Anda di halaman 1dari 15

TUGAS

ASURANSI UDARA

Dosen : Antonia Intarti ,S.H,.M.Si

OLEH :

MUHAMMAD ILHAM NASUTION

(41151010170043)

V - A1

FAKULTAS HUKUM

UNIVERSITAS LANGLANGBUANA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG MASALAH

Asuransi Udara termasuk cabang Asuransi yang masih muda.


Perkembangan pertama pesawat udara pada permulaan Abad ke-20, masih merupakan alat
pengangkutan yang penuh dengan bahaya serta mengandung risiko yang sangat besar. Baru
pada tahun 1912 polis pesawat udara pertama kali di tandatangani oleh sebuah sindikat “
Lloyds Underwriters “ di london.

Pasal 1 butir 13 UU NO.15 tahun 1992 yang berbunyi “ Angkutan udara adalah setiap
kegiatan udara dengan menggunakan pesawat udara untuk mengangkut penumpang, cargo
serta pos untuk satu perjalan atau lebih dari satu bandar kebandar lain atau beberapa bandar
udara “

Memperhatikan ketentuan perundang-undangan diatas dapat disimpulkan bahwa angkutan


udara merupakan bagian kegiatan dari penerbangan adapun yang penting disini adalah risiko
itu menunjukan suatu ketidakpastian serta bersifat negatif, seperti yang disebutkan oleh Ali
Ridlo (1984:4) risiko yang ditimbulkan dari angkutan udara mengemban sifat-sifat yang
khusus dibandingkan dengan risiko atau bahaya yang terdapat pada bentuk angkutan lain.

Risiko yang dihadapi dalam angkutan udara berbeda halnya dengan risiko yang dihadapi pada
angkutan laut maupun darat. Pada angkutan laut maupun darat apabila terjadi kecelakaan atau
kerusakan masih dapat ditolong, namun pada angkutan udara, apabila terjadi risiko maka
dapat menolong hanyalah orang-orang yang ada dalam pesawat udara itu sendiri.
B. IDENTIFIKASI MASALAH

Dalam rangka memahi Asuransi Udara ada baiknya apabila penulis memaparkan beberapa
identifikasi masalah agar pembahasan mengenai Asuransi Udara menjadi lebih terarah,
diantaranya adalah sebagai berikut :
1. Apa saja yang menjadi pengecualian di dalam Asuransi Udara ?
2. Bagaimana peraturan serta ganti rugi dalam Asuransi Udara?
3. Bagaimana peran Asuransi Udara?
BAB II

LANDASAN TEORITIS

A. SUMBER SERTA DASAR HUKUM ASURANSI UDARA

Asuransi Udara melindungi pihak tertanggung pada umumnya terhadap bahaya-


bahaya yang disebabkan atau yang berkaitan dengan digunakannya pesawat udara.
Pada umumnya Asuransi Udara dibagi ke dalam tiga golongan , yaitu :
1. Asuransi Orang, yaitu penumpang serta awak pesawat (Personel Insurance).
2. Asuransi kebendaan (Property Insurance).
3. Asuransi pertanggungjawaban (Liability Insurance).

B. SUBJEK-SUBJEK HUKUM DALAM ASURANSI UDARA

Adapun pihak-pihak yang terkait langsung dengan kegiatan angkutan udara


adalah sebagai berikut :
1. Pihak Penanggung
a. Pengangkut Udara
b. Penumpang
2. Pihak Tertanggung
a. Pemilik cargo termasuk pos
b. Awak pesawat udara
c. Pengelola bandar udara
d. Pembuat pesawat udara

C. MACAM-MACAM ASURANSI UDARA

Berdasarkan berbedaan pihak tertanggung yang menutup asuransi, perbedaan


kepentingan serta objek bahaya, asuransi udara dapat dibagi menjadi :

