Anda di halaman 1dari 10

NIKAH BEDA AGAMA

A. Pendahuluan.
Hukum Islam adalah salah satu aspek ajaran Islam yang menempati posisi penting
dalam pandangan umat Islam, karena ia merupakan manifestasi paling konkret dari
hukum Islam sebagai sebuah agama. Sedemikian pentingnya hukum Islam dalam
skema doktrinal-Islam, sehingga sorang orientalis, Joseph Schacht, menilai bahwa
adalah mustahil memahami Islam tanpa memahami hukum Islam.[1]
Jika dilihat dari perspektif historisnya, Hukum Islam pada awalnya merupakan suatu
kekuatan yang dinamis dan kreatif. Hal ini dapat dilihat dari munculnya sejumlah
mazhab hukum yang responsif terhadap tantangan historisnya masing-masing dan
memiliki corak sendiri-sendiri, sesuai dengan latar sosio kultural dan politis di mana
mazhab hukum itu mengambil tempat untuk tumbuh dan berkembang.

Undang-undang No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan merupakan Undang-undang


yang dijadikan rujukan dalam menyelesaikan segala permasalahan yang terkait
dengan perkawinan atau nikah, talak, cerai dan rujuk, yang ditanda tangani
pengesahannya pada tanggal 2 Januari 1974 oleh Presiden Soeharto, agar Undang-
undang perkawinan dapat dilaksanakan dengan seksama, pemerintah mengeluarkan
Peraturan Pemerintah (PP) No. 9 Tahun 1975. Undang-undang ini merupakan hasil
usaha untuk menciptakan hukum nasional dan merupakan hasil unifikasi hukum
yang menghormati adanya variasi berdasarkan agama. Unifikasi hukum ini bertujuan
untuk melengkapi segala yang hukumnya diatur dalam agama tersebut.
[2] Pengertian perkawinan menurut undang-undang ini adalah ikatan lahir batin
antara seorang pria dan wanita sebagai suami-istri dengan tujuan untuk membentuk
keluarga (rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
[3]
Berdasarkan penjelasan di atas, maka dapat difahami bahwa dalam tata hukum
nasional-Indonesia, UU No. 1/1974 dan Inpres No. 1/1991 merupakan peraturan yang
memuat nilai-nilai hukum Islam, bahkan KHI merupakan fiqh Indonesia yang
sepenuhnya memuat materi hukum keperdataan Islam (perkawinan, kewarisan dan
perwakafan), dalamperkembangan hukum perbedaan agama dan keluarga Islam
kontemporer mengalami banyak perkembangan pemikiran, antara lain dalam
dibolehkannya perkawinan beda agama, bolehnya ahli waris yang beda agama
mendapatkan harta warisan dan lain sebagainya, pada makalah ini penulis hanya
memfokuskan pada permasalahan perkawinan beda agama agar dapat dikaji lebih
mendalam.

B. Pembahasan.
1. Pengertian Perkawinan Beda Agama.

Sebelum diundangkannya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974, di


Indonesia pernah berlaku peraturan hukum antar golongan tentang pernikahan
campuran, yaitu Regeling op de Gemengde Huwehjken (GHR) atau peraturan
tentang perkawinan campuran sebagaimana di muat dalam Staatblad 1898 Nomor
158.[4] Pasal 1 dari peraturan tentang perkawinan campur (GHR) itu dinyatakan
bahwa yang dinamakan perkawinan campuran ialah perkawinan antara orang-orang
di Indonesia yang tunduk kepada hukum yang berlainan. Terhadap pasal ini ada tiga
pandangan dari para ahli hukum mengenai perkawinan antara agama, sebagaimana
diungkapkan oleh Sudargo Gautama sebagai berikut ;
a. Perkawinan campuran antar agama dan antar tempat termasuk di bawah GHR.
[5]
b. Perkawinan antar agama dan antartempat tidak termasuk di bawah GHR.
c. Hanya perkawinan antar agama yang termasuk di bawah GHR.

Kemudian dengan berlakunya Undang-undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974,


seperti disebut pada pasal 66, maka semua ketentuan-ketentuan perkawinan
terdahulu sepanjang telah diatur dalam Undang-undang tersebut dinyatakan tidak
berlaku.

Pemahaman tentang Pasal demi Pasal dari UU No.1/1974, khususnya yang berkaitan
dengan perkawinan beda agama, dikalangan para ahli dan praktisi hukum, dapat
dijumpai tiga pendapat. Pertama, berpendapat bahwa perkawinan antara agama
merupakan pelanggaran terhadapUU No.1/1974 pasal 2 ayat (1): Perkawinan adalah
sah apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya kepercayaan itu, dan pasal-8


