditawarkan Cak Nur demi
mencapai inklusivisme itu dari sudut pandang Islam. Nurcholis Madjid
menawarkan paham bahwa Islam harus muncul sebagai agama yang
membawa pada konstruktif dan formatif melalui aspek kultural, menyadari
tuntutan zaman, berdialog, dan mengakhir eksklusivitas Menurutnya
relativisme internal dalam tubuh intern Islam sendiri harus terjadi. Umat
Islam tidak boleh terjebak dalam pandangan-pandangan yang kaku dan
cenderung abosulitistik di hadapan yang lain. Sebab di dalam Islam hal
tersebut diwujudkan dengan menyadari bahwa agama-agama lain juga
memiliki hak untuk eksis dan malah harus diberikan perlindungan.
Lebih lanjut Madjid mengatakan, “Tidak berarti pengakuan bahwa agama-
agama lain itu benar, seperti yang sering ditonjolkan orang bahwa semua
agama benar. Tetapi yang dimaksud adalah pengakuan akan hak dari
setiap agama untuk eksis di dalam suatu hubungan sosial yang
toleran, saling menghargai, saling membantu, menghormati, dan
sebagainya (Munawar, 2019). Cak Nur menolak relativisme agama dan di
satu sisi ia tetap mendukung dan menghormati
eksistensi agama-agama selain Islam. Madjid juga mengajak Umat Islam
untuk menilik kembali peristiwa historis di Indonesia. Pada era 1945
sampai dengan 1950-an terdapat perjuangan partai-
partai Islam yang ingin mendirikan negara Islam. Peristiwa sejarah bukan
untuk disesali, sebab mungkin saja proses refleksi pada zaman itu
mengharuskan hal tersebut terjadi. Cak Nur mengatakan bahwa hal itu
menjadi pelajaran di masa kini. Ketika inklusivisme
dijunjung, maka pola pemikiran seperti apa yang dahulu dianut tidak bisa
lagi dilakukan pada zaman sekarang. Maka, menjadi penyesalan bila pola
refleksi kita tidak berkembang dan menginginkan nostalgia semata,
mengikuti apa yang gagal dahulu diwujudkan ingin direalisasikan pada saat
ini. Berhadapan dengan kemajemukan, pertama-tama harus diakui bahwa
sejak zaman kekhalifahan dulu, toleransi sudah dijunjung tinggi. Islam
merupakan agama yang membawa perdamaian, hal ini tercermin dari
salam yang diucapkan oleh masyarakat Islam bermakna harfiah
safe and sound kalau diartikan secara lebih luas berarti “damai”. Cita-cita
Islam memang sejak dulu membawa kedamaian bukan kekerasan dan
peperangan. Oleh sebab itu, toleransi menjadi salah satu bentuknya.
Madjid memberikan contoh di negara-negara mayoritas Muslim, seperti
Arab dan Mesir, orang Kristen dan Yahudi dapat hidup berdampingan.
Keberagaman komunitas di sekitar kaum Muslim sebenarnya adalah hal
yang biasa (ordinary). Misalnya ketika Islam memerintah di Spanyol (abad
VIII - XIV). Ketika itu, bukan hanya Islam yang hidup di daerah itu tetapi
juga terdapat kaum Kristen dan Yahudi. Orang-orang Islam yang memulai
inisiatif untuk bisa hidup bersama dan memberikan hak yang sama serta
pergaulan yang bebas terhadap Ahli Kitab. Melihat pluralitas di Spanyol
zaman itu, maka memang masyarakat manusia yang tertulis dalam al-
Quran terdiri atas pluralisme. Mewujudkan inklusivitas sangat
dimungkinkan sebab negara-negara Islam sudah membuktikannya dan
mewujudkan perintah dari Kitab Suci sendiri. Inklusivisme bukan berarti
melupakan nilai-nilai keagamaan sendiri. Nilai-nilai yang sejatinya internal
atau ciri khas Islam bisa diangkat dan dipromosikan dalam kehidupan
komunitas pluralis menjadi budaya bersama
(Munawar, 2019). Madjid mencontohkan nilai musyawarah berasal dari
internal Muslim sendiri. Musyawarah berasal dari bahasa Arab (al-
musyawarah, al-syukro) yang berarti upaya bersama dengan sikap rendah
hati untuk memecahkan persoalan guna mengambil keputusan bersama
dalam penyelesaian atau pemecahan masalah yang menyangkut urusan
keduniaan seperti politik dan demokrasi. Sekarang ini ketika musyawarah
menjadi bahasa baku Indonesia, maka ciri
Islaminya mulai terlupakan. Nilai musyawarah ternyata dapat diangkat
menjadi budaya universal di Indonesia. Penganut agama lain di Indonesia
setuju dengan nilai tersebut. Hal ini menandakan bahwa
nilai-nilai Islam itu universal dan sangat berkontribusi dalam kemanusiaan.