1. Manufacture Insurance
Manufacture insurance dapat menutup asuransi dengan cara :
a. Pihak pabrikan bisa mengasuransikan kompleks pabrikan pesawat dengan
asuransi kebakaran.
b. Pesawat yang telah selesai dibuat dan disimpan dihanggar, diasuransikan
casco insurance
c. Ketepatan waktu produksi berdasarkan pesanan, diasuransikan dengan
product insurance
d. Penyerahan dari penjualan pesawat dengan Levering verzekering
e. Lepas jual dengan massa tertentu dengan guarantee insurance atau
construction insurance.
2. Hull Insurance atau Casco Insurance
Hull insurance yang dapat ditutup untuk tubuh pesawat itu sendiri baik terhadap
risiko kerusakan, kehancuran (total loss), maupun keadaan tidak dapat
dipergunakan (loss of use).
3. Crew Insurance
Asuransi awak pesawat udara mempunyai kepentingan untuk mengasuransikan
awak pesawatnya, karna berdasarkan perjanjian kerja yang dibuatnya,
pengangkut udara sebagai majikan bertanggungjawab atas keselamatan, serta
kesejahtraan pekerjanya.
4. Liability Insurance
Dalam kedudukannya, sebagai pihak yang menyelenggarakan jasa angkutan
udara, pengangkut bertanggungjawab terhadap kerugian yang menimpa
penumpang pemilik barang, pemilik bagasi dan pihak ketiga.
5. Personal Accident Inssurance
Penumpang mempunyai kepentingan untuk menutup asuransi kecelakaan bagi
dirinya meskipun pengangkut udara telah menutup asuransi pertanggungjawaban
terhadap penumpang tersebut.
6. Cargo Insurance
Pemilik bagasi tercatat, pemilik cargo termasuk pos mempunyai kepentingan
terhadap kerugian yang menimpa barang kirimannya.
D. PERHITUNGAN PREMI DALAM ASURANSI

Premi asuransi udara dapat dihitung dengan dua cara, yaitu dengan tarif tetap atau
penutupan tiap-tiap kejadian. Untuk menentukan besar kecilnya risiko dipengaruhi oleh
beberapa penilaian subjektif, seperti kemampuan dari pilot, bagaimana caranya
mempergunakan pesawat serta fasilitas-fasilitas lapangan terbang yang ada, serta lain-lain
yang menyebabkan tidak mudahnya menentukan ukuran yang tetap akan besarnya premi.
Untuk penerbangan percobaan biasanya premi dibayar untuk waktu satu tahun, untuk terbang
penyerahan premi diperhitungkan untuk tiap penerbangan bisa juga premi dihitung menurut
jam terbang seperti pada penerbangan percobaan rutin.
BAB III
PEMBAHASAN

A. PERANAN ASURANSI DALAM ANGKUTAN UDARA DI INDONESIA

Penjelasan diatas telah diuraikan bahwa kegiatan angkutan udara sarat dengan
risiko yang cukup besar, namun disisi lain diketahui pula bahwa asuransi merupakan suatu
lembaga pengalihan serta pembagian risiko yang banyak manfaatnya dalam kehidupan
manusia, diantaranya dapat menggalang satu tujuan yang lebih besar sehingga melahirkan
rasa optimisme dalam meningkatkan usaha, yang berakibat pula menaikan efesiensi serta
kegiatan usaha. Secara keseluruhan berdasarkan penelitian dapat disimpulkan bahwa lembaga
asuransi memberikan suatu peranan yang cukup besar dalam pengembangan kegiatan
angkutan udara, hal itu disebabkan dengan menutup asuransi, yang berkepentingan merasa
memiliki suatu jaminan apabila risiko yang dihadapi menjadi kenyataan berupa kerugian.

B. PERANAN ASURANSI DALAM TANGGUNG JAWAB PENGANGKUTAN


UDARA DOMESTIK BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 15
TAHUN 1992

Pada hari Rabu tanggal 16 Januari 2002 dunia penerbangan Indonesia kembali mengalami
musibah, kali ini maskapai penerbangan Garuda Indonesia Airlines Boeing 737-300 dengan
nomor penerbangan GA-421 jatuh melintang di anak Sungai Bengawan , Desa Serenan,
Juwiring, Kabupaten Klaten. Dalam kecelakaan tersebut seorang wanita muda yaitu
pramugari bernama Santi Anggraeni yang telah bekerja selama tujuh tahun tewas setelah
terhempas keluar dari pesawat dan hanyut oleh arus sungai yang sedang meluap, sementara
pilot Kapten Abdul Rezak bersama enam kru lainnya serta 51 penumpangnya tiga
diantaranya balita selamat dan hanya mengalami luka memar dan patah tulang.