huruf (f): Perkawinan dilarang antara dua orang yang mempunyai hubungan yat
oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarat kawin. Kedua, berpendapat
bahwa perkawinan antaragama adalah sah dan dapat dilangsungkan karena telah
tercakup dalam perkawinan campuran, sebagaimana termaktub dalam
pasal 57 undang-undang ini dan pelaksanaannya dilakukan menurut tatacara yang
diatur oleh pasal 6 GHR dengan merujuk pasal 66 UU No. 1/1974. Sedang
yang ketiga, berpendapat bahwa perkawinan antara agama sama sekali tidak diatur
dalam UU No. 1/1974, oleh karenanya sesuai dengan pasal 66 UU No. 1/1974, maka
peraturan-peraturan lama dapat diberlakukan.
Terhadap ketiga pandangan tersebut di atas, menurut pemahaman penulis bahwa
tidak diaturnya perkawinan antar agama secara tegas dalam Undang-Undang Nomor
1 tahun 1974, karena perkawinan itu memang tidak dikehendaki pelaksanaannya.
Hal ini mengacu pasal 2 ayat (1) menentukan sah atau tidaknya perkawinan. Jadi bila
pasal 66 UU No. 1/1974 yang merujuk pasal 2 dan 7 ayat (2) GHR dimaksudkan
untuk memenuhi kebutuhan hukum materil adalah terlalu dipaksakan, karena
mengingat lembaga perkawinan antar agama di Indonesia kurang dikehendaki,
sehingga tidak diperlukan adanya pemenuhan hukum materiel. Sedangkan terhadap
pendapat yang cenderung membuka kemungkinan dipaksakannya perkawinan
berbeda agama berdasarkan pasal 57 UU No. 1/1974 perkawinan antara dua
orang di Indonesia tunduk pada hukum yang berbeda, tentunya Pasal tersebut
tidak dipahami secara parsial dan seharusnya antara pasal-pasal dalam bab itu
dipahami secara menyeluruh dalam satu kesatuan dengan konteks perbedaan
kewarganegaraan. Dengan demikian menurut pemahaman penulis bahwa ketentuan
boleh tidaknya perkawinan di Indonesia harus dikembalikan kepada hukum agama.
Artinya bila hukum agama menyatakan boleh maka boleh pula menurut hukum
negara, demikian sebaliknya.
2. Perkawinan Beda Agama Dalam Perspektif Fiqh.

Adalah suatu realita bahwa bangsa Indonesia terdiri dari berbagai macam suku,
golongan, ras dan agama serta kaya akan budaya. Hetroginitas masyarakat
Indonesia itu sangat memungkinkan terjadinya perkawinan antar suku, antar
golongan bahkan antar agama. Namun hal yang terakhir ini bagi masyarakat
Indonesia merupakan hal yang sangat peka, bahkan pada tahun delapan puluhan
sebagaimana dikutip oleh Nasruddin Baidan dari majalah tempo sangat merisaukan
sebagian umat muslim di Indonesia.[6] Persoalan sosial yang kompleks tersebut
tentunya harus (didekati melalui berbagai disiplin ilmu, sehingga persoalan--
persoalan tersebut bisa terjawab dengan benar dan jelas serta memberi kepuasan
kepada masyarakat, khususnya mengenai pembahasan di atas.
Pembahasan tentang perkawinan, khususnya mengenai pernikahan antara muslim
dengan non-muslim dalam perspektif hukum Islam, tentunya berangkat dari pene-
lusuran terhadap sumber pokok ajaran Islam (al-Quran dan al-Hadits) serta
mencermati perkembangan hukum Islam tentang hal tersebut. Untuk
mempersingkat pembahasan dalam makalah ini maka paling tidak, ada dua
golongan yang disebutkan dalam al-Quran, yaitu golongan musyrik dan
golongan ahli kitab yang sekaligus menjadi dasar hukum pernikahan antara muslim
dengan mereka. Namun yang menjadi persoalan adalah siapakah musyrikin dan
siapakah ahli kitab? Tampaknya para ulama sangat bervariasi dan tidak ada kata
sepakat (ijma) dalam menetapkan kedua istilah tersebut Ada yang memasukkan
istilah ahli kitab ke dalam kategori musyrik, dan ada pula yang membedakan
keduanya secara tegas. Ibn Umar misalnya, ia menganut yang pertama,
sebagaimana ditegaskan: Saya tidak melihat syirik yang lebih berat dari perkataan
wanita itu bahwa tuhannya Isa.[7]
Sedangkan seperti Syaikh Mahmud Syaltut, Muhammad Abduh, Rasyid Ridha dan
yang sependapat dengan mereka membedakan dengan jelas antara musyrik dengan
ahli kitab.[8] Qatadah, seorang mufassir dari kalangan tabiin, sebagaimana dikutip
oleh Rasyid Ridha, berpendapat bahwa yang dimaksud musyrik dalam ayat 221
surah al-Baqarah adalah penyembahan berhala pada saat al-Quran turun. karena itu
ayat tersebut tidak tegas melarang menikahi dengan orang musyrik selain bangsa
Arab, seperti Cina (Konghucu, Budha, dan lain-lain). Lebih tegas lagi, Rasyid Ridha
[9]

dengan mendasarkan pada ayat 24 surah Fatir, ayat 7 surah al-Rad, ayat 16 surah
al-Hadid dan 78 surah al-Mukmin, ia menganggap bahwa Majusi (penyembahan
api ) Shabiin (penyembahan bintang) sebenarnya mereka dulunya mempunyai kitab
dan nabi, namun karena masanya sudah terlalu lama dan jarak yang terlalu jauh
dengan nabi maka kitab yang asli tidak dapat diketahui. Pendapat inilah yang
[10]

dijadikan ketentuan oleh negara Pakistan. Di samping itu, ada pendapat lain dari
ulama Syafiiyah yang menegaskan bahwa yang dimaksud ahli kitab yang halal
dinikahi adalah mereka yang memeluk agama nenek moyangnya sebelum Nabi
Muhammad diutus dan setelah itu tidak dapat dikatakan lagi ahli kitab.[11]
Adapun secara konkret, al-Jaziri dalam karyanya: Kitab al-fiqh `ala al-Mazabil al-
arbaah,membedakan golongan non muslim menjadi tiga, yaitu:
a. Golongan yang tidak berkitab samawi atau semacam kitab samawi, mereka
adalah penyembah berhala.

