Anda di halaman 1dari 12

PEMBENTUKAN KOUNITAS DAN KERAJAAN ISLAM DI INDONESIA

A. Pendahuluan
Sejarah perkembangan Islam di Nusantara dan Indonesia khususnya tidak bisa dilepaskan
dari keberadaan komunitas dan kerajaan-kerajaan Islam yang tersebar di berbagai wilayah.
Mereka telah menjadi penanda sekaligus aktor utama penyebaran Islam ke berbagai lapisan
masyarakat pada masa-masa awal. Di sisi yang lain, keberadaan mereka juga menjadi bagian
dari perdebatan terkait kapan sebenarnya Islam masuk di Indonesia. Muncul banyak teori dari
para peneliti dengan buktinya masing-masing. Setidaknya ada tiga teori yang muncul dalam
hal ini.
Teori pertama menyebut Islam masuk pada abad 1 H/7M langsung dari Arab ke Pesisir Aceh.
Teori ini dikukuhkan dalam seminar masuknya Islam di Indonesia tahun 1962. Teori kedua
yang dikemukakan sarjana Barat yang menyebut Islam masuk dari anak benua India bukan
dari Persia atau Arab yang dikaitkan dengan Gujarat atau Malabar sekitar abad ke-12 M yang
dikaitkan dengan bukti batu nisan tertua yang ditemukan di Pasai`(raja pertama Samudra
Pasai). Teori ketiga yang dikembangkan Fatimi yang menyebut Islam dating dari Benggali
(Bangladesh), karena kebanyakan orang berpengaruh di Pasai adalah orang Benggali.1
Dengan munculnya beragam teori ini, maka pengkajian mengenai komunitas-komunitas dan
kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia menjadi sangat penting. Makalah ini akan mencoba
mengulas sejarah pembentukan dan peran komunitas serta kerajaan Islam yang ada di
berbagai wilayah di Indonesia. Melalui pembahasan ini, diharapkan akan tergambar berbagai
aspek yang terkait sekaligus memperjelas keterkaitan komunitas dan kerajaan Islam pada
masa awal dengan masa-masa sesudahnya.
B. Pembahasan
1. Komunitas Paling Awal
Pembentukan kmunitas musiim pada masa-masa awal Islam masuk di Indonesia tidak bisa
dilepaskan dari adanya mobilisasi para pendatang dari berbagai wilayah baik dari arah Barat
maupun Tmur Asia. Uka Tjandrasasmita mencatat bahwa komunitas pertama umat muslim di
Indnesia sudah eksis sejak abah 7 atau 8 M. Dalam banyak catatan, mereka disebut Ta-shih
yakni orang-orang Arab yang ada di pantai Barat Sumatra. ini didasarkan pada catatan
Tionghoa dari Dinasti T’ang, catatan Jepang, catatan Groenweldt dan Syed Naquib al Attas.
Kedatangan mereka dipicu oleh arus perdagangan laut antara bagian Timur dan Barat Asia,
terutama setelah kemunculan dan perkembangan tiga kekuatan besar saat itu yakni
Kekhalifahan Umayyah (660-749 M) di Asia Barat, Dinasti T’ang (618-907 M) di Asia
Timur dan Kerajaan Sriwijaya (7-14 M) di Asia Tenggara.2
Dalam catatan C. Snouck Horgrouneje yang diperkuat oleh J.P Moquette, komunitas muslim
pertema umat Muslim Indonesia ada di Gampong Samudra Lhokseumawe yakni pada abad
ke-13. Ini diperkuat dengan temuan batu nisan tertua yang mencantumkan nama Sultan Al
Malik al Shaleh, sultan pertama wilayah ini yang meninggal pada 696 H (1297 H).3

1
Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, (Jakarta:
Departemen Agama RI, 2007), h. 20-22.
2
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), h. 12.
3
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi, h. 13.

1
Pembahasan
Tumbuhnya Kerajaan-Kerajaan Islam Nusantara
Cukup banyak bukti yang menunjukkan bahwa berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di
Nusantara bukan sebagai patkan awa masuknya Isam di wiayah ini sebagaimana dijelaskan di
atas. Tumbuhnya kerajaan-kerajaan Islam dengan masuknya Islam adalah dua hal yang
berbeda. Eksistensi kerajaan-kerajaan ini adaah tahapan berikut dari perkembangnya Islam
sebagai agama yang sudah dipeluk masyarakat Nusantara beberapa abad sebelum kerajaan-
kerajaan tersebut lahir.
Pada bagian ini akan dijeaskan sejarah perumbuhan kerajaan-kerajaan Islam
khususnya di Indonesia mulai dari wilayah paling barat Sumatra hingga paling Timur di
Maluku.
1. Samudra Pasai
Letak Kerajaan Samudra Pasai ebih kurang 15 km di sebelah timur Lhokseumawe,
Aceh dan tumbuh sekitar 127- sampai 1275. Sultan pertama kerajaan ini adalah al Malikus
Shaleh (wafat 696 H/1297 M). Nama Malikush Shaleh sebagai sultan pertama kerajaan
tersebut diceritakan dalam Sejarah Melayu dan Hikayat Raja-raja Pasai.4 Nama asli
Malikush Shaleh adalah Mirah Silu. Diceritakan awal mula ia memeluk Islam ketika ia
bermimpi bertemu Nabi Muhammad yang meludahi mulutnya. Begitu terbangun, ia seketika
bisa membaca al Quran. Lebih jauh dikisahkan Mirah Silu menerima seorang syekh dari
Mekah untuk mengesahkan keislamannya, sebuah kisah yang namaknya menunjukkan
adanya hubungan tarekat antara Pasai dengan kota Nabi tersebut.5
Berdirinya kerajaan tersebut tidak bisa dihubungkan dengan melemahnya kerajaan
Sriwijaya sejak abad ke-12 dan ke-13 situasi dan kondisi politik Sriwijaya pada waktu itu
dipengaruhi oleh tekanan kerajaan Singosari dari Jawa yang mengirimkan Ekspredisi
Pamalayu pada tahun 1275 ke Sumatra. Karena itu, kelemahan Sriwijaya menyebabkan
ketidakmampuan mereka untuk mengontrol rute perdagangan internasional di sekitar Selat
Malaka.6
Dengan letaknya yang strategis dalam rute perdagangan di Selat Malaka, Samudra
Pasai memiliki peranan penting dalam penyebaran Islam dan prosesnya di sejumlah wilayah
seperti Malaka, Patani, Jawa dan mungkin di wilayah-wilayah lain di dunia Melayu.7
Kesultanan Samudra Pasai telah mengenal mata uang dan telah melakukan kegiatan
eksport seperti lada, sutra, kapur barus dan lain-lain. Barang-barang ini didapat karena
menjadi tempat pengumpulan barang dagangan dari berbagai daerah. Di bidang keagamaan,
Ibnu Batutah memberitakan kehadiran ulama-ulama asal Persia, Suriah dan Isfahan. Ibnu
Batutah menceritakan bagaimana taatnya Sultan Pasai pada Islam dari madzhab Syafi’i dan

