Anda di halaman 1dari 16

TRILOGI UKHUAH NAHDLATUL ULAMA

Disajikan oleh:
Muhammad Subhi 20010117
Pera Soparianti

Makalah dipresentasikan pada Mata Kuliah Paradigma Islam Nusantara, Program Pasca
Sarjana Universitas Nahdlatul Ulama Indonesia (UNUSIA) Angkatan 2020/2021

Dosen:
Hamdani Ph.D
Ulil Abshar Abdalla MA

1
Abstrak

Keberagaman merupakan sebuah keniscayaan. Allah menganugrahkan baik di dalam Islam,


bangsa Indonesia dan masyarakat dunia memiliki kekayaan yang keberagaman, mulai dari
agama, suku, bahasa, kebudayaan, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Hal ini disatu sisi
adalah berkah dan rahmat, namun faktanya, keberagaman seringkali menjadi sumber
konflik. Nahdlatul Ulama (NU) sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia telah
menawarkan pandangan tentang bagaimana umat Islam, bangsa Indonesia dan masyarakat
dunia mengelola keragaman tersebut agar tetap menjadi rahmat. Pandangan tersebut
adalah trilogi ukhuwah yang pertama kali dicetuskan KH. Ahmad Siddiq. Dalam
perjalanannya, trilogi ini telah mampu menjadikan bangsa Indonesia khususnya NU bergaul
dan memberikan sumbangsih positif dalam menjaga kebersamaan dan persatuan baik antar
umat Islam, antar sesama warga bangsa dan warga dunia. Kajian ini akan mengelaborasi
sejarah kemunculan gagasan trilogi ukhuwah tersebut, apa saja pemikiran yang terkandung
di dalamnya dan bagaimana implementasinya di lingkungan NU baik secara internal
maupun eksternal.

Kata kunci: ukhuwah, toleransi, Nahdlatul Ulama.

I. Pendahuluan

Keberagaman merupakan sebuah keniscayaan. Allah menganugrahkan Indonesia


sebagai negara yang memiliki kekayaan yang keberagaman, mulai dari agama, suku, bahasa,
kebudayaan, adat-istiadat, dan lain sebagainya. Namun faktanya, keberagaman yang sejatinya
sebagai rahmat, seringkali menjadi sumber konflik. Hal ini tentu menjadi tantangan yang
serius yang harus dihadapi bersama demi mengembalikan tantanan kehidupan masyarakat
yang damai dan harmonis, sebagaimana yang telah dicita-citakan para pendiri bangsa. Dalam
konteks Indonesia khususnya, hidup rukun antar pemeluk agama, bahkan antar sesama umat
Islam mulai terkoyak. Fenomena munculnya kelompok Islam yang gemar melabeli sesama
saudara yang muslim dengan status “bukan Islam” telah mewabah di Indonesia.

Fenomena ini tentu saja mengindikasikan bahwa persaudaraan di antara umat Islam
semakin rendah, bahkan hal-hal yang bersifat furu’iyah lebih diutamakan ketimbang hal-hal
yang bersifat ushuliyah. Alhasil, hanya karena perbedaan dalam pandangan keagamaan yang
bersifat furu’iyah, satu kelompok dengan mudahnya menghakimi kelompok lainnya dengan

2
label salah, “sesat” bahkan “kafir” atau bahkan dianggap “bukan Islam.” Pandangan ini
seringkali didasarkan bukan pada hal-hal yang bersifat keagamaan, namun juga karena
perbedaan pandangan politik. Kenyataan ini tidak bisa dipungkiri dan terus terjadi seiring
dengan tumbuh dan berkembangnya kelompok-kelompok Islam radikal di Indonesia.

Kehadiran kelompok Islam radikal ini jelas mengancam keberagaman sesama


pemeluk Islam sendiri. Logikanya sangat sederhana, jika dengan sesama Islam yang
Tuhannya, Nabinya dan Al Qur’annya saja mereka berani mengkafirkan dan terus
menyerang, maka bagaimana dengan sikap mereka yang bukan Islam? Fenomena ini, secara
sadar maupun tidak sadar telah menodai komitmen bersama para pendiri bangsa yang telah
disatukan dalam Pancasila sebagai landasan ideologinya. Dalam rangka menjawab tantangan
kehidupan beragama di Indonesia dan untuk menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, konsep
“Trilogi Ukhuwah” yang dicetuskan oleh KH Achmad Sidiq menjadi tawaran yang brilian
ditengah konflik antar agma yang kian mengoyak keutuhan NKRI.

II. Pembahasan

1. Sejarah dan Konsep Trilogi Ukhuah

Menurut Kiai Said, ketika Muktamar NU pada 1936 di Banjarmasin, NU memutuskan


bahwa Indonesia merupakan negara damai dan menganggap semua warga Indonesia
merupakan saudara. "Indonesia itu Darussalam, bukan negara Islam, bukan negara kafir, tapi
negara yang mengakomodir semua warga negara sebagai saudara sebangsa dan setanah air,"
ucapnya. Kiai Said mengemukakan bahwa komitmen kebangsaan NU ditegaskan lagi ketika
Rais `Aam PBNU KH Ahmad Siddiq dan Ketua Umum PBNU KH Abdurrahman Wahid di
Muktamar ke-27 NU di Situbondo tahun1984.1 Pada Muktamar NU tersebut, Kiai Achmad
Shiddiq terpilih sebagai Ra’is Aam PBNU dan Kiai Abdurrahman Wahid (Gusdur) sebagai
Ketua Umum Tanfidziyahnya.

Konsep Trilogi Ukhuah pemikiran KH. Achmad Siddiq (Rais Aam PBNU 1984-
1991) ini menjadi tawaran yang melampaui zamannya dalam menjaga kerukunan dan
keharmonisan antara pemeluk agama, warga negara dan umat manusia. KH Ahmad Shiddiq
ingin menyatukan antara ukhuwah Islamiyah, nasionalisme dan pluralisme. Trilogi ukhuah
ini dicetuskan sejak Musyawarah Nasional (Munas) dan Konferensi besar (Konbes)

1
Rahmad Novandri, yang diunggah dalam https://www.radarbangsa.com/khazanah/17836/kiai-said-nu-
akan-terus-tegakkan-prinsip-trilogi-ukhuwah. Artikel ini diunduh pda 1 November 2020.

