A. Pendahuluan.
Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting
dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling konkret dari
hukum Islam sebagai sebuah agama. Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam
skema doktrinal-Islam, sehingga sorang orientalis, Joseph Schacht, menilai bahwa
adalah mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.[1]
Jika dilihat dari perspektif historisnya, Hukum Islam pada awalnya merupakan suatu
kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah
mazhab hukum yang responsif terhadap tantangan historisnya masing-masing dan
memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar sosio kultural dan politis di mana
mazhab hukum itu mengambil tempat untuk tumbuh dan berkembang.
B. Pembahasan.
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama.
Pemahaman tentang Pasal demi Pasal dari UU No.1/1974, khususnya yang berkaitan
dengan perkawinan beda agama, dikalangan para ahli dan praktisi hukum, dapat
dijumpai tiga pendapat. Pertama, berpendapat bahwa perkawinan antara agama
merupakan pelanggaran terhadapUU No.1/1974 pasal 2 ayat (1): Perkawinan adalah
sah apabila
Adalah suatu realita bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku,
golongan, ras dan agama serta kaya akan budaya. Hetroginitas masyarakat
Indonesia itu sangat memungkinkan terjadinya perkawinan antar suku, antar
golongan bahkan antar agama. Namun hal yang terakhir ini bagi masyarakat
Indonesia merupakan hal yang sangat peka, bahkan pada tahun delapan puluhan
sebagaimana dikutip oleh Nasruddin Baidan dari majalah tempo sangat merisaukan
sebagian umat muslim di Indonesia.[6] Persoalan sosial yang kompleks tersebut
tentunya harus (didekati melalui berbagai disiplin ilmu, sehingga persoalan--
persoalan tersebut bisa terjawab dengan benar dan jelas serta memberi kepuasan
kepada masyarakat, khususnya mengenai pembahasan di atas.
Pembahasan tentang perkawinan, khususnya mengenai pernikahan antara muslim
dengan non-muslim dalam perspektif hukum Islam, tentunya berangkat dari pene-
lusuran terhadap sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) serta
mencermati perkembangan hukum Islam tentang hal tersebut. Untuk
mempersingkat pembahasan dalam makalah ini maka paling tidak, ada dua
golongan yang disebutkan dalam al-Quran, yaitu golongan musyrik dan
golongan ahli kitab yang sekaligus menjadi dasar hukum pernikahan antara muslim
dengan mereka. Namun yang menjadi persoalan adalah siapakah musyrikin dan
siapakah ahli kitab? Tampaknya para ulama sangat bervariasi dan tidak ada kata
sepakat (ijma) dalam menetapkan kedua istilah tersebut Ada yang memasukkan
istilah ahli kitab ke dalam kategori musyrik, dan ada pula yang membedakan
keduanya secara tegas. Ibn Umar misalnya, ia menganut yang pertama,
sebagaimana ditegaskan: Saya tidak melihat syirik yang lebih berat dari perkataan
wanita itu bahwa tuhannya Isa.[7]
Sedangkan seperti Syaikh Mahmud Syaltut, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan
yang sependapat dengan mereka membedakan dengan jelas antara musyrik dengan
ahli kitab.[8] Qatadah, seorang mufassir dari kalangan tabiin, sebagaimana dikutip
oleh Rasyid Ridha, berpendapat bahwa yang dimaksud musyrik dalam ayat 221
surah al-Baqarah adalah penyembahan berhala pada saat al-Quran turun. karena itu
ayat tersebut tidak tegas melarang menikahi dengan orang musyrik selain bangsa
Arab, seperti Cina (Konghucu, Budha, dan lain-lain). Lebih tegas lagi, Rasyid Ridha
[9]
dengan mendasarkan pada ayat 24 surah Fatir, ayat 7 surah al-Rad, ayat 16 surah
al-Hadid dan 78 surah al-Mukmin, ia menganggap bahwa Majusi (penyembahan
api ) Shabiin (penyembahan bintang) sebenarnya mereka dulunya mempunyai kitab
dan nabi, namun karena masanya sudah terlalu lama dan jarak yang terlalu jauh
dengan nabi maka kitab yang asli tidak dapat diketahui. Pendapat inilah yang
[10]
dijadikan ketentuan oleh negara Pakistan. Di samping itu, ada pendapat lain dari
ulama Syafiiyah yang menegaskan bahwa yang dimaksud ahli kitab yang halal
dinikahi adalah mereka yang memeluk agama nenek moyangnya sebelum Nabi
Muhammad diutus dan setelah itu tidak dapat dikatakan lagi ahli kitab.[11]
Adapun secara konkret, al-Jaziri dalam karyanya: Kitab al-fiqh `ala al-Mazabil al-
arbaah,membedakan golongan non muslim menjadi tiga, yaitu:
a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau semacam kitab samawi, mereka
adalah penyembah berhala.
