Anda di halaman 1dari 57

MAKALAH

ISLAM SEBAGAI OBJEK KAJIAN DAN


SISTEMATIKA AJARAN ISLAM

Makalah Ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Studi Keislaman
Pertemuan Ke-II

Dosen Pengampu : Drs. Abu Mansur, M.Pd.I

Disusun Oleh :

Dini Nadiatul Haq 2220901063

FAKULTAS PSIKOLOGI ISLAM

UNIVERSITAS RADEN FATAH PALEMBANG

TAHUN 2022
KATA PENGANTAR

Puji dan syukur saya panjatkan kepada Allah SWT atas segala rahmat-Nya
sehingga saya dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah yang berjudul
“Islam Sebagai Objek Kajian dan Sistematika Ajaran Islam” dengan tepat waktu.
Makalah ini disusun sebagai rasa tanggung jawab atas tugas yang diberikan oleh
Drs. Abu Mansur, M.Pd.I, sebagai Dosen Pengampu Mata Kuliah Studi KeIslaman.

Tentunya saya mengucapkan terima kasih kepada Drs. Abu Mansur,


M.Pd.I atas tugas yang diberikan pada pertemuan ke-2 ini, tatkala hal ini
memberikan rasa keinginan dalam diri saya sendiri untuk belajar dalam
penulisan makalah dengan baik dan benar serta memberikan saya wawasan baru
mengenai “Islam Sebagai Objek Kajian dan Sistematika Ajaran Islam”.

Dengan demikian, semoga makalah ini sudah dapat memenuhi tanggung


jawab atas tugas yang diberikan, serta memperluas wawasan baik untuk diri saya
sendiri maupun orang lain. Saya memohon kritik dan saran sekalian agar
kedepannya dapat memberikan perkembangan dalam penulisan makalah yang
lebih baik lagi.

Saya memohon maaf apabila ada kesalahan dalam penulisan maupun


pengetikan, karena hal ini merupakan pengalaman pertama saya dalam
penulisan makalah. Sekian dan terima kasih.

Palembang, September 2022

Dini Nadiatul Haq


BAB I
PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG
Kehadiran ajaran agama Islam dalam era kenabian yang dibawa oleh Nabi
Muhammad SWT dapat diyakini membawa keselamatan serta terwujud
nyakehidupan sejahtera umat manusia baik didunia maupun akhirat. Agama islam
merupakan agama samawi yang sempurna. Islam menjadi tumpuan cara
pandangan manusia. Ia harus mengangkat manusia dari kehinaan menjadi
kemuliaan, menunjukkan manusia kejalan yang terang dan bukan kejalan yang
tersesat, membebaskan manusia dari semua ancaman kedzaliman, kebijakan,
memerdekakan manusia dari kemeiskinan rohani dan materi dan sebagainya.

BAB II
PEMBAHASAN

1. PENGERTIAN AGAMA SAMAWI & ARDHI


Agama Samawi disebut juga agama langit, adalah agama yang dipercaya
oleh para pengikutnya dibangun berdasarkan wahyu Allah. Beberapa pendapat
menyimpulkan bahwa suatu agama disebut agama Samawi jika:
 Mempunyai definisi Tuhan yang jelas
 Mempunyai penyampai risalah (nabi/rasul)
 Mmempunyai kumpulan wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam kitab
suci

Sedangkan Agama Ardhi adalah agama yang berkembang berdasarkan


budaya, daerah, pemikiran seseorang yang kemudian diterima secara
global. Serta tidak memiliki kitab suci dan bukan berlandaskan wahyu.
Ciri-ciri Agama Ardhi:
 Agama diciptakan oleh tokoh agama
 Tidak memiliki kitab suci
 Berasal dari daerah dan kepercayaan masyarakat
 Konsep ketuhanannya panthaisme, dinamisme, dan animism

A. TUJUAN
Tujuan islam adalah untuk kesejahteraan dan kebahagian kehidupan
manusia di duniadan di akhirat. Maka, untuk mencapai tujuan itu islam
mengajarkan segi-segi yang berhubungan dengan ukhrowi (M.ImamPamungkas.
2012:4)
Islam hadir di tengah masyarakat jahiliyah yang kenal kurang
manusiawi.Maka tawaran solusinya yang paling mendasar ialah memeperbaiki
etika kehidupan mansuia sebagai khalifatullahfilardh (pemegang agama Tuhan
dalam kehidupan dunia).
Islam tampil sebagai agama yang memiliki cirri khas dan karakter
.Karakter Islam tentunya bukkan sebagai agama yang gemarambisius dan urusan
kekuasaan, melainkan karakte rakhlak mulia.Etika atau akhlak ini merupakan pilar
islam terpenting bersama tauhid dan syariat. Ketiga komponen inilah yang
menjadi landasan gerak pemeluknya.
Pendidikan dalam islam merupakan sebuah rangkaian proses pemberdayaan
manusia menuju aklif (kedewasaan), baik secara akal, mental, maupun moral.
Untuk menjalankan fungsi kemanusiaannya yang diemban sebagai seorang hamba
(abd) di hadapan khaliqnya Allah SWT dansebagai ―pemelihara‖ (khalifah) pada
semesta.Sedangkan berdasarkan UU system pendidikan Nasiona lnomor 20 tahun
2003, pendidikan berfungsi mengembangka npotensi peserta didik agar menjadi
manusia yang beriman dan bertakwa kepada Allah Yang Maha Esa, berakhlak
mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga Negara yang
demokrasi serta bertanggung jawab.
Munir Musi mengatakan bahwa salah satu tujuan akhir dari pendidikan
islamya itu pengembang anak ahlak dan pembinaan kepribadian. Oleh karena itu
penegasan konsep diri dalam pendidikan islam sangat penting keberadaannya
untuk menunjang seorang muslim dalam membentuk kepribadiannya dan juga jati
dirinya sebagai seorang muslim.
Al-Qur‘an yang menjadi pedoman hidup bagi setiap muslim dapat
membantu para pendidik dalam memahami konsep diri sesuai ajaran islam.
Dengan konsep diri yang baik maka terlahir pula pribadi yang baik. Di dalam al-
qur‘an banyak sekali ayat-ayat tentang pribadi seorang muslim, salah satunya
adalah sebagaimana yang allah forman kan dalam Q.S al-Baqaroh ayat 127-129.
127. dan ingatlah, ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar
Baitullah bersama ismail (sorayaberdoa) : “Yatuhan kami terimalah dari pada
kami (amalan kami), sesungguhnya engkaulah yang maha mendengar lagi maha
mengetahui”
128. Yatuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh
kepada engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk
pateh kepada engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara - cara dan tempat-
tempat ibadah haji kami, dan terimalah taubat kami. Sesungguhnya engkaulah
yang maha menerima taubat lagi maha penyayang.
129. Yatuhan kami, utuslah untuk mereka seorang rasul dari kalangan
mereka, Al kitab (Al-Qur’an) dan Al-Hikmah (As-Sunnah) serta mensucikan
mereka. Sesungguhnya Engkaulah yang maha kuasa lagi maha Bijaksana.

B. PENDAPAT PARA AHLI


Para ahli memberikan beberapa pengertian agama samawi dan agama
ardhi. Ada berbagai cara menggolongkan agama-agama dunia. Ernst Trults
seorang teolog Kristen menggolongkan agama-agama secara vertikal: pada
lapisan paling bawah adalah agama-agama suku, pada lapisan kedua adalah agama
hukum seperti agama Yahudi dan Islam; pada lapisan ketiga, paling atas adalah
agama-agama pembebasan, yaitu Hindu, Buddha dan karena Ernst Trults adalah
seorang Kristen , maka agama Kristen adalah puncak dari agama-agama
pembebasan ini.
Ram Swarup, seorang intelektual Hindu dalam bukunya; ― Hindu View of
Christianity and Islam‖ menggolongkan agama menjadi agama-agama kenabian
(Yahudi, Kristen dan Islam) dan agama-agama spiritualitas Yoga (Hindu dan
Buddha) dan mengatakan bahwa agama-agama kenabian bersifat legal dan
dogmatik dan dangkal secara spiritual, penuh klaim kebenaran dan yang
membawa konflik sepanjang sejarah. Sebaliknya agama-agama Spiritualitas Yoga
kaya dan dalam secara spiritualitas dan membawa kedamaian.
Ada yang menggolongkan agama-agama berdasarkan wilayah dimana
agama-agama itu lahir, seperti agama Semitik atau rumpun Yahudi sekarang
disebut juga Abrahamik (Yahudi, Kristen, dan Islam) dan agama-agama Timur
(Hindu, Buddha, Jain, Sikh, Tao, Kong Hu Cu, Sinto).
Ada pula yang menggolongkan agama sebagai agama langit (Yahudi,
Kristen, dan Islam) dan agama bumi (Hindu, Buddha , dll) Penggolongan ini
paling disukai oleh orang-orang Kristen dan Islam, karena secara implisit
mengandung makna tinggi rendah, yang satu datang dari langit, agama wahyu,
buatan Tuhan, yang lain lahir di bumi, buatan manusia.
Agama samawi atau disebut juga agama langit, adalah agama yang
dipercaya oleh para pengikutnya dibangun berdasarkan wahyu Allah. Beberapa
pendapat menyimpulkan bahwa suatu agama disebut agama Samawi jika:
1. Mempunyai definisi Tuhan yang jelas
2. Mempunyai penyampai risalah (Nabi/Rasul)
3. Mempunyai kumpulan wahyu dari Tuhan yang diwujudkan dalam Kitab
Suci

C. CIRI-CIRI AGAMA SAMAWI DAN ARDHI


Ciri-ciri agama samawi
Agamanya tumbuh secara kelahiran dapat ditentukan dari tidak ada
menjadi ada. Agama ini mempunyai kitab suci yang otentik (ajarannya
bertahan/asli dari tuhan)
Secara pasti dapat ditentukan lahirnya,dan bukan tumbuh dari
masyarakat,melainkan diturunkan kepada masyarakat. Disampaikan oleh
manusia yang dipilih allah sebagai utusan-nya.
Ajarannya serba tetap,walaupun tafsirnya dapat berubah sesuai dengan
kecerdasan dan kepekaan manusia. Konsep ketuhanannya monotheisme mutlak
(tauhid). Kebenarannya adalah universal yaitu berlaku bagi setiap manusia,masa
dan keadaan.
Contoh agama samawi adalah Islam, Kristen, dan Yahudi. Agama Ardhi
adalah agama yang berkembang berdasarkan budaya, daerah, pemikiran seseorang
yang kemudian diterima secara global. Serta tidak memiliki kitab suci dan bukan
berlandaskan wahyu.

Ciri-ciri agama Ardhani yaitu :


Agama diciptakan oleh tokoh agama, Tidak memiliki kitab suci, Tidak
memiliki nabi sebagai penjelas agama ardhi/Tidak disampaikan oleh utusan tuhan
(rasul), Berasal dari daerah dan kepercayaan masyarakat, Ajarannya dapat
berubah-ubah sesuai dengan perubahan akal pikiran penganutnya. Konsep
ketuhanannya panthaisme, dinamisme, dan animisme. Tumbuh secara komulatif
dalam masyarakat penganutnya. Ajarannya dapat berubah-ubah ,sesuai dengan
akal perubahan akal pikiran penganutnya. Kebenaran ajarannya tidak
universal,yaitu tidak berlaku bagi setiap manusia,masa dan keadaan.
Contoh agama ardhi yaitu Hindu.

3
ISLAM SEBAGAI AGAMA TEOLOGI

A. SEJARAH ISLAM SEBAGAI AGAMA TEOLOGI


Islam sebagai sumber kepercayaan bagi manusia tidak diragukan lagi
eksistensinya sebagai suatu sumber kepercayaan dan mengandung nilai-nilai. Di
samping berdimensi berpikir, maka manusia juga berdimensi percaya.
Kepercayaan ialah : (1) anggapan dan sikap bahwa sesuatu itu benar, (2) sesuatu
yang diakui sebagai benar. Kita tidak dapat membayangkan manusia dapat hidup
tanpa kepercayaan apapun. Kepercayaan kepada sesuatu zat atau kekuatan dan
memeluk kepercayaan itu merupakan sesuatu yang alami pada manusia dan
merupakan kebutuhan jiwa yang selalu membayangi manusia sepanjang hidupnya.
Karena itu kebutuhan itu harus dipenuhi, seperti kebutuhan-kebutuhan jiwa yang
alamiyah yang lain.
Manusia yang merupakan salah satu atom yang mengisi dunia ini dengan
kemampuan dirinya semata-mata tidak mungkin mengetahui sebab keberadaan
dan tujuan hidupnya serta apa yang baik bagi dirinya. Karena itu Allah tidak
membiarkannya tersia-sia, melainkan Ia membekalinya dengan akal yang
menunjukkan jalan kebaikan.24 Al Qur‘an pada pokoknya merupakan agama dan
etika yang menitik beratkan pada tujuan praktis penciptaan kebaikan moral dan
membangun masyarakat manusia yang benar dan beragama dengan kesadaran ber-
Tuhan secara tegas dan bersemangat, yang memerintahkan berbuat baik dan
melarang berbuat dosa.
Islam sebagai sumber kepercayaan mempunyai karakteristik yang
membuatnya menjadi risalah Tuhan yang terakhir dan menjadi agama yang
diridhai Allah untuk dunia dan seluruh ummat manusia sampai datangnya hari
Kiamat, dan membedakannya dengan agama-agama lain. Secara ringkas
karakteristik yang dimiliki Islam, yaitu mengajarkan kesatuan agama, kesatuan
politik, kesatuan sosial, agama yang sesuai dengan akal fikiran, agama fitrah dan
kejelasan, agama kebebasan dan persamaan, dan agama kemanusiaan.
Dalam Islam kepercayaan disebut dengan istilah keimanan yang bisa
bertambah atau berkurang. Seseorang yang tidak beriman dianggap telah kafir
karena ia telah melakukan dosa besar. Beberapa aliran teologi berbeda-beda dalam
memahami konsep iman. Ada yang mengandung unsur tashdiq saja yaitu
meyakini akan adanya Allah, dianut oleh mazhab Murji‘ah dan sebagian kecil
Asy‘ariah. Ada yang mengandung unsur tashdiq dan ikrar yaitu mengucapkan apa
yang diyakininya itu dengan lidah, dianut oleh sebagian pengikut Maturidiah. Ada
yang menambahnya dengan unsur amaliyah yaitu iman yang telah ditashdiqkan
dengan hati, diikrarkan dengan lisan kemudian dibuktikan dengan perbuatan,
dianut oleh Mu‘tazilah, Khawarij dan lain-lain.