3
Nahdlatul Ulama (NU) dilakukan di Cilacap, pada 23-25 Rabiul Awal 1408 H/15-
17November 1987 M tepatnya di Pondok Pesantren Ihya’ Ulumuddin Kesugihan Cilacap
Jawa Tengah. Sejak saat itu NU semakin gencar mengarusutamakan trilogi ukhuwwah
tersebut. Kemudian pemikirannya ini dikemukakannya menjelang Muktamar NU ke-28 di
Krapyak, Yogyakarata pada tahun 1989. KH. Achmad Shiddiq memperkenalkan konsep
trilogi ukhuwahnya sebagai dasar pemikirannya tidak lain dalam rangka menjaga hubungan
baik antara masyarakat, agama dan negara.

Gagasan trilogy ukhuah ini berawal dari makalah Rais Aam PBNU saat itu KH
Ahmad Shiddiq yang berjudul “Ukhuwwah Islamiyyah dan Kesatuan Nasional: Bagaimana
Memahami dan Menerapkannya.” Pada awalnya gagasan ini menuai kritik yang tajam dari
para Kiai NU. Dalam konteks ini KH Abdul Muchith Muzadi yang terkenal sebagai sekretaris
pribadi KH Achmad Siddiq menuliskannya. “Ketika pertama kali al-Maghfurlah KH Achmad
Shiddiq mencanangkan hal ini, banyak kritik bernada sinis. Bahkan dengan gagasan beliau ini
seakan-akan mereka menganggap bahwa beliau terlalu mengada-ngada, melakukan
penambahan yang tidak perlu, bahkan ada juga yang menuduh beliau berlebih-lebihan
“mendekati” kaum nonmuslim. Kalangan ini cenderung menyatakan bahwa gagasan tersebut
“mengurangi” kadar-kadar ukhuwah islamiyyah atau persaudaraan sesama muslim.” 2

Meski demikian, setidaknya KH Achmad Shiddiq telah berhasil membuat para kiai
NU untuk menyepakati pernyataan tentang fanatisme agama. Bahkan dalam makalahnya itu
ia berhasil meletakkan dasar saling pengertian antara umat Islam dan umat agama lain. 3 Lalu
apakah gagasan trilogi ukhuwah itu memang mengurangi kadar persaudaraan sesama muslim
atau bahkan bertentangan dengan Islam itu sendiri? Dalam hal ini, KH. Abdul Muchit
Muzadi menyatakan kalau triogi ukhuwah itu dipahami bahwa semuanya bersumber dari
ajaran Islam, maka ketiganya akan dapat dipahami secara baik. Menurut Kiai Muchit, pada
hakikatnya tiga ukhuwwah itu: Islamiyyah, Insaniyyah atau Basyariyyah dan Wathaniyyah,
bersumber pada ukhuwwah yang pertama, yaitu ukhuwwah Islamiyyah, dalam arti
persaudaraan, kerukunan berdasarkan ajaran Islam.

2
Abdul Muchith Muzadi, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran; Refleksi 65 Tahun Ikut NU,
[Surabaya, Khalista: 2006], cetakan ke-3, halaman, 171
3
Andre Feillard, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, [Yogyakarta, LKiS: 2013,],
cetakan ke-3, halaman 340-347

4
Lebih lanjut ia mengataan bahwa Islam telah mengajarkan kerukunan atau hubungan
yang baik antarsesama manusia yang kemudian dikenal dengan istilah hablum minannas.
Islam juga telah mengatur hubungan yang baik antarmanusia yang terikat hubungan famili,
persaudaraan, pertemanan, sama-sama hidup dalam sekampung, sedaerah, sewilayah negara,
dan sesama manusia. Nah, dari sekian hubungan itu, persaudaraan antara sesama pemeluk
Islam disebut ukhuwwah Islamiyyah; persaudaraan antarsesama anak bangsa disebut
ukhuwwah wathaniyyah; dan persaudaraan antarsesama manusia disebut
ukhuwwah insaniyah. Kiai Muchith juga menegaskan bahwa ketiganya bersumber dari ajaran
Islam yang juga dapat disebut ‘ukhuwwah Islamiyyah’ dalam skala besar. Jadi kata
“ukhuwwah Islamiyyah” dapat berarti ukhuwwah yang diajarkan Islam, dan dapat pula berarti
ukhuwwah di antara pemeluk umat Islam. 4

Ukhuwah Islamiyah. Kiai Hasyim Asy’ari mengemukakan dalam muqoddimah


qanun asasi NU tentang pentingnya menjaga ukhuwah di antara umat islam. Tradisi menjaga
ukhuwah ini diambil dari ajaran islam dan tradisi yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW.
Tradisi ukhuwah didasarkan pada praktik Nabi Muhammad ketika Nabi mempersaudarakan
sesama kaum muslimin dari kalangan Anshar dan Muhajirin di Madinah. Di dalam hadis,
Nabi banyak memerintah kaum muslimin agar kaum muslimin menjalin persaudaraan dan
tidak terpecah belah. Dalam al Qur’an sendiri di surah Al-Hujurat ayat 10 yang berbunyi:

١٣- َ‫اِنَّ َما ْال ُم ْؤ ِمنُوْ نَ اِ ْخ َوةٌ فَاَصْ لِحُوْ ا بَ ْينَ اَ َخ َو ْي ُك ْم َواتَّقُوا هّٰللا َ لَ َعلَّ ُك ْم تُرْ َح ُموْ ن‬

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang mukmin itu bersaudara, karena itu damaikanlah antara
kedua saudaramu (yang berselisih) dan bertakwalah kepada Allah agar kamu mendapat
rahmat.” (Q.S. Al Hujurat: 10).5

Ukhuwah Islamiyah dalam kehidupan merupakan modal untuk melakukan pergaulan


sosial sesama umat Islam. Dengan modal ini, maka perbedaan-perbedaan yang tidak prinsip
antar umat Islam tidak perlu menjadi perpecahan. Prinsip ukhuwah ini menjadikan hubungan
antar sesama umat Islam menjadi harmonis dan mampu menjadi sebuah kekuatan besar untuk

4
Muchit, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran, 170

5
Rifky Aritama, “KH Achmad Shiddiq dan Konsep Trilogi Ukhuwah’ dalam, https://ibtimes.id/kh-
achmad-shiddiq-dan-konsep-trilogi-ukhuwahnya/, diakses 10 November 2020.