c. Golongan yang mengimani kitab sucinya sebagai kitab samawi, mereka adalah
Yahudi dan Nasrani.[12]
Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi membaginya menjadi lima kategori,
yaitu: musyrik, mulhid, murtad, baha`i dan ahli kitab. Golongan pertama dan kedua
yang disebut al-Jaziri adalah termasuk musyrik, sedang mulhid,
murtad dan bahai oleh Yusuf al-Qaradhawi digolongkan musyrik. Dalam hal larangan
pernikahan antara orang muslim dengan musyrik para ulama sepakat tentang
keharamannya, hal ini memang secara tegas dinyatakan dalam al-Quran. Namun
dalam hal pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, dengan
pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria ahli kitab.
3. Pernikahan Antara Pria Muslim Dengan Wanita Ahli Kitab.
Setelah diketahui bagaimana penjelasan fiqh Islam dalam perkawinan beda agama
ini, di mana para ulama telah berijma bahwa seorang wanita muslimah dilarang me-
nikah dengan pria non muslim, sedangkan seorang pria muslim dilarang menikah
dengan wanita non muslim yang musyrik, namun para ulama berbeda pendapat
ketika mereka menetapkan hukum pernikahan dengan perempuan ahli kitab.
Adanya perbedaan hukum dalam masalah ini akan berimplikasi pada timbulnya
putusan yang berbeda pada kasus yang sama di pengadilan, karena hakimnya
mempunyai paham hukum yang berbeda, hal ini akan menimbulkan suatu
ketidakpastian hukum. Untuk keluar dari problem tersebut para pakar hukum Islam
di Indonesia telah berupaya menyatukan pendapat yang mereka kumpulkan dalam
Kompilasi Hukum Islam dengan berbagai metode dalam menyatukan pendapat itu,
yaitu:
Usaha tersebut telah menghasilkan keputusan yang disebut Kompilasi Hukum Islam
yang kemudian ditetapkan dengan Inpres No. 1/1991, di antara pasalnya tersebut
terdapat suatu rumusan yang menetapkan perkawinan seorang pria Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam (pasal 40
huruf c), dengan demikian Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam pasal tersebut
telah menghilangkan wacana perbedaan pendapat dalam masalah tersebut yang
sekaligus akan dapat menjaga aqidah agamanya serta mewujudkan kemaslahatan
umat. Adapun posisi pemerintah (Inpres) untuk menghilangkan perbedaan dan
menjaga kemaslahatan ini adalah merupakan hak yang melekat padanya sehingga
mempuyai kewenangan karena berdasarkan kaidah fiqh yang menyatakan;
Dalam banyak kasus di masyarakat masih muncul resistensi yang begitu besar
terhadap kawin beda agama. Umumnya, dalam persoalan halal dan haramnya kawin
antar umat beragama, banyak ulama berpegang pada ayat-ayat al-Quran seperti ;
janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka
beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik,
sekalipun ia menarik hatimu. Juga janganlah menikahkan (perempuanmu) dengan
laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih
baik daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum
musyrik akan membawa ke dalam api (nereka), (QS. 2: 221). Dan hai orang-
orang beriman! Jika perempuan-perempuan beriman datang berhijrah kepadamu,
ujilah mereka, Allah mengetahui keimanan mereka; bila suda, kamu, pastikan
mereka perempuan-perempuan beiriman, janganlah kembalikan mereka kepada
kaum kafir; mereka (kaum mukmin wanita) tidak halal (sebagai istri) bagi mereka
(kaum kafir), dan mereka (kaum kafir) pun tidak halal (sebagai suami) bagi mereka
(kaum mukmin wanita). Dan berikanlah kepada mereka (kaum kafir) apa (maskawin)
yang telah mereka bayar. Kemudian, tiada salah kamu menikah dengan mereka
(kaum mukmin wanita), asal-kamu bayar maskawin mereka. Dan janganlah kamu
berpegang kepada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta maskawin yang telah kamu bayarkan, dan biarlah
mereka(orang-orang kafir) meminta apa yang telah mereka bayarkan (maskawin
dari perempuan yang datang kepadamu). Itulah ketentuan Allah; Ia memberikan
keputusan yang adil antara kamu. Dan Allah Maha Tahu, Maha Bijaksana,(QS. 60:
10).
Ayat-ayat di atas termasuk ayat Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa
pesan khusus agar orang-orang Muslim tidak menikahi wanita musyrik atau sebalik-
nya. Imam Muhammad al-Razi dalam al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib menyebut
ayat tersebut sebagai ayat-ayat permulaan yang secara eksplisit menjelaskan hal-
hal-yang halal (ma yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (ma yuhramu). Dan, menikahi
[26]
orang musyrik merupakan salah satu perintah Tuhan dalam kategori haram dan
dilarang.
