Anda di halaman 1dari 4

Islam dan Kesalehan Sosial : Al Arham Edisi 37 (A) JUMAT, 17 JUNI 2011 06:10 AGUSTRIANI MUZAYYANAH Geliat berbagai

aktifitas keagamaan semakin tampak nyata di dalam kehidupan umat Islam di Indonesia. Hal ini bisa dilihat dari maraknya pengajian-pengajian umum dan majlis taklim yang digelar. Namun, tingginya kuantitas kegiatan keislaman itu belum sepenuhnya berbanding lurus dengan kemaslahatan riil yang didambakan oleh masyarakat luas. Sebagai contoh berbagai masalah sosial masih membelit umat Islam, seperti keterbelakangan, pengangguran, dan tingginya angka kemiskinan. Hal ini tentu tidak sesuai dengan misi agung Islam sebagai agama yang"rahmatan lil 'aalamiin." Untuk mewujudkan risalah Islam ini kita perlu melakukan napak-tilas terhadap ajaran Rasulullah Muhammad saw., dan mengambil pelajaran berharga dari kehidupan beliau. Manusia sebagai Makhluk Sosial Aristoteles mengatakan bahwa manusia adalah zoon politicon. Sementara para filosof Muslim dahulu menyebutnya al-insan madaniyy bith-thab'i. Kedua istilah itu memiliki arti yang sama, yaitu: manusia adalah makhluk sosial. Istilah ini, menurut Ibnu Khaldun, mengandung makna bahwa manusia tidak bisa hidup sendirian dan keberadaannya tidak akan terwujud kecuali dengan kehidupan bersama. Islam datang agar sifat kebersamaan yang menjadi bawaan itu, dalam penyalurannya, memiliki tujuan yang sama. Memang benar, sasaran pertama Islam adalah perbaikan individu-individu. Tetapi sasaran utamanya adalah agar individu-individu itu masing-masing menjadi khalifah (wakil Allah), pencipta kedamaian dan kebersamaan. Jika tugas kekhalifahan ini gagal dilaksanakan dengan alasan yang sangat individual, maka itu sama saja memberi umpan kepada tudingan Karl Marx, tokoh komunisme asal Jerman, bahwa agama itu memang candu, membuat penganutnya merasa puas dan tenang dengan amalan-amalan pribadinya. Padahal untuk menjadi insan kamil (manusia yang sempurna) yang di akhirat kelak diberi hak menempati tempat terindah yaitu surga, Allah memberi jalan bukan hanya iman dan takwa, tapi juga amal saleh, sebagaimana firman Allah dalam surat Al-Baqarah: 82

Dan orang-orang yang beriman serta beramal saleh, mereka itu penghuni surga; mereka kekal di dalamnya. Dalam banyak ayat Alquran, kata-kata iman dengan berbagai derivasinya seringkali dikaitkan dengan kata amal saleh. Iman adalah hubungan vertikal antara manusia dengan Tuhannya, sedangkan amal saleh adalah hubungan vertikal dengan Tuhan sekaligus hubungan horizontal dengan sesama manusia bahkan sesama makhluk di bumi ini. Di sinilah makna kesalehan sosial berada, yaitu amalan baik yang bermanfaat bagi masyarakat luas. Rasulullah Sang Teladan Kesalehan Sosial Rasulullah saw adalah manusia yang memiliki tingkat ketakwaan dan kesalehan sosial paling