A. Tanggung Jawab Perusahaan Penerbangan Terhadap Penumpang

Dengan kemajuan teknik pada masa kini, kecelakaan-kecelakaan pesawat udara relatif jarang
terjadi. Dari angka-angka statistik dapat ditarik kesimpulan bahwa alat pengangkutan yang
paling aman adalah pesawat udara, kemudian kapal laut, lalu kereta api dan yang paling
banyak menimbulkan kecelakaan adalah mobil. Suatu kenyataan bahwa dalam sejarah
penerbangan sipil dalam negeri selama sepuluh tahun terakhir kecelakaan pesawat udara yang
terjadi di negeri kita yaitu kecelakaan pesawat udara yang menimpa Garuda Boeing 737-300
di Sungai Bengawan Solo.

Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) Staatsblad 1939-100 menentukan bahwa pengangkut


udara bertanggung jawab atas kerugian yang timbul karena kecelakaan yang menimpa diri
penumpang, sehingga penumpang tewas atau luka-luka. Pada umumnya kejadian, yang
menimbulkan kerugian pada diri penumpang adalah suatu kecelakaan pesawat udara. Ada
tiga pinsip tanggung jawab pengangkut dalam hukum, pengangkutan menurut Saefullah
Wiradipraja (1989), yaitu :

1. Prinsip tanggung jawab berdasarkan kesalahan (fault liability). Menurut prinsip ini setiap
pengangkutan harus bertanggung jawab untuk membayar ganti rugi atas segala kerugian yang
ditimbulkan akibat dari kesalahannya. Pihak yang menderita kerugian harus membuktikan
kesalahan pengangkut. Beban pembuktian ada pada pihak yang dirugikan bukan pada pihak
pengangkut.

2. Prinsip tanggung jawab berdasarkan praduga (presumption of liability). Menurut prinsip ini
pengangkut dianggap selalu bertanggung jawab atas setiap kerugian yang timbul dari
pengangkutan yang diselenggarakan. Tetapi jika pengangkut dapat membuktikan bahwa ia
tidak bersalah, maka ia dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi. Yang dimaksud
dengan “tidak bersalah” adalah tidak melakukan kelalaian, telah mengambil tindakan yang
perlu untuk menghindari kerugian atau periristiwa yang menimbulkan kerugian tidak dapat
dihindari.

3. Prinsip tanggung jawab mutlak (absolute liability). Menurut prinsip ini pengangkut harus
bertanggung jawab membayar ganti rugi terhadap setiap kerugian yang timbul dari
pengangkutan yang diselenggarakannya tanpa keharusan pembuktian ada tidaknya kesalahan
pengangkut, pengangkut tidak dimungkinkan membebaskan diri dari tanggung jawab dengan
alasan apapun yang menimbulkan kerugian itu.

Dengan menerapkan prinsip tanggung jawab pengangkut berdasarkan atas praduga, maka
undang-undang pengangkutan di Indonesia mewajibkan pengangkut melalui perusahaan
asuransi bertanggung jawab atas kerugian yang tirnbul dari pengangkutan yang
diselenggarakannya. Tetapi karena berdasarkan atas praduga, maka pengangkut melalui
perusahaan asuransi dapat membebaskan diri dari tanggung jawab apabila ia mendapat
membuktikan bahwa ia tidak bersalah (absence of fault). Jika dihubungkan dengan kasus
kecelakaan pesawat udara Garuda Boeing 737 maka pihak pengangkut udara (PT. Garuda)
melalui perusahaan asuransi harus bertanggung jawab untuk mengganti kerugian yang
dltimbulkannya terhadap penumpang yang telah meninggal. Pihak asuransi dapat melepaskan
diri dari tanggung jawab apabila la dapat membuktikan bahwa kecelakaan pesawat udara
Garuda Boeing 737 di sungai Bengawan Solo bukan karena kesalahan pihak pengangkut
(PT.Garuda).