4
Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara” dalam Jurnal ISLAMUNA, Vol. 2, No. 2, Desember
2015, h. 243.
5
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara, (Princeton: Princeton University Press, 2011), h. 5.
6
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, (Jakarta: KPG, 2009), h. 14.
7
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, 19.

2
selalu dikelilingi ahli-ahli teologi Islam. Sehingga Kesultanan Samudra Pasai menjadi pusat
penyebaran Islam.8
Tercatat selama hampir 250 tahun keberadaan Samudra Pasai, sebanyak 20 raja yang
berkuasa di kesultana tersebut. Nama terakhir yang menjadi sultan Pasai adalah Sultan Zainal
Abidin IV yang berkuasa pada 1514-1524.9
Kerajaan ini bertahan sampai 1521 ketika Portugis kemudian menguasainya selama
tiga tahun. Setelah itu, pada tahun 1524 M, Kerajaan ini dianeksasi oleh raja Aceh, Ali
Mughayat Syah untuk selanjutnya berada di bawah kekuasaan Kesultanan Aceh
Darussalam.10

2. Kerajaan Malaka
Kemuduran Kerajaan Sriwijaya telah menyebabkan rajanya mencari ibu negeri baru
di sekitar selat Malaka, mulai dari Palembang, turun ke Bintan terus ke Tumasik Singapura)
dan mendirikan Malaka (1400 M) oleh Parameswara, hingga menjadi pusat perdagangan,
penyebaran Islam dan pusat peradaban Melayu. Kasus ini juga memberi kesempatan
berpindahnya sejumlah pembesar kerajaan di Sumatra untuk membangun perkampungan baru
dan kemudian menjadi kerajaan.11
Ada perbedaan pandangan para ahli terkait kapan Malaka pertama kali didirikan.
Seorang penulis Portugis, Tome Pires yang tinggal di Malaka pada 1512-1515, mengatakan
Malaka telah dibuka lebih kurang serratus tahun sebelum Malaka ditaklukkan oleh
bangsanya. Seorang Portugis lainnya, De Barros mengatakan bahwa Malaka telah ada sejak
dua ratus lima puluh tahun sebelum ditaklukkan.12
Parameswara sendiri adalah anak raja Palembang dari Dinasti Syailendra yang terlibat
dalam peperangan merebut kekuasaan di Majapahit. Ia berhasil meloloskan diri dari serangan
Majapahit pada tahun 1377 dan berlindung di Tumasik. Di sana ia membunuh Temagi
sebagai penguasa setempat dan kemudian melantik dirinya sebagai penguasa baru. Karena
takut dari ancaman Siam, ia mencari tempat perlindungan yang aman dan akhirnya sampai di
Malaka.13
Menurut Tome Pires Raja Parameswara memeluk Islam saat ia menikah dengan putri
Pasai. Setelah itu ia mendapat gelar baru yaitu Sultan Meghat Iskandar Syah (1413 M). Selain
terdapat hubungan kekerabatan, Samudra Pasai juga memiliki pengaruh yang cukup besar
terhadap Kesultanan Malaka. Ini misalnya dapat dilihat dari tipologi batu nisan dan bentuk
koine emas yang dibuat di kerajaan ini.14 Sulalatus Salatin mengisahkan Parameswara
memeluk Islam setelah Rasulullah hadir dalam mimpinya yang mengajarkannya

8
Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara”, h. 243-244.
9
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan Islam di
Aceh” dalam A. Hasymy (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia, (Jakarta: PT. Alma’arif,
1989). h. 420.
10
Muhammad Ibrahim dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya .... h. 430.
11
Suwardi Muhammad Samin, “Kerajaan dan Kesultanan Dunia Melayu: Kasus Sumatra dan
Semenanjung Malaysia”, dalam Jurnal Criksetra, Vol. 4, No. 7, Februari 2015, h. 67.
12
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, (Jakarta: Al-Kautsar, 2010), h. 7
13
Emmy Indriyawati, Sejarah, (Jakarta: Graha Pustakah, 2004), h. 25.
14
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 18.