5
bersama-sama membumikan nilai-nilai Islam. Ukhuwah Islamiyah menjadi sebuah ikatan,
tidak saja secara emosional, namun juga secara sprititual. 6

Ukhuwah Wathaniyah. Ukhuwah wathaniyah ini merupakan pondasi awal dalam


melakukan pergaulan sosial yang erat kaitannya dengan kehidupan bermasyarakat. Ukhuwah
wathaniyah juga merupakan sebuah komitmen merasa saling bersaudara satu sama lain, tanpa
dibatasi oleh sekat-sekat agama, suku, jenis kelamin, warna kulit, dan sebagainya. Ukhuwah
wathaniyah, berkaitan dengan kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara merupakan
modal dasar untuk melakukan pergaulan sosial dan dialog dengan pelbagai komponen bangsa
Indonesia yang tentu saja tidak terbatas pada satu agama semata. Ukhuwah wathaniyah
adalah sebuah komitmen persaudaraan antar seluruh masyarakat yang terdiri dari bermacam-
macam agama, suku, bahasa dan budaya. Bangunan ukhuwah wathaniyah tidak boleh tidak
harus menjadi sebuah prinsip bersama dalam membangun kehidupan berbangsa dan
bernegara yang damai dan saling menghargai satu sama lain.

Ukhuwah Basyariyah. Tidak jauhh berbeda dengan ukhuwah wathaniyah, ukhuwah


basyariyah tidak dibatasi oleh sekat-sekat agama, suku, jenis kelamin, dan sebagainya.
Ukhuwah basyariyah dilandasi oleh prinsip bahwa semua umat manusia sama-sama ciptaan
Tuhan keturunan Nabi Adam dan Siti Hawa. Hal ini sebagaimana perkataan sayidina Ali bin
Abi Thalib yang mengatakan “dia yang bukan saudaramu dalam iman adalah saudara dalam
kemanusiaan.” Ketua umum PBNU KH Aqil Siradj pernah menyampaikan hal yang selaras
“Dia yang bukan saudaramu seagama adalah saudaramu sebangsa. Dia yang bukan
saudaramu seagama dan sebangsa adalah saudaramu sesama anak manusia.” Maksud dari
kedua pernyataan diatas adalah kemanusiaan merupakan nilai tertinggi dalam ikatan
hubungan persaudaraan, terlepas dari status agama, suku, bangsa, warna kulit, bahasa,
gender, dan lain sebagainya. Karena hakikatnya persaudaraan ini adalah kemanusiaan.

Dalil yang menguatkan konsep trilogy ukhuah ini, didasarkan pada ayat Alqur’an
sebagaimana yang diungkapkan oleh Kiai Muchith Mudzadi yang beliau peroleh dari
gurunya KH. Achmad Siddiq yaitu Surat Al-Hujurat ayat 13 dan Surat Al-Isra’ ayat 70:

6
Slamet yang merupakan Direktur Penyaluran NU Care- LAZISNU, Mahasiswa Sekolah
Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Sumber: https://www.nu.or.id/post/read/75101/trilogi-
ukhuwah-fondasi-pembangunan-indonesia

6
sِ ‫ هَّللا‬s‫ َد‬s‫ ْن‬s‫ع‬sِ s‫ ْم‬s‫ ُك‬s‫ َم‬s‫ َر‬s‫ ْك‬sَ‫ أ‬s‫ َّن‬sِ‫ إ‬sۚ s‫ا‬s‫ و‬sُ‫ ف‬s‫ َر‬s‫ ا‬s‫ َع‬sَ‫ ت‬sِ‫ ل‬s‫ل‬sَ sِ‫ئ‬s‫ ا‬sَ‫ ب‬sَ‫ ق‬s‫ َو‬s‫ ا‬sً‫ب‬s‫ و‬s‫ ُع‬s‫ ُش‬s‫م‬sْ s‫ ُك‬s‫ ا‬sَ‫ ن‬s‫ ْل‬s‫ َع‬s‫ َج‬s‫ َو‬s‫ ٰى‬sَ‫ ث‬s‫ ْن‬sُ‫ أ‬s‫ َو‬s‫ ٍر‬s‫ َك‬s‫ َذ‬s‫ن‬sْ s‫ ِم‬s‫ ْم‬s‫ ُك‬s‫ ا‬sَ‫ ن‬s‫ ْق‬sَ‫ ل‬s‫ َخ‬s‫ ا‬sَّ‫ ن‬sِ‫ إ‬s‫س‬
sُ s‫ ا‬sَّ‫ن‬s‫ل‬s‫ ا‬s‫ ا‬sَ‫ ه‬sُّs‫ ي‬sَ‫ أ‬s‫ ا‬sَ‫ي‬
s‫ ٌر‬s‫ ي‬sِ‫ ب‬s‫ َخ‬s‫ ٌم‬s‫ ي‬sِ‫ ل‬s‫ َع‬sَ ‫ هَّللا‬s‫ َّن‬sِ‫ إ‬sۚ s‫ ْم‬s‫ ُك‬s‫ ا‬sَ‫ ق‬s‫ ْت‬sَ‫أ‬