Dalam Pasal 29 ayat 1 dan 2 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) ditentukan bahwa
pengangkut tidak bertanggung lawab untuk kerugian, bila ia membuktikan ia dan semua
orang yang dipekerjakan olehnya berhubung dengan pengangkutan itu telah mengambil
semua tindakan yang perlu untuk menghindarkan kerugian atau bahwa tak mungkin bagi
mereka untuk mengambil tindakan-tindakan tersebut. Sedangkan pada Pasal 24 dan 25
Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) menetapkan bahwa pengangkut bertanggung jawab
untuk kerugian sebagai akibat dari luka atau meninggalnya penumpang dan sebagai akibat
dari musnahnya, hilangnya atau rusaknya bagasi atau barang, tanpa dengan tegas menetapkan
dasar dari tanggung jawab ini.

Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-Undang Nomor 15 Tahun 1992 Tentang Penerbangan
menyatakan bahwa tanggung jawab perusahaan angkutan udara sebagaimana dimaksud
dalam ketentuan ini adalah apabila kematian atau lukanya penumpang diakibatkan karena
kecelakaan selama dalam pengangkutan udara dan terjadi di dalam pesawat udara atau
kecelakaan pada saat naik ke atau turun dari pesawat udara. Menurut penulis, maka pada
kasus kecelakaan pesawat udara yang menimpa pesawat Garuda Boeing 737 di sungai
Bengawan Solo, pihak pengangkut (PT. Garuda) harus bertanggung jawab terhadap korban
kecelakaan pesawat udara seperti apa yang disebutkan Pasal 43 ayat 1 butir (a) Undang-
Undang Nomor 15 Tahun 1992 tersebut di atas melalui perusahaan asuransi yang di tunjuk.
PT Garuda dapat menjatuhkan klaim dengan cara menyerahkan data-data tentang kerugian
yang dideritanya. Dan setelah menerima pengajuan dari tertanggung, pihak asuransi akan
meneliti kerugian untuk menyelidiki kerugian yang selanjutnya dilaporkan kepada
penanggung. Dan apabila tidak ada kebohongan dan tipu muslihat dalam kerugian itu, maka
pihak asuransi dapat mengganti kerugian sesuai dengan apa yang telah diperjanjikannya.

B. Proses Ganti Rugi Yang Dilakukan Penumpang Terhadap Perusahaan Penerbangan.

Pemberian ganti rugi yang dilakukan PT. Garuda Indonesia pada kasus kecelakaan pesawan
udara Boeing 737-300 di Sungai Bengawan Solo kepada penumpang akibat kecelakaan
pesawat udara diberikan melalui proses sebagai berikut :

1. Bila telah ada kesepakatan besarnya ganti rugi yang diberikan oleh PT. Garuda Indonesia
kepada korban kecelakaan pesawat udara tanpa harus melalui pengadilan, maka proses
pemberian ganti ruginya adalah

a. Mengisi formulir yang telah disediakan oleh PT. Garuda Indonesia yang memuat pengisian
data-data identitas pihak yang berhak atas pemberian ganti rugi itu.

b. Mengajukan segala alat bukti :

– Tiket atau bukti pembayaran tiket.

– Surat keterangan dokter dan biaya-biaya pengobatan perawatan, bila penumpang akibat
kecelakaan pesawat udara tersebut dalam perawatan.

– Akta perkawinan dari suami atau isteri penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat
udara.

– Akta kenal lahir (anak) dari penumpang yang tewas akibat kecelakaan pesawat udara itu,
disertai penetapan fatwa waris dari pengadilan agama yang berisi penetapan ahli waris dan
besarnya bagian-bagian.

– Kartu keluarga dari penumpang yang tewas tersebut bagi semua ahli waris yang
ditanggungnya.

c. Pihak PT. Garuda memeriksa, memproses dan meneliti data orang yang terikat perjanjian
pengangkutan udara dalam pesawat yang tertimpa kecelakaan, benar tidaknya luka-luka atau
cacat tubuh yang diderita penumpang tersebut akibat kecelakaan pesawat udara itu dan benar
atau tidaknya orang tersebut adalah ahli waris yang ditanggung penumpang yang tewas akibat
kecelakaan pesawat udara itu.
d. Bila semua bukti yang diberikan benar, maka PT. Garuda menetapkan ganti rugi yang akan
diberikan, tetapi bila semua bukti yang diberikan tidak sesuai atau tidak benar maka PT.
Garuda berhak untuk tidak bertanggung jawab atau berhak untuk tidak memberikan ganti
rugi.

e. Bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu disetujui oleh kedua beleh pihak, maka PT.
Garuda siap untuk membayar sesuai dengan kesepakatan bersama mengenai cara pembayaran
dan jangka waktunya, tetapi bila ganti rugi yang ditetapkan PT. Garuda itu tidak disetujui
oleh pihak penumpang maka penumpang dapat mengajukan gugatan di pengadilan atau bila
alat bukti yang diajukan dianggap tidak benar oleh pihak PT. Garuda maka itupun dapat
diajukan gugatan ke pengadilan.