tinggi. Kesalehan sosial ini menjadi pendekatan terhadap masyarakatnya dan merupakan kunci keberhasilan dalam mengemban risalah kenabiannya. Secara garis besar, kesalehan sosial Rasulullah terumuskan dalam tiga kata kunci: salam, kalam dan tha'am. Salam adalah social approach (pendekatan sosial) dalam bentuk empati kepada orang lain. Keagungan akhlak Rasulullah adalah tidak melihat manusia dari kasta dan strata sosialnya. Kalam artinya berbicara. Pengertian lainnya adalah verbal approach (pendekatan kata). Di sini Rasulullah bertumpu pada keindahan dan kualitas kata dalam menyampaikan risalah dan pesanpesan Ilahi yang diterimanya. Jika kita dalam kondisi tidak dapat membantu orang yang membutuhkan bantuan materi, maka penolakan itu harus dilakukan dengan sikap yang halus dan ucapan yang baik, sebagaimana disebutkan dalam surat Al-Baqarah: 263. Tha'am yang secara bahasa artinya makan adalah personal approach (pendekatan pribadi), maksudnya memberi makan kepada orang kelaparan, dan menyantuni mereka yang membutuhkan. Puasa yang merupakan salah satu bentuk ibadah dalam Islam pun memberikan hikmah untuk menumbuhkan kepekaan sosial dan empati. Begitu urgennya kepekaan sosial ini, hingga Allah memberi julukan sebagai pendusta agama bagi orang yang tidak mau memberi makan orang yang kelaparan dan tidak mau menganjurkan orang lain untuk memberi mereka makan (Al-Maa'uun: 3). Rasulullah telah memberikan banyak contoh tentang indahnya berbagi kepada umatnya. Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan dari Abu Dzarr r.a., dia berkata, "Rasulullah saw bersabda, "Wahai Abu Dzarr, jika engkau memasak sayuran, perbanyaklah air (kuah)nya dan bagikanlah kepada tetangga-tetanggamu." (H.R. Muslim). Dalam hadits lain disebutkan, "Tidak beriman kepada-Ku orang yang tidur dalam keadaan kenyang sementara tetangganya kelaparan dan dia mengetahuinya." (H.R. Bukhori). Dalam kedua hadits tersebut Rasulullah mengajarkan kepada kita untuk tidak pelit dan kikir kepada orang lain (tetangga) tanpa memilah dan membedakan apakah mereka itu muslim atau bukan. Al-Hafizh ibn Hajar berkata, "Kata tetangga mencakup orang muslim dan kafir, orang taat beribadah dan orang fasik, teman dan musuh, orang asing dan pribumi, orang baik dan orang jahat, kerabat dan bukan kerabat, yang paling berdekatan rumahnya dan yang berjauhan." Itulah kesalehan sosial yang dicontohkan oleh Rasulullah saw. Untuk itu, hendaknya pengkajian keislaman tidak berhenti pada tataran ilmu pengetahuan, namun diaplikasikan dalam wujud yang nyata, sehingga kemaslahatan umat dapat dicapai sebagaimana amanah dari Sang Pencipta. Dan hendaknya para da'i dan da'iyah Islam tidak hanya membanjiri umat dengan ilmu pengetahuan saja, namun hendaknya memberi contoh kongkrit berupa amal saleh. (Agustriani Muzayyanah, dari berbagai sumber).

Batas-Batas Toleransi Antar Umat Beragama 03-10-2012 | 16:02:58 Allah SWT menciptakan umat manusia di muka bumi ini, diawali dengan seorang laki-laki dan seorang perempuan. Dari sini kemudian lahir berbagai umat manusia yang

berkelompok dalam berbagai suku dan bangsa. Itu semua adalah kodrat Allah, sunnatullah, dan memberikan pelajaran yang sangat berharga bagi kita. Juga merupakan suatu ciptaan Allah yang bagi umat beriman mengandung suatu ujian, bagaimana menyikapi perbedaan dan menyikapi adanya berbagai suku dan bangsa khususnya dalam kontek bangsa Indonesia. Islam adalah agama yang sangat toleran. Rasulullah SAW telah memberi contoh bagaimana bersikap toleran dalam mengarungi kehidupan ini. Dalam kaitan yang berhubungan dengan antar sesama manusia yang berbeda suku, bangsa, bahkan berbeda agama. Karena itulah maka pada zaman Rasulullah SAW Islam dikenal agama yang sangat toleran dan agama yang dihargai oleh para ilmuwan yang tahu persis tentang Islam. Karena memang Allah SWT menjadikan Islam sebagai rahmat di alam ini. (QS Al Ambiya : 107) dan Tiadalah Kami mengutus kamu, melainkan untuk (menjadi) rahmat bagi semesta alam. Islam mengajarkan agar kita menjamin keselarasan kehidupan dengan lingkungan, apalagi dengan sesama manusia. Toleransi yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW terhadap agama-agama lain sangat jelas sebagaimana terungkap dalam sejarah. Pernah suatu saat para pendeta dari agama Nasrani datang kepada Rasulullah SAW untuk mengetahui tentang agama Islam. Dalam beberapa hari mereka hidup bersama umat Islam. Pada suatu saat sampailah mereka pada hari Ahad, hari dimana bagi orang Nasrani adalah hari beribadah untuk mengagungkan Tuhannya. Rasulullah SAW memberi kesempatan seluas-luasnya untuk melakukan itu. Namun di lingkungan umat Islam itu tidak ada gereja untuk mereka gunakan melakukan ritual ibadah, maka problem seperti ini disampaikan kepada Rasulullah SAW. Kemudian Rasulullah SAW merelakan dan mempersilakan para pendeta itu untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinannya di masjid. Bukan hanya pada zaman Rasulullah saja terjadi seperti itu, pada zaman Umar ibn Khathab, yang di dalam sejarah Islam terkenal dengan zaman keemasan. Pada saat itu, ditaklukkannya kerajaan Persia, kerajaan Romawi, sehingga Islam berkembang sangat pesat pada saat itu. Bukan hanya meluas ke Timur, tetapi juga ke Barat. Di sana ditemukan beberapa umat yang berlainan agama. Kalau Umar pada saat itu ingin berlaku semena-mena, maka tidak menunggu waktu lama, mereka bisa dikikis habis. Tetapi, Umar malah memberi penghormatan kepada mereka, dan melindungi mereka untuk melakukan ibadah sesuai dengan keyakinan mereka, dengan catatan mereka tidak memusuhi, dan menjadikan Islam sebagai musuh untuk dihancurkan. Demikian juga yang terjadi pada kerajaan-kerajaan Islam yang lainnya. Itulah sikap yang dicontohkan Rasulullah dan para sahabatnya. Persoalannya adalah ketika kita sebagai bangsa Indonesia, ada dua sisi yang menyikapi perbedaan agama, dengan sikap yang sama-sama ekstrim. Di satu sisi, mereka melihat orang lain mengikuti agama kita, misalnya ketika hari Raya Idul Fitri, banyak orang lain yang mengikuti, dengan cara menghormati dengan mendatangi ke rumah-rumah. Mereka mengucapkan selamat merayakan Hari Raya Idul Fitri. Dalam kondisi yang seperti itulah, maka ada kebingungan di antara umat Islam, yang tidak faham betul tentang aqidah, maka dia juga