b. Golongan yang mempunyai semacam kitab samawi, mereka adalah orang-


orang majusi (penyembah api) dan golongan Shabiin (penyembah bintang).

c. Golongan yang mengimani kitab sucinya sebagai kitab samawi, mereka adalah
Yahudi dan Nasrani.[12]
Sementara itu, Yusuf al-Qaradhawi membaginya menjadi lima kategori,
yaitu: musyrik, mulhid, murtad, baha`i dan ahli kitab. Golongan pertama dan kedua
yang disebut al-Jaziri adalah termasuk musyrik, sedang mulhid,
murtad dan bahai oleh Yusuf al-Qaradhawi digolongkan musyrik. Dalam hal larangan
pernikahan antara orang muslim dengan musyrik para ulama sepakat tentang
keharamannya, hal ini memang secara tegas dinyatakan dalam al-Quran. Namun
dalam hal pernikahan antara seorang pria muslim dengan wanita ahli kitab, dengan
pernikahan seorang wanita muslimah dengan pria ahli kitab.
3. Pernikahan Antara Pria Muslim Dengan Wanita Ahli Kitab.

Ibrahim Hosen mengelompokkan pendapat para ulama mengenai pernikahan


tersebut, dalam tiga kelompok, yakni ada yang menghalalkan, ada yang
mengharamkan dan ada yang menyatakan halal tetapi siyasah tidak menghendaki.
[13] Pertama, adalah kelompok yang membolehkan nikah antara pria muslim
dengan wanita al-Kitab, yakni pendapat jumhur ulama (mayoritas ulama). Mereka
mendasarkan pendapatnya pada dalil al-Quran surah al-Maidah ayat 5 yang
didukung dengan praktik (sejarah). Pada zaman nabi ada beberapa sahabat yang
melakukannya.[14]
Kedua, adalah kelompok yang mengharamkan dari kalangan sahabat yaitu ibnu
Umar, dan pendapat ini diikuti oleh kalangan Syiah Imamiyah. Apapun dasar dari
pendapat ini adalah pemahaman terhadap Quran surat al-Baqarah ayat 221 (Dan
janganlah kamu nikahi wanita-wanita musyrik sebelum mereka beriman) dan
firman Allah dalam surah Muhammad ayat 101 (dan Janganlah kamu tetap
berpegangan pada tali (perkawinan) dengan perempuan kafir).Adapun praktik
sahabat menurut pendapat ini adalah karena waktu itu Islam baru sedikit.[15]
Ketiga, golongan yang berpendirian bahwa perempuan ahli kitab sah hukumnya,
tetapi siyasahtidak menghendakinya. Pendapat ini di dasarkan pada riwayat Umar
ibn Khaththab memerintahkan kepada para sahabat yang beristri ahli kitab; Ketika
Umar meminta kepada para sahabat yang beristri ahli kitab untuk menceraikannya,
lalu para sahabat mematuhinya kecuali Huzaifah. Maka Umar memerintahkan kedua
kalinya kepada Huzaifah ceraikanlah ia lalu Huzaifah berkata kepada Umar
Maukah menjadi saksi bahwa menikahi perempuan ahli kitab itu adalah haram?
Umar menjawab ia akan menjadi fitnah, ceraikanlah, kemudian Huzaifah
mengulangi permintaan tersebut, namun jawab Umar ia adalah fitnah. Akhirnya
Huzaifah berkata; sungguhnya aku tahu ia adalah fitnah tetapi ia halal bagiku. Dan
setelah Huzaifah meninggalkan Umar, barulah ia mentalaq istrinya. Kemudian ada
sahabat yang bertanya kepadanya mengapa tidak engkau talaq istrimu ketika
diperintah Umar? Jawab Huzaifah karena aku tidak ingin, diketahui orang bahwa
aku melakukan hal-hal yang tidak layak.[16]
Dalam hal ini, al-Jaziri berpendapat bahwa hukum perkawinan antara muslim dengan
ahli kitab hukumnya mubah, akan tetapi menjadi persoalan bagi suami (muslim)
terlebih setelah punya anak. Sebab kemudahan itu tidak bersifat mutlaq,
namun muqayyad.[17] Lebih tegas lagi, Saiyid Sabiq berpendapat bahwa hukum
antara laki-laki mukmin dengan perempuan kitabiyah,
meskipun jaiz tetapi makruh karena (menurut) suami tersebut tidak terjamin bebas
dari fitnah istri. Terlebih dengan kitabiyah harbiyah.[18] Demikian juga dengan Yusuf
al-Qaradhawi berpendapat bahwa kebolehan nikah dengan
wanita kitabiyah tidak mutlaq, tetapi terikat dengan qayid-qayid yang perlu
diperhatikan, yaitu:
a. Kitabiyah itu benar-benar berpegangan pada ajaran Samawi, tidak ateis dan
murtad.

b. Kitabiyah itu muhshanah (memelihara perbuatan diri dari perbuatan zina).