2. Bila tidak ada kesepakatan antara pihak korban kecelakaan pesawat udara dengan pihak
PT. Garuda mengenai besarnya ganti rugi sehingga harus melalui pengadilan, maka proses
pemberian ganti rugi adalah :

a. Pihak korban kecelakaan pesawat udara yang merasa tidak puas atau dirugikan dapat
mengajukan gugatan ke pengadilan negeri.

b. Penggugat harus memenuhi persyaratan untuk mengajukan klaim ganti rugi yang telah
diterbitkan oleh pengadilan (telah dibicarakan pada “Prosedur pengajuan claim ganti rugi”).

c. Setelah ada putusan pengadilan, maka putusan tersebut diserahkan kepada kedua belah
pihak untuk dilaksanakan, dalam putusan tersebut disebutkan besarnya ganti rugi yang harus
diberikan PT. Garuda, cara pembayarannya dan jangka waktu pembayarannya.

d. Pihak korban kecelakaan tersebut mengisi kembali formulir yang disediakan PT. Garuda
mengenai data atau identitasnya.

e. Pihak PT. Garuda memasukkan dan memproses formulir tersebut beserta putusan
pengadilan.

f. Kemudian pihak PT. Garuda slap untuk membayar ganti rugi sesuai dengan putusan
pengadilan tersebut.

Pembayaran ganti rugi yang diberikan pihak PT. Garuda dilakukan dalam bentuk uang rupiah
dan langsung dibayarkan kepada orang yang berhak, atau orang yang bersangkutan.
Pembayaran ganti rugi kepada ahli waris ialah PT. Garuda rnembayar langsung hanya kepada
salah seorang wakil diantara mereka yang kemudian pembagian selanjutnya mereka atur
sendiri menurut fatwa waris dari pengadilan.
Bagian III

KESIMPULAN

Pada dasarnya apabila terjadi kecelakaan pesawat udara, maka ada dua kemungkinan yang
akan timbul terhadap penumpang pesawat udara yaitu :

1. Penumpang tetap hidup dan mengalami luka-luka atau cacat, atau


2. Penumpang meninggal dunia atau tewas

Melihat dua kemungkinan tersebut, ditentukan pihak-pihak yang berhak mendapatkan ganti
rugi atau pihak-pihak yang berhak untuk menuntut ganti rugi kepada pihak pengangkut udara,
yaitu

a. Penumpang akibat kecelakaan pesawat udara yang masih hidup akan tetapi mengalami
luka-luka luar ataupun dalam pada tubuh atau cacat, maka pihak yang berhak rnendapat ganti
rugi adalah penumpang itu sendiri. Dengan kata lain, bahwa pihak pengangkut udara atau
perusahaan penerbangan bertanggung jawab atas kerugian sehingga akibat dari luka-luka atau
cacat yang diderita oleh seorang pengangkut udara tersebut dan terjadi di dalam pesawat
udara. Hal ini berdasarkan Pasal 24 ayat 1 Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) tahun
1938-100.

b. Penumpang akibat kecelakaan pesawat udara tewas atau meninggal dunia rnaka pihak yang
berhak untuk mendapatkan ganti rugi bila sudah ada, atau anak-anaknya bila sudah punya
atau orang tuanya. Dasar hukumnya adalah Pasal 24 ayat 2 Ordonansi Pengangkutan Udara
(OPU) tahun 1939-100