B. PENDAHULUAN
Teologi Islam (bahasa Arab: ‫ػ‬ ‫ ) إل س مي‬merupakan salah satu dari
ilmu-ilmu Islam yang membahas tentang akidah keyakinan Islam dan membela
atas hal-hal itu. Teologi untuk membuktikan permasalahan-permasalahannya dan
meyakinkan audiensinya, menggunakan aneka ragam metode logika seperti
analogi (qiyas), tamtsil dan jidal. Persoalan teologi tidak terbatas pada usuluddin
atau dasar-dasar akidah, akan tetapi teolog bertugas untuk menjawab setiap
kejanggalan dan isu mengenai ajaran-ajaran dan ahkam agama.
Berkenaan dengan sejarah asal mula kemunculan ilmu ini telah dikatakan
bahwa pembahasan teologis sudah ada sejak permulaan Islam dan masalah
pertamanya adalah tentang jabr dan ikhtiar. Pembahasan tentang sifat-sifat Tuhan,
terutama Tauhid dan Keadilan Tuhan, permasalahan husn dan qubh, qada dan
qadar, tentang kenabian, ma'ad, tugas kewajiban (taklif) dan mukjizat adalah
topik-topik penting dalam ilmu teologi. Perselisihan dalam pembahasan teologis
telah menyebabkan munculnya banyak aliran teologis dalam Islam. Aliran-aliran
penting dalam mazhab Syiah seperti, Imamiyah, Zaidiyah, Ismailiyah, Ghulat dan
Kisaniyah, juga aliran-aliran teologis dalam Ahlusunah seperti Khawarij,
Murji'ah, Mu'tazilah, Ahli Hadis, Asya'irah, Maturidiyah dan Wahhabisme.
Sehubungan dengan sama atau berbedanya ilmu neo teologi dengan
teologi klasik ada persilisihan pendapat. Topik pembahasan ilmu ini adalah
sebagai berikut: Definisi, asal muasal, cakupan dan pemahaman tentang agama,
kebutuhan manusia kepada agama, akal dan agama, akal dan iman, ilmu dan
agama, pengalaman beragama dan pluralisme agama.

C. ISLAM & PROBLEMATIKA KEHIDUPAN


Memang, diakui atau tidak beberapa tahun terakhir ini kita dihadapkan
dengan pelbagai macam problem dan krisis yang melanda seluruh umat manusia.
Atau, yang disebut sebagai krisis kemanusiaan. Maraknya kasus intoleransi,
pelanggaran terhadap hak asasi manusia (HAM), kemiskinan, ketidakadilan sosial,
diskriminasi pada kelompok minoritas, dan lain-lain sebagai wujud nyata bahwa
kehidupan umat manusia sedang tidak baik-baik saja.
Kesemuanya ini, tentu saja, menuntut adanya solusi dari berbagai pihak
agar tidak menjadi persoalan yang berkepanjangan dan mengakar kuat di tengah
masyarakat. Dan Islam pun dituntut untuk ikut ambil bagian dalam mencegah atau
meminimalisir semaksimal mungkin-jika tidak bisa atau sulit untuk
menghilangkan secara total.
Seperti diketahui bersama bahwa Islam, turun pertama kali dengan
membawa misi utama, menjadi rahmat bagi seluruh alam semesta (rahmatan lil
‗alamin). Ini artinya, Islam menekankan pada pemeluknya untuk selalu
menghargai umat manusia, menciptakan perdamaian, kesejahteraan, keadilan, dan
lain sebagainya. Karena itu, beribadah tidak hanya ditujukan sebagai pemuasan
batin pribadi dan pengguguran kewajiban kepada Allah. Namun, nilai-nilai ibadah
hendaknya ditransformasikan juga pada perilaku sehari-hari (memedulikan
terhadap persoalan yang dihadapi umat manusia). Sehingga ibadah yang
dilakukan seorang hamba kepada Tuhan-nya bukan merupakan ritus yang hampa
makna.
Mengutip Hassan Hanafi dalam karyanya Kiri Islam, menyatakan bahwa;
realitas kehidupan umat Islam dewasa ini menggambarkan kecenderungan-
kecenderungan dalam mempraktikkan keberagamaan (keberislaman) hanya
menjadi ritus-ritus kosong yang tidak bernilai. Artinya, Islam hanya dijadikan
sebagai sebuah rutinitas transaksi untung rugi antara seorang hamba dengan
Tuhan-nya.
Lebih jauh lagi, menurut Hassan Hanafi, selama ini kaum Muslim begitu
yakin bahwa ketakwaan dan kesalehan akan dicapai seseorang jika ia lebih sibuk
mengurusi dan membela Tuhan daripada membela kepentingan kemanusiaan yang
menderita. Dekat kepada Tuhan acap dibuktikan dengan tidak peduli pada nasib
manusia yang dieksploitasi, haknya dirampas, terjadinya ketidakadilan,
penderitaan, dan lainnya. Seolah-olah, kesaksian iman kerap diidentikkan dengan
perilaku tidak manusiawi.
Padahal Tuhan berkali-kali menyatakan bahwa hanya mereka yang
mencintai dan mengasihi sesama manusia, menolong yang lemah, miskin, dan
tidak berdaya agar terbebas dari segala penderitaan yang mengitarinyalah yang
akan dikasihi, ditolong, dan dekat serta boleh menyatakan diri beriman kepada-
Nya. Dalam konteks inilah keberislaman kita perlu ditransformasikan bagi
kepentingan umat manusia.
Ambillah contoh zakat. Fungsi utama yang hendak diusung oleh ibadah
yang satu ini jelas fungsi sosial, yaitu bagaimana bisa menjawab Problematika
kemiskinan yang dialami umat manusia, terutama umat Islam sendiri. Dengan
kalimat lain, zakat tidak boleh semata dianggap sebagai Tazqiyatul mal
sebagaimana konsep fikih yang selama ini dijadikan pegangan oleh mayoritas
umat Islam. Namun fungsi pemberdayaan itulah yang seharusnya didahulukan
atau dikedepankan.
Sementara itu, Gus Dur juga menyatakan bahwa; hukum agama (Islam)
tidak akan kehilangan kebesarannya dengan memfungsikan dirinya sebagai etika
sosial masyarakat. Bahkan, kebesarannya kian memancar dan bersinar terang
karena dianggap mampu mengembangkan diri tanpa dukungan masif dari
institusi, yang disebut negara. Juga tinggi rendahnya harkat dan martabat
seseorang tidak sekadar dinilai atau dilihat dari kesalehan spiritualnya dengan
semangat beribadah kepada Allah. Akan tetapi, lebih dari itu, yakni mereka harus
peka serta menumbuhkan dan menanamkan sikap empati dalam dirinya untuk
mengatasi segala problem sosial yang semakin krusial di tengah masyarakat.
Walau begitu, harus tetap berpegang teguh pada prinsip nilai-nilai agama (Islam).
Karena itulah, lanjut Gus Dur, umat Islam tidak boleh acuh terhadap
pelbagai kerusakan, diskriminasi, ketidakadilan sosial-ekonomi dan lainnya yang
terjadi di tengah-tengah masyarakat. Apalagi sampai melakukan hal serupa.
Namun, mereka harus berani dan terlibat secara langsung untuk mengadakan
koreksi atas segala tindakan yang dinilai merugikan masyarakat. Sebaliknya,
apabila mereka membiarkan maraknya perilaku korupsi besar-besaran dan
penindasan dengan menyibukkan diri akan ritus-ritus keagamaan, hanyalah
membiarkan keberlangsungan proses pemiskinan serta perusakan bangsa.
Dari sini jelaslah bahwa, Islam bukan sekadar berkutat pada tataran
ukhrawi semata dengan memperbanyak ritus-ritus yang bersifat individualistis.
Akan tetapi, Islam hadir untuk menyelamatkan umat manusia dari segala praktik
dehumanisasi yang dapat merugikan manusia itu sendiri. Atau, meminjam istilah
Asghar Ali Engineer, Islam adalah sebagai teologi pembebasan: membebaskan
seluruh umat manusia dari pelbagai penindasan untuk menuju orientasi hidup
yang lebih membahagiakan dan menyejahterakan. Wallahu A‘lam

D. LANDASAN TEORI
Islam sebagai agama rahmatan lilalamin, tentu saja landasan hukum
dasarnya adalah Al-Qur‘an dan Al-Hadist sebagai sumber ilmu pengetahuan yang
memuat nilai-nilai untuk mengkerangkai tata kehidupan ini. Sebagai agama
rahmat bagi seluruh alam yang kebenarannya dianggab absolute, maka haruslah
dikaji dari berbagai macam perspektif untuk menemukan ajaran Islam yang
seutuhnya dan sesungguhnya ditengah agama-agama yang ada.
Pada konstek saat ini, acapkali Islam dianggap sebagai agama teroris,
agama yang mengedepankan kekerasan (anarkis), agama yang stagnan (karena
doktrin ditutupnya pintu ijtihad), agama primitif, semua itu secara mendasar
melahirkan Islam yang terkotak-kotak. Ada Islam NU, Islam Muhammadiyah, ada
Islam Mu‘tazilah, ada Islam Syia‘ah, dan seterusnya. Yang manakah menurut
Tuhan yang paling benar. Semuanya terlahir dari sebuah konsepsi pemikiran
manusia yang mempunyai keyakinan pribadi dengan menunjukkan dalil-dalil
yang sesuai dengan tradisi (konstektual).
Diakui ataupun tidak, pada hakekatnya Islam secara legal formal terlahir di
negara arab, dan yang membawa risalah tersebut adalah Muhammad yang dibabtis
oleh Tuhan menjadi seorang nabi dan Rasul (Utusan) Tuhan dimuka bumi untuk
menyampaikan ajaran tentang seluruh kehidupan, karena hal tersebut sudah tertera
didalam Al-Qur‘an, baik yang tersurat maupun yang tersirat, walaupun banyak
para tokoh muslim maupun non muslim yang berusaha untuk mendekonstruksi
anggapan mayoritas kebenaran itu sendiri, baik melalui fakta-fakta aktual maupun
secara teoritis-empiris.
Islam sebagai landasan teologis dalam bingkai membangun daya
intelektualisme gerakan kader-kader HMI sejauh mana kebenaran tersebut mampu
dicapai sebagai agama rahmatan lil alamin yang kebenarannya absolute?. Dalam
lintasan sejarah perjalanannya Islam dalam lingkaran multi tafsir telah melahirkan
suatu pemahaman yang bebeda-beda didalam tubuh ummat muslim, sehingga
banyak anekdot-anekdot truth claim baik diinternal ummat beragama maupun
sesama agama. Ada yang mengatakan semua agama secara substansi mempunyai
kebenarannya masing-masing, namun hal itu kami kira bisa dibantah, karena
pemahaman dari keber-agama-an dan keberagaman tersebut tidak bisa diukur
secara teoritis ansich. Sebab secara teoritis-aplikatif semua agama tidak lepas dari
perkembangan zaman yang didalamnya pasti akan menuai perubahan-perubahan,
disanalah sebenarnya keikutsertaan manusia dalam merumuskan ajaran agamanya.
Islam sebagai agama samawi, yang mempunyai ajaran universal, menuntut
sebuah interpretasi yang utuh, sebagai landasan dan pemeahaman yang
menyeluruh terhadap pemahaman keagamaan ummat muslim, dan juga sebagai
tiang yang mampu menjadi penyangga nilai-nilai kebenaran, yang tidak hanya
dari Tuhan, tetapi juga kebenaran dari manusia yang mampu untuk dipertanggung
jawabkan.
Islam sebagai agama yang mempunyai kebenaran mutlak yang datang dari
Tuhan semesta alam, sebenarnya sudah mulai tercerabut oleh campur tangan dan
pemikiran manusia yang berbeda-beda, sehingga melahirkan kelompok-kelompok
yang cenderung arogan, merasa paling benar, dan menganggap kelompok lain
salah, melahirkan kelompok anarkhis dengan mengatasnamakan jihad fi sabilillah,
sampai dengan sangat ironis, kelompok Islam menghakimi kelompok Islam pula,
bahkan kelompok Islam tersebut adalah aliran yang sangat sesat, suatu fenomena
tentang keyakianan yang dibawa keranah social.

BAB IV
ISLAM DALAM SISTEM TEOLOGI

3.ISLAM DALAM KARAKTERISTIK TEOLOGI


2.1. PENDAHULUAN
Teologi, sebagai mana diketahui membahas ajaran-ajaran dasar dari suatu
agama. Setiap orang yang ingin menyelami seluk beluk agamanya secara
mendalam, perlu mempelajari teologi yang terdapat dalam agama yang dianutnya.
Mempelajari teologi akan memberi seseorang keyakinan-keyakinan berdasarkan
pada landasan yang kuat, yang tidak mudah diumbang-ambing oleh peredaran
zaman. Istilah ―Theology Islam‖ sudah lama dikenal oleh penulis-penulis Barat.
Teologi dari segi etimologi mempunyai pengertian ―Theos‖ artinya Tuhan dan
―Logos‖ artinya ilmu (science, studi, discourse). Jadi teologi berarti ilmu tentang
Tuhan atau ilmu ―Ketuhanan‖.1 Selanjutnya teologi Islam disebut juga ‗ilm al
kalam, teolog dalam Islam diberi nama mutakallimin yaitu ahli debat yang pintar
memakai kata-kata.2
Secara terminologi teologi Islam atau yang disebut juga Ilmu Kalam
adalah ilmu yang membahas ushul sebagai suatu aqidah tentang keEsaan Allah
swt, wujud dan sifat-sifat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya dan sebagainya
yang diperkuat dengan dalil-dalil aqal dan meyakinkan.3 Teologi lebih luas
pandangannya dari pada fikih. Kalau fikih membahas soal haram dan halal,
teologi di samping soal ke Tuhan-an membahas pula soal iman dan kufur; siapa
yang sebenarnya Muslim dan masih tetap dalam Islam, dan siapa yang sebenarnya
kafir dan telah keluar dari Islam. Termasuk dalam pembahasan itu soal Muslim
yang mengerjakan hal-hal yang haram dan soal kafir yang mengerjakan hal-hal
yang baik. Dengan demikian teologi membahas soal-soal dasar dan soal pokok
dan bukan soal furu‘ atau cabang dan ranting yang menjadi pembahasan fikih.
Dengan demikian tinjauan teologi akan memberi pandangan yang lebih lapang
dan sikap yang lebih toleran dari tinjauan hukum atau fikih.
Sebelum kajian teologi (ilmu kalam) lahir sebagai suatu ilmu yang berdiri
sendiri, menurut Imam Abu Hanifah ia termasuk dalam Al-Fiqhul Akbar atau juga
disebut dengan Al-Fiqhud Din.5 Sebutan Ilmu Kalam yang berdiri sendiri sebagai
suatu ilmu sebagaimana yang kita kenal sekarang untuk pertama kalinya lahir
pada masa khalifah Ma‘mun (218 H). Dengan demikian Ilmu Kalam (Teologi)
lahir melalui masa yang panjang. Kehadirannya didorong oleh berbagai faktor
yang mendahului baik yang terjadi dalam tubuh kaum muslimin sendiri, maupun
faktor yang datang dari luar. Untuk penentuan lapangan dan corak pembahasan,
perkataan ―Teologi‖ dibubuhi dengan keterangan kualifikasi, seperti ―teologi
filsafat‖, ―teologi masa kini‖ (contemporary theology), ―teologi kristen‖, ―teologi
katholik‖ bahkan dibubuhi dengan kualifikasi lebih terbatas, seperti ―teologi
wahyu‖ (revealed theology), ―teologi polemik‖, ―teologi pikiran‖ (teologi yang
berdasarkan pikiran=rational theology) ―teologi sistematika‖ dan seterusnya.
Ringkasnya, teologi adalah ilmu yang membicarakan tentang Tuhan dan
pertaliannya dengan manusia, baik berdasarkan kebenaran wahyu ataupun
berdasarkan penyelidikan akal murni.