c. Ia tidak kitabiyah harbiyah. Sedang kitabiyah dzimmiy hukumnya boleh.
d. Dipastikan tidak terjadi fitnah, baik dalam kehidupan rumah tangga terlebih
dalam kehidupan sosial masyarakat. Sehingga semakin tinggi kemingkinan
terjadi mafsadah, maka semakin besar tingkat larangan dan keharamannya.[19]
Adapun di Indonesia, Muhammad Quraish Shihab menyimpulkan bahwa memang
ayat di atas membolehkan pernikahan antar pria muslim dengan wanita ahl al-kitab,
tetapi izin tersebut adalah sebagai jalan keluar kebutuhan mendesak ketika itu, di
mana kaum muslimin sering berpergian jauh melaksanakan jihad tanpa mampu
kembali ke keluarga mereka, sekaligus juga untuk tujuan dakwah.[20]
Jika mayoritas ulama membolehkan pria muslim menikahi wanita ahli kitab, maka
dalam kasus wanita muslimah dinikahi oleh para pria ahli kitab dan umumnya non
muslim, mereka sepakat mengharamkannya. Di dalam ayat 5 al Maidah di atas
(menurutnya), Allah hanya menegaskan makananmu halal-bagi mereka dan tidak
ditegaskannya wanita-wanita mu halal bagi mereka. Penegasan teks tersebut,
sebagaimana dijelaskan oleh al-Shabuni, dapat dijadikan indikator bahwa hukum
kedua kasus itu tidak sama, artinya dalam makanan mereka boleh saling memberi
dan menerima serta masing-masing boleh menekan dari keduanya. Namun dalam
kasus menikahi wanita-wanita muslimah dengan non muslim lebih urgen ketimbang
dengan masalah makan serta memberikan dampak yang lebih luas, sehingga tidak
ada hubungan antara keduanya.[21]
Demikian juga al-Maraghi dalam mengomentari kasus ini, menjelaskan bahwa
menikahkan wanita dengan laki-laki non muslim adalah haram, berdasarkan sunah
(hadits) Nabi, dan ijmaumat. Rahasia larangan inl (menurutnya) adalah karena istri
tidak punya wewenang seperti suami, bahkan keyakinan berusaha memaksa istri
untuk menukar keimanannya sesuai dengan keyakinan suami.[22]
4. Perkawinan Beda Agama Dalam Kompolasi Hukum Islam di Indonesia.

Setelah diketahui bagaimana penjelasan fiqh Islam dalam perkawinan beda agama
ini, di mana para ulama telah berijma bahwa seorang wanita muslimah dilarang me-
nikah dengan pria non muslim, sedangkan seorang pria muslim dilarang menikah
dengan wanita non muslim yang musyrik, namun para ulama berbeda pendapat
ketika mereka menetapkan hukum pernikahan dengan perempuan ahli kitab.

Adanya perbedaan hukum dalam masalah ini akan berimplikasi pada timbulnya
putusan yang berbeda pada kasus yang sama di pengadilan, karena hakimnya
mempunyai paham hukum yang berbeda, hal ini akan menimbulkan suatu
ketidakpastian hukum. Untuk keluar dari problem tersebut para pakar hukum Islam
di Indonesia telah berupaya menyatukan pendapat yang mereka kumpulkan dalam
Kompilasi Hukum Islam dengan berbagai metode dalam menyatukan pendapat itu,
yaitu:

a. Wawancara dengan berbagai ulama dari semua golongan.

b. Kajian berbagai kitab yang dilakukan di IAIN seluruh Indonesia.

c. Studi banding ke negara-negara Islam.

d. Diadakan berbagai loka karya.

Usaha tersebut telah menghasilkan keputusan yang disebut Kompilasi Hukum Islam
yang kemudian ditetapkan dengan Inpres No. 1/1991, di antara pasalnya tersebut
terdapat suatu rumusan yang menetapkan perkawinan seorang pria Islam dilarang
melangsungkan perkawinan dengan wanita yang tidak beragama Islam (pasal 40
huruf c), dengan demikian Kompilasi Hukum Islam khususnya dalam pasal tersebut
telah menghilangkan wacana perbedaan pendapat dalam masalah tersebut yang
sekaligus akan dapat menjaga aqidah agamanya serta mewujudkan kemaslahatan
umat. Adapun posisi pemerintah (Inpres) untuk menghilangkan perbedaan dan
menjaga kemaslahatan ini adalah merupakan hak yang melekat padanya sehingga
mempuyai kewenangan karena berdasarkan kaidah fiqh yang menyatakan;