Toleransi yang diwujudkan dalam Islam inklusif bukan ikut campur dalam
syariat dan ajaran iman agama lain. Al-Quran sendiri mengajarkan “la-kum
dîn-kum wa liy-a al-dîn”. Toleransi itu menyangkut kemanusiaan, dalam
hal-hal yang bersifat amaliah. Dalam praksisnya, kemanusiaan itu,
diwujudkan dalam negara. Negara dapat menjadi sarana bekerja sama
untuk mewujudkan cita-cita kemanusiaan bersama. Melalui dasar konstitusi
Pancasila, ideologi negara Indonesia menyediakan wadah bagi pemeluk
agama Islam untuk melaksanakan tindakan amaliah bersama dengan yang
lain ini. Contoh sederhana dapat ditemukan bukan saja ketika saling
menjaga tempat ibadah ketika hari-hari raya secara khusus tetapi juga
dalam kehidupan sehari-hari seperti organisasi RT/RW, saling bekerja
sama dalam menyalurkan bantuan kepada lembaga yang membutuhkan,
amanah dalam menjalankan jabatan, etc. Paham nasionalisme atau
kebangsaan dapat dilakukan umat Islam dalam kerangka kemanusiaan
yang universal. Artinya ketika seorang peduli dengan persoalan bangsanya
sebenarnya ia juga menjalankan agamanya yaitu tindakan produktif dan
beramal. Berhadapan dengan kultur, sering kali terjadi dilema antara
melestarikan tradisi budaya atau mengikuti perintah agama dengan
konsekuensi melupakan tradisi. Contoh paling nyata dapat ditemukan
dengan etika berpakaian. Terutama bagi wanita Muslim, terdapat perintah
untuk mengenakan hijab, sedangkan di sisi lain kultur daerah Indonesia
tidak mengenakan hijab. Bagi Madjid, pakaian hanyalah simbol keimanan
namun tidak mutlak. Seorang dengan pertimbangan tertentu, bisa memakai
simbol-simbol keimanan. Terdapat bahaya bahwa simbol-simbol
merupakan penyelamat, seolah menyingkirkan esensi keimanan itu sendiri.
Di sisi lain, seorang dengan pilihan seperti itu harus bisa toleran terhadap
mereka yang memilih jalan lain. Islam sendiri adalah agama yang
kontekstual, artinya ia bisa masuk dalam kultur bila dikaji dengan tepat. Isu
berpakaian sebenarnya adalah berbicara mengenai kepantasan. Standar
kepantasan itu bervariasi sesuai dengan tempat dan daerahnya. Masalah
menutup aurat sekujur tubuh kecuali muka dan telapak tangan adalah
perintah dalam beribadah. Di luar ibadah, hal itu dikembalikan kepada
kebijaksanaan masing-masing. Di Indonesia sendiri, standar itu dilihat dari
para ulama perempuan yang juga memakai kebaya dan kerudung, bukan
hijab. Menurut Madjid, perintah hijab itu bukan pertama-tama untuk
menutup rambut melainkan menutupi dada sehingga hal itu dikembalikan
kepada masing-masing. Islam sebenarnya tidak mengenal “hierarki
kependetaan” yang menyeragamkan semua, melainkan penafsiran
masing-masing pemeluknya melalui pengalaman spiritual dan
pengetahuan mereka. Oleh sebab itu, Islam sendiri harus ditafsirkan sesuai
konteks masing-masing individu yang tidak terlepas dari ruang dan
waktu eksistensinya. Berhadapan dengan perubahan sosial, dunia Islam
mengalami gejolak sehingga umat mulai mencari pegangan. Terdapat dua
respon yaitu gerak progresif – liberal yang mudah mengikuti perubahan
(Munawar, 2019). Kedua adalah gerak puritan – eksklusif yang
meluncurkan skeptisisme positif dalam rangka berhati-hati untuk melihat
apakah perubahan akan melunturkan aqidah keislaman. Kedua kelompok
akan mengklaim kebenaran penafsirannya masing-masing. Misalnya ada
kelompok yang memperbolehkan pemakaian jeans dalam beribadah,
sedangkan yang lainnya mengharuskan pakaian Arab. Dua pandangan ini
sebenarnya bisa dijalankan dengan kacamata toleransi, artinya tidak
memaksakan pemahaman yang satu atas yang lain. Hal yang perlu
diwaspadai adalah ketika perubahan itu membawa kecurigaan dan
disorientasi dalam kehidupan sosial. Ketika orang merasa dirinya
ditinggalkan dan hak-haknya dirampas karena perubahan sosial dapat
menjadi bibit-bibit kekecewaan yang kalau disuarakan akan menjadi
retorika-retorika keras seperti intoleran, radikalisme, fundamentalisme, dll.
Bila mereka berkumpul, maka kelompok ini akan berubah menjadi cultic
system dan akhirnya memaksakan kebenarannya
pada yang lain. Hal itulah yang harus diwaspadai dalam gerak perubahan
sosial.

Anda mungkin juga menyukai