2.2. ISTILAH-ISTILAH ISLAM DALAM SISTEM TEOLOGI


1. Tawhid
Tawhid ialah ilmu yang membicarakan tentang cara-cara menetapkan
‗aqidah agama dengan mempergunakan dalil-dalil yang meyakinkan, baik dalil-
dalil itu menggunakan dalil-dalil naqli, naqli ‗aqli ataupun dalil wijdani (perasaan
halus). Dinamakan ilmu ini dengan tauhid adalah karena bahasan-bahasan yang
paling menonjol ialah pembahasan tentang keesaan Allah yang menjadi sendi
asasi agama Islam, bahkan sendi asasi bagi segala agama yang benar yang telah
dibawakan oleh para Rasul yang diutus Allah. Ilmu tawhid dinamakan juga
dengan ilmu kalam karena problema-problema yang diperselisihkan para ulama-
ulama Islam dalam ilmu ini yang menyebabkan umat Islam terpecah dalam
beberapa golongan ialah masalah Kalam Allah yang kita bacakan (al Qur‘an)
apakah ia makhluk (diciptakan) ataukah qadim (bukan diciptakan).
Teologi yang diajarkan di Indonesia pada umumnya adalah teologi dalam
bentuk ilmu tawhid. Ilmu tawhid biasanya kurang mendalam dalam hal
pembahasannya dan kurang bersifat filosofis. Selanjutnya karena ilmu tawhid
biasanya memberi pembahasan sepihak dan tidak mengemukakan pendapat dan
paham dari aliran-aliran atau golongan-golongan lain yang ada dalam teologi
Islam. Ilmu tawhid yang diajarkan dan yang dikenal di Indonesia pada umumnya
ialah ilmu tawhid menurut aliran Asy‘ariyah, sehingga timbullah kesan di
kalangan sementara umat Islam Indonesia, bahwa inilah satu-satunya teologi yang
ada dalam Islam.

2. Kalam
Kalam ialah ilmu yang membicarakan tentang wujudnya Tuhan (Allah),
sifat-sifat yang mesti ada padaNya, sifat-sifat yang tidak ada padaNya dan sifat-
sifat yang mungkin ada padaNya dan membicarakan tentang Rasul-rasul Tuhan,
untuk menetapkan kerasulannya dan mengetahui sifat-sifat yang mesti ada
padanya, sifat-sifat yang tidak mungkin ada padanya dan sifat-sifat yang mungkin
terdapat padanya. Ilmu ini dinamakan ilmu kalam (teologi) karena dasar ilmu
kalam ialah dalil-dalil fikiran dan pengaruh dalil-dalil ini nampak jelas dalam
pembicaraan-pembicaraan para mutakallimin.8 Mereka berbeda dengan golongan
Hanabilah yang berpegangan teguh kepada kepercayaan orang-orang salaf.
Berbeda juga dengan orang-orang tasawuf yang mendasarkan pengetahuannya
(ilmunya; ma‘rifah) kepada pengalaman batin dan renungan atau kasyf (terbuka
dengan sendirinya). Mutakallimin juga berbeda dari golongan filosof yang
mengambil alih pemikiran-pemikiran filsafat Yunani dan menganggap bahwa
filsafat itu benar seluruhnya. Juga mereka berbeda dengan golongan Syi‘ah
Ta‘limiyyah (doctrinaire) yang mengatakan bahwa dasar utama untuk ilmu, bukan
yang didapati akal bukan pula yang didapati dari dalil-dalil naql (Qur‘an dan
Hadis), tetapi didapati dari iman-iman mereka yang suci (ma‘sum).

3. Ushul al-Din
Ushul al din ialah ilmu yang membahas padanya tentang prinsip-prinsip
kepercayaan agama dengan dalil-dalil yang qath‘i (al Qur‘an dan Hadis
mutawatir) dan dalil-dalil akal fikiran. Ilmu ushul al din dinamakan juga dengan
ilmu kalam (teologi) sebab ilmu ini membahas tentang prinsip-prinsip agama
Islam.10 Dalam istilah Arab ajaran-ajaran dasar itu disebut ushul al din dan oleh
karena itu buku yang membahas soal-soal teologi dalam Islam selalu diberi nama
kitab Ushul al Din oleh para pengarangnya. Ajaran dasar itu disebut juga ‗aqa‘id,
credos atau keyakinan-keyakinan dan buku-buku yang mengupas keyakinan-
keyakinan itu diberi judul al ‗aqa‘id seperti Al ‗Aqa‘id al Nasafiah dan Al ‗Aqa‘id
Adudiah.

2.3 PERTUMBUHAN DAN PERKEMBANGAN KAJIAN


TEOLOGI
Pada zaman Rasul saw sampai masa pemerintahan Usman bin Affan (644-
656 M) problem teologis di kalangan umat Islam belum muncul. Problema itu
baru timbul di zaman pemerintahan Ali bin Abi Thalib (656-661 M) dengan
munculnya kelompok Khawarij, pendukung Ali yang memisahkan diri karena
tidak setuju dengan sikap Ali yang menerima tahkim (arbitrase) dalam
menyelesaikan konfliknya dengan Muawiyah bin Abi Sufyan, gubernur Syam
pada waktu perang Shiffin.
Harun Nasution mengikuti Asy Syahrastani dalam pengungkapannya
bahwa persoalan politik merupakan alasan pertama munculnya persoalan teologi
dalam Islam.13 Khawarij berpendapat, tahkim adalah penyelesaian masalah yang
tidak didasarkan kepada al Qur‘an, tapi ditentukan oleh manusia sendiri, dan
orang yang tidak memutuskan hukum dengan al Qur‘an adalah kafir. Dengan
demikian orang yang melakukan tahkim dan menerimanya adalah kafir. Argumen
mereka sebenarnya sangat sederhana, Ali, Mu‘awiyah dan pendukung-pendukung
mereka semuanya kafir karena mereka murtakib al Kabirah atau ―pendosa besar‖.
Dalam perkembangan selanjutnya Khawarij tidak hanya memandang
orang yang tidak menghukumkan sesuatu dengan al Qur‘an sebagai kafir, tetapi
setiap muslim yang melakukan dosa besar bagi mereka adalah kafir. Pendapat ini
mendapat reaksi keras dari kaum muslimin lain sehingga muncul aliran baru yang
dikenal dengan nama Murji‘ah. Menurut pendapat aliran ini, muslim yang berbuat
dosa besar tidak kafir, ia tetap mukmin. Masalah dosa besar yang dilakukannya
terserah Allah, diampuni atau tidak. Belakangan lahir aliran baru lagi, Mu‘tazilah
yang berpendapat muslim yang berdosa besar tidak mukmin dan tidak pula kafir,
tapi menempati posisi di antara keduanya (al manzilah bain al manzilatain).
Masuknya filsafat Yunani dan pemikiran rasional ke dunia Islam pada
abad kedua Hijriah membawa pengaruh besar terhadap perkembangan pemikiran
teologis di kalangan umat Islam. Mu‘tazilah mengembangkan pemikirannya
secara rasional dengan menempatkan akal di tempat yang tinggi sehingga banyak
produk pemikirannya tidak sejalan dengan pendapat kaum tradisional.
Pertentangan pendapat di antara dua kelompok inipun terjadi dan mencapai
puncaknya ketika al Makmun (813-833 M), khalifah ketujuh dinasti Abbasiyah
menjadikan Mu‘tazilah sebagai mazhab resmi negara dan memaksakan paham
Mu‘tazilah kepada kaum muslimin. Sebagai penganut dan pendukung aliran
Mu‘tazilah Khalifah al Makmun memandang perlu untuk memberikan pelajaran
terhadap kelompok ahli hadis karena keteguhan mereka untuk mempertahankan
bahwa Alquran bukanlah ―diciptakan‖ (makhluq) yang semakin merajalela,
khususnya di Baghdad. Berbagai kerusuhan sosial yang timbul di Baghdad antara
kelompok ahli hadis dan orang-orang Syi‘ah tentu meresahkan keamanan di
ibukota tersebut. Sebagai seorang khalifah yang berupaya mendapatkan dukungan
kaum Syi‘ah tidak mengherankan kalau ia menunjukkan sikap bermusuhan
terhadap ahli hadis. Alquran sebagai topik kontroversial mungkin lebih
merupakan alasan yang diciptakan guna memberikan casus belli terhadap tokoh-
tokoh ahli hadis.
Hal ini akan menjadi jelas kalau diperhatikan berkobarnya debat dan
diskusi antara golongan Mu‘tazilah dan para penentang mereka, terutama ahli
hadis. Juga tindakan-tindakan yang berlebihan oleh unsur-unsur ahli hadis
terhadap kelompok Mu‘tazilah semasa pemerintahan Harun ar-Rasyid telah
mengundang reaksi, semacam penebusan. Kecenderungan ini menjadi lebih
memungkinkan berkat dukungan yang diberikan para pembantu khalifah, baik
karena dasar politik maupun ideologis.16 Khalifah al Makmun melaksanakan
mihnah (inkuisisi) di kalangan aparat pemerintah yang bertujuan memberlakukan
paham bahwa Alquran adalah makhluq. Ketika masalah itu ditanyakan kepada
Imam Ahmad (164-241 H), dengan tegas ia menentang paham tersebut. Karena
berpegang teguh pada pendapatnya ini, Ahmad dipenjarakan pada tahun 218 H.
Bahkan ia terus mempertahankan pendapatnya, meskipun banyak di antara para
perawi hadis pada masa itu yang lantas sependapat dengan al Makmun.
Baru pada tahun 233 H kebijaksanaan mihnah dihapuskan oleh khalifah al
Mutawakkil dan Ahmadpun dibebaskan. Abu Ya‘qub Yusuf bin Yahya al Buwaiti
(w. 231 H), murid terbesar asy Syafi‘i, di akhir hayatnya menjadi korban mihnah
(inkusisi) karena mempertahankan pendapatnya bahwa Alquran bukan makhluq
(tidak diciptakan, karena Alquran adalah kalam Allah, sedangkan Allah SWT
adalah pencipta). Ia kemudian dipenjara hingga wafat.17 Al Mutawakkil naik
tahta pada tahun 232/847 melalui berbagai intrik dan persaingan di kalangan para
perwira Turki. Tindakannya yang perlu dicatat adalah menghentikan mihnah dan
pembicaraan mengenai apakah Alquran makhluq atau tidak. Kaum Mu‘tazilah
yang semula mempunyai pengaruh besar atas istana, tidak lagi mendapatkan
tempat istimewa. Sebaliknya kaum ahli hadis yang semula mendapatkan banyak
kesulitan dengan adanya mihnah kini mendapat angin, walaupun tidak berarti
bahwa mereka menggantikan posisi lawan mereka yang berpengaruh sebelumnya
atas para khalifah.18 Reaksi keras kaum tradisional menentang Mu‘tazilah, pada
akhirnya berwujud dalam bentuk sebuah aliran teologi yang dikenal dengan nama
Ahlussunnah waljamaah, dengan tokoh utamanya Abu al Hasan Ali al Asy‘ari dan
abu Mansur al Maaturidi.
Terkecuali beberapa aliran teologi sebagaimana disebutkan di atas, ada
lagi beberapa aliran teologi dalam Islam seperti Syiah, Qadariyah dan Jabariyah.
Aliran Khawarij, Murji‘ah dan Mu‘tazilah adalah aliran yang berkembang pada
masa lampau. Sekarang yang dianut mayoritas umat Islam adalah aliran Ahlus
Sunnah wal Jamaah yang dalam soal iman menganut paham moderat Murji‘ah.
Tetapi, pemikiran rasional Eropa yang berasal dari Islam abad kedua belas itu
masuk kembali ke dunia Islam abad kesembilan belas dan kedua puluh, dan
menghidupkan kembali pemikiran rasional Mu‘tazilah masa silam. Dalam pada
itu, kaum Syi‘ah dari sejak semula tetap menganut aliran rasional dan filosofis
Mu‘tazilah. Inilah salah satu sebab yang membawa golongan intelektual muda
Islam di Indonesia tertarik kepada buku-buku yang dikarang penulis-penulis
Syi‘ah. Tulisan-tulisan para pengarang al Asy‘ariah pada umumnya bercorak
tradisional deskriptif dan jarang bercorak analisis rasional apalagi filosofis.
Fazlur Rahman membenarkan bahwa aliran-aliran teologi semata-mata
semakin menjadi bertambah bertentangan dalam pengertian teoritis. Selanjutnya
akhir-akhir ini muncul gagasan dari sebagian pakar di Indonesia yang
menghendaki agar diadakan kajian terhadap teologi yang lebih memusat pada
manusia (antropo centris) dan bukan teologi yang terlalu memusat pada Tuhan
(theo centris). Untuk ini perlu adanya pembaharuan teologi, yaitu pemikiran
keagamaan yang merefleksikan respons manusia terhadap wahyu Allah. Meskipun
di kalangan umat Islam, khususnya umat Islam Indonesia, pembaharuan teologi
ini kurang populer karena cara berfikir fiqh telah begitu mapan di kalangan umat
Islam Indonesia, tetapi walau bagaimanapun pembaharuan teologi mesti dilakukan
kalau umat Islam ingin menerapkan ajaran Islam dalam kerangka kehidupan sosial
yang baru dan dalam kerangka budaya universal sebagai pedoman dalam
merumuskan konsep-konsep hidupnya.
Gagasan untuk mencari dan memilih (antropo centris) sebagaimana
dikehendaki itu sebenarnya terdapat dalam teologi Mu‘tazilah. Mu‘tazilah
misalnya menganut paham Qadariyah yang mengatakan bahwa manusia
mempunyai kebebasan dalam menentukan pilihan untuk berbuat sesuai dengan
kehendaknya. Perbuatan yang dilakukannya itu adalah perbuatannya sendiri,
bukan ditentukan oleh Tuhan. Paham serupa ini mendorong manusia menjadi
kreatif dan dinamis, bertanggung jawab dan berani mengambil inisiatif. Sikap
manusia yang demikian ini sejalan dengan pola hidup modern. Demikian pula
paham Mu‘tazilah tentang keadilan Tuhan adalah sangat mengandung pesan
anthropo centris itu. Menurut paham ini Tuhan harus berbuat sesuai dengan
kesanggupan yang ada pada manusia, dan tidak boleh berbuat di luar kesanggupan
manusia itu. Manusia juga dianggap dapat menentukan baik dan buruk
berdasarkan kreatifitasnya sendiri, tanpa menunggu komando wahyu dari Tuhan.
Dengan demikian terbukalah gagasan inovatif dan kreatif sesuai dengan
tuntutan masyarakat. Demikian pula keharusan menjauhi perbuatan yang buruk
atau jahat sekalipun wahyu belum datang sudah harus dilakukan. Dengan
demikian tidak akan terjadi perbuatan sekehendak hati melainkan ada aturan yang
disepakati dan kemudian berkembang menjadi norma. Selain itu manusia juga
dituntut untuk mengembangkan sikap berbuat baik dan menjauhi perbuatan
munkar. Teologi Mu‘tazilah nampaknya akan menjadi teologi yang sejalan
dengan tuntutan zaman, dan akan diperhitungkan karena sifatnya yang banyak
melahirkan kreatifitas manusia walaupun ini baru dalam dataran teoritis yang
masih perlu dibuktikan.
Sebaliknya adanya dominasi teologi Asy‘ariyah dengan beberapa
karakteristiknya mendorong sementara pengamat dan peneliti mengambil
kesimpulan, bahwa aliran teologi ini bertanggung jawab atas keterbelakangan
sosial-ekonomi kaum muslim di Indonesia. Aliran Asy‘ariyah yang bersifat
Jabariyah (predestinasi) dipandang telah melemahkan etos sosial-ekonomi umat
Islam, sehingga mereka lebih cenderung menyerah kepada takdir daripada
melakukan usaha-usaha kreatif untuk memperbaiki dan memajukan diri dan
masyarakat mereka. Dalam segi-segi tertentu argumen bahwa paham teologi
semacam Asy‘ariyah tidak mendorong terjadinya dinamika dalam masyarakat
Islam belum tentu sepenuhnya benar. Secara teoritis, anggapan atau argumen itu
mungkin benar. Namun, pada tingkat praktis dan empiris, boleh jadi terdapat
kenyataan lain yang berlawanan dengan asumsi teoritis tersebut.
BAB V
ISLAM DALAM AGAMA DAN BUDAYA
A. PENGERTIAN ISLAM DALAM AGAMA DAN BUDAYA
Agama dan budaya adalah bidang yang dapat dibedakan, tetapi tidak dapat
dipisahkan. Agama sifatnya statis dan mutlak, tidak berubah karena perubahan
waktu dan tempat. Sedangkan budaya, sifatnya dinamis dapat berubah dari waktu
ke waktu dan dari tempat ke tempat. Dalam pengertian lain, agama dapat kita
asumsikan sebagai kebutuhan primer, dan budaya kita asumsikan sebagai
kebutuhan sekunder. Budaya sudah melekat dalam kehidupan masyarakat kita.
Budaya bisa mencerminkan ekspresi hidup keagamaan. Oleh karena itu , tinggi
rendahnya ekspresi keberagamaan seorang dapat kita lihat berdasarkan strata
ekpresi budaya nya.
Islam sebagai agama merupakan simbol yang melambangkan nilai
ketaatan pada Tuhan, dan kebudayaan mengandung nilai dan simbol supaya kita
sebagai manusia bisa hidup di dalamnya.Selain mempunyai hubungan saling
mempengaruhi, agama dan kebudayaan memiliki hubungan yang erat. Agama
memerlukan sistem simbol, dengan kata lain agama memerlukan kebudayaan.
Lalu, adakah perbedaan antara islam dan budaya? Meskipun agama dan budaya
saling terhubung, ada yang membuat keduanya berbeda yaitu, agama dianggap
sesuatu yang final, universal, abadi (parennial), dan tidak mengenal perubahan
(absolut). Sedangkan kebudayaan memiliki sifat partikular, relatif dan temporer.
Agama tanpa kebudayaan memang dapat bekembang sebagai agama pribadi.
Namun, agama tanpa kebudayaan dianggap sebagai kolektivitas yang tidak
mendapat tempat.
Menurut sejarah Islam, golongan pemikir menyatakan bahwa Islam
adalah wahyu yang berasal dari Allah yang diturunkan oleh Allah dari langit
melalui malaikat Jibril dan termasuk dalam agama samawi. Apa itu agama
samawi? Pengertian dari Agama samawi adalah agama yang berasal dari wahyu
Tuhan yang disampaikan kepada rasul-Nya untuk diajarkan kepada umatnya
sebagai pandangan hidup. Dan seperti yang dikemukakan oleh Natsir (1954),
islam bukan kebudayaan. Islam merupakan sumber kekuatan yang mendorong
munculnya suatu kebudayaan. Dan sebaliknya kebudayaan bukan bagian dari
agama samawi, melainkan kebudayaan adalah hasil ciptaan manusia. Kebudayaan
dan islam masing-masing berdiri sendiri, namun keduanya dapat berhubungan dan
membentuk kebudayaan tertentu, tanpa menghilangkan ciri khas keduanya. Atau
yang dapat kita asumsikan sebagai akulturasi.
B. KUALITAS MANUSIA BERKAITAN DENGAN TIGA HAL
Pertama, berkenaan dengan kekuatan iman. Iman adalah keyakinan
terhadap Allah, terhadap Malaikat-Nya, terhadap kitab-kitab-Nya, terhadap rasul-
rasul-Nya, dan terhadap hari akhir. Di antara ayat al-Qur'an yang menyebutkan
lima sendi iman tersebut adalah surat al-Baqarah ayat 177. Sedangkan iman
kepada takdir Tuhan disebutkan dalam beberapa ayat al-Qur'an secara implisit
sedangkan secara eksplisit disebutkan dalam hadis nabi. Kemantapan iman yang
benar merupakan penentu (barometer) nilai hidup manusia. Iman yang benar
bertumpu pada keyakinan tauhidullah, serta mendorong untuk banyak berbuat
baik dalam hidupnya menuju ridha Allah SWT.
Kedua,berkaitan dengan kehendak untuk beramal saleh. Amal baik
merupakan manifestasi dari iman yang benar. Amal saleh menuntut adanya
ketaatan terhadap Allah, terhadap diri sendiri dengan berupaya memenuhi yang
menjadi haknya (ruhani dan jasmani), terhadap keluarga dengan memenuhi yang
menjadi haknya, terhadap tetangga dengan memenuhi apa yang menjadi hak
tetangga, terhadap masyarakat dengan memenuhi apa yang menjadi hak
masyarakat, dan seterusnya. Manusia adalah mahluk sosial yang saling memiliki
hak dan kewajiban, plus solidaritas yang senantiasa ditumbuhkembangkan. Hidup
tolong-menolong harus selalu ditegakkan dan senantiasa mendayung bersama
pekerjaan yang dinilai memiliki dimensi untuk mengangkat kepentingan hidup
bersama, tidak rakus, dan harus memelihara kelestarian lingkungan hidup.
Ketiga, berkenaan dengan ilmu pengetahuan. Untuk dapat merealisasikan
amal saleh yang multidimensional itu, ilmu pengetahuan mutlak diperlukan
sebagai sarananya. Dengan menggunakan pena, manusia dapat mencatat segala
sesuatu yang dijumpai di alam raya ini. Alam raya merupakan kamus yang khusus
diperuntukan kepada manusia. Bagi manusia yang berilmu, Allah berjanji akan
mengangkat derajatnya. Ilmu memiliki nilai sentral di samping iman. Saking
sentralnya masalah ilmu ini, sampai-sampai Nabi Muhammad SAW bersabda :
"Barang siapa yang menghendaki dunia, hendaklah dengan ilmu, dan barang siapa
yang menghendaki akhirat, hendaklah dengan ilmu, dan barang siapa yang
menghendaki keduanya, hendaknya dengan ilmu." Dalam hal ini, keilmuan
seseorang sangat berpengaruh dengan kebudayaan.