Artinya: “Hai manusia, sungguh Kami menciptakan kalian dari seorang laki-laki dan seorang
perempuan, dan menjadikan kalian berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling
mengenal. Sungguh orang yang paling mulia di antara kalian di sisi Allah ialah orang yang
paling takwa di antara kalian. Sungguh Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (Surat
Al-Hujurat ayat 13).

s‫ ْم‬sُ‫ه‬s‫ ا‬sَ‫ ن‬s‫ ْل‬sَّs‫ ض‬sَ‫ ف‬s‫ َو‬s‫ت‬


ِ s‫ ا‬sَ‫ ب‬sِّs‫ ي‬sَّ‫ط‬s‫ل‬s‫ ا‬s‫ن‬sَ s‫ ِم‬s‫ ْم‬sُ‫ه‬s‫ ا‬sَ‫ ن‬s‫ ْق‬s‫ز‬sَ s‫ر‬sَ s‫و‬sَ s‫ ِر‬s‫ح‬sْ sَ‫ ب‬s‫ ْل‬s‫ ا‬s‫و‬sَ sِّs‫ ر‬sَ‫ ب‬s‫ ْل‬s‫ ا‬s‫ ي‬sِ‫ ف‬s‫ ْم‬sُ‫ه‬s‫ ا‬sَ‫ ن‬s‫ ْل‬s‫ َم‬s‫ َح‬s‫ َو‬s‫ َم‬s‫ َد‬s‫ آ‬s‫ ي‬sِ‫ ن‬sَ‫ ب‬s‫ ا‬sَ‫ ن‬s‫م‬sْ sَّs‫ ر‬s‫ َك‬s‫ ْد‬sَ‫ ق‬sَ‫ ل‬s‫َو‬
sِ s‫ ْف‬sَ‫ ت‬s‫ ا‬sَ‫ ن‬s‫ ْق‬sَ‫ ل‬s‫خ‬sَ s‫ن‬sْ s‫ َّم‬s‫ ِم‬s‫ ٍر‬s‫ ي‬sِ‫ ث‬s‫ َك‬s‫ ٰى‬sَ‫ ل‬s‫َع‬
‫اًل‬s‫ ي‬s‫ض‬

Artinya: “Sungguh telah Kami muliakan anak-anak Adam, Kami angkut mereka di daratan
dan di lautan, Kami beri mereka rejeki dari yang baik-baik dan Kami lebihkan mereka
dengan kelebihan yang sempurna atas kebanyakan makhluk yang telah Kami ciptakan.”
(Surat Al-Isra’ ayat 70).

Dua ayat di atas menjadi landasan yang dikemukakan oleh KH Abdul Muchith
Muzadi tentang trilogi ukhuwwah dari rekan sekaligus gurunya Rais Aam PBNU KH
Achmad Shiddiq.7

2. Implementasi Trilogi Ukhuwah di lingkungan NU

Konsep “Trilogi Ukhuwah” yang awalnya dikenalkan oleh tokoh Nahdlatul Ulama (NU),
KH Ahmad Shiddiq (1926-1991) merupakan landasan berpikir, bersikap dan bertindak NU dalam
mengelola kehidupan beragama dan berbangsa. Trilogi ukhuwah mejadi dasar berpikir NU
mengenai pluralisme beragama,8 sekaligus mengenai hubungan antara masyarakat, agama dan
negara. Meski baru digulirkan menjelang Muktamar NU ke-28 di Krapyak pada tahun 1989,
konsep ini jika dilihat secara mendalam merupakan penegasan dari pemikiran dan identitas NU
sebagai organisasi Islam yang sejak berdirinya mengusung paham ahlussunnah wal jamaah. Bagi

7
Ustadz Ahmad Muntaha AM, Sekretaris Lembaga Bahtsul Masail Nahdlatul Ulama (LBMNU) Jatim,
Tafsir KH. Muchith Muzadi atas Trilogi Ukhuah KH. Ahmad Siddiq yang diambil dari
https://ltnnujabar.or.id/tafsir-kh-muchith-muzadi-atas-trilogi-ukhuwah-kh-ahmad-shiddiq/3/ (diakses pada 1
November 2020)

M. Imdadun Rahmat, Islam Indonesia Islam Paripurna, (Jakarta: Yayasan Omah Aksoro Indonesia,
8

2017), h. 249.

7
NU, ketiga jenis persaudaraan tersebut tidak bisa dipisah-pisahkan dimana ketiganya bersumber
dari landasan yang sama yakni ajaran-ajaran Islam. Di dalam Islam persaudaraan dan hubungan
baik sesama manusia adalah sebuah keniscayaan. Fakta bahwa manusia terdiri dari berbagai jenis
etnis, suku dan agama. Di antara manusia ada yang seagama, sebangsa dan sesama manusia
dengan beragam latar belakang. 9

Trilogi ukhuwah juga tidak bisa dipisahkan dari tujuan utama berdirinya NU yakni
sebagai wadah bagi para ulama dan pengikutnya untuk memelihara, melestarikan,
mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan aswaja serta untuk
mempersatukan langkah para ulama dan pengikut-pengikutnya dalam melakukan kegiatan yang
tujuan untuk mencptakan kemaslahatan masyarakat, kemajuan bangsa dan ketinggian harkat dan
martabat manusia.10 Sebagai Ormas Islam terbesar di Indonesia, NU seringkali ditunggu
pandangan dan sikapnya terkait berbagai permasalahan keagamaan, kebangsaan dan kemanusiaan
baik yang muncuul di Indonesia maupun dunia. Sikap dan pandangan NU tidak jarang kemudian
menjadi sikap sebagian besar umat Islam atau minimal menjadi rujukan utama. Kerapkali muncul
pertanyaan-pertanyaan baik yang langsung disampaikan kepada pengurus NU maupun secara
tidak langsung melalui opini public yang berkembang untuk kemudian dirumuskan jawabannya
melalui forum bahtsu al-masail maupun rekomendasi-rekomendasi forum-forum PBNU seperti
Musyawarah Nasional, Musyawarah Besar dan rapat pleno.