Memang, bila membaca ayat ini secara literal akan didapatkan kesimpulan yang
bersifat serta-merta, bahwa menikahi non-muslim hukumnya haram. Cara pandang
seperti ini dikarenakan sebagian masyarakat muslim masih beranggapan bahwa
yang termasuk dalam kategori musyrik adalah semua non-muslim, termasuk
diantaranya Kristen dan Yahudi. Namun, pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah
apakah non-muslim (Kristen dan Yahudi) termasuk dalam kategori musyrik? Kalau
tidak, lalu apa yang dimaksud dengan musyrik dalam al-Quran?
Sebagian Ulama, diakui Imam al-Razi, berpandangan bahwa dalam beberapa ayat di
dalam al-Quran membuat Kristen dan Yahudi sebagai musyrik. Kategori musyrik
dalam kedua agama samawi tersebut, dikarenakan orang-orang Yahudi menganggap
Uzair sebagai anak Tuhan, sedang orang-orang Kristen menganggap al-Masih
sebagai anak Tuhan. Namun pandangan ini tidak serta-merta bisa dijadikan
pegangan, karena dalam ayat lain ditemukan paradigma tentang musyrik. Dapat
dilihat bagaimana al-Quran secara cermat dan jelas membedakan pengertian antara
musyrik dan Ahli Kitab. Dalam surat al-Baqarah ayat 5, Allah berfirman artinya:
Orang-orang kafir dari Ahli K tab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan
diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu Dalam surat al-Bayyinah
ayat 1, Allah juga menyebutkan; Orang-oring kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang
kafir musyrik tak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sampai datang kepada
mereka bukti yang nyata.
Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Quran memakai kata penghubung
dan (al-Quran: waw) antara kata Ahli Kitab dan Kafir Musyrik. Ini berarti bahwa
kedua kata, Ahli Kitab dan musyrik, itu mempunyai arti dan makna yang berbeda.
Mengenai kafir musyrik dan kafir Ahli Kitab. Abu al-Ala al-Maududi menuturkan buka
dan bacalah al-Quran dari awal, mulai dari surat al-Fatihah, sampai akhirnya surat
al-Nass, akan ditemukan tiga katagori kepercayaan dengan istilah-istilah yang antara
satu dan lainnya arti dan maknanya berbeda, yakti termmusyrik, istilah Ahli Kitab,
dan istilah ahl al-Iman.[27] Karena itu, perlu diidentifikasi mengenai siapa sebenar-
nya yang dikategorikan oleh al-Quran sebagai orang musyrik, yang kemudian haram
dikawini oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan
Allah tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang
telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli, di samping tidak seorang
nabi pun mereka percayai. Adapun Ahli Kitab adalah orang yang mempercayai salah
seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, baik sudah
terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang kaidah atau amalan. Sedangkan
yang disebut orang-orang mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan risalah
Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam,
yang berasal dari Ahli Kitab atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja.
[28] Karena itu, pandangan yang memasukkan non-muslim (Ahli Kitab) sebagai
musyrik ditolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Dalam sejumlah ayat lainnya al-Quran membedakan antara orang-orang
musyrik dengan Ahli Kitab (Kristen dan Yahudi). Dalam beberapa ayatnya, al-Quran
menggunakan huruf waw yang dalam kaidah bahasa Arab disebut athfun yang
berarti pembedaan antara kata yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Atas dasar
ini, terdapat perbedaan antara kata musyrik dan Ahli Kitab.
b. Larangan menikahi musyrik, karena dikhawatirkan wanita musyrik atau laki-
laki musyrik memerangi orang-orang Islam. Ayat ini diturunkan dalam situasi di
mana terjadi ketegangan antara orang-orang Muslim dengan orang-orang musyrik
Arab. Di sini jelas, yang dimaksud musyrik adalah mereka yang suka memerangi
orang-orang Muslim.
c. Alasan yang cukup fundamental tentang dibolehkannya nikah beda agama,
terutama dengan non-Muslim, yaitu ayat yang berbunyi: Hari ini telah dihalalkan
kepada kalian segala hal yang baik, makanan Ahli Kitab, dan makanan kalian juga
halal-bagi Ahli Kitab. Begitu pula wanita-wanita janda mukmin dan Ahli Kitab
sebelum kalian (QS. 5: 5).
Ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang diturunkan setelah ayat yang melarang
pernikahan dengan orangorang musyrik sehingga mereka beriman. Ayat ini dapat
disebut ayat revolusi, karena secara eksplisit menjawab beberapa karaguan bagi
masyarakat Muslim pada saat itu, perihal pernikahan dengan non Muslim. Ayat yang
pertama menggunakan istilah Musyrik yang bisa dimaknai seluruh non-Muslim.