C. MAKNA KATA ISLAM


Islam merupakan kata turunan yang berarti ketundukan, keta'atan,
kepatuhan (kepada kehendak Allah). Istilah Islam berasal dari kata aslama-
yuslimu-islaam artinya patuh atau menerima dan memeluk Islam; kata dasarnya
adalah salima yang berarti selamat dan sejahtera. Dari kata itu terbentuk kata
mashdar salaamat. Dari uraian tersebut dapatlah disebutkan, bahwa arti yang
dikandung dalam kata Islam adalah kedamaian, kesejahteraan, keselamatan,
penyerahan diri, keta'atan, dan kepatuhan.
Makna kata Islam intinya adalah berserah diri, tunduk, patuh dan ta'at
dengan sepenuh hati kepada kehendak Ilahi. Kehendak Ilahi yang wajib dita'ati
dengan sepenuh hati oleh manusia. Manfaatnya bukan untuk Allah sendiri, tetapi
untuk kemaslahatan manusia itu sendiri. Sebagai agama wahyu yang terakhir,
syari'at Islam memberi bimbingan kepada manusia mengenai semua aspek
kehidupan. Agama Islam merupakan satu sistem aqidah, syari'ah, dan akhlak yang
mengatur hidup dan kehidupan manusia dalam berbagai hubungan. Oleh karena
itu, Islam adalah agama yang menyatakan keta'atan kepada Tuhan, dengan kitab
al-Qur'an sebagai panduan dan tuntunan yang keasliannya di jaga oleh Allah
SWT.
Islam merupakan nama bagi agama yang dikirim Tuhan dengan perantara
wahyu kepada Nabi Muhammad SAW untuk dikembangkan kepada umat manusia
seluruhnya dan sepanjang masa. Pedoman pokok dan sumber hukum dalam agama
Islam ialah Kitab Suci al-Qur'an dan kitab suci ini dijelaskan dengan perkataan,
perbuatan dan contoh teladan dari Nabi Muhammad SAW yang dinamakan hadis
nabawi atau sunnah rasul.
BAB VI
ALASAN MENGAPA MANUSIA HARUS BERAGAMA
A. ALASAN MANUSIA HARUS BERAGAMA
1. manusia memerlukan agama karena dalam diri manusia sudah ada potensi
untuk beragama. Potensi manusia untuk beragama ini memerlukan
pembinaan, pengarahan, pengembangan dengan cara mengenalkan agama
kepada setiap manusia
2. ada kelemahan dan kekurangan dalam diri manusia. Quraish Shihab
menyatakan bahwa dalam pandangan al-Qur‘an, nafs diciptakan Allah
Swt. dalam keadaan sempurna yang mempunyai fungsi untuk menampung
serta mendorong manusia berbuat kebaikan dan keburukan. Karena itu, sisi
dalam manusia ini dianjurkan untuk diberi perhatian lebih besar. Quraish
Shihab melanjutkan bahwa kata mengilhamkan berarti potensi agar
manusia melalui nafs menangkap makna baik dan buruk. Nafs berpotensi
positif dan negatif, tapi diperoleh juga isyarat bahwa pada hakikatnya
potensi positif manusia ternyata jauh lebih kuat ketimbang potensi
negatifnya. Sayangnya, kadangkala dorongan dan daya tarik keburukan
lebih kuat dari pada daya tarik kebaikan.
3. Ketiga, ada tantangan dalam diri manusia. Faktor lain yang bisa
menyebabkan manusia memerlukan agama adalah karena manusia dalam
kehidupannya menghadapi berbagai tantangan baik yang datang dari
dalam maupun tantangan yang datang dari luar. Tantangan dari dalam
dapat berupa dorongan hawa nafsu dan bisikan setan (Q.S. 12:5; 17:53).
Sementara itu, tantangan dari luar bisa berupa rekayasa dan upaya- upaya
yang dilakukan manusia yang secara sengaja berupaya ingin memalingkan
manusia dari Tuhan.
Untuk itu upaya mengatasi dan membentengi manusia adalah dengan
mengajarkan mereka agar taat menjalankan agama. Godaan dan tantangan
hidup tersebut sangat meningkat, sehingga upaya mengagamakan
masyarakat menjadi hal yang sangat penting.
Tuhan menurunkan agama untuk kepentingan manusia. Agama bisa
diartikan sebagai ikatan yang harus dipegang dan dipatuhi oleh manusia.
Ikatan ini mempunyai pengaruh besar terhadap kehidupan manusia. Ikatan
tersebut berasal dari kekuatan yang lebih tinggi dari manusia dan sebagai
fitrah yang diberikan oleh Tuhan untuk hamba-Nya.
Agama sangat berguna dan mempunyai fungsi yang penting dalam
kehidupan manusia. Mengapa bisa begitu? Sebab, agama adalah unsur
mutlak dalam pembinaan karakter pribadi dan membangun kehidupan
sosial yang rukun dan damai, mendidik agar mempunyai jiwa yang tenang,
membebaskan dari belenggu perbudakan, berani menegakkan kebenaran,
memiliki moral yang terpuji dan agama dapat mengangkat derajat manusia
lebih tinggi dari makhluk Tuhan yang lain.

B. ALASAN MEMILIH AGAMA ISLAM


Dalam buku Al-Milal wa An- Nihal, Asy-Syahrastani menyatakan
bahwa agama adalah ketaatan dan kepatuhan yang bisa diartikan sebagai
pembalasan dan perhitungan amal perbuatan di akhirat kelak. Sedangkan
menurut Ath-Thanwi dalam buku Kasyaf Isthilahat Al-Funun disebutkan
bahwa agama adalah intisari Tuhan yang mengarahkan orang- orang
berakal dengan kemauan mereka sendiri untuk memperoleh kesejahteraan
hidup di dunia dan di akhirat.
Sementara itu, Maulana Muhammad Ali mendefinisikan Islam dengan
merujuk pada firman Allah Swt. dalam surat al- Baqarah ayat 208 yang
berarti:

‫م‬ ‫ؼ‬ ‫ػ‬ ‫م‬

Hai orang-orang yang beriman, masuklah kamu ke dalam Islam


keseluruhan, dan janganlah kamu turut langkah-langkah syaitan.
Sesungguhnya syaitan itu musuh yang nyata bagimu.
Sampai di sini dapat disimpulkan bahwa pengertian agama Islam
adalah suatu sistem keyakinan, penyembahan dan aturan- aturan Allah
Swt. yang mengatur segala kehidupan manusia dalam berbagai hubungan;
baik hubungan manusia dengan Allah Swt., dengan sesama manusia dan
dengan alam.