Artinya : tindakan Imam terhadap rakyat ini harus berkaitan dengan


kemaslahatan.[23]
Adapun larangan perkawinan beda agama ini adalah semata-mata untuk menjaga
keutuhan kebahagiaan rumah tangga dan aqidah keberagamannya hal ini
sebagaimana kaidah fiqh yang menyebutkan; sesuatu yang diharamkan karena
saddu dzariah dapat dibolehkan karena ada maslahat yang lebih kuat.[24] Dengan
beberapa uraian kaidah fiqh di atas maka Presiden selaku Kepala Negara adalah
dibenarkan jika menetapkan sesuatu yang tadinya menjadi polemik di masyarakat
dengan mengambil salah satu pendapat karena adanya alasan sad al-
dzariah[25] dan kemaslahatan umat.
Mengenai pengaturan hukum Perkawinan Campuran (khususnya perkawinan antar
pemeluk agama yang berbeda) dalam Negara Republik Indonesia berdasar Pancasila
ada perbedaan pendapat di kalangan para pakar hukum di Indonesia. Sekurang-
kurangnya ada tiga pendapat. Pendapat pertama menyatakan bahwa Negara
Republik Indonesia berdasar Pancasila menghormati agama-agama dan
mendudukkan hukum agama dalam kedudukan fundamental. Dalam negara
berdasar Pancasila tidak boleh agama-agama yang ada di Indonesia melarang
perkawinan antar pemeluk agama yang berbeda. Pendapat ini menyatakan bahwa
UU Perkawinan tidak mengatur perkawinan (campuran) antar agama. Tiap agama
telah ada ketentuan tersendiri yang melarang perkawinan antar atama. Kecuali
adanya perubahan pemahaman dan paradigma dalam pemahaman agama, M. Daud
Ali menyatakan :
a. Sikap Negara atau penyelenggara negara dalam mewujudkan perlindungan
hukum haruslah sesuai dengan cita hukum bangsa dan kaidah fundamental negara
serta hukum agama yang dipeluk oleh bangsa Indonesia.

b. Perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama, dengan berbagai cara


pengungkapannya, sesungguhnya tidaklah sah menurut agama yang diakui
keberadaannya dalam Negara Republik Indonesia. Dan karena sahnya perkawinan
didasarkan pada hukum agama maka perkawinan yang tidak sah menurut hukum
agama tidak sah pula menurut Undang-undang perkawinan Indonesia.

c. Perkawinan antar orang-orang yang berbeda agama adalah penyimpangan


dari pola umum perkawinan benar menurut hukum agama dan Undang-undang
Perkawinan yang berlaku di Indonesia.

Berdasarkan penjelasan di atas, maka larangan pemerintah ini muncul karena


dilatarbelakangi oleh keinginan untuk menciptakan
sakinah, mawaddah dan rahmah dalam keluarga yang merupakan tujuan
pernikahan, dan hal ini sesuai sekali dengan isi pasal tiga Kompilasi Hukum Islam.
Dan yang jelasnya adalah, bahwa pernikahan merupakan ikatan lahir batin antara
seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk
keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa. Dengan demikian, pasangan yang beda agama mungkin dapat
memperoleh sakinah dan mawaddahdalam rumah tanggganya, akan
tetapi rahmat Allah itu yang tidak akan di dapatkan.
5. Perkawinan Beda Agama Dalam Wacana Kontemporer.

Dalam banyak kasus di masyarakat masih muncul resistensi yang begitu besar
terhadap kawin beda agama. Umumnya, dalam persoalan halal dan haramnya kawin
antar umat beragama, banyak ulama berpegang pada ayat-ayat al-Quran seperti ;
janganlah kamu menikah dengan perempuan-perempuan musyrik sebelum mereka
beriman. Perempuan budak yang beriman lebih baik daripada perempuan musyrik,
sekalipun ia menarik hatimu. Juga janganlah menikahkan (perempuanmu) dengan
laki-laki musyrik sebelum mereka beriman. Seorang laki-laki budak beriman lebih
baik daripada seorang laki-laki musyrik sekalipun ia menarik hatimu. Mereka (kaum
musyrik akan membawa ke dalam api (nereka), (QS. 2: 221). Dan hai orang-
orang beriman! Jika perempuan-perempuan beriman datang berhijrah kepadamu,
ujilah mereka, Allah mengetahui keimanan mereka; bila suda, kamu, pastikan
mereka perempuan-perempuan beiriman, janganlah kembalikan mereka kepada
kaum kafir; mereka (kaum mukmin wanita) tidak halal (sebagai istri) bagi mereka
(kaum kafir), dan mereka (kaum kafir) pun tidak halal (sebagai suami) bagi mereka
(kaum mukmin wanita). Dan berikanlah kepada mereka (kaum kafir) apa (maskawin)
yang telah mereka bayar. Kemudian, tiada salah kamu menikah dengan mereka
(kaum mukmin wanita), asal-kamu bayar maskawin mereka. Dan janganlah kamu
berpegang kepada tali perkawinan dengan perempuan-perempuan kafir; dan
hendaklah kamu minta maskawin yang telah kamu bayarkan, dan biarlah
mereka(orang-orang kafir) meminta apa yang telah mereka bayarkan (maskawin
dari perempuan yang datang kepadamu). Itulah ketentuan Allah; Ia memberikan
keputusan yang adil antara kamu. Dan Allah Maha Tahu, Maha Bijaksana,(QS. 60:
10).
Ayat-ayat di atas termasuk ayat Madaniyah yang pertama kali turun dan membawa
pesan khusus agar orang-orang Muslim tidak menikahi wanita musyrik atau sebalik-
nya. Imam Muhammad al-Razi dalam al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghaib menyebut
ayat tersebut sebagai ayat-ayat permulaan yang secara eksplisit menjelaskan hal-
hal-yang halal (ma yuhallu) dan hal-hal yang dilarang (ma yuhramu). Dan, menikahi
[26]