Namun ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita Kristen dan Yahudi (Ahli Kitab)
untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Ayat tersebut bisa
berfungsi dua hal sekaligus, yaitu penghapusan (nasikh) dan pengkhususan (mu-
khashshish) dari ayat sebelumnya yang melarang pernikahan dengan orang-orang
Musyrik. Dalam kaidah fiqh bisa diambil kesimpulan, bila terdapat dua ayat yang
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, maka diambillah ayat yang
lebih akhir diturunkan.[29] Bila pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita non-
Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, bagaimana dengan yang sebaliknya,
yaitu pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik Kristen, Yahudi
atau agama-agama non-semitik lainnya?
Memang, dalam masalah ini terdapat persoalan serius, kerena tidak ada teks suci,
baik al-Quran, hadis atau kitab fiqh yang memperbolehkan pernikahan seperti itu.
Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada
justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak
boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah).[30] Khalifah Umar ibn Khaththab
dalam sebuah pesannya, seorang Muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-
laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.
Setelah diteliti, hadis yang disebutkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil al-
Aththar sebagai mawquf yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagai-
mana dijelaskan al-Imam al-Syafii dalam kitabnya al-Umm. Jadi, soal pernikahan
laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat
dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang
mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama
merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat lain, bahwa wanita Muslim boleh menikah
dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat
diperbolehkan, apa pun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada
semangat yang dibawa al-Quran sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama
merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama
samawi dan mereka membawa ajaran amal-saleh sebagai orang yang akan
bersama-Nya di surga nanti. Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menybutkan agar
perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya
saling mengenal. Dan pernikahan antar beda agama dapat dijadikan salah satu
ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih
dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk
membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah
rentannya hubungan antaragama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat
dijadikan wacana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-
masing pemeluk agama. Beermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut
kerukunan dan kedamaian.
Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan
tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al-Quran sejak larangan pernikahan dengan
orang musyrik, lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahli Kitab merupakan
sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita harus melihat
agama lain bukan sebagai kelas kedua, melainkan sebagai warga negara.[31]
C. Kesimpulan.
Menurut pembentuk KHI Perkawinan beda agama ini tampaknya banyak madaratnya
baik bagi saddu dzariah maupun untuk kemaslahatan untuk membentuk suatu
rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk
mengatasi berbagai kemadaratan tersebut di Indonesia telah ditetapkan oleh
Presiden dengan keluarnya Inpres No. 1/1991, yang dalam salah satu pasalnya (40
huruf c) telah melarang adanya perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim.
Akan tetapi adanya wacana baru dalam memahami hukum beda agama
kontemporer, yang membolehkan perkawinan wanita dan pria muslim dengan non
muslim (ahli kitab), perlu mendapat perhatian dan menjadi wacana baru umat Islam
dalam mencari kebenaran serta kemaslahatan umat, jangan ditanggapi negatif,
namun menambah khazanah keilmuan untuk mencari kebenaran. Paling tidak untuk
saat ini, konsep kaidah fiqh yang menyebutkan tindakan Imam terhadap rakyat ini
harus berkaitan dengan kemaslahatan berlaku di dalam undang-undang Perkawinan
dan KHI di Indonesia. Inilah fiqh Indonesia di bidang perkawinan untuk saat ini.
[1] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: The Clarendon Press,
1971), h. 1
[2] Tim Penyusun Ensiklopedia, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997), h. 1864
[3] Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1
[4] Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1989), h. 744-788
[5] Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993), h. 139
[6] Nasrudin Baidan, Tafsir Maudhui; Solusi Qurani atas Masalah Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 23
[7] Muhammad Ali Al-Sabuni, Tafsir Ayat Al-ahkam, (Mekah: Dar al-Quran, 1972), h.
536
[8] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Matbaah al-Qahirah, 1380 H), h. 186-187
[9] Ibid., h. 190
[10] Ibid., h. 186-187
[11] Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Mesir: Matbaah Muhammad Ali Sabih wa
Auladah, 1953), II, h. 168
[12] A1-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al Mazahib al Arbaah, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al
Arabi, 1996), IV, h. 75
[13] Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia,
1971), h. 201-204
[14] Abu Zahra, al-Ahwal aI-Syahksiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 113
[15] Ibrahim Husen, op.cit., h. 202
[16] Ibnu Qudaman, al-Mugni, (Riyad: al-Maktabah al-Riyad al-Hadisah, t.th.), VI, h.
590
[17] A1 Jaziri, op.cit., h. 76
[18] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, II , (Beirut: Dar Kitab al-`Arabi, 1973), h. 101
[19] Yusuf Qardhawi, op.cit., h. 470
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-
[20]