Dalam al-Qur‘an antara lain dijelaskan oleh Allah Swt. yang tercantum
dalam surat al-Baqarah ayat 136:
‫م‬ ‫م‬ ‫م‬ ‫س ؼ‬ ‫س‬ ‫ؼ‬ ‫س‬
‫م‬ ‫م س‬ ‫م ػ‬ ‫م‬ ‫م‬
‫م‬
Katakanlah (hai orang-orang mukmin): “Kami beriman kepada Allah dan
apa yang diturunkan kepada kami, dan apa yang diturunkan kepada
Ibrahim, Isma’il, Ishaq, Ya’qub dan anak cucunya, dan apa yang
diberikan kepada Musa dan Isa serta apa yang diberikan kepada nabi-
nabi dari Tuhannya. Kami tidak membeda-bedakan seorangpun diantara
mereka dan kami hanya tunduk patuh kepada-Nya.”
BAB VII
SESTEMATIKAN AJARAN ISLAM & KAJIAN
KEILMUAN
A. PENGERTIAN DAN POSISI STRATEGIS STUDI ISLAM
Terminologi Studi Islam atau Kajian Islam, dalam makna etimologis
(bahasa), adalah merupakan terjemahan dari istilah Dirasah Islamiyah dalam
bahasa Arab, yang dalam studi keislaman di Eropah disebut Islamic Studies.
Dengan demikian, Studi Islam (Kajian Islam) secara harfiah (bahasa) dapat
dinyatakan sebagai ―kajian tentang hal-hal yang berkaitan dengan agama
keislaman‖, atau bisa dinyatakan sebagai ―usaha mempelajari hal-hal yang
berhubungan dengan agama Islam‖. Ringkasnya, Studi Islam atau Kajian Islam
secara bahasa dapat diartikan sebagai ―kajian tentang hal-hal mengenai agama
Islam‖. Dan sudah barang tentu pangertian Studi Islam atau Kajian Islam dengan
makna kebahasaan semacam ini masih bersifat sangat umum, dan oleh karena itu
penting dilakukan pemaknaan secara terminologis atau istilah mengenai term
Studi Islam atau Kajian Islam itu sendiri.
Adapun secara istilah (terminologi), ditemukan adanya sejumlah pengertian yang
disampaikan oleh para ahli tentang Studi Islam (Kajian Islam). Tim Penulis IAIN
Sunan Ampel menyampaikan rumusan definisi Studi Islam sebagai ―kajian secara
sistematis dan terpadu untuk mengetahui, memahami dan menganalisis secara
mendalam hal-hal yang berkaitan dengan agama Islam, baik yang menyangkut
sumber-sumber ajaran Islam, pokok-pokok ajaran Islam, sejarah Islam, maupun
realitas pelaksanaannya dalam kehidupan‖. 3 Dan sementara itu Muhaimin, Abdul
Mujib dan Mudzakkir menyampaikan pendapatnya bahwa Studi Islam merupakan
―usaha sadar dan sistematis untuk mengetahui dan memahami serta membahas
secara mendalam tentang seluk-beluk atau hal-hal yang berhubungan dengan
agama Islam, baik berhubungan dengan ajaran, sejarah maupun praktek-praktek
pelaksanaannya secara nyata dalam kehidupan sehari- hari, sepanjang
sejarahnya‖. 4 Syamsul Arifin, dengan merujuk Nur A. Fadhil Lubis, memberikan
pengertian Studi Islam sebagai ―usaha untuk mempelajari halhal yang
berhubungan dengan agama Islam melalui berbagai bentuk empirisnya, serta
ajaran-ajaran idealnya‖.5
Memperhatikan sejumlah definisi tersebut dapat ditegaskan bahwa agama
Islam merupakan objek atau sasaran dalam Studi Islam (Studi Islam). Keberadaan
agama Islam yang diposisikan sebagai objek atau sasaran kajian di dalam Studi
Islam adalah dalam makna luasnya, ajaran idealnya dan elaborasi teoritisnya serta
aplikasinya dalam kehidupan masyarakat Islam. Berdasarkan penjelasan ringkas
ini kemudian dapat diberikan suatu penegasan sekaligus sebagai suatu kesimpulan
bahwa Studi Islam adalah: ―Suatu usaha sistematis membahas agama Islam, baik
mengenai ajaran-ajaran ideal dan elaborasi teoritis serta aplikasi-praksisnya agar
diperoleh pemahaman yang benar tentang agama Islam untuk kemudian
diamalkan‖.
Sejalan dengan penjelasan mengenai Studi Islam di atas, keterangan yang
disampaikan oleh Wandenburg perihal makna dan cakupan Studi Islam (Islamic
Studies) berikut ini penting diperhatikan: Studi Islam meliputi kajian agama Islam
dan aspek-aspek keislaman masyarakat dan budaya Muslim…. Atas dasar
pembedaan di atas, kiranya
mungkin untuk mengidentifikasi tiga pola kerja yang berbeda yang masuk dalam
ruang umum Studi Islam. Pertama, pada umumnya kajian normative agama Islam
dikembangkan oleh sarjana Muslim untuk memperoleh ilmu pengetahuan atas
kebenaran keagamaan (Islam). Kajian ini mencakup kajiankajian keagamaan
tentang Islam, seperti tafsir al-Qur‘an, ilmu hadis, jurisprudensi (fiqih) dan teologi
Islam (Ilmu Kalam). Biasanya kajian ini
berkembang di masjid-masjid atau sekolah keagamaan (madrasah). Biasanya, di
universitas atau institut keislaman yang ada di negara-negara Muslim, bidang-
bidang di atas masuk dalam kajian tentang syari‘ah, ilmu pokok-pokok agama
(ushul ad-din). Ini perlu diperhatikan karena bagaimana pun, kajiankajian
normatif di atas juga digeluti oleh orang-orang non-Muslim, seperti intelektual
Kristen yang menarik dirinya ke dalam dunia Muslim atau untuk membangun
sebuah teologi agama dalam ruang khusus yang ditetapkan dalam Islam. Kedua,
kajian non-normatif agama Islam. Biasanya, kajian ini dilakukan di universitas-
universitas dalam bentuk penggalian lebih mendalam apa yang telah dikaji oleh
Islam sehingga kemudian menjadi suatu ajaran keagamaan dalam Islam dan apa
yang terus mengalami perkembangan dalam Islam sehingga menjadi sesuatu yang
hidup secara dinamis dalam bentuk ekspresi faktual keagamaan Muslim. Kajian
non-normatif seperti ini juga dilakukan baik oleh intelektual Muslim maupun non-
Muslim, di mana mereka berusaha melakukan observasi dengan aturan-aturan
umum yang ada dalam penelitian keilmiahan, yang kemudian sering disebut
dengan studi-studi Islam. Ketiga, kajian non-normatif atas berbagai aspek
keislaman yang berkait dengan kultur dan masyarakat Muslim. Dalam lingkup
yang lebih luas, kajian ini tidak secara langsung terkait dengan Islam sebagai
suatu norma. Kajian ini mengambil cakupan konteks yang cukup luas, mendekati
keislaman dari sudut pandangan sejarah, literatur, atau sosiologi dan antropologi
budaya, dan tidak hanya
terfokus pada satu perspektf, yaitu studi agama.

Berdasarkan sejumlah keterangan menyangkut pengertian dan ruang


lingkup Studi Islam yang telah disampaikan oleh para ahli tersebut, kiranya dapat
disampaikan penegasan akhir perihal adanya tiga hal penting berkaitan dengan
keberadaan Studi Islam (Kajian Islam). Adapun tiga hal penting dimaksud, terkait
dengan keberadaan Studi Islam, dapat diuraikan sebagaimana berikut ini. Pertama,
mengingat Studi Islam di sini sebagai suatu disiplin ilmu, dan setiap disiplin
keilmuan mesti jelas objek kajiannya, maka sudah barang tentu ada objek yang
dikaji dalam Studi Islam. Sama halnya dengan studi (kajian) agama
yang memposisikan ―agama‖ sebagai sasaran (objek) studi atau kajian, maka
agama Islam, dalam berbagai aspeknya, merupakan objek yang dibahas dalam
Studi Islam. Dalam kotenteks ini, Dawam Rahardjo, dengan merujuk Bernard
Lewis, memberikan penegasan bahwa Studi atau Kajian Islam dapat mengungkap
keberadaan tiga hal (aspek) yang berbeda, tetapi tentu saling punya keterkaitan,
dari agama Islam itu sendiri, yaitu: (1) Islam sebagai suatu agama atau ajaran
(doktrin), yakni sebagaimana yang tertulis (tergelar) di dalam wahyu Allah berupa
al-Qur‘an dan as-Sunnah. (2) Islam sebagai teologi (dan semisalnya), sebagai
interpretasi terhadap al-Qur‘an dan as-Sunnah, baik yang sifatnya tekstual
maupun kontekstual. (3) Islam sebagai yang telah diwujudkan dalam berbagai
bentuk perbedaan.
Kedua, sebagai suatu usaha secara sadar dan sistematis serta mendalam,
keberadaan Studi Islam secara epistemologis mestilah dibangun di atas suatu
landasan epistemologis-metodologis dalam pengertian dilakukan dengan
menggunakan suatu metodologi dan atau pendekatan tertentu. Dalam ungkapan
lain dapatlah dinyatakan, sesungguhnya pelaksanaan Studi Islam, baik yang
dilakukan oleh subjek pihak dari kalangan internal umat Islam sendiri (insider)
maupun pihak outsider dari kalangan non-Muslim atau para orientalis pada
umumnya, tentulah tidak berjalan secara serampangan tanpa kerangka
metodologis dan atau pendekatan yang jelas, melainkan dilaksanakan dengan
kerangka metodologi atau pendekatan yang jelas lagi dapat dipertanggung
jawabkan. Itulah sebabnya dikenal adanya berbagai pendekatan yang disampaikan
oleh para ahli dalam praktek Studi Islam
Ketiga, sebagai sebuah disiplin keilmuan, Studi atau Kajian Islam, sama
halnya dengan studi agama pada umumnya, mestilah dibangun di atas landasan
aksiologis atau tujuan (kemanfaatan) tertentu, dan oleh karena itu studi Islam atau
kajian Islam sudah barang tentu diarahkan untuk mencapai tujuan atau suatu
kemanfaatan tertentu. Secara aksiologis, studi Islam, khususnya bagi kalangan
internal umat Islam, lebih dimaksudkan untuk tujuan memperoleh pemahaman
yang mendalam dan benar mengenai agama Islam dalam berbagai aspeknya, agar
kemudian umat Islam dapat melaksanakan dan mengamalkannya secara benar dan
tepat.
Dengan ungkapan lain, Studi Islam, bagi kalangan internal umat Islam,
lebih dimaksudkan agar umat Islam memiliki pemahaman yang benar dan tepat
mengenai agama Islam, dan kemudian pada gilirannya mereka mampu bersikap
dan mengamalkan serta melaksanakan Islam secara benar dan tepat. Sedangkan
bagi kalangan outsider (eksternal) non-Muslim, atau orientalis pada umumnya,
studi terhadap Islam lebih dimaksudkan untuk memperoleh pemahaman mengenai
seluk beluk agama Islam dan praktek keagamaan di kalangan umat Islam, hanya
saja sebatas untuk kepentingan keilmuan atau ilmu pengetahuan (islamologi)
semata, dan sekali-kali bukan diorientasikan untuk kepentingan diamalkan dalam
kehidupan kesehariannya. Sudah barang tentu dalam batas-batas tertentu hasil
studi atau penelitian terhadap Islam yang dilakukan oleh kalangan outsider ini
juga bisa dimanfaatkan oleh umat Islam untuk malakukan kajian terhadap agama
Islam dalam berbagai aspeknya, terutama dimensi empiris Islam.

B. AGAMA ISLAM SEBAGAI SASARAN STUDI ISLAM


NORMATIF DAN HISTORIS
Sebagaimana disiplin ilmu studi Agama memposisikan agama sebagai
sasaran atau objek studinya, maka studi Islam atau pengkajian Islam (islamic
studies), dengan padanan katannya dalam berbagai redaksi bahasa, serta
eksplanasinya dalam bentuk rumusan definisi sebagaimana telah diuraikan di atas,
maka sesungguhnya dapat dipastikan bahwa objek yang menjadi sasaran dalam
penelitian atau studi Islam adalah agama Islam itu sendiri. Dengan ungkapan lain,
Islam sebagai agama adalah merupakan objek atau sasaran penelitian atau kajian
dalam studi Islam. Singkat kata, Studi Islam adalah studi atau pengkajian atau
penelitian terhadap agama Islam. Dalam konteks ini, M. Atha‘ Mudzhar, pada
salah satu bab bukunya (khususnya bab pertama), secara eksplisit meposisikan
agama Islam sebagai sebuah sasaran studi dan penelitian agama dalam sebuah bab
khusus bertajuk ―Islam sebagai sasaran Studi dan Penelitian‖.15 Tentu saja Islam
yang dimaksudkan sebagai objek Studi Islam di sini adalah Islam dalam arti luas
yakni agama Islam (din al-Islam), bukan dalam arti sempit rukun Islam (arkan
alIslam). Memang pada awal dekade tahun 1970-an, sebagaimana diakui oleh
Mudzhar, memposisikan agama, termasuk agama Islam, sebagai sasaran
penelitian atau studi di IAIN masih dianggap suatu hal yang tabu. Hanya saja
seiring dengan dinamika intelektual umat Islam, terutama ummat Islam di
Indonesia, pada tahun 1970-an itu pula Mukti Ali telah menegaskan bahwa agama
Islam bisa dan boleh dijadikan sebagai sasaran penelitian atau kajian, yang
kemudian pandangan ini diikuti oleh sejumlah pemikir Islam di Indonesia semisal
Mudzhar. Tentu saja penelitian atau pengkajian agama Islam di sini sama sekali
bukan dimaksudkan untuk mempertanyakan kebenaran ajaran agama Islam.
Dalam konteks Agama Islam sebagai sasaran studi (penelitian),
Mudzhartelah membuat kategorisasi Agama Islam atas Islam sebagai wahyu dan
Islam sebagai produk sejarah. Tentu saja hal ini relevan dengan studi atau
penelitian agama pada umumnya, di mana agama sebagai sasaran atau objek
penelitian atau studi mempunyai dua aspek yakni aspek historis dan aspek
normatif.
Dikatakan oleh Mudzhar, karena wahyu ada yang berupa al-Qur‘an dan as-
Sunnah maka eksistensi agama Islam kategori wahyu tergelar di dalam al-Qur‘an
dan asSunnah. Sementara itu sebagai suatu produk sejarah, keberadaan Agama
Islam, sebagaimana agama-agama di dunia pada umumnya, diklasifikasikn atas
Agama Islam sebagai gejala budaya dan Agama Islam sebagai gejala sosial.
Sebagai gejala budaya dan gejala sosial, setidaknya ada 5 ragam bentuk Agama
Islam yang bisa diposisikan sebagai sasaran penelitian atau kajian dalam Studi
Islam. Pertama, scripture atau naskah-naskah atau sumber ajaran dan simbol-
simbol agama (Islam). Kedua, para penganut atau pemimpin atau pemuka agama
(Islam), yakni sikap, perilaku dan penghayatan dari para penganutnya. Ketiga,
ritus-ritus, lembaga-lembaga dan ibadah-ibadah seperti shalat, haji, puasa,
perkawinan, waris dan yang semisalnya. Keempat, alat-alat (sarana) dalam
elaborasi dan pengamalan agama Islam, seperti masjid, musholla, beduk dan lain
sebagainya. Kelima, organisasi-organisasi keagamaan tempat para penganut
agama Islam berkumpul dan berperan, seperti Nahdlatul ‗Ulama (NU),
Muhammadiyah, Persis, Syi‘ah dan lain sebagainya.
Pandangan yang disampaikan oleh Mudzhar di atas mempunyai relevansi
dengan diskursus keagamaan kontemporer, yang memandang agama (termasuk
Islam) memang mempunyai banyak atau keragaman wajah (multifaces) dan bukan
lagi singleface (berwajah tunggal).