3
mengucapkan kalimat syahadat. Kedatangan seorang makhdum dari Jeddah yang bernama
Syed Abdul Azis kemudian menjadi guru sultan dan rakyat Malaka mendalami Islam.15
Kerajaan Malaka cepat berkembang dan bahkan dapat mengambil alih dominasi
pelayaran dan perdagangan dari Kerajaan Samudra Pasai. Sejauh menyangkut penyebaran
islam di tanah Melayu, peranan Malaka sama sekali tidak dapat dikesampingkan, karena
konversi Melayu terjadi terutama selama periode Kesultanan Malaka pada abad ke-15.
Sejarah Melayu menceritakan, Meghat Iskandar Syah setelah memeluk Islam, ia
memerintahkan segenap warganya baik yang berkedudukan tinggi maupun rendah untuk
menjadi muslim.16 Sejarah Melayu juga menyebut sejumlah ulama terkenal yang pernah
menjadi guru agama Islam para sultan Malaka antara lain: Maulana Abdul Aziz yang menjadi
guru Sultan Muhammad Syah, Kadi Yusuf dan Maulana Abu Bakar menjadi guru Sultan
Mansur Syah, Sadr Johan yang menjadi guru Sultan Mahmud Syah, Bendara Seri Maharaja,
Megat Seri Rama dan Tunai Mai Ulat Bulu.17
Di kesultanan ini juga diberlakukan hukum pidana yang dibukukan dalam kitab
hukum Undang Undang Melaka. (UUM) Kitab hukum ini bersumber dari hukum adat dan
hukum Islam. Tapi pasal-pasal yang ada di dalam UUM ini tidak diterapkan dalam kehidupan
masyarakat Malaka. Yang diterapkan adalah hukum adat yang masih dipengaruhi oleh Hindu,
agama yang dianut sebelum datangnya Islam. Hukum Islam menjadi alternatif hukum adat di
Malaka yang bersuber dari beberapa madzhab fikih. Hukum-hukum yang diatur antara lain
tentang pembunuhan, pencurian, perzinahan, tuduhan berbuat zina (qadzaf), murtad dan
minuman yang memabukkan.18
Secara politik dan ekonomi, Malaka juga tercatat sebagai salah satu kerajaan Islam
terkuat pada masanya. Sejarah Melayu seperti halnya catatan-catatan dari sumber Portugis
maupun Cina membicarakan dengan penuh semangat denga nagak berlebihan mengenai
kejayaan tersebut. Malaka tidak hanya menguasai beberapa kerajaan yang telah masuk Islam
seperti Aru, Pedir dan Lambri, tetapi juga menguasai daerah-daerah baru seperti Kampar,
Indragiri, Siak, Jambi, Bengkalis, Riau dan Lingga. Di samping itu, di Semenanjung Malaya,
daerah seperti Pahang, Pattani, Kedah, Johor serta daerah lain yang telah menerima Islam
juga mengakui kekuasaan Malaka.19
3. Aceh Darussalam
Kerajaan ini berdiri pada 916 H/1511 M bersamaan dengan jatuhnya Maaka ke tangan
Portugis. Sebelum menjadi kerajaan yang berdaulat secara penuh, Aceh Darussalam
merupakan taklukan Kerajaan Pidie. Berkat jasa Sultan Ali Mughayat Syah, Aceh akhirnya
mampu melepaskan diri, dan bahkan pada babak berikutnya menjadi sentral kekuasaan di
wilayah Sumatra Utara: Pasai, Daya termasuk Pidie yang duunya menjadi kerajaan atasan
Aceh.Sultan Ali Mughayat Syah atau Sultan Ibrahim menjadi pendiri sekaligus penguasan
pertama Aceh Darussalam (1514-1528 M).20

15
Dr. Hj. Helmiati, M Ag., Sejarah Islam Asia Tenggara, (Pekanbaru: LPPM UIN Sultan Syarif Kasim
Riau, 2014), h. 34.
16
Dr. Hj. Helmiati, M Ag., Sejarah Islam Asia Tenggara, h. 33.
17
Dr. Hj. Helmiati, M Ag., Sejarah Islam Asia Tenggara, h. 35.
18
Ayang Utriza Yakin, “Hukum Pidana di Kesultanan Melaka Abad ke-15 dan ke-16” dalam Jurnal
KARSA, Vol. 24, No. 1, Juni 2016, h. 33.
19
Dr. Hj. Helmiati, M Ag., Sejarah Islam Asia Tenggara, h. 37.