orang musyrik merupakan salah satu perintah Tuhan dalam kategori haram dan
dilarang.
Memang, bila membaca ayat ini secara literal akan didapatkan kesimpulan yang
bersifat serta-merta, bahwa menikahi non-muslim hukumnya haram. Cara pandang
seperti ini dikarenakan sebagian masyarakat muslim masih beranggapan bahwa
yang termasuk dalam kategori musyrik adalah semua non-muslim, termasuk
diantaranya Kristen dan Yahudi. Namun, pertanyaan yang perlu dikemukakan adalah
apakah non-muslim (Kristen dan Yahudi) termasuk dalam kategori musyrik? Kalau
tidak, lalu apa yang dimaksud dengan musyrik dalam al-Quran?
Sebagian Ulama, diakui Imam al-Razi, berpandangan bahwa dalam beberapa ayat di
dalam al-Quran membuat Kristen dan Yahudi sebagai musyrik. Kategori musyrik
dalam kedua agama samawi tersebut, dikarenakan orang-orang Yahudi menganggap
Uzair sebagai anak Tuhan, sedang orang-orang Kristen menganggap al-Masih
sebagai anak Tuhan. Namun pandangan ini tidak serta-merta bisa dijadikan
pegangan, karena dalam ayat lain ditemukan paradigma tentang musyrik. Dapat
dilihat bagaimana al-Quran secara cermat dan jelas membedakan pengertian antara
musyrik dan Ahli Kitab. Dalam surat al-Baqarah ayat 5, Allah berfirman artinya:
Orang-orang kafir dari Ahli K tab dan orang-orang musyrik tidak menginginkan
diturunkannya suatu kebaikan kepadamu dari Tuhanmu Dalam surat al-Bayyinah
ayat 1, Allah juga menyebutkan; Orang-oring kafir dari Ahli Kitab dan orang-orang
kafir musyrik tak akan melepaskan (kepercayaan mereka) sampai datang kepada
mereka bukti yang nyata.
Pada kedua ayat di atas dan ayat-ayat lainnya, al-Quran memakai kata penghubung
dan (al-Quran: waw) antara kata Ahli Kitab dan Kafir Musyrik. Ini berarti bahwa
kedua kata, Ahli Kitab dan musyrik, itu mempunyai arti dan makna yang berbeda.
Mengenai kafir musyrik dan kafir Ahli Kitab. Abu al-Ala al-Maududi menuturkan buka
dan bacalah al-Quran dari awal, mulai dari surat al-Fatihah, sampai akhirnya surat
al-Nass, akan ditemukan tiga katagori kepercayaan dengan istilah-istilah yang antara
satu dan lainnya arti dan maknanya berbeda, yakti termmusyrik, istilah Ahli Kitab,
dan istilah ahl al-Iman.[27] Karena itu, perlu diidentifikasi mengenai siapa sebenar-
nya yang dikategorikan oleh al-Quran sebagai orang musyrik, yang kemudian haram
dikawini oleh orang-orang Islam. Dikatakan musyrik bukan hanya mempersekutukan
Allah tapi juga tidak mempercayai salah satu dari kitab-kitab samawi, baik yang
telah terdapat penyimpangan ataupun yang masih asli, di samping tidak seorang
nabi pun mereka percayai. Adapun Ahli Kitab adalah orang yang mempercayai salah
seorang nabi dari nabi-nabi dan salah satu kitab dari kitab-kitab samawi, baik sudah
terjadi penyimpangan pada mereka dalam bidang kaidah atau amalan. Sedangkan
yang disebut orang-orang mukmin adalah orang-orang yang percaya dengan risalah
Nabi Muhammad baik mereka lahir dalam Islam ataupun kemudian memeluk Islam,
yang berasal dari Ahli Kitab atau kaum musyrik, ataupun dari agama mana saja.
[28] Karena itu, pandangan yang memasukkan non-muslim (Ahli Kitab) sebagai
musyrik ditolak dengan beberapa alasan sebagai berikut:
a. Dalam sejumlah ayat lainnya al-Quran membedakan antara orang-orang
musyrik dengan Ahli Kitab (Kristen dan Yahudi). Dalam beberapa ayatnya, al-Quran
menggunakan huruf waw yang dalam kaidah bahasa Arab disebut athfun yang
berarti pembedaan antara kata yang sebelumnya dan yang sesudahnya. Atas dasar
ini, terdapat perbedaan antara kata musyrik dan Ahli Kitab.
b. Larangan menikahi musyrik, karena dikhawatirkan wanita musyrik atau laki-
laki musyrik memerangi orang-orang Islam. Ayat ini diturunkan dalam situasi di
mana terjadi ketegangan antara orang-orang Muslim dengan orang-orang musyrik
Arab. Di sini jelas, yang dimaksud musyrik adalah mereka yang suka memerangi
orang-orang Muslim.
c. Alasan yang cukup fundamental tentang dibolehkannya nikah beda agama,
terutama dengan non-Muslim, yaitu ayat yang berbunyi: Hari ini telah dihalalkan
kepada kalian segala hal yang baik, makanan Ahli Kitab, dan makanan kalian juga
halal-bagi Ahli Kitab. Begitu pula wanita-wanita janda mukmin dan Ahli Kitab
sebelum kalian (QS. 5: 5).
Ayat ini merupakan ayat Madaniyah yang diturunkan setelah ayat yang melarang
pernikahan dengan orangorang musyrik sehingga mereka beriman. Ayat ini dapat
disebut ayat revolusi, karena secara eksplisit menjawab beberapa karaguan bagi
masyarakat Muslim pada saat itu, perihal pernikahan dengan non Muslim. Ayat yang
pertama menggunakan istilah Musyrik yang bisa dimaknai seluruh non-Muslim.
Namun ayat ini mulai membuka ruang bagi wanita Kristen dan Yahudi (Ahli Kitab)
untuk melakukan pernikahan dengan orang-orang Muslim. Ayat tersebut bisa
berfungsi dua hal sekaligus, yaitu penghapusan (nasikh) dan pengkhususan (mu-
khashshish) dari ayat sebelumnya yang melarang pernikahan dengan orang-orang
Musyrik. Dalam kaidah fiqh bisa diambil kesimpulan, bila terdapat dua ayat yang
bertentangan antara yang satu dengan yang lainnya, maka diambillah ayat yang
lebih akhir diturunkan.[29] Bila pernikahan laki-laki Muslim dengan wanita non-
Muslim (Kristen dan Yahudi) diperbolehkan, bagaimana dengan yang sebaliknya,
yaitu pernikahan wanita Muslim dengan laki-laki non-Muslim, baik Kristen, Yahudi
atau agama-agama non-semitik lainnya?
Memang, dalam masalah ini terdapat persoalan serius, kerena tidak ada teks suci,
baik al-Quran, hadis atau kitab fiqh yang memperbolehkan pernikahan seperti itu.
Tapi menarik juga untuk dicermati, karena tidak ada larangan yang sharih. Yang ada
justru hadis yang tidak begitu jelas kedudukannya, Rasulullah shallallahu alaihi wa
sallam bersabda, kami menikahi wanita-wanita Ahli Kitab dan laki-laki Ahli Kitab tidak
boleh menikahi wanita-wanita kami (Muslimah).[30] Khalifah Umar ibn Khaththab
dalam sebuah pesannya, seorang Muslim menikahi wanita Nasrani, akan tetapi laki-
laki Nasrani tidak boleh menikahi wanita Muslimah.
Setelah diteliti, hadis yang disebutkan di atas dikomentari oleh Shudqi Jamil al-
Aththar sebagai mawquf yaitu hadis yang sanadnya terputus hingga Jabir, sebagai-
mana dijelaskan al-Imam al-Syafii dalam kitabnya al-Umm. Jadi, soal pernikahan
laki-laki non-Muslim dengan wanita Muslim merupakan wilayah ijtihadi dan terikat
dengan konteks tertentu, diantaranya konteks dakwah Islam pada saat itu. Yang
mana jumlah umat Islam tidak sebesar saat ini, sehingga pernikahan antar agama
merupakan sesuatu yang terlarang.
Karena kedudukannya sebagai hukum yang lahir atas proses ijtihad, maka amat
dimungkinkan bila dicetuskan pendapat lain, bahwa wanita Muslim boleh menikah
dengan laki-laki non-Muslim, atau pernikahan beda agama secara lebih luas amat
diperbolehkan, apa pun agama dan aliran kepercayaannya. Hal ini merujuk pada
semangat yang dibawa al-Quran sendiri. Pertama, bahwa pluralitas agama
merupakan sunnatullah yang tidak bisa dihindarkan. Tuhan menyebut agama-agama
samawi dan mereka membawa ajaran amal-saleh sebagai orang yang akan
bersama-Nya di surga nanti. Bahkan Tuhan juga secara eksplisit menybutkan agar
perbedaan jenis kelamin dan suku sebagai tanda agar satu dengan yang lainnya
saling mengenal. Dan pernikahan antar beda agama dapat dijadikan salah satu
ruang, yang mana antara penganut agama dapat saling berkenalan secara lebih
dekat.
Kedua, bahwa tujuan dari diberlangsungkannya pernikahan adalah untuk
membangun tali kasih (al-mawaddah) dan tali sayang (al-rahmah). Di tengah
rentannya hubungan antaragama saat ini, pernikahan beda agama justru dapat
dijadikan wacana untuk membangun toleransi dan kesepahaman antara masing-
masing pemeluk agama. Beermula dari ikatan tali kasih dan tali sayang, kita rajut
kerukunan dan kedamaian.
Ketiga, semangat yang dibawa Islam adalah pembebasan, bukan belenggu. Dan
tahapan-tahapan yang dilakukan oleh al-Quran sejak larangan pernikahan dengan
orang musyrik, lalu membuka jalan bagi pernikahan dengan Ahli Kitab merupakan
sebuah tahapan pembebasan secara evolutif. Dan pada saatnya, kita harus melihat
agama lain bukan sebagai kelas kedua, melainkan sebagai warga negara.[31]
C. Kesimpulan.
Menurut pembentuk KHI Perkawinan beda agama ini tampaknya banyak madaratnya
baik bagi saddu dzariah maupun untuk kemaslahatan untuk membentuk suatu
rumah tangga yang bahagia berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Untuk
mengatasi berbagai kemadaratan tersebut di Indonesia telah ditetapkan oleh
Presiden dengan keluarnya Inpres No. 1/1991, yang dalam salah satu pasalnya (40
huruf c) telah melarang adanya perkawinan pria muslim dengan wanita non muslim.
Akan tetapi adanya wacana baru dalam memahami hukum beda agama
kontemporer, yang membolehkan perkawinan wanita dan pria muslim dengan non
muslim (ahli kitab), perlu mendapat perhatian dan menjadi wacana baru umat Islam
dalam mencari kebenaran serta kemaslahatan umat, jangan ditanggapi negatif,
namun menambah khazanah keilmuan untuk mencari kebenaran. Paling tidak untuk
saat ini, konsep kaidah fiqh yang menyebutkan tindakan Imam terhadap rakyat ini
harus berkaitan dengan kemaslahatan berlaku di dalam undang-undang Perkawinan
dan KHI di Indonesia. Inilah fiqh Indonesia di bidang perkawinan untuk saat ini.