C. SUBJEK STUDI ISLAM INSIDER & OUTSIDER


Islam sebagai sebuah agama merupakan sebuah topik yang menarik dikaji,
baik oleh kalangan intelektual Muslim sendiri maupun sarjana-sarjana Barat,
mulai tradisi orientalis sampai pada sebutan Islamist (ahli pengkaji keislaman),
atau sebutan lain sebagai Islamolog. Dengan kata lain, ditinjau dari pelaku
pelaksanaan studi Islam, subjek studi Islam dapat dikategorikan atas dua macam:
subjek yang berasal dari kalangan internal umat Islam dan subjek yang bukan
Muslim. Meminjam ungkapan Fazlur Rahman, sebagaimana dijelaskan oleh
Bustaman, kajian Islam, dilihat dari subjeknya, dapat dibedakan atas dua kutub
yang
berlainan: orang dalam (insider) dan orang luar (outsider). Kedua kelompok ini
tentunya sangat berlainan. Dan dalam konteks ini, subjek pengkaji Islam dari
kalangan orientalis oleh Rahman dikategorikan sebagai ―orang luar‖ (outsider)
dan ilmuwan Islam dianggap sebagai ―orang dalam‖ (insider).
kelompok tersebut, ditelaah oleh Rahman melalui beberapa tulisan dalam
buku itu yang sebenarnya merupakan makalah-makalah dalam simposium
mengenai ―Islam dan Sejarah Agama-agama‖, yang diselenggarakan oleh
Departement of Religious Studies, Arizona State University, Januari 1980. Satu
hal yang menarik dalam tulisan Rahman ini adalah dibutuhkan pendekatan
interdisipliner.42 Dengan demikian dapatlah ditegaskan bahwa pengkajian Islam
jika dilihat dari sisi para pengkajinya, dapat dikategorikan ke dalam dua
kelompok, yaitu kelompok outsider dan insider. Pertama, kajian keislaman yang
dilakukan oleh para pengkaji atau sarjana-sarjana Barat atau dari kalangan non-
Muslim, adalah masuk kategori outsider. Memang harus diakui bahwa kajian
mereka adalah kajian Islam kritis dalam berbagai aspeknya sesuai dengan minat
dan disiplin ilmu yang didalaminya. Kedua, kajian keislaman dalam pandangan
para sarjana dari kalangan Muslim. Dalam tradisi lama, kajian keislaman dalam
perspektif insider lebih bersifat transmisi karena mereka melakukan kajian dan
penelitian lebih banyak mengulang dari apa saja yang telah disampaikan oleh
gurunya. Jika diperbandingkan dengan sarjana Barat, tulisan dari kalangan
insider—menurut sebagian komentar—kering akan analisis kritis dalam penyajian
pembahasannya.
1. Studi Islam dalam Perspektif Outsider
Pengkajian keislaman, sebagaimana diuraikan di atas, dapat pula
dilakukan oleh para ilmuwan dari kalangan luar Islam (non-Muslim). Sarjana-
sarjana Barat tampknya amat terterik dengan dinamika ummat Islam di dunia ini.
Fenomena ini telah muncul sejak lama ketika sarjana Barat mersa perlu
melakukan sikap pertahaman dari atas keyakinan yang diyakininya hingga
sekarang mereka memandang perlu melakukan pengkajian Islam berdasarkan
bagaimana Islam dipahami oleh umatnya. Pemahaman dan langkah penelitian
dengan dasar bagaimana Islam dipahami oleh ummatnya ini dikenal dengan
pendekatan fenomenolog.
Kajian keislaman dalam perspektif outsider oleh ilmuwan non-Muslim
sebenarnya pada mulanya berangkat dari semangat pemahaman kajian orientalis,
yakni kajian tentang masalah-masalah ketimuran (oriental), termasuk di dalamnya
masalah Islam. Mereka mengkaji bahasa, kesusasteraan, agama, filsafat, adat-
istiadat, dan tradisi yang berkembang di dunia Timur. Di samping itu, terdapat
fenomena yang menyeruak di hadapan para sarjana Barat bahwa Islam merupakan
sebuah agama yang sangat cepat perkembangannya, bahkan secara kuantitas
dianggap sudah mendekati jumlah komunitas Kristen di dunia ini.

2. Studi Islam dalam Perspektif Insider


Islam sebagai objek kajian senantiasa menarik seiring dengan
berkembangnya pendekatan, disiplin ilmu dan metodologi. Oleh karena itu
pengkajian Islam yang dilakukan oleh para ilmuwan baik dari kalangan sarjana
Muslim sendiri maupun sarjana Barat non-Muslim tidak akan pernah berhenti.
Ketertarikan para peneliti tampaknya lebih merupakan kedinamisan Islam dan
masyarakatnya, dan karena banyaknya tantangan yang dihadapi oleh umat Muslim
dalam upaya mengakualisasikan ajaran-ajarannya. Kajian Islam dari kalangan
insider lebih dalam lagi karena inging memberikan respons Islam atas tantangan
kontemporer.
Pengkajian Islam dalam perspektif insider (pengkaji dari kalangan internal
Muslim sendiri) kini telah menunjukkan kecenderungan yang cukup kritis. Dari
segi ajaran, Buku Fazlur Rahman, Islam (edisi kedua 1979) yang sudah
mengalami banyak cetak ulang, merupakan buku pengantar wajib untuk
matakuliah Islamic Studies di universitas di Eropa dan Amerika. Kajian kritis
tentang Islam telah dilakukan oleh Nashr Hamid Abi Zayd dalam bukunya, Naqd
al-Khithab ad-Dini (1994) merupakan buku yang mengkaji tentang wacana agama
dengan perspektif wacana Islam kritis. Buku ini menjelaskan bahwa pertentangan
dalam wacana agama yang terjadi sekarang ini bukanlah sekedar pertentangan di
seputar teks-teks agama atau pun interpretasi terhadapnya, melainkan
pertentangan menyeluruh yang meliputi semua aspek kesejarahan, sosial, politik,
dan ekonomi: pertentangan yang melibatkan kekuatan-kekuatan takhayul dan
mitos atas nama agama dan juga pemahaman secara leterlek terhadap teks-teks
agama.

BAB VIII
KEBERADAAN AKIDAH/TAUHID
(KEIMANAN DALAM ISLAM)
A. PENGERTIAN AKIDAH & TAUHID
Aqidah ( ‫ ) ؼ‬merupakan keyakinan yang kuat terhadap sesuatu tanpa
terselip keraguan sedikitpun (Al Mu‘jam Al Washith 2/614). Islam memiliki
aqidah yang sudah pasti benar karena bersumber dari Allah subhanahu wa ta‘ala.
Definisi aqidah tidak hanya diuraikan oleh satu sumber. Para ahli dan
ulama juga turut menguraikan pengertian aqidah. Berikut ini pengertian aqidah
menurut beberapa ulama:
Aqidah merupakan sesuatu yang dipegang teguh dan tertancam kuat di
dalam hati dan tak dapat beralih dari padanya (M Hasbi Ash Shiddiqi).
Aqidah yaitu sesuatu yang diharuskan hati membenarkannya sehingga menjadi
ketentraman jiwa, yang menjadikan kepercayaan bersih dari kebimbangan dan
keragu-raguan (Syekh Hasan Al-Bannah).
Aqidah adalah ilmu yang membahas tentang wujud Allah, tentang sifat-
sifat yang wajib tetap pada-Nya, juga membahas tentang Rasul-rasul-Nya,
meyakinkan mereka, meyakinkan apa yang wajib ada pada mereka, apa yang
boleh dihubungkan pada diri mereka dan apa yang terlarang menghubungkannya
kepada diri mereka (Syekh Muhammad Abduh).
Aqidah ialah sejumlah kebenaran yang dapat diterima secara umum oleh manusia
berdasarkan akal sehat, wahyu dan fitrah. Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia
di dalam hati serta diyakini keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu
yang bertentangan dengan kebenaran itu (Abu Bakar Jabir al-Jazairy).
Dari beberapa pengertian di atas, maka dapat disimpulkan bahwa aqidah
ialah keteguhan iman terhadap Allah subhanahu wa ta‘ala dengan melaksanakan
segala perintah-Nya, menjauhi larangan-Nya, sekaligus beriman kepada malaikat-
malaikat-Nya, rasul-rasul-Nya, kitab-kitab-Nya, dan lain sebagainya.
Tauhid ( ) yaitu menyatakan keesaan Allah dalam hal-hal yang
menjadi kekhususan diri-Nya, diantaranya meliputi rububiyah, uluhiyah, dan
asma‘ wa shifat (Al-Qaul Al-Mufid, 1:5).

Hukum mempelajari ilmu tauhid ialah wajib bagi setiap umat Islam. Sebagaimana
yang tertuang dalam dalil di bawah ini.

‫ؼ‬ ‫ػ‬ ‫م‬ ‫م‬


‖Mencari ilmu itu adalah wajib bagi setiap muslim laki-laki maupun muslim
perempuan‖. (HR. Ibnu Abdil Barr)

Sebenarnya definisi tauhid terbilang luas. Hal ini dapat diketahui dari
beberapa pendapat dari para ulama berikut ini.
Tauhid Rububiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam kejadian-kejadian
yang hanya bisa dilakukan oleh Allah, serta menyatakan dengan tegas bahwa
Allah Ta‘ala adalah Rabb, Raja dan Pencipta semua makhluk, dan Allahlah yang
mengatur dan mengubah keadaan mereka (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).
Tauhid Uluhiyyah adalah mentauhidkan Allah dalam segala bentuk peribadahan
baik yang zhahir maupun batin (Al Jadid Syarh Kitab Tauhid, 17).
Tauhid Al Asma‘ was Sifat adalah mentauhidkan Allah Ta‘ala dalam penetapan
nama dan sifat Allah, yaitu sesuai dengan ditetapkan dalam Al Qur‘an dan Hadits
Rasulullah shallallahu‘alaihi wasallam (Syarh Tsalatsatil Ushul).
Itulah ulasan mengenai pengertian aqidah dan tauhid dengan dalil-dalil
yang mendukung. Semoga dapat menambah pengetahuan Islami Anda sekaligus
meningkatkan keimanan kita.
Menurut Abu Bakar Jabir al Jazairy, Aqidah adalah sejumlah kebenaran
yang dapat diterima secara umum (aksioma) oleh manusia berdasarakan akal,
wahyu dan fitrah.Kebenaran itu dipatrikan oleh manusia di dalam hati serta
diyakini kesahihan dan keberadaannya secara pasti dan ditolak segala sesuatu
yang bertentangan dengan kebenaran itu

B. ILMI-ILMU TENTANG AQIDAH


Iman, yaitu: sesuatu yang diyakini di dalam hati, diucapkan dengan lisan
dan diamalkan dengan anggota tubuh.
Tauhid, artinya: mengesakan Allah (Tauhidullah).
Ushuluddin, artinya: pokok-pokok agama Fiqh, artinya: ilmu yang
mempelajari tentang tatacara pelaksanaan.

C. TUJUAN AQIDAH DALAM ISLAM


Akidah Islam mempunyai banyak tujuan yang baik yang harus dipegang
teguh, yaitu :
Untuk mengihlaskan niat dan ibadah kepada AllahI semata. Karena Dia adalah
pencipta yang tidak ada sekutu bagiNya, maka tujuan dari ibadah haruslah
diperuntukkan hanya kepadaNya.
Membebaskan akal dan pikiran dari kekacauan yang timbul dari kosongnya hati
dariakidah. Karena orang yang hatinya kosong dari akidah ini, adakalanya kosong
hatinya dari setiap akidah serta menyembah materi yang dapat di indera saja dan
adakalanya terjatuh pada berbagai kesesatan akidah dan khurafat.
Ketenangan jiwa dan pikiran, tidak cemas dalam jiwa dan tidak goncang
dalam pikiran. Karena akidah ini akan menghubungkan orang mukmin dengan
Penciptanya lalu rela bahwa Dia sebagai Tuhan yang mengatur, Hakim yang
membuat tasyri'. Oleh karena itu hatinya menerima takdir-Nya, dadanya lapang
untuk menyerah lalu tidak mencari pengganti yang lain.
BAB IX
KEBERADAAN SYARIAH
(IBADAH DALAM ISLAM)
A. ISTILAH IBADAH DALAM KEILMUAN ISLAM
Istilah ibadah dalam khazanah keilmuan Islam telah lama dikenal seperti
yang banyak terungkap dalam kitab-kitab fikih Islam. Bahkan di dalam kitab-kitab
fikih tersebut, tema ibadah merupakan bagian awal pembahasannya. 1 Selain
kitabkitab fikih, kitab-kitab tasawuf juga banyak membahas masalah ibadah, dan
ibadah dalam pandangan sufi adalah al-a‘māl al-batiniyah. berbagai khazanah
keislaman itu, pada dasarnya bersumber dari Alquran, karena dalam banyak
ayatnya kitab suci ini memerintahkan kepada umat manusia untuk senantiasa
beribadah sebagai manifestasi dari kehambaan mereka. Manusia, bahkan seluruh
makhluk yang berkehendak dan berperasaan, adalah hamba Allah. Hamba yang
dalam terminologi Alquran diistilahkan dengan ‗abd, adalah makhluk yang
dimiliki dan dikuasai. Pemilikan Allah atas hamba-Nya adalah kepemilikan
mutlak sempurna. Oleh karena itu, makhluk tidak dapat berdiri sendiri dalam
kehidupan dan aktivitasnya. Atas dasar kepemilikan itu, maka lahir kewajiban
menerima semua ketetapan-Nya.