4
Dimasa pemerintahan Ali Mughayat Syah, Aceh terus melakukan ekspansi (perluasan
wilayah). Dalam perjalanan ekspansinya, disamping bermotif politis, ekonomi, tidak
dipungkiri juga bermotif agama. Sepeninggal Ali Mughayat Syah, pemerintahan dilanjutkan
oleh Sultan Alaudin Ri’ayat Syah Al Qahhar (1557-1568 M). 21 Pada masanya, usaha ekspansi
dilanjutkan seperti pendahulunya. Ia meluaskan wilayahnya ke Barus, ia mengutus suami
saudara perempuannya yang kemudian oleh Sultan dianggap menjadi Sultan Barus.22
Ketika Sultan Alaudin memegang kekuasaan, ia membagi rakyatnya berdasarkan asal
yang dinamai kaum atau sukee. Orang suku Hindu membentuk 4 kesatuan dan berdiam di
Tanoh Abee, Lam Lau’ot, Pentja, Montasik dan Lam Nga. Sebagai kepalanya adalah Radja
Raden berkedudukan di Tanoh Abee. Orang yang berasal dari suku Batak/Karo membentuk
kaum Lhoe Reotoih (kaum Tigaratus). Dari suku Hindu Kling, kaum Imeum Peuet (imam
empat) dan orang-orang asing lain: Arab, Parsi, Turki dan lain-lain membentuk kaum Tok
Batee (Cukup batu). Keluarga Sultan sendiri termasuk dalam suku Tok Batee. Kemudian ada
kaum Dja Sandang yang berasal dari campuran peranakan Batak Karee dan suku Hindu.23
Setelah Sultan Alaudin meninggal, ia digantikan oleh salah seorang putranya bernama
Husein. Padahal sebelumnya, dua putranya yang lain sudah dianggakat menjadi Sultan Aru
dan Sultan Pariaman. Tampilnya Sultan Husein melahirkan kecemburuan kedua saudaranya
di Aru dan Pariaman. Sikap yang sama juga ditunjukkan Sultan Barus. Maka terjadilah
perlawanan dari ketiga sultan tersebut terhadap Sultan Husein. Dalam pertempuran, Sultan
Husein gugur, demikian juga Sultan Aru, yang tertinggal hanya Sultan Pariaman.
Semenjak itu Aceh mengalami kemunduran. Banyak daerah kekuasannya melepaskan
diri akibat lemahnya control Aceh dan pengaruh Portugis. Baru setelah Sultan Iskandar Muda
(1607-1638 M) tampil sebagai penguasa Aceh, keadaan bisa dipulihkan, bahkan lebih
memperluas lagi daerah taklukannya.24
Pada masa Sultan Iskandar Muda, Aceh Darussalam mengalami masa kejayaannya.
Aceh Kembali aktif membendung penetrasi dan campur tangan pedagang asing. Ia
mempersulit dan memperketat perizinan bagi pedagang asing yang hendak mengadakan
kontak dengan Aceh. Ia juga berusaha membenahi dan mengadakan konsolidasi di berbagai
sector, baik ekonomi, sosial, budaya dan kehidupan beragama. Pada masanya, tersusun suatu
Undang-undang tentang tata pemerintahan yang diberi nama Adat Makuta Alam, hukum adat
ini didasarkan pada hukum syara’25
Dibukanya Bandar Aceh menjadi Pelabuhan Internasional merupakan langkahnya
yang progresif dalam upaya memakmurkan perekonomian negeri, segala hasil kekayaan
Aceh terutama lada dengan mudah memperoleh pasaran. Aceh juga menjadi pusat ilmu
pengetahuan dan keagamaan. Ilmu Tasawuf adalah salah satu kajian keagamaan yang
mendapat perhatian Sultan. Sehingga pada masa itu tercatat nama-nama seperti Hamzah

20
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, (Yogyakarta: Kurnia Alam
Sejahtera, 1995), h. 11-12.
21
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, (Medan: Penerbit Iskandar Muda, 1960), h. 20.
22
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 12.
23
H. M. Zainuddin, Tarich Atjeh dan Nusantara, h. 20.
24
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 12.
25
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 13.

5
Fansuri, Syamsuddin As Sumatrani dan Nuruddin Ar Raniri. Nama yang terakhir kurang
mendapat simapti dari Sultan Iskandar Muda.26
Setelah Sultan Iskandar Muda meninggal pada 1636, kekuasaannya dilanjutkan oleh
menantunya Sultan Iskandar Tsani yang memerintah kurang lebih 5 tahun (1636-1641 M).
Sikap Sultan baru ini sangat berbeda jauh dengan pendahulunya dalam menanggapi kaum
kolonialis, ia sangat lunak dan kompromistis baik terhadap Inggris, Portugis maupun
Belanda. Pada masanya, tanda-tanda kemunduran Aceh mulai terlihat. Hal ini disebabkan
adanya campur tangan asing yang mendapat kesempatan dari sikap sultan yang longgar.27
Kemunduran semakin terlihat setelah Sultan Iskandar Tsani wafat dan kekuasaan
dilanjutkan istrinya Sultanah Tajul Alam Syafituddin Syah (1641-1675 M). Banyak wilayah
melepaskan diri dan Sultanah terpaksa menjalin Kerjasama dengan Belanda. Penguasa
berikutnya juga perempuan yakni Sultanah Nurul Alam Nakiatuddin (1675-1678 M).
Kehadirannya tidak bisa mengeluarkan Aceh dari kemelut. Begitupun ketika dilanjutkan oleh
Putranya Raja Sertia. Barulah setelah ulama dan tokoh melakukan perlawanan terhadap
Belanda (1873-1903 M), seperti Habib Abdurrahman, Teuku Umar, Cut Nyak Din, Panglima
Polim dan lain-lain, charisma Aceh Kembali naik.28
Aceh abad ke tujuhbelas kerap dipandang sebagai model bagi Islam Indonesia
terutama selama masa kesultanan Iskandar Muda yang gemar berperang hamper sezaman
dengan Sultan Agung di Mataram. Historiografi modern kadang menampilkan Aceh sebagai
pusat pengetahuan dan kekuasaan yang sepadan dengan Imperium Utsmani.29
4. Kerajaan Demak
Demak merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa. Sebelumnya Demak merupakan
daerah vasal Majapahit yang dipercayakan raja Majapahit kepada anaknya Raden Patah, yang
kemudian menjadi raja pertama Demak.30 Seperti disebutkan dalam Babad Jawa dan sumber-
sumber Belanda awal, para ulamalah yang menseponsori berdirinya kerajaan Demak dan
membantu raja dalam melaksanakan roda pemerintahan terutama terkait persoalan agama.31
Pada 1478, Demak sebagai ibukota kerajaan dan Jepara sebagai kota Pelabuhan mulai
tumbuh dan berkembang di bawah pemerintahan raja pertama ini. Menurut Tome Pires
sebagaimana dikutip Tjandrasasmita, Pati Unus (raja kedua Demak), kakak ipar dari Pate
Rodim (Raden Patah) yang memerintahkan serangan ke Malaka pada 1512, dibunuh. Raja
ketiga Demak adalah Trenggono yang selalu berjuang melawan Portugis ketika melanjutkan
ekspansi politik kerajaan hingga bagian timur dan bagian barat Jawa. Ketika menguasai
Blambangan, ia dibunuh dan meninggal pada 1546.32
Kesultanan Demak dalam perkembangannya menjadi pusat perkembangan agama
Islam yang diramaikan oleh para wali yang dikenal dengan “Walisongo (Wali Sembilan)”.
Tentu banyak tokoh lain yang berperan, namun peranan mereka yang sangat besar dalam
26
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 14.
27
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 15.
28
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 16.
29
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara, h. 13.
30
Dr. Hj. Helmiati, M Ag., Sejarah Islam Asia Tenggara, h. 56.
31
Drg. H. Muhammad Syamsu As, Ulama Pembawa Islam di Indonesia, (Jakarta: Lentera, 1999), h. 42-
43.
32
Uka Tjandrasasmita, Arkeologi Islam Nusantara, h. 57.