Tidak hanya dalam produk bahtsul masail, implementasi penyikapan NU terhadap trilogi
kerukunan juga banyak tercermin dalam program-program NU mulai dari level Pengurus Besar
hingga ke level yang paling rendah. Hal itu dilatari kesadaran NU bahwa dirinya berada di tengah
masyarakat Indonesia yang plural. Realita itu dipahami oleh NU dengan semangat dan kepedulian
sebagai sesama anak bangsa. Semangat itu meiputi: ruhut tadayyun (semangat keagamaan), ruhul
wathaniyah (semangat cinta tanah air), ruhut ta’addudiyah (semangat menghormati
perbedaan/pluralisme) dan ruhul insaniyah (semangat penghargaan terhadap harkat
kemanusiaan).11

Landasan sosial yang dipegang NU dalam penerapan trilogy ukhuwah tersebut adalah
adalah sikap moderat (tawasuth dan i’tidal), toleran (tasamuh) dan keseimbangan (tawazun).
Dalam Khittah NU disebutkan bahwa tawasuth dan i’tidal itu adalah sikap tengah yang berintikan
pada prinsip hidup yang menjunjung tinggi keharusan berlaku adil dan lurus di tengah-tengah

9
M. Imdadun Rahmat, Islam Indonesia Islam Paripurna, h. 250.

10
KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlussunnah Wal Jamaah, (Jakarta: LTM PBNU, 2011), h. 113.
11
M. Imdadun Rahmat, Islam Indonesia Islam Paripurna, h. 251.

8
kehidupan bersama. Sikap tasamuh adalah sikap toleran terhadap perbedaan pandangan baik
dalam masalah keagamaan, terutama hal-hal yang bersifat furu’, atau menjadi masalah khilafiyah
serta dalam masalah kemasyarakatan dan kebudayaan. Sementara sikap tawazun adalah sikap
seimbang dalam berkhidmah. Menyerasikan Khidmah kepada Allah, Khidmah kepada sesama
manusia serta kepada lingkungan hidupnya. Menyelaraskan kehidupan masa lalu, masa kini dan
masa mendatang.12

Jika sebelumnya gagasan KH Ahmad Siddiq ini banyak mendapat kritik dari para ulama
dan tidak menjadi keputusan resmi PBNU, maka pada Muktamar ke-29 PBNU di PP. Cipasung,
Tasikmalaya, konsep ini telah resmi diadopsi yakni pada Keputusan Muktamar terkait Materi
Ahkam Masail Diniyah tentang Pandangan dan Tanggungjawab NU terhadap Kehidupan
Berbangsa dan Bernegara. Dalam Materi tersebut disebutkan:

1. NU sepenuhnya menyadari kenyataan tentang kemajemukan masyarakat Indnesia dan


meyakininya sebagai sunnatullah. Pluralitas masyarakat yang menyangkut
kemajemukan budaya, etnis, agama dan sebagainya adalah kenyataan dan rahmat
Islam sejak zaman Rasulullah.
2. Islam memberikan jaminan dan toleransinya dalam memelihara hubungan Bersama
dengan meletakkan nilai-nilai universal seperti prinsip keadilan, kebersamaan dan
kejujuran dalam memelihara kehidupan Bersama dengan tidak mengingkari adanya
perbedaan dalam hal-hal tertentu. Dalam wawasan yang demikianlah NU meletakkan
tata hubungan dan tiga bentuk ukhuwah.
3. Untuk menempatkan diri sebaik-baiknya di tengah kenyataan adanya pluralitas
masyarakat tersebut dengan memahami firman Allah dalam Q.S. Al Hujurat: 13
sebagaimana disebut di atas.

Nahdlatul Ulama menerapkan tiga macam pola keterpaduan tata hubungan dengan sesama
manusia yaitu:

a. Tata hubungan antar sesama manusia yang terkait dengan ikatan keagamaan (keislaman)
yang lazim disebut “Ukhuwah Islamiyah”. Itu merupakan persaudaraan sesama muslim
yang tumbuh dan berkembang karena persamaan aqidah/keimanan, baik di tingkat
nasional maupun internasional. Tata hubungan itu menyangkut dan meliputi seluruh
aspek kehidupan, baik aspek ibadah, mu’amalah, munakahat dan mu’asyarah (hubungan
keseharian) yang pada akhirnya akan menciptakan dan menumbuhkan persaudaraan yang
hakiki.
12
KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlissunnah Wal Jama’ah, (Jakarta: Lembaga Ta’mir Masjid
PBNU, 2011), h. 116.

9
b. Tata hubungan antar sesama manusia yang terkait dengan ikatan kebangsaan dan
kenegaraan yang azim disebut “Ukhuwah Wathaniyah”. Tata hubungan ini menyangkut
dan meiputi hal-hal yang bersifat mu’amalah (kemasyarakatan, kebangsaan/kenegaraan)
dimana mereka sebagai sesama warga negara memiliki kesamaan derajat, kesamaan
tanggungjawab untuk mengupayakan kesejahteraan dalam kehidupan Bersama.
c. Tata hubungan antar sesama manusia yang timbuh dan berkembang atas dasar rasa
kemanusiaan yang bersifat universal, yang lazim disebut “Ukhuwah Basyariyah”. Tata
hubungan ini menyangkut dan meliputi hal-hal yang berkaitan dengan kesamaan martabat
kemanusiaan untuk mencapai kehidupan yang sejahtera, adil dan damai. 13

Penerapan trilogi ukhuwah di lingkungan NU juga tidak bisa dilepaskan dari kepedulian
organisasi ini atas munculnya berbagai tantangan dan permasalahan hubungan antar kelompok
masyarakat baik di dalam dan luar negeri. KH. A. Sahal Mahfudz misalnya melihat pentingnya
ukhuwah Islamiyah karena di internal umat Islam masih banyak hambatan dalam hubungan
sesama umat muslim. Secara umum ia melihat antara lain: adanya fanatisme buta dan rasa bangga
diri yang berlebihan. Faktor sectarian ini kadang sampai pada penilaian benar salah yang
mengakibatkan ketegangan atau kesenjangan.