Alquran juga menegaskan bahwa tujuan utama diciptakannya manusia di


dunia ini, adalah untuk beribadah kepada Allah :

‫ؼ‬
Terjemahnya :
Dan Aku tidak menciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka
menyembahKu. (QS. al-Żāriyat/51: 56)

Menyembah kepada Allah sebagaimana dalam ayat di atas berarti


mengabdikan diri kepada-Nya. Dengan demikian, tujuan manusia diciptakan
untuk beribadah adalah untuk mengabdikan seluruh aktivitas kehidupannya dalam
rangka beribada kepada Allah. Dapatlah dipahami bahwa ibadah di sini,
merupakan kebutuhan primer bagi manusia.
Seorang muslim yang taat, tentulah ingin menjalankan ibadah yang
diperintahkan Allah, tapi kenyataannya pula banyak ditemukan sebagian orang
muslim tidak menjalankan ibadah secara baik. Boleh jadi, kelompok yang terakhir
ini, belum memahami hakikat ibadah sendiri, fungsi dan tujuannya. Dengan
kenyataan seperti ini, maka sangat menarik untuk dikaji lebih lanjut tentang
ibadah menurut perspektif Alquran.
Secara etimologis, kata ibadah merupakan bentuk mashdar dari kata kata
abada yang tersusun dari huruf ‗ain, ba, dan dal. Arti dari kata tersebut
mempunyai dua makna pokok yang tampak bertentangan atau bertolak belakang.
Pertama, mengandung pengertian lin wa zull yakni ; kelemahan dan kerendahan.
Kedua mengandung pengertian syiddat wa qilazh yakni ; kekerasan dan
kekasaran. Terkait dengan kedua makna ini, Prof. Dr. H. Abd. Muin Salim
menjelaskan bahwa, dari makna pertama diperoleh kata ‗abd yang bermakna
mamlūk (yang dimiliki) dan mempunyai bentuk jamak ‗abid dan ‗ibad. Bentuk
pertama menunjukkan makna budak-budak dan yang kedua untuk makna ―hamba-
hamba Tuhan‖. Dari makna terakhir inilah bersumber kata abada,
ya‘budu,‘ibadatan yang secara leksikal bermakna ―tunduk merendahkan, dan
menghinakan diri kepada dan di hadapan Allah.
Lebih lanjut Guru Besar Tafsir UIN Alauddin ini dalam bukunya Jalan Lurus
Menuju Hati Sejahtera menjelaskan, bahwa kata ibadah mengandung ke-
mujmalan dan kemudahan. Ayat-ayat Alquran yang menggunakan kata ‗abd ( ‫ػ‬
(dan yang serupa dan dekat maknanya adalah seperti khada‘ (tunduk merendahkan
diri); khasya‘a (khusyuk); atha‘a (mentaati), dan zal (menghinakan diri). Sejalan
dengan pengertian tersebut, Prof. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy juga menjelaskan
bahwa ibadah dari segi bahasa adalah ―taat, menurut, mengikut, tunduk, dan doa‖.
Kemudian secara istislahi, para ulama tidak mempunyai formulasi yang
disepakati tentang pengertian ibadah. Dengan demikian, ibadah secara
terminologis ditemukan dalam ungkapan yang berbeda-beda. Dalam hal ini, Prof.
Dr. TM. Hasbi Ash-Shiddieqy dalam mengutip beberapa pendapat, ditemukan
pengertian ibadah yang beragam, misalnya saja ;

ulama tauhid mengartikan ibadah dengan :


‫ه‬ ‫ؼظ‬ ‫غ‬ ‫ؼظ‬ ‫مغ‬ ‫ع‬ ‫خ‬
Meng Esakan Allah, menta‘dhimkan-Nya dengan sepenuh-sepenuhnya ta‘dhim
serta menghinakan diri kita dan menundukkan jiwa kepada-Nya (menyembah
Allah sendiri-Nya.

Ulama akhlak mengartikan ibadah dengan :


‫ؼ‬ ‫ػ‬ ‫ئ غ‬
Mengerjakan segala tha‘at badaniyah dan menyelenggaran segala syariat (hukum).

Ulama tasawuf mengartikan ibadah dengan :


‫ؼ‬ ‫ف‬ ‫فػ‬ ‫هى‬ ‫ؼظ‬
Seorang mukallaf mengerjakan sesuatu yang berlawanan dengan ke-inginan
nafsunya untuk membesarkan Tuhannya.
Ulama fikih mengartikan ibadah dengan :
‫تم‬ ‫غ‬ ‫ج‬ ‫ه‬ ‫ث‬ ‫آ خ‬
Segala taat yang dikerjakan untuk mencapai keridhaan Allah dan meng-harap
pahala-Nya di akhirat.

Selanjutnya ulama tafsir, misalnya Prof. Dr. M. Quraish Shihab, MA menyatakan


bahwa :
Ibadah adalah suatu bentuk ketundukan dan ketaatan yang mencapai
puncaknya sebagai dampak dari rasa pengagungan yang bersemai dalam lubuk
hati seseorang terhadap siapa yang kepadanya ia tunduk. Rasa itu lahir akibat
adanya keyakinan dalam diri yang beribadah bahwa obyek yang kepadanya
ditujukan ibadah itu memiliki kekuasaan yang tidak dapat terjangkau hakikatnya.
Masih dalam pengertian ibadah, ulama tafsir yakni Prof. Dr. H. Abd. Muin

Salim menyatakan bahwa :


Ibadah dalam bahasa agama merupakan sebuah konsep yang berisi
pengertian cinta yang sempurna, ketaatan dan khawatir. Artinya, dalam ibadah
terkandung rasa cinta yang sempurna kepada Sang Pencipta disertai kepatuhan
dan rasa khawatir hamba akan adanya penolakan sang Pencipta terhadapnya.
Pengertian-pengertian ibadah dalam ungkapan yang berbeda-beda sebagaimana
yang telah dikutip, pada dasarnya memiliki kesamaan esensial, yakni
masing-masing bermuara pada pengabdian seorang hamba kepada Allah swt,
dengan cara mengagungkan-Nya, taat kepada-Nya, tunduk kepada-Nya, dan cinta
yang sempurna kepada-Nya. Dengan merujuk pada pengertian-pengertian ini,
maka tampak bahwa ada beberapa terma yang memiliki makna sama dengan
ibadah itu sendiri yang ditemukan di dalam Alquran, yakni antara lain ;
1. Al-tha‘ah ( ‫ػ‬ ,(yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak 128 kali
dalam berbagai bentuk perubahan katanya. 16 Pada dasarnya, kata al-
tha‘ah ini mengandung arti ―senantiasa menurut, tunduk dan patuh kepada
Allah dan rasul-Nya‖.
2. Khada‘a (‫غ‬ ,(yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak 2 kali,
yakni QS. alSyu‘ara (26): 4 dan QS. al-Ahzab (33): 32. Pada dasarnya,
kata khada‘a ini mengandung arti ―merendahkan, dan menundukkan‖.
3. al-Zulli/al-Zillat ( / ,(yang di dalam Alquran ditemukan sebanyak
24 kali.17 Pada dasarnya, kata ini dapat pula berarti ―kerendahan atau
kehinaan‖. Kesemua terma ini, dapat dikonotasikan kepada perilaku-
perilaku hamba Allah yang beriman dan yang bertaqwa, karena mereka
dalam hidupnya senantiasa tunduk dan patuh kepada semua perintah
Allah dan menjauhi segala larangan-Nya.

Berdasar pada rumusan ini, maka ibadah menurut Muhammmad Abduh dalam
tafsir al-Manar adalah :
... ‫ؼ‬ ‫ض‬ ‫عم‬ ‫خ‬ ‫غ‬ ‫ش ئي‬ ‫ػ‬ ‫س ؼ‬ ‫ؼظ‬
‫ؼ‬ ‫ؼ ف‬ ‫ه‬ ‫م‬ ‫ػ‬ ‫ك‬ ‫م‬ ‫ ه‬..

B. CARA BERIBADAH
Dari segi turunnya ayat-ayat Alquran, istilah abdun yang merupakan akar
kata ibadah, pertama kali ditemukan dalam QS. al-Alaq, selanjutnya dalam QS.
alfatihah. Pengungkapan ibadah dalam QS. al-Alaq, belum begitu jelas tentang
cara beribadah, sementara dalam QS. al-Fatihah dikemukakan secara jelas obyek
yang disembah yakni Allah. 21 Penyebutan obyek, yakni Allah swt sebagai satu-
satunya Tuhan yang harus disembah melahirkan berbagai interpretasi dalam
berbagai ayat di dalam Alquran tentang bagai-mana cara beribadah kepadaNya.
Di dalam Alquran, kata ibadah disebut sebanyak 277 kali. 154 dalam
bentuk ism dan 13 kali dalam bentuk fi‘il, 5 kali fi‘il mādhi, 81 fi‘il mudhāri‘ dan
37 kali fi‘il amr.
Dari sejumlah ayat-ayat Alquran ini, ditemukan di antaranya yang
berbicara tentang cara beribadah. Cara ibadah pada dasarnya bermacam-macam
menurut perbedaan agama dan
waktu. Tetapi semuanya disyaratkan untuk mengingatkan manusia kepada
kekuasaan Yang Maha Agung dan kepada kerajaan-Nya Yang Maha Tinggi. Juga
untuk meluruskan akhlak yang tercela dan membersihkan jiwa manusia.
Ibadah dalam berbagai bentuknya telah dicontohkan oleh Nabi saw,
walaupun dalam kenyataannya umat Islam dalam melaksanakan ibadah tersebut
tampak sangat bervariasi. Misalnya saja, ―ibadah shalat‖. Tampak sekali bahwa
kaum muslim dalam melaksanakan shalat tersebut, memiliki perbedaan antara
satu dengan lainnya, dan atau antara kelompok satu dengan kelompok lainnya.
Mulai cara takbīratul ihrām, cara membaca surah al-fātihah (bismillah jahar - non
jahar) dan seterusnya.
Perbedaan- perbedaan cara beribadah seperti yang telah dikemukakan,
tidaklah berarti bahwa yang satu adalah benar dan selainnya adalah salah. Adanya
perbedaan cara beribadah dalam prihal shalat yang dicontohkan, wajar terjadi
karena masing-masing orang memiliki dalil tersendiri yang dapat dipertanggung
jawabkannya, dan praktis bahwa dengan cara beribadah yang beraragam ini dapat
saja diterima di sisi-Nya asalkan saja sesuai dengan ketentuan syara‘ sebagaimana
yang termaktub dalam kitab-kitab fikih.
Di samping yang telah dikemukakan, maka cara beribadah yang harus
terpenuhi menurut Alquran adalah dengan cara ―ikhlas‖. Bagaimana pun bentuk
ibadah dan ragamnya itu, harus didasari oleh keikhlasan. Ayat yang sangat terkait
dengan masalah ini adalah QS. al-Bayyinat (98): 5,

‫ؼ‬ ‫ي‬

‫ك‬

‫ي‬
Terjemahnya :
Dan mereka tidak disuruh kecuali supaya menyembah Allah dengan penuh
keikhlasan (kepada-Nya dalam menjalankan) agama dengan lurus, dan supaya
mereka mendirikan shalat dan menunaikan zakat; dan yang demikian itulah agama
yang lurus.
Ayat serupa ditemukan pula dalam QS. al-Taubah (9): 31, namun dalam ayat
tersebut tidak ditemukan keterangan tentang perintah shalat dan zakat
sebagaimana dalam ayat di atas. Ayat lain yang juga masih terkait dengan firman
Allah tersebut adalah QS. al-Zumar (39): 2. Dalam ayat-ayat ini, disebutkan
bahwa dalam beribadah kepada-Nya harus dengan cara meng-ikhlaskan diri dalam
arti ibadah tersebut dilaksanakan dengan penuh kecintaan kepada-Nya dan
menghindarkan diri sari sikap riya‘ dalam beribadah.
Muhammad Ali al-Shabūni memberi keterangan mengenai kata
mukhlishin dalam QS. al-Bayyinah (98): 5 yang telah dikutip bahwa ikhlas adalah
inti atau isi ibadah dan hanya dengan keikhlasan, amal ibadah akan diterima oleh
Allah, karena ikhlas dimaksudkan sebagai pengabdian hanya semata kepada
Allah. 23 Di sisi lain, Prof. Dr. H. Muin Salim juga memberi keterangan bahwa
ikhlas dalam menjalankan.

C. FUNGSI DAN TUJUAN IBADAH


Apabila dilihat dari sisi urgensi dalam menafsirkan ayat-ayat tentang
ibadah, ditemukan konsep bahwa ibadah secara fungsional adalah menumbuh
kembangkan nilai-nilai ketauhidan dan mengokohkannya dalam jiwa. Atau dalam
beberapa kitab tafsir dibahasakan bahwa bahwa seseorang hamba yang dengan
jiwa raganya beribadah laksana kebun, dan semakin banyak mendapat siraman
melalui ibadah maka yang bersangkutan semakin subur yang selanjutnya nilai-
nilai ketauhidan akan tumbuh dan berkembang semakin baik. Sebaliknya, semakin
jarang orang melakukan ibadah maka semakin memberikan kesempatan bagi
dirinya terjauh dari nilai-nilai ketauhidan.
Masalah tauhid dalam Islam adalah adalah rukun iman yang pertama,
yakni meng-Esa-kan Allah dari segi zat dan sifat-Nya, dan oleh karena itu maka
ibadah sebagai cara mentauhidkan Allah sangat urgen kedudukannya. Begitu
urgennya ibadah ini, maka dengan sendirinya akan diketahui bahwa ibadah bagi
setiap manusia memiliki fungsi dan tujuan.
Fungsi ibadah, terkait dengan fungsi dan kedudukan manusia sebagai
‗abdullāh (hamba Allah). Ada empat macam hamba Allah, sebagai berikut; (a)
hamba karena hukum, yakni budak-budak; (b) hamba karena penciptaan, yakni
manusia dan seluruh makhluk ciptaan Tuhan; (c) hamba karena pengabdian
kepada Allah, yakni orang-orang beriman yang menunaikan hukum Tuhan dengan
ikhlas; dan (d) hamba karena memburu dunia dan kesenangannya. 29 Dari
keempat tipe hamba Allah ini, diketahui bahwa ternyata diketahui bahwa ada
diantaranya yang tidak menyembah kepada Allah.
Dengan melaksanakan ibadah dengan baik dan tekun, maka seorang
hamba akan mencapai derajat taqwa. Sebagaimana juga yang telah singgung
bahwa Allah swt sebagai Tuhan satu-satunya yang Maha Pemelihara dan
menciptakan manusia, maka wajar jika manusia tersebut akan menyembah dan
mentaati aturan-aturannya.
Dengan demikian terma la‘allakum tatyttaqūn dan ayat-ayat lain yang
memerintahkan untuk bertaqwa, misalnya