6
mendirikan kerajaan Islam di Jawa juga pengaruhnya terhadap kebudayaan masyarakat secara
luas serta dakwah secara langsung, membuat Walisongo lebih banyak disebut dibanding yang
lain. Di era Walisongo-lah berakhirnya dominasi Hindu-Buddha di Jawa dan Nusantara.
Walisongo tinggal di tiga wilayah penting utara Jawa yaitu: Surabaya-Gresik-Lamongan di
Jawa Timur. Demak-Kudus-Muria di Jawa Tengah dan Cirebon di Jawa Barat.33
Menurut Laffan, para sunan (sebutan didepan nama para Walisongo) di pesisir utara
Jawa memiliki pengaruh di tempat lain di Nusantara termasuk bandar-bandar seperti Gowa di
Makassar, kepangeranan pertama yang diislamkan (awal abad ketujuhbelas). Dengan
dukungan para sunan di Giri, Gowa menjadi pengislam yang aktif baik terhadap tetanggnya
maupun terhadap pulau-pulau lain yang lebih jauh seperti Banda, Lombok dan Sumbawa.34
Menurut semua cerita babad di Jawa sebagaimana ditulis Graaf dan Pigeaud, Sultan
Trenggono yang meninggal dalam eskpediri ke Pasuruan digantikan oleh Susuhunan Prawata
(Sunan Prawata). Namun pribadi Susuhunan itu tidak dikenal. Dalam Serat Kandha
diceritakan mengenai Sunan ini “karena pilihannya sendiri ia telah menjadi Priyai Munkim
atau Susuhunan Suci di Prawata. Nama Prawata adalah nama gunung tidak jauh dari ibukota
Demak. Sultan Trenggono membangun Prawata sebagai taman sari, tempat menikmati
kesegaran dan keindahan.35
5. Kerajaan Pajang
Seiring meninggalnya Sultan Trenggono, sering terjadi perang dinasti yang berakhir
dengan munculnya Sultan Pajang. Kerajaan Pajang adalah pelanjut kerajaan Demak,
didirikan oleh Jaka Tingkir yang berikutnya lebih dikenal dengan nama Sultan Adiwijaya.
Dia adalah putra raja Pengging terakhir yang dibunuh oleh Sunan Kudus. Nama kecilnya Mas
Krebet, karena pada saat lahirnya wayang beber sedang dipertunjukkan di rumah ayahnya.
Sedangkan nama Jaka Tingkir diambil dari Tingkir, tempat ia dibesarkan.36
Kesultanan ini merupakan kerajaan Islam pertama yang terletak di pedalaman Jawa.
Dengan berdirinya kerajaan Pajang, sejarah Islam di Jawa memperlihatkan babak baru.
Kekuasaan politik yang semula berpusat di pesisir sekarang berpindah ke daerah pedalaman.
Perubahan itu membawa akibat yang sangat besar bagi perkembangan peradaban Islam di
Jawa. Pengaruh kebudayaan pesisir menjalar ke pedalaman.37
Pada awal berdirinya tahun 1549, wilayah Pajang hanya meliputi Sebagian Jawa
Tengah karena negeri-negeri di Jawa Timur banyak yang melepaskan diri sejak kematian
Sultan Trenggono. Di Bawah Adiwijaya, Pajang berhasil memperluas wilayahnya ke
pedalaman seperti ke Madiun (1554), Blora, Kediri. Pada 1581, Adiwijaya dan para adipate
Jawa Timur dipertemukan di Giri Kedaton oleh Sunan Prapen. Pertemuan itu dihadiri oleh
para adipate dari Japan, Wirasaba, Kediri, Surabaya, Pasuruan, Madiun, Sedayu, Lasem,
Tuban dan Pati. Dalam pertemuan tersebut, para adipate menyatakan pengakuan terhadap
kekuasaan Pajang atas negeri-negeri Jawa Timur.38
33
Dr. Hj. Helmiati, M Ag., Sejarah Islam Asia Tenggara, h. 56-57.
34
Michael Laffan, Sejarah Islam di Nusantara, h. 11.
35
Dr. H.J De Graaf dan Dr. Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, (Yogyakarta: KITLV,
1985). Bab 3, III-2.
36
Dr. H.J De Graaf dan Dr. Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Bab 19 (XIX-4).
37
Dr. Hj. Helmiati, M Ag., Sejarah Islam Asia Tenggara, h. 63.
38
Dr. H.J De Graaf dan Dr. Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Bab 19 (XIX-5).