Akan tetapi untuk menghindari penuntutan hak dari pihak yang sebenarnya tidak berhak
maka dibuat kriteria dan persyaratan bagi pihak– pihak yang hendak menuntut ganti rugi
sebagai berikut :

a. Bagi penumpang yang mash hidup namun mengklaim luka-luka atau cacat pada tubuhnya
ia harus membuktikan bahwa luka-luka atau cacat tersebut adalah akiba, dari kecelakaan
pesawat uclara. Untuk hal itu diperlukan pemeriksaan dari dokter yang menentukan apakah
luka-luka atau cacat pada tubuh penumpang benar ada setelah terjadinya kecelakaan pesawat
udara sebagai akibat dari kecelakaan tersebut ataukah luka-luka dan cacat tubuh ini adalah
ada sebelum penumpang naik pesawat tersebut, diperlukan pula keterangan kesehatan
penumpang pada saat penumpang diperiksa sebelum naik ke pesawat dan keterangan tersebut
di dapat dari dokter pribadi.

b. Bila penumpang yang tewas atau meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, maka
para ahli waris atau orang yang menjadi tanggungan tersebut yang berhak untuk mendapatkan
ganti rugi.
SARAN

Mengenai hal tersebut harus diputuskan oleh pengadilan dengan memperlihatkan fatwa waris.
Dan ketentuan limitatif ini maka dinyatakan bahwa tidak ada orang lain yang dapat menuntut
ganti rugi selain ketiga golongan ahli waris berikut ini

1. Isteri atau suami dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan
memperlihatkan akta perkawinan dan kartu keluarga.
2. Anak dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan rnemperlihatkan
akta lahir dan kartu keluarga.
3. Orang tua dari penumpang yang tewas atau meninggal dunia itu dengan
memperlihatkan akta lahir dan kartu keluarga.

Tetapi mengenai “orang tua’ ini ada ketentuan tambahan bahwa orang tua yang mempunyai
penghasilan sendiri tidak dapat menuntut ganti rugi, sedangkan suami atau Isterl dan anak-
anaknya dapat menuntut ganti rugi meskipun mereka mernpunyai penghasilan sendiri.

Adapun satu pihak yang walaupun la menderita luka-luka atau cacat tubuh maupun tewas
atau meninggal dunia akibat kecelakaan pesawat udara, akan tetapi ia atau ahli waris yang
ditanggungnya tidak berhak untuk menuntut ganti rugi, ialah penumpang gelap (yang tidak
memiliki tiket yang sah). Dalam hal ini pengangkut udara berhak untuk tidak bertanggung
jawab atas segala kerugian yang dideritanya, sebab ia tidak terikat pada perjanjian
pengangkutan udara tersebut sehingga segala risiko harus ditanggungnya sendiri.

Dalam menentukan besarnya ganti rugi yang diberikan PT. Garuda Indonesia kepada
penumpang akibat kecelakaan pesawat udara disesuaikan dengan yang ditetapkan oleh
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 496/KMK/017/1997, yaitu

1. 1.Rp. 40.000.00O3– dalam hal penumpang meninggal dunia.


2. 2. Rp. 20.000.000 – dalam hal penumpang mendapat cacat tetap.
3. 3. Rp. 20.000.000,- biaya perawatan dan pengobatan dokter.

Besarnya ganti rugi yang ditetapkan di atas hanyalah merupakan batas maksimum dari
besarnya ganti rugi yang harus diberikan Sedangkan untuk batas ini minimumnya
berdasarkan kebijaksanaan perusahaan penerbangan atau ditetapkan dari putusan pengadilan
kasus per kasus. Besarnya ganti rugi yang ditetapkan tersebut menggantikan besarnya ganti
rugi yang ditetapkan dalam Ordonansi Pengangkutan Udara (OPU) pada Pasal 30 ayat 1 yang
dianggap sudah tidak sesuai lagi dengan nilai yang sekarang ini.

Besarnya ganti rugi dapat diberikan dengan berbagai cara, yaitu :

1. Pembayaran ganti rugi secara tunai sesuai dengan jumlah yang telah disepakati
bersama.
2. Pembayaran ganti rugi secara berkala sesuai kesepakatan bersama dengan jangka
waktu yang telah ditentukan.
3. Pembayaran ganti rugi berdasarkan perhitungan biaya-biaya yang diperlukan dalam
masa pengobatan secara berkala (Khusus bagi penumpang yang masih hidup dan
menderita luka-luka atau cacat tubuh yang sedang dalam perawatan).
Mengenai penumpang yang masih hidup akan tetapi luka-luka atau cacat pada tubuhnya,
maka pembayaran ganti rugi berdasarkan perhitungan biaya-biayanya sebagai berikut :

1. Penghasilan yang karena kecelakaan ini tidak dapat diperoleh.


2. Perawatan dan pengobatan.
3. Pembedahan plastik.
4. Ongkos-ongkos lain yang berkaitan dengan perawatan yang bersangkutan.