Factor lainnya adalah sempitnya wawasan, ketertutupan, kurang atau bahkan tiadanya
silaturrahim dan dialog mencari titik-titik kemaslahatan. Lebih dari itu, penghambat lainnya
adalah rendahnya tingkat akhlak yang melahirkan sikap tahasud (saling mencela) dan ghibah
(rerasan). Dan penghambat yang paling mendasar adalah lemahnya kesadaran dan rasa kasih
saying terhadap sesama, meski Nabi menyebut kasih sayang itu salah satu indikator keimanan
seorang muslim.14

Salah satu contoh implementasi sikap ukhuwah isamliyah NU adalah sikap ukhuwah NU
dengan Muhammadiyah dua organisasi keislaman yang sudah cukup dewasa secara usia. Menurut
KH. Sahal Mahfudz, meskipun terdapat sejumlah perbedaan, keduanya memiliki titik temu
dalam konteks keindonesiaan. Titik temu itu adalah sama ingin berbuat untuk kemaslahatan atau
masyarakat Indonesia yang tercinta. Keduanya ingin mengejar kemajuan, mengurangi kemiskinan
dan mengikis kebodohan, baik miskin materi, ilmu, moral maupun iman. 15

Contoh lain sikap ukhuwah islamiyah NU adalah sikap tasamuh NU terhadap


Ahmadiyah. Ketika sejumlah Ormas Islam menfatwakan Ahmadiyah sebagai ajaran sesat, NU
justru menampikan sikap sebaliknya. Hal ini tercermin dalam rapat pleno PBNU pada September
13
Hasil-Hasil Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, (Jakarta: Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU, 1996), h.
27-28.
14
KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2011), h. 240.
15
KH. MA. Sahal Mahfudz, Nuansa Fiqh Sosial, h. 239.

10
2005. Sebagaimana diungkap KH. Said Aqil Siradj, pada saat itu muncul usulan untuk membahas
masalah Ahmadiyah setelah terbitnya fatwa MUI pada 2005 yang menyatakan aliran ini sesat.
Sebagian pengurus yang aktif di MUI mengharapkan PBNU mengeluarkan sikap serupa. Namun
pleno menentukan lain. Berkat dukungan KH. A Sahal Mahfudz dan KH. Hasyim Muzadi, pleno
memutuskan untuk tidak melabel “sesat dan menyesatkan” terhadap Ahmadiyah --dan
menyatakan NU akan mengakomodasi semua komunitas agama di Indonesia. 16

Dalam konteks hubungan sesama anak bangsa, ini berkaitan dengan hubungan umat Islam
dengan umat agama lain atau hubungan antar agama juga terkait dengan hubungan Islam dengan
negara. Sebagaimana persaudaraan sesama umat Islam, ukhuwah wathaniyah ini juga menjadi hal
yang sangat ditekankan di NU. Dalam implementasinya, NU telah banyak mengeluarkan sikap
baik mealui forum bahtsul masail di muktamar maupun pada forum musyawarah-musyawarah
yang lebih rendah.

Beberapa contoh ukhuwah wathaniyah yang diputuskan dalam forum-forum resmi PBNU
antara lain:

1. Wawasan kebangsaan dan kenegaraan yang diputuskan dalam forum Muktamar ke-29
PBNU.
2. Pandangan NU tentang negara Pancasila yang diputuskan dalam forum Muktamar
PBNU ke-29.
3. Pandangan tentang tanggungjawab NU terhadap kehidupan berbangsa di masa
mendatang yang diputuskan dalam forum Muktamar PBNU ke-29.
4. Pandangan NU mengenai kepentingan umum (mashlahah ammah) dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara yang diputuskan dalam forum Muktamar PBNU ke-29. 17
5. Hasil bahtsul masail tentang negara Pancasila dalam perspektif Islam yang diputuskan
dalam Munas Alim Ulama dan Kombes NU di Pesantren Kempek Cirebon, 2002. 18
6. Keputusan PBNU tentang penerimaan Pancasila dalam Munas Alim Ulama di
Situbondo tahun 1983.19

16
Akhmad Sahal & Munawir Azis ed.), Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham Kebangsaan,
(Bandung: Mizan Pustaka, 2016), h. 137.

17
Hasil-Hasil Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, h. 30-31.
18
Keputusan Komisi Bahtsul Masail Munas Alim Ulama dan Kombes NU Pondok Pesantren Kempek,
Palimanan Cirebon, Jawa Barat 1433 H/2002 M, (Jakarta: Lembaga Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU, 2013), h.
75.
19
Syamsun Ni’am & Anin Nurhayati, “Pemikiran Kebangsaan K.H. Ahmad Siddiq dan Implikasinya
dalam Memantapkan Ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara di Indonesia, dalam Jurnal AKADEMIKA, Vol.
23, No. 02, Juli-Desember 2018, h. 249.