[1] Joseph Schacht, An Introduction to Islamic Law, (London: The Clarendon Press,
1971), h. 1
[2] Tim Penyusun Ensiklopedia, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 1997), h. 1864
[3] Undang-undang Perkawinan No. 1 Tahun 1974 Bab 1 Pasal 1
[4] Himpunan Peraturan Perundang-undangan Republik Indonesia, (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 1989), h. 744-788
[5] Zainal Abidin Abu Bakar, Kumpulan Peraturan Perundang-undangan dalam
Lingkungan Peradilan Agama, (Jakarta: Al-Hikmah, 1993), h. 139
[6] Nasrudin Baidan, Tafsir Maudhui; Solusi Qurani atas Masalah Kontemporer,
(Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), h. 23
[7] Muhammad Ali Al-Sabuni, Tafsir Ayat Al-ahkam, (Mekah: Dar al-Quran, 1972), h.
536
[8] Rasyid Ridha, Tafsir al-Manar, (Mesir: Matbaah al-Qahirah, 1380 H), h. 186-187
[9] Ibid., h. 190
[10] Ibid., h. 186-187
[11] Ali al-Sayis, Tafsir Ayat al-Ahkam, (Mesir: Matbaah Muhammad Ali Sabih wa
Auladah, 1953), II, h. 168
[12] A1-Jaziri, Kitab al-Fiqh `ala al Mazahib al Arbaah, (Beirut: Dar Ihya al-Turas al
Arabi, 1996), IV, h. 75
[13] Ibrahim Husen, Fiqh Perbandingan, (Jakarta: Yayasan Ihya Ulumuddin Indonesia,
1971), h. 201-204
[14] Abu Zahra, al-Ahwal aI-Syahksiyyah, (Mesir: Dar al-Fikr al-Arabi, t.th.), h. 113
[15] Ibrahim Husen, op.cit., h. 202
[16] Ibnu Qudaman, al-Mugni, (Riyad: al-Maktabah al-Riyad al-Hadisah, t.th.), VI, h.
590
[17] A1 Jaziri, op.cit., h. 76
[18] Sayid Sabiq, Fiqh al-Sunnah, II , (Beirut: Dar Kitab al-`Arabi, 1973), h. 101
[19] Yusuf Qardhawi, op.cit., h. 470
Muhammad Quraish Shihab, Tafsir al-Mishbah; Pesan Kesan dan Keserasian al-
[20]