Mengenai “Pembedahan plastik” itu harus didasarkan pada per-timbangan dokter, apakah
perlu dilakukan atau tidaknya. Dalam hal ketidakpuasan mengenai besarnya ganti rugi ini,
maka dapat mengajukan tuntutan ke pengadilan sehingga diperoleh putusan dari pengadilan
atas Jumlah ganti rugi yang harus disetului kedua belah pihak.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:

Suherman, E, Hukum Udara Indonesia Dan Internasional, 1983, Cetakan III, Alumni,
Bandung.

Martono, K., Hukum Udara, Angkutan Udara dan Hukum Angkasa, (Bandung: Alumni,
1987).

Muhammad, Abdulkadir, Hukum pengangkutan Niaga, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti,


1998).

Purba, Radiks, Mengenal Asuransi Angkutan Darat dan Udara, Djambatan, Jakarta,
2009.

Komariah, Edisi Revisi Hukum Perdata, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang,


2001).

Purbacaraka, Perihal Kaedah Hukum, (Bandung: Citra Aditya, 2010).

Rastuti, Tuti, Aspek Hukum Perjanjian Asuransi, Pustaka Yustisia, Yogyakarta,


2011.

R. S., Damardjati, Istilah-Istilah Dunia Pariwisata, Jakarta: Grafindo. 2001.

Hasymi,A,Pengantar Asuransi, Jakarta, Bumi Aksara, 1993.

Simanjuntak,Pangaribuan, Emmi,Hukum Pertanggungan dan Perkembangannya,


Yogyakarta, Seksi Hukum Dagang Fakultas Hukum Universitas Gajah Mada, 1983.

Tambunan,P.M., Aspek Hukum Reasuransi kerugian, Makalah pada Seminar


Pengembangan Hukum Dagang TentangHukum Angkutan dan Hukum Asuransi, Jakarta,
Departemen Kehakiman Badan Pembinaan Hukum Nasional 21-23 Maret l989 SuaraKarya, 6
November 2004.

Sastrawidjadja,Suparman, M.dan Endang, Hukum Asuransi, Perlindungan Tertanggung


Asuransi Deposito. Bandung. 1993.

Purwosutjipto,H. M. N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia, Jakarta, Djambatan,


1983.

Subekti, R, Aspek-Aspek Hukum Perikatan Nasional,Alumni, Bandung, 1978.

Ichsan, Achmad, Hukum Perdata I, Pembimbing Masa, Jakarta, 1969.

Mintorowati,Endang, Hukum Perjanjian,Universitas Sebelas Maret, Surakarta,1999.

Purwosutjipto, H.M.N, Pengertian Pokok Hukum Dagang Indonesia III: Hukum


Pengangkutan, Djambatan 2003.
Peraturan Perundang-undangan:

Undang-undang No 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan

Undang-undang No 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian

Peraturan Menteri No 77 Tahun 2011 Tentang Tanggung Jawab Pengangkut Angkutan


Udara Surat

Keputusan Menteri Urusan Pendapatan Pembiayan dan Pengawasan RI No. BAPN 1-3-3
tanggal 30 Maret 1965Indonesia,

Undang -undang Nomor 33 Tahun 1964 tentang Dana Pertanngungan Wajib


Kecelakaan Penumpang

Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun 1965 tentang Ketentuan-ketentuan Pelaksanaan


Dana Pertanggungan Wajib Kecelakaan Penumpang

Kementrian Keuangan Republik Indonesia, Peraturan Menteri Keuangan Nomor


37/PMK.010/2008 tentang Besar Santunan dan Iuran Wajib Dana Pertanggungan Wajib
Kecelakaan Penumpang Alat Angkutan Penumpang Umum di Darat, Sungai/Danau,
Ferry/Penyebrangan, Laut dan Udara

Anda mungkin juga menyukai