7
Para penulis Jawa di Keraton Mataram pada abad ke-17 dan 18 menganggap masa
pendek kejayaan dinasti Pajang sebagai masa peralihan dari zaman Demak ke zaman
keluarga raja Jawa Tengah bagian selatan. 39 Menurut cerita tutur Mataram, Sultan Pajang
meninggal pada tahun 1587 di taman kerajaannya sebagai akibat penyakit, kecelakaan atau
Tindakan seorang juru taman yang ingin berjasa kepada Senapati Mataram. Ia dimakamkan
di Butuh, sebelah barat taman kerajaan Pajang yang kemudian dikenal dengan nama Makam
Aji.
Yang menjadi ahli waris sultan Pajang ialah tiga putra menantu, yakni raja di Tuban,
raja di Demak dan raja di Aros Baya, disamping putranya sendiri Pangeran Benawa yang
konon masih sangat muda. Menurut cerita, Sunan Kudus dengan wibawa kerohaniannya
meminta agar yang diakui sebagai penerus adalah raja Demak, Aria Pangiri (cucu Sultan
Trenggono), mungkin dengan maksud mengembalikan kekuasaan di kesultanan Jawa Tengah
kepada keturunan langsung Sultan Trenggono.40
6. Kerajaan Mataram Islam
Mataram mulanya hanyalah hutan yang penuh tumbuhan tropis di atas puing-puing
istana tua Mataram Hindu yang berdiri lima abad sebelumnya. Wilayah ini adalah pemberian
dari Jaka Tingkir (Raja Pajang) kepada Ki Gde Ngenis atau Ki Pemanahan dan putranya
karena jasa mereka turut melumpuhkan Arya Penangsang di Jipang Panolan.
Ki Pemanahan naik tahta di istananya yang baru di wilayah Kotagede pada 1577
hingga meninggalnya pada 1584. Setelah itu ia digantikan putranya Ngabehi Loring Pasar
yang oleh Sultan Pajang diberi gelar Senopati Ing Alaga Sayidin Panatagama atau masyhur
sebagai Panembahan Senopati. Berbeda dengan ayahnya, ia mengabaikan kewajibannya
sebagai raja bawahan dengan tidak sowan tahunan kepada Raja Pajang. Akibatnya Raja
Pajang menyerbu Mataram yang berakhir kegagalan akibat Gunung Merapi Meletus Tidak
lama setelah Kembali di keraton, Raja Pajang meninggal dunia. Momentum ini dimanfaatkan
Panembahan Senopati untuk memproklamirkan dirinya sebagai penguasa Jawa.41
Panembahan Senapati berkeinginan juga menguasai semua raja bawahan Pajang
termasuk Demak, Pati, Kudus, Jipang. Pada 1599, pada akhir hidup Panempahan Senapati,
Jepara berhasil ia kuasai. Pada Kesempatan itu, kota Raja Kalinyamat juga mungkin
dihancurkan. Di Jawa Timur, Senapati juga berusaha agar kekuasaannya diakui raja-raja di
Jawa Timur. Usaha itu hanya Sebagian yang berhasil. Senapati hanya berhasil menguasai
Madiun, itupun berhasil direbut Kembali.42
Panambahan Senapati meninggal pada 1601. Sebelum meninggal, ia telah menunjuk
putranya Raden Mas Jolang sebagai penggantinya. Raja kedua Mataram ini terkenal dengan
nama anumertanya, Seda Ing Krapyak, karena ia meninggal pada usia yang cukup muda
karena kecelakaan di Krapyak tahun 1613. Penguasa ketiga Mataram adalah Sultan Agung
(1613-1646 M) ketika Mataram mulai menaikkan martabat kraton di bidang kebudayaan.43 Ia
adalah putra Raden Mas Jolang, namun berbeda dengan ayahnya, ia termasuk figus pemimpin
keras, tegas tetapi bijaksana. Pada masanya, Mataram mengalami masa kejayaannya. Ia
39
Dr. H.J De Graaf dan Dr. Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Bab 3.
40
Dr. H.J De Graaf dan Dr. Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Bab 19 (XIX-7).
41
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 24.
42
Dr. H.J De Graaf dan Dr. Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Bab 20.
43
Dr. H.J De Graaf dan Dr. Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa, Bab 20.