(QS. al-Nisā/4:1)
adalah terkait dengan perintah beribadah kepada-Nya dalam arti luas. Dalam QS.
al-Baqarah (2): 2-4, ditemukan empat kriteria orang-orang yang bertaqwa, yakni :
beriman kepada yang ghaib; mendirikan shalat; menafkahkan sebagian rezki yang
diberikannya; beriman dengan kitab suci Alquran.
BAB X
KEBERADAAN AKHLAK DALAM ISLAM
A. LATAR BELAKANG
Pertama, aqidah berasal dari kata ‗aqada- ya‘qidu-‗ yang artinya ikatan.
Maksudnya adalah ikatan yang kuat (mistaqan ghalidhan) antara seorang hamba
dengan Allah SWT meyakini bahwa tidak ada sesembahan yang patut untuk
disembah melainkan Allah SWT, meyakini bahwa Allah yang menciptakan
seluruh jagad raya ini beserta isinya. Oleh karena itu, muncullah istilah aqidah al-
islamiyyah, yaitu meyakini dengan hati bahwa Islam adalah agama yang hanif
(lurus) menuhankan pada Tuhan Yang Esa yaitu Allah Rabbul ‗Izzati.
Ruang lingkup pembahasan pada aspek Aqidah terangkum dalam rukun
Iman yaitu Iman kepada Allah, iman kepada para malaikat, iman kepada kitab-
kitabnya Allah, iman kepada rasul-rasul-Nya, iman kepada hari kiamat, iman
kepada qadha dan qadhar-Nya Allah.
Penanaman aqidah (keimanan) yang kuat dalam diri seseorang akan melahirkan
pribadi super yaitu sopan, santun, lembut tutur katanya, empati, simpati, dan lain-
lain.
Begitu dahsyatnya dimensi iman apabila tertanam kokoh dalam diri
seseorang, akan melahirkan buah yang manis yaitu akhlaqul karimah.
Sebagaimana Rasulullah saw bersabda dari abu hurairah, ―Barang siapa yang
beriman kepada Allah dan hari kiamat maka janganlah dia menyakiti tetangganya,
dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari kiamat hendaklah dia
memuliakan tamunya, dan barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari
kiamat maka hendaklah ia berkata yang baik atau diam‖.(HR, Shohih Bukhori,
jilid 5 hal 2273)
Akhlak dalam Islam menduduki posisi yang sangat penting. Bukti
kepentingan posisi akhlak dalam Islam adalah berdasarkan Al-Qur‘an yang mana
sepertiga dalam isi Al-Qur‘an tersebut menjelaskan tentang akhlak. Sehingga
akhlak digunakan sebagai nilai moralitas dalam Islam yang memberikan peran
penting bagi kehidupan, baik yang bersifat individual maupun kolektif.
Dalam QS. Al- Ahzab ayat 21 yang berbunyi:
Sungguh, telah ada pada (diri) rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu, (yaitu)
bagi orang yang mengharap (rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat dan
yang banyak mengingat Allah. (QS. Al- Ahzab (33) ayat 21) Dan dalam Hadits
juga dijelaskan Mukmin yang paling sempurna imannya, adalah orang yang paling
bagus akhlaknya. (HR. At-Tirmidzi).
Berdasarkan ayat Al-Qur‘an dan Hadits tersebut, maka semakin jelas
bahwa eksistensi akhlak dalam agama Islam sangat dijunjung tinggi. Karena
ajaran Islam memperjuangkan kesempurnaan, kebaikan, dan keutamaan akhlak
bagi pemeluknya. Dan bagi manusia yang mau mengikuti aturan-aturan tersebut,
niscaya ia tidak akan tersesat, dan akan memperoleh kebahagiaan baik di dunia
maupun di akhirat.
Akhlak dalam Islam aalah perangai serta tingkah laku yang terdapat pada
diri seseorang yang telah melekat, dilakukan dan dipertahankan secara terus
menerus. Akhlak erat kaitannya dengan perbuatan. Bila seseorang melakukan
perbuatan baik, maka perbuatan tersebut dikatakan akhlak mulia. Sebaliknya, bila
seseorang melakukan perbuatan buruk maka perbuatan tersebut dikatakan akhlak
yang buruk
Adapun dasar yang menjadi alat pengukur untuk menyatakan bahwa
seseorang baik atau buruk adalah Al-Qur‘an dan As-Sunnah. Dimana segala
sesuatu yang baik menurut AlQur‘an dan As-Sunnah adalah yang baik untuk
pegangan kehidupan sehari-hari. Dan apa yang dianggap buruk oleh AlQur‘an dan
As-Sunnah adalah tidak baik dan harus dijauhi (Amin, 2016:59). Satu hal lagi
yang penting bagi kehidupan manusia, yaitu akhlak yang baik.
Adapun alasan yang membuat keberadaan akhlak amat dibutuhkan dalam
kehidupan suatu masyarakat, yaitu karena akhlak menjadi barometer moralitas
suatu masyarakat yang mencerminkan asa kebahagiaan mereka. Akhlak juga
merupakan cerminan dari keadaan jiwa dan perilaku manusia karena tidak ada
seorang pun manusia yang dapat terlepas dari akhlak. Sehingga manusia akan
dinilai berakhlak mulia apabila jiwa dan tindakannya menunjukkan kepada hal-hal
yang baik, dan manusia akan dinilai berakhlak buruk apabila jiwa dan
tindakannya menunjukkan perbuatan yang dipandang tercela. Akhlak yang baik
tidak akan terwujud pada seseorang tanpa adanya pembinaan yang dilakukan.
Oleh karena itu perlu diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari. Peran
akhlak dalam kehidupan manusia menjadi hal penting, baik secara individu
maupun sebagai anggota masyarakat. Sebab jatuh bangunnya, jaya hancurnya,
sejahtera-rusaknya suatu bangsa dan masyarakat, tergantung kepada bagaimana
akhlaknya. Apabila akhlaknya baik (berakhlak ), akan sejahteralah lahir batinnya,
akan tetapi apabila akhlaknya buruk (tidak berakhlak), rusaklah lahirnya atau
batinnya. Suatu masyarakat terdiri dari individu-individu. Maka apabila ada
seorang dari anggota masyarakat itu melakukan tindakan yang tidak berakhlak,
maka masyarakat itu juga akan tercemar (Djatmika, 2012:11)

BAB XII
MANFAAT AKIDAH (KEIMANAN), SYARIAH
(IBADAH), & AKHLAK BAGI MANUSIA
A. MANFAAT AKIDAH
Kata ―‗Aqidah‖ diambil dari kata dasar ―al-‗aqdu‖ yaitu ar-rabth (ikatan),
al-Ibraamal-ihkam (pengesahan), (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh,
kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan)
dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin
(keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
―Al-‗Aqdu‖ (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan
kata tersebut diambil dari kata kerja: ‖ ‗Aqadahu‖ ―Ya‘qiduhu‖ (mengikatnya), ‖
‗Aqdan‖ (ikatan sumpah), dan ‖ ‗Uqdatun Nikah‖ (ikatan menikah). Allah Ta‘ala
berfirman, ―Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja …‖ (Al-Maa-idah : 89).
Aqidah artinya ketetapan yang tidak ada keraguan pada orang yang
mengambil keputusan. Sedang pengertian aqidah dalam agama maksudnya adalah
berkaitan dengan keyakinan bukan perbuatan. Seperti aqidah dengan adanya Allah
dan diutusnya pada Rasul. Bentuk jamak dari aqidah adalah aqa-id. (Lihat kamus
bahasa: Lisaanul ‗Arab, al-Qaamuusul Muhiith dan al-Mu‘jamul Wasiith: (bab:
‗Aqada).
Jadi kesimpulannya, apa yang telah menjadi ketetapan hati seorang secara
pasti adalah aqidah; baik itu benar ataupun salah.
Aqidah menurut syara‘ ialah : iman yang kokoh terhadap segala sesuatu yang
disebut dalam Al Qur‘an dan Hadits Shahih yang berhubungan dengan tiga sendi
Aqidah Islamiyah, yaitu :
Ketuhanan, meliputi sifat-sifat Allah SWT, Nama-nama-Nya yang baik dan segala
pekerjaan-Nya.
Kenabian, meliputi sifat-sifat Nabi, keterpeliharaan mereka dalam
menyampaikan risalah, beriman tentang kerasulan dan mukjizat yang diberikan
kepada mereka dan beriman dengan kitab-kitab yang diturunkan kepada mereka.
Alam Kebangkitan;
Alam Rohani, membahas alam yang tidak dapat dilihat oleh mata.
Alam Barzah, membahas tentang kehidupan di alam kubur sampai bangkit pada
hari kiamat.
Kehidupan di alam akhirat, meliputi tanda-tanda kiamat, huruhara, pembalasan
amal perbuatan.
Kata ―‗Aqidah‖ diambil dari kata dasar ―al-‗aqdu‖ yaitu ar-rabth (ikatan),
al-Ibraamal-ihkam (pengesahan), (penguatan), at-tawatstsuq (menjadi kokoh,
kuat), asy-syaddu biquwwah (pengikatan dengan kuat), at-tamaasuk(pengokohan)
dan al-itsbaatu (penetapan). Di antaranya juga mempunyai arti al-yaqiin
(keyakinan) dan al-jazmu (penetapan).
―Al-‗Aqdu‖ (ikatan) lawan kata dari al-hallu(penguraian, pelepasan). Dan
kata tersebut diambil dari kata kerja: ‖ ‗Aqadahu‖ ―Ya‘qiduhu‖ (mengikatnya), ‖
‗Aqdan‖ (ikatan sumpah), dan ‖ ‗Uqdatun Nikah‖ (ikatan menikah). Allah Ta‘ala
berfirman, ―Allah tidak menghukum kamu disebabkan sumpah-sumpahmu yang
tidak dimaksud (untuk bersumpah), tetapi dia menghukum kamu disebabkan
sumpah-sumpah yang kamu sengaja …‖ (Al-Maa-idah : 89)
Tujuan beraqidah dalam beragama islam adalah agar menjadi pondasi
agama yang kuat dan benar yang menjadi pandangan hidup pemeluknya. Untuk
mengetahui petunjuk hidup yang benar dan dapat membedakan mana yang benar
dan mana yang salah sehingga hidup untuk mencari keridhaan Allah SWT.

B. MANFAAT IBADAH
Untuk memperoleh manfaat ibadah harus dilandasi dengan niat dan
semangat sungguh-sungguh, memahami prinsip-prinsipnya, dan tujuan-tujuannya.
Tidak boleh sidkitpun menganggap remeh segala hal yang berhubungan dengan
ibadah. Menganggap enteng sesuatu perkara atau suatu urusan ibadah dapat
menghambat tercapainya target dan menghilangkan manfaat yang seharusnya
diperoleh.
Misalnya, jika meremehkan ilmu tentang tatacara dan ketentuan shalat
maka tidak akan dapat melaksanakan ibadah shalat dengan baik. Akibat
berikutnya tidak memperoleh manfaat dari ibadah shalat itu.
Sebaliknya manfaat suatu ibadah akan diperoleh tatkala kita memahami
tatacara, tujuan, dan hikmah dari ibadah itu. Orang melakukan sesuatu ibadah
ditentukan oleh pengetahuannya atas hikmah ibadah itu. Misalnya, ada orang yang
dengan cepat bangun pagi untuk melaksanakan shalat fajar dua rakaat, kerena
memang ia tahu manfaat dan keutamaannya. Nabi Muhammad saw bersabda,
bahwa dua rakaat fajar keutamaannya lebih baik dari dunia dan seisinya. Apabila
terlambat bangun dan kehilangan kesempatan shalat fajar tentu akan merasa rugi.
Manfaat utama yang akan diperoleh dari ibadah dari serorang manusia
adalah akan mendapat ridha Allah. Bagi seorang Muslim yang taat tidak ada hal
yang lebih berharga dalam hidup ini selain mendapat ridha Allah SwT. Kerelaan
Allah atas segala amal ibadah yang dilakukan manusia menjadi tujuan sekaligus
dan pintu utama dibukanya nikmat, rizki, dan rahmat Allah.
Ibadah harus mengantarkan pada ketakwaan, suatu sikap moral yang
menuntun pelakunya tetap dalam garis kesadaran bahwa pengawasan Allah selalu
menyertai setiap langkah dan detak jantungnya. Ibadah mengantarkan pelakunya
memiliki keluhuran akhlak yang mulia terhadap sesama.

C. MANFAAT AKHLAK
Penanaman sikap yang baik perlu sejak kecil agar saat anak sudah besar
tetap memiliki sikap yang baik. Karena berubah sikap yang tidak baik saat sudah
besar agak sulit sekali. Akhlak dalam kehidupan manusia memiliki peranan yang
penting sekali. Agamapun menganjurka agar setiap umatnya menanamkan akhlak
yang baik dalam kehidupan sehari-hari. Karena akhlak yang baik itu
menentramkan hati dan fisik. Dalam kajian ilmu sudah ada bahasan mengenai
ilmu akhlak. Bahasan mengenai ilmu akhlak ini berkaitan dengan sikap terpuji
dan sikap tercela yang dibahas secara detail melalui teori yang ada. Berikut ini
manfaat dari ilmu akhlak antara lain :
1.Sisi baik dan buruk manusia
Dengan mempelajari ilmu akhlak maka Anda akan mengetahui
pembahasan teori tentang sisi baik dan buruk seorang hamba. Sebagai hamba
semua manusia pasti pernah melakukan kesalahan baik disengaja ataupun tidak
disengaja. Disinilah terasa manfaat dari ilmu akhlak, setelah mengetahui bahwa
sisi buruk itu merugikan kehidupan kita jadi berbenah untuk tidak mengulanginya
lagi. Diawal mungkin sulit namun itu merupakan cobaan yang harus bisa kita atasi
sendiri. Kitalah yang mengendalikan diri kita sendiri.

2. Mensyukuri hidup
Manfaat dari ilmu akhlak selanjutnya adalah menjadikan kita manusia
yang bersyukur. Dalam firmanNYa Allah SWT mengatakan bahwa Dia akan
menambah nikmat bagi hamba yang senantiasa bersyukur. Dengan ilmu kita tahu
bahwa akhlak terpuji yang kita lakukan dengan ikhlas merupakan anugerah dari
Allah SWT, dan tidak semua orang dianugerahi sikap yang baik. Dengan ikhlas
ini menjadikan kita mensyukuri kehidupan di dunia yang hanya sementara ini.

3. Tidak tertipu fatamorgana


Dunia hanyalah fatamorgana yang terlihat indah padahal hanya sebuah
tipuan dan mainan belaka. Kelak setelah datang kematian baru kita menyadarinya.
Kadang hidup didunia memang begitu menyilaukan segalanya tampak ingin kita
kuasai didalam genggaman. Namun bari orang yang beriman ilmu akhlak telah
membuka matanya bahwa dunia bisa ada dalam genggaman jika kita tidak
melupakan kehidupan yang kekal yaitu alam akhirat.

4. Bahagia selalu
Manfaat dari mempelajari ilmu akhlak yaitu kebahagian yang terasa dihati.
Meskipun hidup tidak memberikan kebahagiaan selamanya. Namun kita tetap
memiliki kebahagian yang terasa dihati dan kebahagian yang dapat dibagikan bagi
orang – orang disekitar kita. Karena kita tidak akan merasa hidup ini
memberatkan melainkan hidup ini untuk mencari pahala yang kemudian
mengantarkan kita sebagai orang yang tidak merugi sama sekali hidup di dunia.

Anda mungkin juga menyukai