11
7. Beberapa keputusan bahtsul masail PBNU tentang hubungan antar agama. 20

Jika dicermati berbagai keputusan di atas, Nampak secara jelas bahwa


mengimplementasikan ukhuwah wathaniyah dalam konteks hubungan agama dan negara,
pandangan NU juga tidak bisa dilepaskan dari paham ahlussunnah wal jamaah yang dipegang.
Dalam hal ini, aswaja memandang bahwa berdirinya suatu negara merupakan suatu keharusan
dalam suatu komunitas umat (Islam). Negara berdiri untuk mengayomi kehidupan umat, melayani
mereka serta menjaga kemaslahatan (maslahah mustarakah). Keharusan ini bersifat fakultatif
(fardu kifayah), artinya jika ada sebagian orang sudah mengurus berdirinya negara, maka
gugurlah kewajiban lainnya. Aswaja tidak memiliki patokan yang baku tentang bentu suatu
negara dan pemerintahan. Aswaja hanya memberika kriteria-kriteria (syarat-syarat) yang harus
dipenuhi suatu negara. Sepanjang syarat-syarat tersebut terpeunhi, maka negara tersebut bisa
diterima sebagai pemerintahan yang sah dengan tidak memperdulikan bentuk negara tersebut.
Sebaliknya meskipun suatu negara memakai bendera Islam, tetapi di dalamnya terjadi banyak
penyimpangan dan penyelewengan serta menginjak-injak system pemerintahan yang berdasarkan
kriteria yang telah ditetapkan, maka praktik semacam itu tidak bisa dibenarkan dalam doktrin
aswaja. Syarat-syarat yang harus dipenuhi suatu negara menurut aswaja adalah: prinsip keadilan
(al adalah), permusyawaratan (al syura), kebebasan (al hurriyah), kesamaan derajat (al
musawah).Menurut Said Aqil Siradj, system pemerintahan yang mendekati kriteria di atas adalah
system demokrasi, yakni system yang bertumpu pada kedaulatan rakyat. 21

Ukhuwah wathaniyah bagi NU hendaknya dilandasi semangat persatuan, gotong royong


dan kebersamaan. Dalam Muqaddimah Qanun Asasi, Rois Akbar KH. M. Hasyim Asy’ari
menegaskan bahwa persatuan, ikatan batin satu dengan yang lain, saling bantu menangani satu
perkara dan seia-sekata adalah penyebab kebahagiaan yang terpenting dan factor paling kuat bagi
menciptakan persaudaraan dan kasih saying. 22

Selain itu, NU juga meyakini bahwa Islam adalah agama yang berifat universal dan
merupakan amanat Allah yang dapat dilaksanakan bagi seluruh kehidupan manusia di wilayah
manapun di muka bumi. Keyakinan itu menjadi kekuatan bagi bagi umat Islam untuk
membangun manusia dan masyarakat di mana saja dalam corak perbedaan kondisi masing-
masing bangsa. Kerangka pemikiran tersebut membuka sikap lapang dada dan toleran dalam

20
Dibahas secara lengkap dalam Rumadi Ahmad, Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia,
(Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2015).
21
Said Aqil Siradj, Ahlussunnah wal Jammah Sebuah Kritik Historis, (Jakarta: Pustaka Cendekiamuda
Jakarta, 2008 ), h. 53-58.
22
KH. M. Hasyim Asy’ari, Risalah Ahlissunnah Wal Jama’ah, h. 101.

12
menyikapi berbagai kenyataan sosial bangsa Indonesia, yang berupa norma-norma
kemasyarakatan, adat istiadat dan berbagai kemajemukan lainnya. 23

Keputusan Muktamar ke-29 PBNU menekankan bahwa penerapan ukhuwah Islamiyah


dan ukhuwah wathaniyah harus mendapat perhatian seksama dan penuh kearifan. Keduanya
harus dipandang sebagai tata hubungan yang saling membutuhkan dan saling mendukung, harus
diwujudkan serentak dan tidak boleh dipertentangkan satu sama lain. Karena mempertentangkan
keduanya akan merugikan umat Islam di Indonesia dan kehidupan berbangsa secara bersamaan.

Sikap yang sehat yang harus diterapkan dalam hubungan ukhuwah Islamiyah dan
ukhuwah wathaniyah adalah:

a. Sikap akomodatif dalam arti kesediaan menampung berbagai kepentingan, pendapat


dan aspirasi dari berbagai pihak.
b. Sikap selektif dalam arti adanya sikap cerdas dan kritis untuk memilih kepentingan
yang terbaik dan yang ashlah (lebih memberi maslahat) serta anfa’ (lebih memberi
manfaat) dari beberapa pilihan alternatif yang ada.
c. Sikap integrative dalam arti kesediaan menyelaraskan, menyerasikan dan
menyeimbangkan berbagai kepentingan dan aspirasi tersebut secara benar, adil dan
proporsional.
d. Sikap kooperatif, dalam arti kesediaan untuk hidup Bersama dan bekerjasama dengan
siapapun di dalam kegiatan yang bersifat mu’amalah (hubungan sesama manusia),
bukan yang bersifat ibadah.24

Adapun contoh dari implementasi sikap dan pandangan NU tentang ukhuwah basyariyah
salah satunya tercermin dari Keputusan NU tentang al Huquq al Insaniyah fil Islam (Hak Asasi
Manusia dalam Islam) yang diputuskan pada forum Musyawarah Nasional Alim Ulama NU di
Pesantren Qomarul Huda Lombok, NTB tahun 1997. Keputusan ini menyatakan bahwa Islam
merupakan ajaran yang menempatkan manusia pada posisi yang sangat tinggi. Bahkan al Quran
menjamin hak pemuliaan dan pengutamaan manusia. Islam menegaskan adanya hak al karamah
dan hak al fadilah pada manusia. Dan pengejawantahan dari misi itu yang disebut sebagai al
ushul al khams (lima prinsip dasar) yakni: hifz al din, hifz al nafs wa al irdl, hifz al aql, hifz al
nasl dan hifz al maal.25

23
Hasil-Hasil Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, h. 22.
24
Hasil-Hasil Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, h. 29.
25
Hasil-Hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama & Konferensi Besar NU, 17-21 November 1997 M,
(Jakarta: Sekjend PBNU dan LTN PBNU, 1998), h. 51.