8
meneruskan eskpansi-ekspansi ke berbagai wilayah yang pada masa Panembahan Senapati
belum tuntas. Pada masa Sultan Agung ini, daerah-daerah Jawa Timur berhasil dikuasi
sepenuhnya. Ia juga dikenal sebagai sultan yang keras melawan VOC Belanda.44
Kharisma Mataram menjadi turun setelah Sultan Agung meninggal pada 1646, dan
kekuasaan dilanjutkan putranya Susuhunan Amangkurat 1. Disamping memerintah secara
otoriter, ia juga antipasti terhadap ulama. Tercatat selama ia berkuasa telah membanti dua
ribu ulama termasuk mertuanya sendiri: Sunan Giri. Ia bersekongkol dengan kompeni dan
suka hidup berfoya-foya. Akibat kemunduran tersebut, pada 1755, Mataram terbagi menjadi
dua: Yogyakarta yang dipimpin Hamengkubuwono dan Surakarta yang dipimpin
Pakubuwono.45
7. Kerajaan Makasar
Kerajaan Makasar terdiri atas dua kerajaan yaitu Gwa dan Tallo. Kedua kerajaan
tersebut menjalin hubungan baik, sehingga orang luar hanya mengenal sebagai kerajaan
Makasar. Nama Makasar diambil dari nama ibu kota Gowa.46
Menurut catatan kerajaan Goa dan Bone, islam masuk secara resmi ke negeri ini
sekitar tahun 1602 atau 1603, karena raja Goa Karaeng Tonigallo telah menerimanya dari tiga
orang guru agama Islam yang dating dari Minagkabau, yaitu Datuk ri Bandang, Datuk ri Tiro
dan Datuk Patimang. Tetapi sebelum raja memeluk Islam, sudah ada orang Islam sebagai
pedagang di Goa jauh sebelum itu. Ketika suatu utusan Portugis dating ke Goa pada tahun
1540, mereka telah mendapati beberapa orang Islam di Goa tetapi mereka dating dari daerah
lain.47
Setelah menerima Islam, rupanya Goa lantas mengajak raja-raja lain, yang menurut
kepercayaan orang di sana empat raja yang ada berasal dari keturunan yang sama yakni
Sawirgading. Maka Makasar mengajak tiga raja lain memeluk Islam. Bagi mereka yang
menolak kemudian diperangi. Sehingga beberapa daerah terutama Soppeng merasa bahwa
mereka ditaklukkan oleh Goa dengan cara kekerasan atas nama Islam.48
Kerajaan Makasar berkembang pesat sebagai negara maritime. Dengan perahu-perahu
layarnya jenis Pinisi dan Lambo suku Makasar dan Bugis merajai lautan Indonesia, malahan
sampai Siam, Sailan dan Australia. Pada masa pemerintahan Sultan Mahmud Said dibantu
Karaeng Pattingaloang inilah kerajaan Makasar berkembang pesat (1639-1653 M) dan
puncaknya di bawah pemerintahan Sultan Hasanuddin (1653-1669 M). Pada masa itu
kekuasaan Makasar sangat luas terutama di Indonesia Timur. Sultan Hasanuddin sangat
masyhur bahkan hingga beberapa negeri Asia.49
Rongrongan Belanda terhadap Makasar menjadikan kerajaan ini berangsur-angsur
melemah. Beberapa kali Belanda mencoba meruntuhkan Makasar dengan blockade namun
tidak berhasil. Akhirnya blockade diganti dengan strategi perjanjian yang berhasil
memprovokasi Sultan Hasanudin melakukan melakukan peperangan. Dalam pertempuran
44
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 26.
45
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 27-28.
46
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 65.
47
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 318.
48
Supartono Widyosiswoyo, Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Dunia, (Jakarta: PT. Intan
Parwara, 1992), h. 218.
49
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 67.

9
tersebut, Sultan Hasanudin kalah dan terpaksa tunduk melalui “Perjanjian di Bongaya”.
Dalam perjanjian tersebut, Makasar menyatakan kalah.50
8. Kesultanan Banjar
Kerajaan Banjar diperkirakan berdiri tahun 1526 M, ketika Pangeran Samudra atas
bantuan Kerajaan Demak berhasil memukul mundur pamannya Pangeran Tumenggung dari
Kerajaan Daha, yang menyerangnya karena dianggap memimpin pembangkangan dan
pemberontakan. Setelah perang selesai, Pangeran Samudra dan pasukannya masuk Islam
termasuk orang Banjarmasin. Maka sejak saat itu Pangeran Samudra dinobatkan sebagai
Sultan Banjar pertama yang berkedudukan di Banjarmasin dan bergelar Sultan Suriansyah.51
Kontak Banjarmasin dengan Islam sebenarnya sudah terjadi jauh sebelum Sultan
Suriansyah memerintah. Diceritakan suatu waktu Sunan Giri pernah singgah di Banjar dalam
urusan dagang, yang membuktikan telah ada hubungan Bandar Banjar dengan Jawa terutama
Gresik, Tuban dan Ampel.52
Sultan Rahmatullah bin Sultan Suriansyah, raja kedua Banjar pada 1612
memindahkan ibukota Banjar dari Banjarmasin ke Martapura. Setelah itu, itdak ada peristiwa
penting yang terjadi hingga Sultan Tahlillah (1700-1745 M) memerintah dimana ketegangan
politik mulai muncul sebagai akibat perebutan kekuasaan. Sultan Tamjidillah I (1745-1778
M) merebut kekuasaan dari keponakannya yang belum dewasa yaitu Sultan Kuning. Dalam
tahun 1747, Sultan Tamjidillah membuat kontak dengan VOC yang menjadi dasar hubungan
dagang Banjar dengan Batavia.53
Dalam kerajaan Banjar sebelum abad ke-18 pemimpin agama tidak termasuk dalam
struktur kerajaan. Hukum islam sebelum tidak diberlakukan dalam kerajaan. Hukum yang
berlaku saat itu terhimpun dalam sebuah buku undang-undang hukum yang disebut Kutara
yang disusun oleh Arya Trenggana ketika dia menjabat Mangkubumi Kerajaan. Mangkubumi
memiliki kewenangan membuat keputusan bagi orang yang dijatuhi hukuman mati.54
Perkembangan perekonomian di Kalimantan Selatan pada awal abad ke-16 sampai
abad ke-17 berkambang pesat. Banjarmasin menjadi kota dagang yang penting sehingga
meningkatkan kemakmuran kerajaan. Banjarmasih menjadi salah satu bandar yang ramai,
banyak perahu-perahu Tionghoa dating ke Banjarmasin membawa barang pecah belah dan
Kembali membawa lada.55
Setelah Islam masuk ke Banjar, perubahan kebudayaan sosial terjadi. Dengan naiknya
Pengeran Samudra menjadi Sultan, agama Hindu runtuh dan digantikan Islam sebagai agama
baru masyarakat Banjar. Candi Agung dan Candi Laras dihancurkan. Raja-raja Hindu Banjar
digantikan raja-raja Islam dan rakyat tunduk bukan hanya dalam bidang politik tetapi juga
dalam bidang keagamaan. Meski demikian, dalam beberapa hal, unsur-unsur kepercayaan
masih bercampur atau terlihat dalam kehidupan masyarakat Banjar.56
50
Hamka, Sejarah Umat Islam, (Jakarta: Bulan Bintang, 1981), h. 299..
51
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 73.
52
Syaifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, (Bandung: A
Maarif, 1981), h 389.
53
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 73.
54
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 74.
55
Leirissa, Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, (Jakarta: Depdikbud, 1984), h. 21.
56
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 80.