Quran, (Jakarta: Lentera Hati, 2005), Volume 3, h. 30


[21] Muhammad Ali al Shabuni, op.cit., h. 536
[22] A1-Maraghi, Tafsir al-Maraghi, (Beirut: Dar al-Fikr, 1974), I, h. 153
[23] Abdul Mudjib, Al-Qowa `Idul Fiqiyyah, (Yogyakarta: N ur Cahaya, 1980), h. 51
[24] Rachmat Syafei, Ilmu Ushul Fiqh, (Jakarta: Pustaka Setia, 1999), h. 256
[25] Metode sad al-dzariah adalah metode yang bersifat preventif. Dengan artian,
upaya mujtahid untuk menetapkan larangan terhadap satu kasus hukum yang pada
dasarnya mubah. Larangan itu dimaksudkan untuk menghindari perbuatan atau
tindakan lain yang dilarang. Lihat al-Syaukani, Irsyad al-Fuhul ila Tahqiq min Ilm al-
Ushul, (Surabaya: Maktabat Ahmad ibn Saad ibn Nabhan, t.th.), h. 246
[26] Imam Muhammad al-Razi Rakhr al-Din ibn al-Allamah Dhiyau al-Din Umar, Tafsir
al-Fakhr al-Razi al-Musytaharbi alTafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayh, dikomentari
oleh Syaikh Khalil Muhyiddin al-Mays, (Beirut: Dar al-Fikir, 1995), Jilid V, h. 59
[27] Abu al-Ala al-Maududi, al-Islam fl Muwajahah al-Tahaddinyah al-
Muassharah, (Kuwait: Dar al-Qalam, h. 112
[28] Ibid., h. 113
[29] Imam Muhammad al-Razi Rakhr al-Din ibn al-Allamah Dhiyau al-Din Umar, Tafsir
al-Fakhr al-Razi al-Musytaharbi al-Tafsir al-Kabir wa Mafatih al-Ghayh, dikomentari
oleh Syaikh Khalil Muhyiddin al-Mays, (Beirut: Dar al-Filar, 1995), Jilid V, h. 64
[30] Abu Jafar Muhammad ibn Jarir al-Thabari, Jami al-Bayan an tawil Aya al-Quran,
II, dikomentari Shudqi Jamil al-Atthar, (Beirut: Dar al-Fikr, t.th.), h. 465
[31] Nurchalis Majid dkk, Fiqh Lintas Agama Membangun Masyarakat Inklusif-Pluralis,
(Jakarta: Paramadina, 2004), h. 165

Anda mungkin juga menyukai