13
Bagi NU, ukhuwah tidak hanya memerlukan keseragaman tetapi juga memerlukan
“kesediaan untuk bersatu dalam keanekaragaman”. Oleh karena itu, dalam pelaksanaan ketiga
ukhuwah tersebut hendaknya dilakukan secara proporsional, seimbang dan menurut tuntutan
syari’at.26 Hal ini sebagaimana yang diungkakan oleh KH. Said Aqil Siroj dalam menanggapi
maraknya politisi yang mengeksploitasi agama. "Nahdlatul Ulama perlu mengingatkan
tentang trilogi ukhuwah sebagai fundamen membangun persaudaran,"27

III. Kesimpulan

Konsep trilogi ukhuwah yang ditawarkan KH. Ahmad Siddiq yang pada awalnya
mendapat tentangan dan kritik dari para ulama NU namun dalam perjalanannya kemudian
menjadi cara pandang resmi NU. Hal ini menunjukkan bahwa gagasan ini sangat penting
untuk terus digaungkan. Trilogi ukhuah menjadi jawaban atas kemelut berbagai persoalan
agama, kebangsaan dan kemansiaan yang terjadi di Indonesia dan dunia. Ukhuwah Islamiyah
yang ditawarkan KH. Ahmad Siddiq akan menjadi sebuah ikatan di kalangan umat Islam,
sehingga umat Islam menjadi kuat. Kemudian, ditambah dengan ukhuwah wathaniyah yang
akan menjadi fondasi bagi hubungan antar masyarakat yang majemuk, sehingga menciptakan
negara yang bermartabat. Dan ukhuwah basyariyah atau ukhuwah insaniyah akan menjadi
kunci perdamaian antar sesama manusia. Akhirnya, konsep “Trilogi Ukhuwah” yang
merupakan gabungan dari ukhuwah Islamiyah, nasionalisme, dan pluralisme harus menjadi
semangat baru untuk membangun dan menatap Indonesia ke depan yang sesuai dengan Islam
Nusantara yang moderat, humanis dan akulturatif terhadap kebudayaan-kebudayaan lokal.
Hal ini sangat penting demi mewujudkan tatanan kehidupan Islam yang menjadi rahmat bagi
seluruh alam. Selamat Hari Lahir NU ke-91, merawat tradisi, mengupayakan inovasi,
menjaga NKRI.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, Rumadi, Dr., Fatwa Hubungan Antar Agama di Indonesia, Jakarta: Gramedia
Pustaka Utama, 2015.

26
Hasil-Hasil Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, h. 29-30.
27
Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siradj dalam jumpa pers mengenai Refleksi dan Taushiyah
Kebangsaan NU Memasuki Tahun 2020 di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis
(2/1/2020).https://nasional.sindonews.com/berita/1485946/12/perkuat-persaudaraan-pbnu-ingatkan-petingnya-
trilogi-ukhuwah, diakses 9 November 2020.

14
Aritama, Rifky, “KH Achmad Shiddiq dan Konsep Trilogi Ukhuwah’ dalam,
https://ibtimes.id/kh-achmad-shiddiq-dan-konsep-trilogi-ukhuwahnya/, diakses 10
November 2020.
Asy’ari, M. Hasyim, KH., Risalah Ahlissunnah Wal Jama’ah, Jakarta: Lembaga Ta’mir
Masjid PBNU, 2011.
Feillard, Andre, NU vis a vis Negara: Pencarian Isi, Bentuk dan Makna, Yogyakarta, LKiS:
2013, cetakan ke-3.
Mahfudz, MA. Sahal, KH., Nuansa Fiqh Sosial, (Yogyakarta: LKiS, 2011).
Muntaha AM, Ustadz Ahmad, “Tafsir KH. Muchith Muzadi atas Trilogi Ukhuah KH. Ahmad
Siddiq” dalam https://ltnnujabar.or.id/tafsir-kh-muchith-muzadi-atas-trilogi-ukhuwah-
kh-ahmad-shiddiq/3/, diakses pada 1 November 2020.
Muzadi, Abdul Muchith, NU dalam Perspektif Sejarah dan Ajaran; Refleksi 65 Tahun Ikut
NU, Surabaya, Khalista: 2006, cetakan ke-3.
Ni’am, Syamsun & Anin Nurhayati, “Pemikiran Kebangsaan K.H. Ahmad Siddiq dan
Implikasinya dalam Memantapkan Ideologi Pancasila sebagai Dasar Negara di
Indonesia, dalam Jurnal AKADEMIKA, Vol. 23, No. 02, Juli-Desember 2018.
Novandri, Rahmad, dalam https://www.radarbangsa.com/khazanah/17836/kiai-said-nu-akan-
terus-tegakkan-prinsip-trilogi-ukhuwah. diakses 1 November 2020.
Rahmat, M. Imdadun, Dr., Islam Indonesia Islam Paripurna, Jakarta: Yayasan Omah Aksoro
Indonesia, 2017.
Sahal, Akhmad & Munawir Azis ed.), Islam Nusantara Dari Ushul Fiqh Hingga Paham
Kebangsaan, Bandung: Mizan Pustaka, 2016.
Siradj, Said Aqil, Ahlussunnah wal Jammah Sebuah Kritik Historis, Jakarta: Pustaka
Cendekiamuda Jakarta, 2008.
Siradj, Said Aqil, dalam jumpa pers mengenai Refleksi dan Taushiyah Kebangsaan NU
Memasuki Tahun 2020 di Gedung PBNU, Jakarta Pusat, Kamis
(2/1/2020).https://nasional.sindonews.com/berita/1485946/12/perkuat-persaudaraan-
pbnu-ingatkan-petingnya-trilogi-ukhuwah, diakses 9 November 2020.
Slamet dalam https://www.nu.or.id/post/read/75101/trilogi-ukhuwah-fondasi-pembangunan-
indonesia
Tim LTN PBNU, Hasil-Hasil Muktamar ke-29 Nahdlatul Ulama, Jakarta: Lajnah Ta’lif Wan
Nasyr PBNU, 1996.
Tim LTN PBNU, Hasil-Hasil Musyawarah Nasional Alim Ulama & Konferensi Besar NU,
17-21 November 1997 M, Jakarta: Sekjend PBNU dan LTN PBNU, 1998.

15
Tim LTN PBNU, Keputusan Komisi Bahtsul Masail Munas Alim Ulama dan Kombes NU
Pondok Pesantren Kempek, Palimanan Cirebon, Jawa Barat 1433 H/2002 M, Jakarta:
Lembaga Lajnah Ta’lif Wan Nasyr PBNU, 2013.

16

Anda mungkin juga menyukai