10
Ulama sebagai pemimpin agama memegang peranan penting dalam kerajaan. Sultan
dan ulama menjadi satu kesatuan. Hubungan ini terlihat jelas dalam kitab Sabilal Muhtadin
yang ditulis atas permintaan Sultan sebagai pedoman hukum meski masih terbatas pada
bidang waris dan pernikahan. Pengaruh Syeikh Muhammad Arsyad Al Banjari juga sangat
besar dalam pembentukan hukum di istana. Ia membawa ajaran fikih madzhab Syafii menjadi
hukum di masyarakat. Kebiasaan Sultan yang sebelumnya memelihara berpuluh gundik, atas
nasehar Syaikh Arsyad, Sultan menikah menurut aturan Islam.57
9. Beberapa Kerajaan Lain
Selain kerajaan-kerajaan yang telah disebutkan di atas, masih banyak kerajaan-kerajaan Islam
lain yang tersebar di hampir semua wilayah Nusantara. Di Semenanjung Malaya misalnya
terdapat beberapa kerajaan lain seperti Kedah, Perak, Pahang, Trengganu, Selangor, Deli,
Serdang, Asahan, Langkat, Riau-Lingga dan Kesultanan Palembang. Di Jawa ada Kesultanan
Banten, Kesultanan Cirebon. Di Sulawesi ada kerajaan Bangkai Kepulauan. Di Kawasan
Nusa Tenggara ada Kesultanan Bima, Kerajaan Selaparang. Di Maluku ada Kesultanan
Ternate, Tidore, dan Jailolo. Dan masih banyak lagi.

DAFTAR PUSTAKA
Darmawijaya, Kesultanan Islam Nusantara, Jakarta: Al-Kautsar, 2010.
De Graaf, Dr. H.J dan Dr. Th.G. Th. Pigeaud, Kerajaan-Kerajaan Islam di Jawa,
Yogyakarta: KITLV, 1985.
Hamka, Sejarah Umat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 1981.
Harun, Drs. M. Yahya, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, Yogyakarta: Kurnia
Alam Sejahtera, 1995.
Helmiati, Dr. Hj. M Ag., Sejarah Islam Asia Tenggara, Pekanbaru: LPPM UIN Sultan Syarif
Kasim Riau, 2014.
Ibrahim, Muhammad dan Rusdi Sufi, “Proses Islamisasi dan Munculnya Kerajaan-kerajaan
Islam di Aceh” dalam A. Hasymy (Ed.), Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di
Indonesia, Jakarta: PT. Alma’arif, 1989.
Indriyawati, Emmy, Sejarah, Jakarta: Graha Pustakah, 2004.
Laffan, Michael, Sejarah Islam di Nusantara, Princeton: Princeton University Press, 2011.
Leirissa, Sejarah Sosial Daerah Kalimantan Selatan, Jakarta: Depdikbud, 1984.
Rumadi, Post-Tradisionalisme Islam Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU, Jakarta:
Departemen Agama RI, 2007.
Syafrizal, Achmad, “Sejarah Islam Nusantara” dalam Jurnal ISLAMUNA, Vol. 2, No. 2,
Desember 2015.
Samin, Suwardi Muhammad, “Kerajaan dan Kesultanan Dunia Melayu: Kasus Sumatra dan
Semenanjung Malaysia”, dalam Jurnal Criksetra, Vol. 4, No. 7, Februari 2015.
Syamsu As, Drg. H. Muhammad, Ulama Pembawa Islam di Indonesia, Jakarta: Lentera,
1999.
Tjandrasasmita, Uka, Arkeologi Islam Nusantara, Jakarta: KPG, 2009.
Widyosiswoyo, Supartono, Sejarah Nasional Indonesia dan Sejarah Dunia, Jakarta: PT.
Intan Parwara, 1992.
Yakin, Ayang Utriza, “Hukum Pidana di Kesultanan Melaka Abad ke-15 dan ke-16” dalam
Jurnal KARSA, Vol. 24, No. 1, Juni 2016.

57
Drs. M. Yahya Harun, Kerajaan Isam Nusantara Abad XVI & XVII, h. 83.

11
Zainuddin, H. M., Tarich Atjeh dan Nusantara, Medan: Penerbit Iskandar Muda, 1960.
Zuhri, Syaifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan Perkembangannya di Indonesia, Bandung:
Al Maarif, 1981.

12

Anda mungkin juga menyukai