ingin melakukan hal yang sama, di saat orang lain merayakan hari rayanya, dia datang ke tempatnya. Sisi lainnya, juga ada sebagian umat Islam, yang menganggap, bahwa saling menghormati dan saling menghargai suatu agama adalah hal yang wajar, bahkan mungkin sampai-sampai menganggapnya, semua agama datangnya dari Tuhan dan semua itu merupakan suatu kebenaran, maka semuanya adalah suatu kebenaran. Maka terjebaklah mereka dalam konsep pluralisme. Pluralisme dalam kontek aqidah tidak dibenarkan dalam Islam. Pluralisme sebagai aliran filsafat menganggap, bahwa semua agama benar, semua bentuk ubudiyah yang dilakukan masing-masing pemeluk agama adalah jalan yang menuju kepada titik yang sama. Sebagai umat Islam diajari dengan tegas mana hal yang terkait dengan aqidah, dan ubudiyah, dan mana yang terkait dengan persoalan social dan budaya. Terkait dengan aqidah Allah mengajarkan dengan tegas sikap umat Islam dengan umat yang lainnya. Sebagaimana diterangkan dalam Al-Quran surah Al Kaafiruun : 1-6 yang maknanya : 1. Katakanlah: "Hai orang-orang kafir, 2. aku tidak akan menyembah apa yang kamu sembah. 3. dan kamu bukan penyembah Tuhan yang aku sembah.4. dan aku tidak pernah menjadi penyembah apa yang kamu sembah, 5. dan kamu tidak pernah (pula) menjadi penyembah Tuhan yang aku sembah. 6. untukmu agamamu, dan untukkulah, agamaku." Sebagaimana ditegaskan pada ayat di atas, bahwa dalam memahami pluralitas kehidupan, kita harus melihat bahwa hubungan dengan umat lain adalah sebagai komunikasi sosial. Sesama umat manusia boleh mendatangi umat lain ketika diundang dalam pernikahan. Dengan umat lain, kita boleh membantu ketika mereka membutuhkan bantuan sosial, bahkan sebagaimana dicontohlan Rasulullah SAW mereka dilindungi, dan dijamin keamanannya walaupun hidup dalam komunitas umat Islam. Inilah yang disebut dengan Islam rahmatan lilaalamiin. Ayat di atas adalah sikap yang harus diambil umat Islam yang diajarkan Allah SWT, yang pada saat itu dengan dalih toleransi Rasulullah SAW diminta oleh kaum Kafir Quraisy untuk sehari melakukan ibadah sesuai ajaran Islam, dan sehari kemudian menyembah sesembahan mereka. Tetapi, dengan tegas menolak itu dan surat Al Kafiruun itulah jawabannya. Karena itu, dalam kontek keyakinan, umat Islam harus tegas, tetapi dalam hal sosial, maka umat Islam harus toleran. Maka di sinilah batasan-batasan toleransi itu. Terkait dengan kemanusiaan, pemahaman boleh, bahkan mengajak mereka untuk berdialog untuk mencari titik temu, tentang mana yang boleh kita lakukan dan tidak. Maka ketika ada orang lain, mengajak untuk mengikuti ibadahnya, atau mereka mengikuti ibadah kita, kita juga harus tegas menolak dan melarangnnya. Jadi tidak ada istilah basa-basi atau sungkan, dalam kaitannya dengan aqidah. Tetapi dalam bahasa sosial, kita harus bisa menjadi orang yang menghormati orang lain, melindungi orang lain, walaupun mereka berbeda keyakinan. Karena dengan sikap seperti yang dicontohkan oleh Rasulullah SAW inilah yang menjadikan Islam tersebar ke seluruh penjuru dunia. Bahkan tidak sampai dua abad, Islam telah tersebar ke dua pertiga dunia. Hal ini disebabkan oleh ketegasan Rasulullah SAW dan karena sikap toleransi Rasulullah SAW.

Anda mungkin juga menyukai